Adakah filsafat Indonesia? Pertanyaan ini telah digarap-serius oleh banyak pegiat filsafat dan filsuf Indonesia sejak lama. Dan jawabannya, ada! Ia sedang meringkuk di balik tarian, adat, ukiran, ritual, mitos dan objek budaya lainnya, menunggu untuk ditemukan, lalu dipublikasi sebagai literatur filsafat Indonesia. Setidaknya begitulah yang dipahami banyak orang. Saras Dewi, dosen filsafat Universitas Indonesia, dalam artikelnya, “Menjalin Filsafat Indonesia” bertutur bahwa dirinya pernah terjun dalam riset-riset untuk mengungkap gemah ripah loh jinawi kearifan di balik budaya lokal dan mengajarkannya pada mahasiswa di mata kuliah Filsafat Timur.1
Artikel itu terbit pada 2 Oktober 2021 di Kompas dan dua hari kemudian terbit artikel tanggapan “Membangun Filsafat Indonesia” yang ditulis Banin D. Sukmono di situs web Antinomi.2 Banin berargumen cara berfilsafat Indonesia demikian itu irelevan. Anggaplah ditemukan dalam kebudayaan X punya kearifan X1, lalu X1 relevan dengan sistem pendidikan C. Selanjutnya apa? Karena itu, tawaran Banin adalah kontribusi menjawab persoalan-persoalan filsafat kontemporer, tak peduli apakah caranya kebarat-baratan sekalipun. Hanya dengan begitu filsafat “kita” menjadi bagian dari percakapan filsafat dunia.
Tentu tesis Banin juga tidak sepi dari tanggapan lanjutan. Silakan Anda membaca lanjutan polemik di Antinomi. Namun, persoalan ini tidak akan menjadi perhatian. Yang akan saya bicarakan dalam tulisan ini adalah, seperti kata Hizkia Yosias Polimpung dalam satu ceramahnya, dapur para filsuf3, sesuatu yang sebelum filsafat Indonesia itu dikerjakan. Maksud dari dapur itu: Kondisi macam apa memungkinkan kita merajut/membangun filsafat Indonesia?
Basis Filsafat: Kerja Reproduksi
Dalam bangunan kapitalisme, sebagaimana dianalisis feminis-Marxsis4, dikenal dua jenis kerja yang sama-sama dieksploitasi: produksi dan reproduksi. Kerja produksi adalah kerja berupah yang dibayar langsung oleh pemodal. Seperti, buruh pabrik, satpam, tukang leding, karyawan start-up, dan sebagainya. Mereka mendapatkan upah atas kerja yang menghasilkan komoditas yang dikehendaki pemodal; buruh tekstil menghasilkan kain, satpam menjaga keamanan, tukang leding memperbaiki saluran air, dan karyawan start-up menghasilkan neraca keuangan, desain grafis, dan sebagainya.
Jam empat sore lewat, para buruh pulang dengan tubuh lemas, perut keroncongan, dan suasana hati muram. Pertanyaannya, siapa yang menyiapkan tempat tidur atau sofa yang bersih, makanan bergizi seimbang, dan menampung keluh kesah mereka agar besok bisa kembali bekerja lagi? Istri atau pembantu rumah tangga. Pemodal tidak membayar istri dan pembantu rumah tangga, padahal, tanpa mereka, para buruh tidak akan sanggup bertahan, kembali bekerja di keesokan hari. Pemodal hanya membayar kerja yang tampak di depan mereka saja.
Yang memungkinkan kerja produksi itu berkelanjutan disebut kerja reproduksi. Karena rata-rata subjek yang mengisi kerja reproduksi adalah perempuan, maka di titik inilah kapitalisme mengeksploitasi perempuan berkali-kali lipat ketimbang buruh yang bekerja di hadapan mereka. Ini seharusnya menjadi alasan untuk aktivis feminis berada di satu garis perlawanan yang sama dengan kaum kiri. Ini pula harusnya menjadi alasan bagi pegiat filsafat dan filsuf kita untuk tidak anti-komunisme dan anti-Marxisme. Karena dengan Marxisme, mereka bisa mafhum bahwa yang menopang kerja arm chair filsafat adalah eksploitasi di ranah reproduksi.
Jika Anda seorang pengajar filsafat, yang mengajar di banyak kelas dan tetap produktif mempublikasi artikel per semester, Anda boleh jadi tidak sadar semua itu bisa Anda lakukan, lantaran istri Anda menyediakan segala kebutuhan dasar Anda di rumah. Istri Anda tidak mendapatkan upah sepeser pun, seperti Anda mendapatkan upah sebagai pengajar filsafat. Anda boleh jadi masyhur setelah mencetuskan teori filsafat yang berpengaruh, namun orang-orang lupa siapa yang memungkinkan Anda melakukan kerja filsafat Anda yang begitu leluasa itu.
Saya, yang masih bujang, bisa menulis seperti ini dan mencurahkan penuh perhatian pada kegiatan kuliah, lantaran kedua orang tua saya menjamin uang bulanan dan sewa kos. Jika kedua orang tua saya berhenti bekerja dan saya harus memenuhi kebutuhan saya sendiri, kemungkinan besar saya akan menalak filsafat untuk selamanya, sibuk bekerja, dan merawat keluarga—setelah menikah. Saya tidak lagi punya waktu luang untuk duduk di kursi berlengan di teras rumah sambil memikirkan beberapa persoalan filosofis atau sekadar membaca artikel pendek filsafat.
Dengan demikian, basis dari kerja filsafat, dan dalam hal ini filsafat Indonesia pula, merupakan kerja reproduksi. Tidak semua berfilsafat bisa digolongkan sebagai kerja produksi. Jika merujuk pada definisi kerja produksi sebelumnya, seseorang yang berfilsafat untuk hobi atau mengisi waktu luang tidak termasuk kerja produksi; berfilsafat sebagai dosen di kampus atau konsultan di perusahaan tergolong kerja produksi. Namun, terlepas dari kategorisasi ini, basis dari filsafat, apa pun filsafatnya, adalah kerja reproduksi. Kasarnya, sebelum berfilsafat, perut harus kenyang, istirahat yang cukup, dan tidak punya masalah yang begitu memforsir pikiran selain problem filsafat itu sendiri.
Dari Filsafat Indonesia ke Gerakan Ekonomi-Politik
Sejarah filsafat memberi tahu kita bahwa rata-rata filsuf adalah orang kaya—atau tidak punya persoalan dengan kebutuhan dasar mereka, sandang, pangan, dan papan mereka lebih dari cukup, jika tidak mau menyebut kaya. Semua pembesar rasionalisme, contohnya René Descartes, sang tonggak modernitas, merupakan anak keluarga borjuis yang ayahnya pengacara dan politisi; Baruc de Spinoza merupakan anak pedagang kaya raya; Gottfried Lebiniz merupakan anak profesor; Bleise Pascal merupakan anak dari ketua lembaga penarik pajak. Jika melompat jauh ke belakang, Aristoteles, salah satunya, merupakan anak dari dokter pribadi raja.
Karl Marx, sepertinya, setidaknya sejauh yang saya tahu, yang berfilsafat di bawah determinisme kemiskinan—dan penyakit. Bagian ini diceritakan banyak dalam Marx: Biografi Intelektual dan Politik-nya Macello Musto (2022):
Data ini menjawab mengapa terlalu sedikit karya-karya filsafat berbahasa Indonesia. Pertama, selain iklim pembaca buku di Indonesia yang jelek, apalagi buku bergenre filsafat. Kedua, pegiat filsafat dan filsuf kita yang enggan menulis karena dapur atau kerja reproduksi mereka belum terjamin dan tentu termasuk berfilsafat itu sendiri. Berdasarkan survei Serikat Pekerja Fisipol UGM, pengeluaran bulanan dosen rata-rata 9.100.211, sementara gaji pokok bulanan 3.384.013. 70% dosen mengambil kerja tambahan yang menghasilkan rata-rata 5.170.00 per bulan. 51.7% dosen memiliki jabatan struktural dengan gaji 5.087.017 per bulan.
Jika Anda dosen filsafat muda dan baru, dengan gaji tiga jutaan, Anda akan kelabakan. Anda punya tanggungan kontrakan, biaya hidup yang mahal, dan masih ditambah biaya tumbuh-kembang anak. Sementara itu, beban mengajar Anda terlalu banyak. Jumlah dosen dan mahasiswa lumrahnya tidak seimbang. Anda harus mencari perkerjaan tambahan atau segera mungkin mengejar jabatan struktural. Dalam kondisi semacam ini, takada sedikit pun intensi berfilsafat yang serius: menulis artikel ilmiah “seadanya”, termasuk buku filsafat berbahasa Indonesia. Tidak heran lebih banyak buku pengantar filsafat, ketimbang buku teoretis filsafat yang berusaha menjawab suatu problem kontemporer. Menulis pengantar lebih mudah!
Selain itu, istri Anda juga perlu mencari kerja sendiri. Alhasil, istri Anda menjalani beban ganda: melakukan kerja reproduksi sekaligus produksi (membuka jasa laundry, menerima pesanan kue, dan seterusnya). Ini jelas eksploitasi. Dan jika Anda tidak mewajarkannya, itu berarti Anda turut andil dalam mengeksploitasi istri Anda sendiri. Karena pada gilirannya, uang yang diperoleh istri Anda memungkinkan Anda hidup lebih layak, lalu memiliki waktu luang untuk bergumul dengan persoalan-persoalan filsafat sesuai minat Anda.
Dengan melihat kondisi yang tidak ideal ini, maka harusnya sebelum merajut/membangun filsafat Indonesia, yang diperlukan ialah merajut/membangun gerakan untuk ketahanan reproduksi-produksi. Hal ini menunjukkan bahwa filsafat yang dianggap apriori, mendakik-dakik tak menyentuh bumi, tak pernah bisa dilepaskan dari problem material sehari-hari. Oleh karena itu, jika proyek filsafat Indonesia yang berkontribusi pada percakapan filsafat dunia ingin dilakukan secara serius, kita perlu memikirkan strategi-strategi ekonomi-politik—sayangnya, pembicaraan tentang strategi bukan tempatnya di sini. Tanpa ada ketahanan ranah reproduksi-produksi, filsafat Indonesia tak akan lebih dari angan-angan.
Catatan Kaki
- Saras Dewi. Menjalin Filsafat Indonesia. Kompas.id https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/02/menjalin-filsafat-indonesia (2021). ↩︎
- Banin D. Sukmono. “Membangun Filsafat Indonesia”. Antinomi https://antinomi.org/membangun-filsafat-indonesia/ (2021). ↩︎
- Yosie mengungkapkan kata ‘dapur’ dalam arti kondisi atau syarat yang memungkinkan berfilsafat. Jika tak ada yang menjamin dapur para filsuf terus mengepul, boro-boro mereka mau berfilsafat, lihat, Coen Husain Pontoh, Ruth Indiah Rahayu & Hizikia Yosie Polimpung. Baca Marx Yuk Edisi 34: Marx Dalam Kritik Ekonomi Politik (1). Youtube (2024). ↩︎
- Secara ringkas dan memadai, uraian mengenai pembelahan kerja reproduksi dan kerja produksi, lihat Cinzia Arruza, Tithi Bhattacharya & Nanzy Fraser. Feminisme Untuk 99%. (Penerbit Independe, Yogyakarta, 2020). ↩︎
- Marcelo Musto. Marx Biografi Intelektual Dan Politik. (Marjin Kiri, Tangerang Selatan, 2022), h. 132. “Kemiskinan di Landon” dan “Melawan Kemiskinan dan Penyakit” adalah bab khusus yang ditulis Musto untuk menggambarkan kerentanan kehidupan Marx dan keluarganya, dan bertebaran di bab-bab lain. ↩︎