Membangun Filsafat Indonesia

Kecenderungan mendefinisikan filsafat secara geografis dan esensialis itu cukup destruktif.

Banin D. Sukmono
Banin D. Sukmonohttp://zenocentre.org
Direktur dan Head of Metaphysics of Science di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics

Sudah saatnya para filsuf dan pegiat filsafat di Indonesia mulai melihat alternatif lain selain mencari filsafat yang tersembunyi dalam satu objek budaya nusantara saat membicarakan filsafat Indonesia. Cukup melelahkan setelah lebih dari 20 tahun pencarian kita atas filsafat Indonesia dengan berbagai macam konferensi dan simposium yang digelar, sebagian dari kita masih berfokus mencari “sesuatu yang filosofis” di balik arsitektur rumah, tarian-tarian tradisional, dan pemikiran suatu komunitas, yang pemaknaannya mungkin dibuat secara arbitrer ratusan tahun yang lalu dan tidak diniatkan untuk menjadi filosofis, dan seakan-akan percaya bahwa hanya dengan cara itulah kita menemukan filsafat Indonesia.

Hal tersebut tentu saja secara umum tidak salah. Kita bisa mendefinisikan filsafat Indonesia dengan cara tersebut. Namun, pertanyaan berikutnya adalah “apa selanjutnya?” Pertanyaan ini jarang didiskusikan secara mendalam. Setelah kita mengetahui tentang, misal, aspek metafisika dari suatu istana di pedalaman pulau Jawa atau tari tradisional dari satu budaya di nusantara, apa yang harusnya kita kerjakan?

Kita jarang mengevaluasi keabsahan dari runtutan argumentasinya dan membawanya untuk relevan. Apakah ia dapat menyelesaikan masalah filsafat kontemporer? Apakah ia dapat memberikan inspirasi baru di badan pengetahuan filsafat? Sebaliknya, kita lebih suka berbicara relevansi praktis untuk masalah lokal Indonesia, misal apakah “aspek metafisika kebudayaan x” relevan secara praktis dengan masalah pendidikan di Indonesia.

Saya melihat cara yang terakhir sedikit salah arah meskipun lazim. Merelevansikan suatu ide filosofis dengan masalah praktis tanpa suatu eksperimen sosial yang ketat lebih merupakan deduksi simplisitik atas hubungan ide dan realitas. Untuk membuat klaim seperti itu absah kita perlu melakukan eksperimen empiris, sejauh apa ia relevan secara praktis. Namun, jika kita melakukannya, tentu saja secara umum kita sudah meninggalkan filsafat sebagai kajian utama. Sebagaimana penelitian berjudul “metode m sebagai jalan keluar mengatasi kemacetan,” penelitian berjudul “filsafat budaya b dan relevansinya untuk tata kota” sudah seharusnya adalah penelitian eksperimen sosial.

Namun, anggap kita tidak masuk pada perangkap menjadi relevan secara praktis dan fokus mengevaluasi keabsahan dan runtutan argumentasi nilai-nilai filsafat yang tersembunyi dari objek budaya, sebagaimana saya katakan harus dilakukan. Saya cukup skeptis dengan kebernilaiannya secara filosofis. Alasannya cukup sederhana. Filsafat kontemporer sudah sedemikian maju, dibangun dengan lingkungan yang sangat mendukung percepatan ide, baik yang konstruktif maupun dekonstruktif, dengan kompetisi yang tinggi secara internasional, sehingga sulit dibayangkan kontribusi macam apa yang akan diberikan filsafat tersembunyi pada perkembangan tubuh pengetahuan filsafat agar ia bernilai (kata tersembunyi sangat penting dalam konteks ini karena ia seakan-akan berlaku sebagai penunjuk mengapa kita suka mencari filsafat Indonesia).

Dengan mengatakan bahwa ia sulit bernilai, saya tidak mengatakan bahwa hal tersebut tidak memiliki nilai sama sekali. Filsafat di atas esensial untuk mengetahui identitas kita sebagai bangsa, memahami cara berpikir para pendahulu kita, dan, akhirnya, mengevaluasi keadaan kita sebagai komunitas secara lebih tepat dan progresif. Bahkan di satu titik, ia mungkin dapat menjadi sumber inspirasi filosofis, atau berguna untuk menyelesaikan masalah praktis. Hal yang saya ragukan adalah kemungkinan besarnya untuk menjawab pertanyaan “apa selanjutnya?” “apa yang relevan secara filosofis, dan bukan praktis?” Ia, karenanya, mungkin hanya berakhir menjadi artefak filsafat: suatu filsafat yang patut diberikan penghargaan, tetapi terlalu primitif sehingga tidak begitu berguna secara filosofis dalam artian sekarang. Dengan alasan yang sama, saya juga skeptis dengan teks atau kitab yang kita anggap filosofis, argumentatif, atau mendekati itu, seperti puisi, syair, cerita, atau refleksi.

Namun, secara epistemologis, saya lebih memilih untuk membiarkan skeptisisme saya sebagai pertanyaan terbuka yang perlu dikonfirmasi. Lain dari itu, setelah melihat masalah di atas, saya ingin merekomendasikan bahwa kita, sebagai komunitas filsafat, sepertinya perlu melihat alternatif lain untuk membicarakan filsafat Indonesia. Alternatif ini mungkin cukup memalukan untuk dieksplisitkan karena kesederhanaan dan kejelasannya, dan karena alternatif ini adalah cara yang memungkinkan adanya filsafat Yunani, Jerman, Inggris, dan lainnya. Daripada mencari filsafat Indonesia, sudah saatnya kita membangun filsafat Indonesia dengan cara berkontribusi di perdebatan filsafat kontemporer dan menyelesaikan masalah filsafat di dalamnya.

Masalah filsafat apa pun tidak jadi soal. Di metafisika, kita bisa berkontribusi untuk menjawab, misalnya, karakter dari pendasaran, dan di filsafat ilmu, kita juga bisa berkontribusi untuk menjawab sejauh apa pergantian paradigma keilmuan berhubungan dengan kebenaran, atau masalah pluralisme epistemologis. Poinnya adalah saat kita membicarakan filsafat Indonesia kita tidak harus mencari filsuf yang lahir di Indonesia pada masa lalu dan berpikir bahwa jika kita tidak mengikuti mereka, misal dengan membahas tentang rasa atau mikrokosmos-makrokosmos, kita bukan atau tidak mengerjakan filsafat Indonesia. Sebaliknya, standar kita minimal; kita hanya perlu menjawab persoalan filsafat dengan cara apa pun, bahkan meskipun kita terlihat kebarat-baratan atau kearab-araban.

Lebih spesifik, saya ingin menegaskan bahwa kecenderungan mendefinisikan filsafat secara geografis dan esensialis itu cukup destruktif. Filsafat geografis, seperti filsafat Indonesia, Jerman, dan, yang paling terkenal, kontinental dan anglo-amerika, mungkin hanya berguna secara pedagogis. Penekanan pada kesatuan karakter dari berbagai macam filsuf di satu batasan geografis itu cukup lugu dan tidak sensitif terhadap perubahan dan variasi yang mungkin muncul. Terlebih, tanpa moderasi yang ketat, pandangan bahwa, misal, filsafat Jerman bersifat idealistik, bisa menyesatkan saat kita membaca filsuf yang kurang idealistik yang juga dari Jerman, seperti Habermas.

Memang sudah saatnya kita membuang distingsi geografis tersebut kecuali memahaminya secara pragmatis dan pedagogis sebagai kumpulan individu di geografi tersebut yang melakukan kerja-kerja filsafat. Selain itu, kita cenderung melihat filsafat secara geografis karena orang-orang di dalamnya yang memecahkan masalah filsafat secara individual dan bukan sejauh mana ia merasionalisasi kebudayaannya.Karena itu, saya tidak melihat kerugian untuk juga mengaplikasikannya di konteks Indonesia dan melihat hasil yang lebih signifikan secara penamaan.

Sebagai contoh, kita tidak pernah mengatribusikan filsafat Jerman karena, misal, Immanuel Kant melakukan analisis budaya terhadap suatu tarian di Jerman dan mencari filsafat yang tersembunyi di dalamnya. Kita juga tidak mengatribusikan filsuf-filsuf Jerman pada orang-orang yang mengeksplisitasikan nilai-nilai filsafat dari mitos-mitos bangsa Jerman. Kita mengatribusikan filsafat Jerman karena, sebagai contoh, terdapat orang-orang Jerman seperti Immanuel Kant dan Johann Gottlieb Fichte yang menjawab masalah kontemporer di zamannya tentang objektivitas dan prinsip identitas.

Sayangnya, definisi di atas masih jarang dilakukan oleh filsuf-filsuf di Indonesia. Pemikir-pemikir Indonesia nyaris tidak pernah dipertimbangkan dalam debat kontemporer di hampir semua topik filsafat. Ada kemungkinan bias, masalah administrasi, dan rasisme, tetapi sulit untuk dipercaya bahwa itu adalah alasan utamanya. Saya lebih percaya kita belum terlalu sering mencoba dan benar-benar berkontribusi di filsafat kontemporer.

Kita bisa melupakan rekomendasi ini, menganggapnya naif dan kebarat-baratan, dan kembali berfokus menginventarisir nilai-nilai filsafat di objek budaya yang bertempat di batas-batas geografis Indonesia sebagai filsafat Indonesia. Saya ingin menegaskan sekali lagi, pilihan tersebut tentu boleh dan ia sangat bernilai dalam artian kebudayaan. Namun, tanpa membuatnya relevan di filsafat kontemporer, yang sangat mungkin akan susah dengan pertimbangan yang dibahas di atas (apresiasi untuk peneliti yang mampu melakukannya dan tentu saja untuk kebudayaannya sendiri jika mampu), kita mungkin hanya berakhir mengumpulkan artefak filsafat yang jarang bernilai untuk debat filsafat kontemporer.

Untuk mengurangi risiko tersebut, kita bisa langsung membuat diri kita relevan dengan bertanya “problem filsafat apa yang bisa kuselesaikan?” dan kemudian mengeksekusinya. Cara ini membuat kita tidak hanya langsung memiliki filsafat Indonesia karena kita akan memiliki filsuf Indonesia (hal sebaliknya sering terjadi di cara yang pertama; kadang kita masih ragu, “apakah ini filsafat?”), tetapi juga membuat filsafat Indonesia relevan dengan risiko yang lebih rendah. Apa yang kita harapkan dari filsafat Indonesia dalam artian filosofis jika ia tidak menyelesaikan masalah filsafat kontemporer? Saya melihat rekomendasi yang terakhir sangat menarik dan mengajak teman-teman mencoba melakukannya: membangun filsafat Indonesia. Silakan mencari, tapi coba juga pikirkan untuk membangun.  

*Saya berterima kasih pada Sosiawan Permadi, Ainu Syaja, dan Inna Safa atas masukan untuk draf awal.

Bacaan Lainnya