Tulisan ini mungkin sebuah tafsir dan permenungan, yang terlambat. Tulisan ini, menukil perkataan Hegel di bagian akhir kata pembuka Philosophy of Rights, sebagaimana burung hantu Minerva yang mulai mengepak sayap persis ketika bayang-bayang malam berhimpun dan hari menjelang gelap.
Terlambat, karena diskusi tentang “Filsafat (di) Indonesia” sudah terjadi sekitar tiga tahun yang lalu. Kita dapat menyebut beberapa nama yang masuk ke gelanggang perdebatan[1]: Banin D. Sukmono, Fitriadi. K., Rangga Kala Mahaswa, Al Nino Utomo, dan M.Q. Ahnaf. Namun, di hari Jumat (1/11/2024) siang yang gerimis saya membaca satu esai karya Faris Ahmad Toyyib, berjudul “Sebelum Filsafat Indonesia“. Saya membaca tulisan Toyyib itu tak sampai sepuluh menit, ringan dan begitu baik secara bentuk. Setelah selesai membacanya, isi tulisan itu ternyata tak memuaskan. Singkatnya, tulisan itu baik secara bentuk, tapi gagal total dalam isi. Oleh karena itu, saya ingin memberi beberapa catatan yang mungkin agak keras. Karena tak begitu memuaskan, risalah singkat itu hanya berhasil sebagai pembangkit memori, setidaknya bagi saya, tentang perdebatan filsafat (di) Indonesia—tak kurang, tak lebih.
Namun, bukan hanya membangkitkan ingatan ke masa-masa perdebatan tiga tahun lalu di kanal Antinomi itu, bahkan membangkitkan ingatan saya tentang Simposium Internasional Filsafat Indonesia yang diinisiasi oleh STF Driyarkara satu dekade silam, persisnya pada tahun 2014. Simposium di Jakarta itu berusaha mencari apakah benar filsafat Indonesia itu ada; dan, jika ada, benar-benar bisa dirumuskan. Dari tulisan Toyyib tersebut, akhirnya, saya membaca ulang perdebatan di Antinomi dan hasil Simposium Internasional Filsafat di Jakarta pada tahun 2014.
Esai ini terdiri dari dua pembahasan yang mungkin tak saling berkaitan: kritik atas risalah “Sebelum Filsafat Indonesia” di satu sisi; dan, permenungan tentang filsafat Indonesia di sisi lain. Karena dari esai Toyyib itu, saya jadi terpantik menulis dan meneroka, katakanlah semacam kerja-kerja morfologis, filsafat Indonesia. Saya berusaha meneroka beberapa hal dan sampai pada permenungan yang saya tuangkan dalam artikel ini.
Surat untuk Faris Ahmad Toyyib: Perihal Sebelum Filsafat Indonesia dan Beberapa Kegagalan
Pertama-tama, saya membaca tulisan Bung (Toyyib) dan menemukan sebentuk kegagalan dalam membangun argumentasi. Esai itu pada mulanya menggugah dan dibuka dengan sebuah pertanyaan “Adakah filsafat Indonesia?” Sialnya, Bung justru membuka sesuatu yang tak akan pernah dibahas: “…persoalan ini (baca: adakah filsafat Indonesia—pen) tidak akan menjadi perhatian.” Sebaliknya, Bung akan membahas suatu jagat sebelum filsafat; katakanlah, kehidupan seorang filsuf: “Jam empat sore lewat, para buruh pulang dengan tubuh lemas, perut keroncongan, dan suasana hati muram. Pertanyaannya, siapa yang menyiapkan tempat tidur atau sofa yang bersih, makanan bergizi seimbang, dan menampung keluh kesah mereka agar besok bisa kembali bekerja lagi?” Bung menjawab istri atau pembantu rumah tangga.
Bung menganggap bahwa, rata-rata, perempuanlah yang mengerjakan kerja-kerja reproduksi; dan pada akhirnya, perempuan menjadi titik penyangga seorang laki-laki agar bisa terus produktif. Oleh karena itu, simpul Bung, “…kapitalisme mengeksploitasi perempuan berkali-kali lipat… Ini seharusnya menjadi alasan untuk aktivis feminis berada di satu garis perlawanan yang sama dengan kaum kiri. Ini pula harusnya menjadi alasan bagi pegiat filsafat dan filsuf kita untuk tidak anti-komunisme dan anti-Marxisme.”
Bung Toyyib yang baik, jujur, bangunan argumentasi Anda rapuh dan melompat-lompat seperti tupai kelaparan di atas ranting yang letih. Bukankah tak semua pekerja punya istri, dan jika pun punya, tak semua perempuan menjalani kerja-kerja domestik. Hal yang sebaliknya, yakni laki-laki yang mengerjakan tugas-tugas domestik, juga sangat mungkin terjadi. Atau, antara laki-laki dan perempuan sama-sama menjadi buruh dan seimbang dalam pembagian tugas domestik. Bung Toyyib, saya kira semua orang dieksploitasi, baik laki-laki maupun perempuan, oleh kapitalisme dengan sama-sama buruknya. Anda terjerembab pada pembagian gender yang tegas, tetapi sialnya Anda rumpang sekali dalam membangun argumentasi. Misalnya, Anda mengatakan hal ini: “…karena rata-rata subjek yang mengisi kerja reproduksi adalah perempuan, maka di titik inilah kapitalisme mengeksploitasi perempuan berkali-kali lipat ketimbang buruh yang bekerja di hadapan mereka.” Bung Toyyib yang baik, dalam kerja-kerja reproduksi, kerja-kerja domestik, perempuan tak dihisap oleh kapitalisme, melainkan oleh kenyataan patriarkal. Itu relasi androsentris, dan kaitannya dengan kapitalisme—bukan berarti tidak ada—begitu jauh. Jika Anda mengatakan kapitalisme berpengaruh besar terhadap budaya patriarki dan perempuan begitu dieksploitasi, juga disertai argumentasi yang utuh, saya mungkin bisa sepakat dan tak akan ada komentar.
Bung Toyyib, sial sekali, di titik ini Anda begitu reduktif dan simplistis dalam melihat kenyataan. Dan, pandangan reduktif itu justru Bung jadikan dasar dalam menulis—nahasnya, risalah filsafat! Ditambah—seperti yang telah saya nukil sebelumnya—Bung membawa-bawa marxisme dan menyarankan, karena merasa seluruh anggota keluarga filsuf dihisap oleh kapitalisme, agar “…filsuf kita untuk tidak anti-komunisme dan anti-Marxisme.” Pertanyaannya, dari aktivitas sehari-hari itu, apakah memang benar membuat filsuf kita anti komunisme, anti Marxisme?
Dengan menyarankan bahwa filsuf kita agar tidak anti pada marxisme karena alasan telah dihisap oleh kapitalisme, hal semacam ini, taklayak diucapkan oleh mahasiswa magister filsafat. Semua orang tahu itu, terutama filsuf. Sekali lagi, filsuf sudah tahu itu semua, Bung. Ditambah lagi, siapa yang bisa lolos dari gigantisme filsafat Marx? Baiklah, saya akan mengambil beberapa contoh filsuf Indonesia—dalam artinya yang tidak ketat—seperti Franz Magnis Suseno, Setyo Wibowo, Haryatmoko, Karlina Supelli, F. Budi Herdiman, Martin Suryajaya, Muhammad Al-Fayyadl, Hizkia Yosie Polimpung, Goenawan Mohamad, daftar ini bisa diperpanjang, siapa yang tak membahas Marx? Tidak ada! Bahkan para filsuf liberal sekalipun tak bisa lepas dari pemikiran Marx yang raksasa itu. Jadi, Anda tak perlu mengingatkan para filsuf, sekali lagi filsuf, agar mereka tidak anti-marxisme (baca: dalam arti tidak membacanya), entah karena mereka bekerja atau menjadi seorang perempuan. Perkataan Anda itu seharusnya diucapkan kepada seorang pelajar yang baru masuk di Sekolah Menengah Pertama dan baru pertama kali membaca filsafat (politik). Bung Toyyib yang baik, Anda berargumen mana-suka, juga terlalu pede dalam menulis sebuah risalah (filsafat!).
Izinkan saya mengutip satu paragraf utuh yang Bung tulis begitu serampangan:
Dari perkataan Anda ini, Bung Toyyib, saya teringat dua teman saya yang sedang mengajar di Fakultas Filsafat UGM tempat Anda belajar itu. Keduanya banyak jadwal mengajar dan produktif sekali menghasilkan jurnal-jurnal yang terbit dalam bahasa asing. Baiklah, apakah itu semua berkat istri mereka yang menyediakan segala kebutuhan dasar di rumah? Apakah para suami itu hanya menganggap dan memperlakukan istri mereka sebanal itu? Paragraf Anda itu sarat akan generalisasi dan main tebang. Juga, sangat intimidatif. Kedua sahabat saya itu tampak patriarki sekali di hadapan paragraf Anda dan tampak sebagai lelaki yang tinggal ongkang-ongkang kaki di atas teras rumah sembari membaca Sein un Zeit-nya Martin Heidegger setelah pulang mengajar dari Bulak Sumur. Sebagai orang yang cukup akrab, keduanya jauh dari apa yang Bung tulis di paragraf ugal-ugalan di atas. Banyak di antara mereka juga, saya yakin, membagi-bagi tugas sama adilnya. Siapa sebenarnya yang Anda rujuk? Paragraf itu terasa sekali sentimen dan sangat tak perlu dalam sebuah risalah (filsafat!). Bung Toyyib, paragraf Anda ini, maaf saya harus mengatakannya, buruk sekali.
Persis di paragraf berikutnya juga sama buruknya, Bung. Saya kutip juga secara utuh:
Bung Toyyib yang baik, apakah dengan menikah Anda akan menalak filsafat sampai matahari yang tampak di kaki langit itu jadi bintang katai putih? Juga, apakah bekerja akan mengubur filsafat selama-lamanya ke alam kematian? Ya ampun, Bung Toyyib, asumsi ini juga ugal-ugalan dan ngawur. Jika Anda tak bisa membagi waktu dan tak memprioritaskan filsafat, bahkan Anda lajang sampai matahari jadi katai putih, filsafat juga tak akan pernah hidup. Dua puluh empat jam itu panjang sekali, waktu yang sia-sia menjadikan dua puluh empat jam itu pendek sekali. Bung Toyyib yang baik, anggaplah Anda menikah, lima jam penuh (dua jam di pagi hari dan tiga jam sebelum tidur) entah membaca atau menulis filsafat, bagi saya, sudah baik sekali. Derrida misalnya, jika Anda sudah sempat menonton film dokumenternya itu, ia tak membuka harinya dengan membaca dan meruntuhkan segala bangunan konsep filsafat Barat, melainkan ia membuat sarapan dan mencium Marguerite Aucouturier, istrinya, lalu berangkat mengajar ke Ecole Normale Superieure. Dengan menjadi filsuf, tak meniscayakan 16 jam harus tugur di depan buku. Kehidupan para filsuf juga normal, seperti yang sudah-sudah. Kita tak perlu memistifikasi dan menganggap filsafat ada segala-galanya.
Sebenarnya saya tak ingin mengutip dan mengkritik dua paragraf yang buruk itu karena terlalu kental dengan sentimentalisme pribadi dan intimidasi. Sentimen Bung membuat saya dongkol dan intimidasi membuat saya gelo, karena argumentasi yang kental dengan sentimen dan intimidasi Bung itu dibangun dengan cara yang ngawur—berbeda dengan Nietzsche yang membangun filsafatnya melalui sentimen, sinisme, dan intimidasi dengan dasar yang kokoh.
Nahasnya, Bung mempertahankan asumsi ngawur sampai ke ujung teks (silakan baca sendiri esai Sebelum Filsafat). Saya terheran-heran mengapa Anda menulis dengan asumsi yang ugal-ugalan dan paradoks semacam itu. Saya tak akan mengutip secara utuh, silakan baca ulang dua paragraf terakhir Bung. Konsekuensi dari dua paragraf penutup itu sebagai berikut: apakah Anda ingin mengatakan bahwa seorang istri harus di rumah dengan segala kerja domestik dan harus patuh pada suami? Anda tentu menolak, karena itu sangat patriarki. Perempuan bekerja di luar rumah? Anda anggap eksploitasi ganda. Ampun, Bung Toyyib, Anda terombang-ambing di tengah kengawuran cara berpikir Bung sendiri. Saya ambil satu pengertian yang semoga membuat Bung sadar: bagaimana jika perempuan bekerja ingin mengaktualisasi diri dan berhak menentukan takdir dirinya sendiri? Pekerjaan adalah wahana ekspresi dan aktualisasi diri—ingat, Marx tak menajiskan konsep kerja!—bagi seorang perempuan, sama seperti laki-laki.
Sialnya, di sisi lain, Bung menjelaskan contoh pekerjaan yang sempit sekali cakupannya, perempuan yang membuka jasa penatu, pesanan kue, dsb,. Apakah perempuan bekerja hanya sesempit itu? Tak layakkah perempuan bekerja setara dan menempati jabatan yang sama layaknya dengan laki-laki? Dan, di sisi lain, apakah laki-laki haram membuka penatu dan pesanan kue? Dari tulisan itu, Bung terjerembab pada satu hal yang begitu fatal: alih-alih ingin menaikkan derajat perempuan, Anda justru melakukan persis kebalikannya.
Di akhir paragraf, setelah melalui kelokan argumentasi yang ngawur, Bung mengatakan bahwa sebelum merajut atau membangun filsafat Indonesia, yang diperlukan adalah membangun gerakan reproduksi-produksi. Intinya, Bung hanya ingin mengatakan hal remeh ini: “Makan dulu, kaya dulu, berfilsafat kemudian!” Sah-sah saja saya mengambil kesimpulan ini, karena, Bung menukil dan memberi contoh bahwa rata-rata filsuf adalah orang kaya. Dan, karena mereka kaya, mereka berfilsafat. Toh, Anda juga pada akhirnya mengutip Marx yang sedang kelaparan ketika menulis Grundrisse. Bahwa lapar juga membuat orang berfilsafat. Lalu apa yang bisa kita tangkap dari tulisan Anda yang paradoksal semacam itu? Jika lapar, makanlah, dan tak perlu mengkambinghitamkan lapar dan kecemasan pada masa depan untuk mematikan hasrat berfilsafat. Kekayaan dan kelanggengan hidup, setidaknya bagi saya, hanya faktor permukaan yang tak bisa dijadikan dasar argumentasi bagi buruknya iklim filsafat di Indonesia. Jadi, Bung Toyyib, tak selamanya hidup yang langgeng memoncerkan konstruksi argumentasi filsafat. Justru saya berpendapat sebaliknya, dalam krisis, dalam kondisi yang serba sulit dan taktertib, filsafat bangkit dalam bentuknya yang paling anggun. Saya memiliki satu keyakinan—bahkan sebuah kredo (?)—bahwa “krisis” adalah elan vital dan sebuah ancang-ancang membangun diskursus yang filosofis. Kelanggengan, stagnasi, juga hidup yang monoton, pada akhirnya mengantarkan kita pada resiko besar jatuh ke jurang dogmatisme, hal ini justru membunuh filsafat dari dalam.
Namun, Bung Toyyib, sebagai keberanian berpikir sendiri, saya rasa Anda sudah selangkah lebih maju dibanding orang-orang yang sekadar menukil petuah filsafat, apalagi ditambah tulisannya buruk secara bentuk. Benar, tak terpahami bukan karena konsepnya yang rumit, tapi karena bentuk penyampaiannya yang tak memenuhi syarat sintaksis dalam bentuknya yang paling dasar. Untuk hal ini, bagi saya, Anda sudah melampaui bentuk tulisan—sekali lagi bentuk tulisan bukan isi—yang buruk.
Baiklah, Bung Toyyib, barangkali cukup di sini kritik untuk tulisan Anda yang bagus secara bentuk, tapi kosong melompong secara isi itu. Terima kasih, karena risalah singkat Bung itu, saya jadi terpantik menulis permenungan yang sudah lama ingin saya tulis. Benar, saya akan menyampaikan beberapa permenungan, dan Bung juga sama sahnya mengkritik jika tak puas dengan argumentasi saya, tentang filsafat Indonesia, di bawah ini.
Filsafat Indonesia: Sekelumit Permenungan
Saya ingin memulai dari Simposium Internasional Filsafat Indonesia yang diselenggarakan oleh Kemendikbud, Museum Rekor Indonesia (MURI), dan STF Driyarkara pada tahun 2014. Hasil simposium itu dapat kita baca dalam empat buku: Manusia dan Budaya, Filsafat Hukum dan Politik, Kebijaksanaan Lokal, dan Pelangi Nusantara. Empat buku tersebut adalah hasil diskusi dua hari untuk merumuskan dan mencari sebuah sosok yang bernama filsafat Indonesia. Dan, menukil perkataan Karlina Supelli, “Indonesia sebagai bangsa hendaknya menjadi dasar dan titik berangkat filsafat Indonesia tanpa perlu terperangkap dalam pergulatan mencari yang asli Indonesia.”[2] Dari perkataan Karlina Supelli ini, kita dapat mengambil titik tolak dan ancang-ancang untuk membahas apa yang disebut filsafat Indonesia.
Dengan demikian, simposium besar tersebut bertitik tolak dari andaian kebangsaan. Dari andaian yang seperti itu, Simposium Internasional Filsafat Indonesia terjerembab pada tema-tema yang khas “nusantara” (saya menggunakan tanda petik): kebudayaan, manusia Indonesia, prasejarah (Indonesia pramodern), biografi dan pemikiran tokoh, makna di sebalik simbol budaya, dst,. Juga, andaian itu berujung pada jalan buntu dengan dinding besi tebal di ujung lorong. Persis seperti yang dikatakan Karlina Supelli: “Sesudah berdiskusi dan berdebat selama dua hari, Simposium ditutup dengan usulan yang lebih longgar: Filsafat di Indonesia.”[3]
Untuk hal ini, kita dapat memberi sebuah catatan.
Pertama-tama, Supelli memberi pesan yang cukup tegas, bahwa kita tak perlu “…terperangkap dalam pergulatan mencari yang asli Indonesia.” Di sini kita bisa bersepakat, bahwa usaha mencari yang asali, yang khas, yang otentik, dari alam pikir Indonesia memang kerja-kerja mubazir—juga mustahil. Di sisi lain, pencarian ke dalam inti yang asali itu betul sia-sia karena juga akan menumbangkan seluruh bangunan alam pikir, katakanlah filsafat yang sudah berbentuk karya, yang begitu jamak.
Titik tolak kebudayaan dan andaian kebangsaan juga punya konsekuensi: filsafat hanya menjadi sebuah instrumen untuk merumuskan makna-makna di sebalik simbol budaya dan sekadar menyajikan biografi literer seorang tokoh tertentu—hal ini begitu tampak dalam hasil simposium yang terbit dalam empat buku itu. Bagi saya, buku tersebut bukan karya permenungan filosofis dalam artinya yang ketat, kita cukup mengatakannya sebagai buku tentang “ilmu filsafat.”
Oleh karena itu, di sini saya ingin membagi perihal dua buku tentang filsafat: buku ilmu filsafat dan buku filsafat. Buku yang berisi ilmu filsafat adalah buku yang mengulas pemikiran filsafat tertentu, biografi filsuf tertentu, dan sejarah filsafat tertentu. Sedangkan buku filsafat adalah buku hasil dari permenungan panjang seorang pemikir dalam menghasilkan sebuah terobosan konseptual yang ketat dan rigor secara filosofis. Buku filsafat adalah kerja-kerja, katakanlah, proses internalisasi dan refleksi panjang dalam merumuskan sebuah konsep filsafat. Ia tak sekadar menukil atau menjelaskan apa yang dimaksud konsep x, y, z, melainkan mengkritik, merefleksikan, dan mereorientasi himpunan bacaan yang begitu luas; lalu, menawarkan sebuah tawaran konsep filosofis yang baru dan khas. Singkatnya, sebuah momen kedalaman berpikir, pengetahuan filsafat yang luas, dan berani menawarkan sesuatu yang baru dalam sebentuk karya. Sama seperti penelitian di bidang lain, aktivitas berfilsafat merupakan usaha melaksanakan kerja-kerja invensi, penemuan yang “baharu” (di sini saya harus menggunakan tanda petik). Dua tipologi di atas masih sangat mungkin untuk didiskusikan dan dirigorkan, sampai membentuk, misalnya, sebuah karakter dan diktat bagaimana sebuah buku dapat dikatakan buku filsafat. Namun yang pasti, mengikuti dua tipologi sederhana di atas, dengan demikian, empat buku hasil simposium yang terbit itu hanyalah sebuah buku tentang ilmu filsafat.
Ilham menulis sebuah buku filsafat tidak dapat dibatasi oleh apa pun. Permenungan filsafat bisa muncul dari sebuah hasil penemuan budaya, politik, hukum, sosiologi, ekologi, sastra, bahkan dari faktum keseharian kita—seperti filsafat Heidegger, misalnya. Dengan demikian, merumuskan sebuah sosok filsafat Indonesia yang semata-mata bertitik tolak dari andaian kebudayaan dan kebangsaan, hanya mempersempit khazanah kita dalam membangun sebuah argumentasi filsafat. Pembatasan tersebut juga sama-sama mubazirnya, karena kita bisa mengambil ilham yang bukan hanya dari andaian kebangsaan tertentu. Kita sah mengambil ilham, misalnya, dari Sisifus dalam karya Homer; Oedipus Rex dalam Sophocles; mitos dewa Apollo dan Dionysus; dan daftar ini bisa diperpanjang. Saya hanya ingin mengatakan, meminjam pembukaan Surat Kepercayaan Gelanggang, tentang satu hal: “Kita adalah pewaris sah dari kebudayaan dunia…”
Bagi saya sendiri, sejauh pembacaan atas empat buku hasil simposium tersbut, pada akhirnya sampai pada permenungan bahwa pertama-tama, filsafat Indonesia harus dibangun oleh aktus berfilsafat, kerja-kerja menulis “buku filsafat.” Bukan nostalgia pada sejarah, pada budaya, dan imajinasi kebangsaan. Bukankah, dari penalaran di atas, simposium tersebut hanyalah sebuah usaha menjawab dengan tepat sebuah pertanyaan yang keliru? Bagi saya, simposium raksasa di Jakarta itu hanyalah mencari kucing hitam di sebuah ruangan gelap yang kucingnya tugur di luar jendela. Sebuah usaha yang sia-sia karena titik tolak andaian filsafat yang kurang tepat; dan, walhasil, bertemu jalan buntu.
Benar, setelah merenung, saya menyadari bahwa filsafat Indonesia hanya dapat dikerjakan dengan menulis buku filsafat. Oleh karena itu, kita tidak dapat merumuskan filsafat Indonesia melalui pencarian karakter yang khas dari alam pikir masyarakat Indonesia. Bagi saya, kita harus mencoret nama Indonesia dan yang tersisa hanyalah filsafat semata. Justru ketika andaian Indonesia dicoret, dan yang tersisa hanya berfilsafat, persis di situ filsafat Indonesia jadi mungkin. Sebuah usaha pewaris sah dari kebudayaan dunia yang tak terkungkung imajinasi kebangsaan tertentu.Artinya, filsafat Indonesia hanyalah deretan nama-nama orang yang berfilsafat, atau sederet filsuf di Indonesia yang berfilsafat melalui bahasa Indonesia atau bahasa asing; dan vice versa, orang asing yang berfilsafat melalui bahasa dan segala semesta keindonesiaan. Sebatas itu, tak kurang, tak lebih. Sekali lagi, filsafat hanyalah sederet nama-nama filsuf dengan segenap tawaran diskursus filosofis.
Misalnya dalam filsafat Prancis, kita hanya bisa menyusun sederet nama-nama filsuf, tawaran diskursus, dan sejarah literer filsafat beserta patahan konsepsinya (siasat bibliografi)—dan berlaku pula untuk filsafat Jerman, filsafat Inggris, dst. Perumusan filsafat Prancis itu justru dibentuk persis ketika sudah ada karya filsafat, bukan sebaliknya. Filsafat bukan aktivitas, misalnya, mengorek-ngorek simbol kebudayaan, lalu berfilsafat dari makna di sebalik simbol budaya itu. Maka, yang kita hasilkan hanyalah meminjam suatu teori filsafat tertentu—sebuah kerja-kerja penukilan—dalam melihat makna di sebalik simbol. Lantas, di titik ini, apa bedanya seorang filsuf dengan seorang antropolog?Filsafat (Indonesia) tak bisa berangkat dari titik tolak ilham kebudayaan, karena filsafat, dalam struktur internalnya, tak dibatasi pada sebuah model kebudayaan tertentu; filsafat selalu merobohkan dinding-dinding batas sumber ilham yang sempit.
Dengan demikian, saya bertitik tolak bahwa pelacakan filsafat Indonesia berangkat dari hasil kekaryaan, bentuk tertulis. Lantas bagaimana dengan tradisi lisan dan segenap ritus kebudayaan? Saya menawarkan bahwa tradisi lisan dalam ritus kebudayaan Indonesia, yang sifatnya dogmatik itu, tak bisa disebut filsafat, cukuplah disebut sebagai falsafah, kearifan.
Lantas, melalui dua tipologi sederhana yang kita sebut sebelumnya, adakah buku filsafat di Indonesia sebagai model awal merumuskan apa yang disebut filsafat Indonesia? Tentu ada, tapi seperti usaha menemukan oase di tengah gurun yang monoton. Di sini saya mencoba untuk membagi dalam urutan kronologis dan berusaha—meski tak begitu rigor—membuka gerbang awal untuk melacak buku-buku filsafat di setiap urutan kronologis tersebut.
Pertama, filsafat Indonesia pra kemerdekaan dan periode kolonialisme. Kedua, filsafat Indonesia di tengah gejolak revolusi dan usaha kemerdekaan. Ketiga, filsafat Indonesia pasca kemerdekaan. Keempat, filsafat Indonesia di tengah krisis dan otoritarian. Kelima, filsafat Indonesia pasca orde baru. Keenam, filsafat Indonesia mutakhir. Kluster pembagian kronologis ini sebenarnya rancu, karena hanya bergantung pada kondisi “di luar filsafat,” yakni pada kondisi politik. Namun, itu satu-satunya cara karena tradisi filsafat di Indonesia tak punya sejarah literer yang kuat. Misalnya, kita tidak bisa melakukan sejarah keterpengaruhan konseptual filsuf Indonesia dengan ketat, seperti kita menyigi sejarah keterpengaruhan filsuf-filsuf Barat yang tradisinya bisa dilacak hingga ke era Yunani Kuno. Kita hanya bisa menerka-nerka buku filsafat apa yang ditulis dari kondisi zaman yang bermacam-macam itu.
Di tulisan ini saya hanya ingin menawarkan kluster kronologis, bukan mendata entri buku filsafat yang pernah terbit di masing-masing era. Singkatnya, saya hanya ingin membuka sebuah jalan. Perlu adanya pelacakan lebih lanjut dengan data yang lebih luas dari entri penerbitan buku filsafat di setiap era—tentu saja, pendataan buku harus melalui kategori khusus, yakni kategori bagaimana sebuah buku dikatakan buku filsafat. Dan, ketika kerja-kerja pengklusteran itu dilakukan, dari situ kita dapat menyarikan atau membuat sebuah “buku sejarah filsafat”—bukan “buku filsafat.” Singkatnya, kita harus mencari “buku filsafat” (seperti tipologi yang sudah saya singgung) di setiap era, lalu menyusun “buku sejarah filsafat.”
Hal yang perlu diberi titik tekan, semoga penjelasan ini terpahami, buku filsafat dalam dirinya sendiri adalah permenungan filosofis yang mendalam seorang filsuf dan tak sekadar kerja penukilan. Dan, kemudian buku filsafat itu dijadikan objek diskursus, dikritik, dan, jika beruntung, kita mendapatkan ilham untuk menyusun buku filsafat diri kita sendiri. Dari situ, kita baru bisa membangun apa yang dapat kita sebut filsafat Indonesia. Bisa kita singgung, misalnya,beberapa buku filsafat Indonesia mutakhir (di luar esai filsafat): Imanensi dan Transendensi karya Martin Suryajaya, Filsafat Negasi karya Muhammad Al-Fayyadl, Ontoantropologi karya Hizkia Yosias Polimpung, Dunia yang Berlari karya Yasraf Amir Piliang, dan Principia Logica (khususnya dibagian akhir) karya Martin Suryajaya—bahkan, dengan agak berani dan beresiko, saya bisa memasukkan beberapa pemikir di dalam kesusasteraan, seperti Teater Kedua: Antologi Tubuh dan Kata, karya Afrizal Malna.
Demikianlah sekelumit permenungan tentang filsafat Indonesia. Dalam filsafat Indonesia, kita harus bisa mengandaikan bahwa kita adalah warga filsafat dunia dan pewaris sah dari kebudayaan dunia. Sekali lagi, tanpa terjebak pada andaian kebangsaan dan kebudayaan tertentu. Dan, filsafat Indonesia bisa dibentuk, pertama-tama, melalui kerja-kerja berfilsafat, menulis buku filsafat; lalu menyiginya, mengkritiknya.
Postscriptum: Sebelum Filsafat Indonesia
Saya ingin menutup tulisan ini dengan satu postscriptum: refleksi singkat perihal sebelum filsafat Indonesia melalui tilikan sosiologis. Selain itu, saya akan membandingkannya dengan iklim dan ekosistem sastra Indonesia.
Kita sama-sama tahu, karya-karya sastra Indonesia—dan bagus-bagus!—bisa rutin diproduksi dan begitu beragam dalam bentuk atau tema. Hal ini dapat disebabkan oleh beberapa faktor, termasuk sejarah sastra Indonesia (modern) yang sudah merentang cukup lama. Selain sejarah yang panjang itu, secara lembaga dan diskursus sastra Indonesia begitu hidup. Adapun ekosistem yang saya maksud di sini adalah proses dari hulu ke hilir lengkap dengan sistem lembaga dan pendanaan.
Pertama, dari hulu kita bisa sebut, misalnya, gencarnya sayembara kesusastraan. Dampak dari sayembara ini, dengan imbalan hadiah yang juga sangat layak, bisa memantik orang-orang untuk menulis dan menawarkan karya terbaik mereka. Di sisi lain, karena mereka harus menawarkan karya terbaik, mereka mau tak mau harus membaca dengan ketat. Bagaimana di dalam ekosistem filsafat? Anda sudah tahu jawabannya. Mengenaskan. Murung. Jika pun ada sayembara serupa di filsafat Indonesia, esai para finalis hanya berhenti dalam esai dan sebuah terbitan situs web atau antologi—beberapa sayembara, bahkan secara tema tak menarik dan sialnya lagi tak punya visi.
Kedua, dengan demikian, filsafat di Indonesia miskin diskursus. Dalam dunia sastra, ada kritik sastra, ada telaah dekat atau jauh atas sebuah karya sastra. Kritik sastra itu juga bisa dikritik, yang dalam dunia sastra juga dikenal sebagai metakritik. Bukankah ini menandakan diskursus dalam sastra Indonesia begitu hidup dan sehat? Sejauh penglihatan saya, jika mengacu pada iklim sastra, adakah di antara kita yang berusaha melampaui dan mengkritik tesis-tesis, misalnya, Fayyadl dalam Filsafat Negasi? Atau, sekurang-kurangnya, berusaha menjabarkan dengan ketat apa yang hendak disampaikan oleh buku itu. Di dalam filsafat, tradisi “kritik” miskin sekali. Meski demikian, usaha itu bukan berarti tidak ada, misal M.Q. Ahnaf berusaha mengkritik asumsi Principia Logica karya Martin Suryajaya—entah kapan manuskrip dia akan segera terbit. Tradisi kritik dalam filsafat itu mencapai prime eranya di tangan Martin-Fayyadl-Yosie. Selepas itu? Hanya perdebatan filsafat yang suam-suam kuku. Hal yang perlu diingat, menjadi bagian dari warga filsafat dan pewaris sah kebudayaan dunia tak berarti kita harus abai pada filsuf dan alam pikir kita sendiri.
Ketiga, setelah sebuah karya sastra memenangkan sebuah sayembara, maka penerbit akan berusaha saling sikut untuk menerbitkan buku itu. Ia terbit, dikritik, kritik sastra dikritik lagi, dan rantai diskursus jadi hidup. Di filsafat? Adakah penerbit yang siap banting tulang menerbitkan kumpulan antologi filsafat? Ada, bagi mereka yang punya nama. Artinya, basis publikasi kekaryaan di dalam filsafat Indonesia terjebak pada tokoh dan penuh pertimbangan apakah buku itu terserap tidaknya dalam mekanisme pasar. Hal ini adalah bukti bahwa ekosistem filsafat memang benar-benar tak memadai. Saya membayangkan filsafat Indonesia bisa mengadakan sebuah sayembara, lengkap dengan simposium presentasi dan kritik, dan penerbit saling sikut untuk menerbitkan sebuah buku filsafat. Singkatnya, sebuah iklim yang bisa menampung bahwa karya ini memang bagus dan terlepas dari gigantisme ketokohan.
Aktivitas berfilsafat, usaha menulis buku filsafat, harus dibarengi oleh ekosistem yang kuat. Bisa dimulai dengan, misalnya, sebuah sayembara dalam waktu satu tahun penuh untuk menyusun sebuah karya filsafat tanpa dibatasi oleh satu tema yang sempit. Masing-masing dari kita menulis sebuah alam pikir kita sendiri, lalu dikurasi oleh juri yang memang kompeten dalam berfilsafat. Atau, jika dirasa terlalu berat, kita bisa membuat sebuah sayembara yang menyigi tokoh, konsep, atau sejarah filsafat—singkatnya, buku tentang ilmu filsafat. Sah-sah saja, penekanan agar ada sebuah usaha mencapai buku filsafat, tak serta-merta kita menajiskan buku tentang ilmu filsafat. Pekerjaan rumah terbesarnya hanya inisiasi dan sisanya mengelola manajerial, juga diplomasi pendanaan.
Kita hanya perlu berkumpul, menulis lagi, berdiskusi lagi, merancang rencana, mengeksekusi dan memperbaiki sosiologi filsafat yang begitu runyam dan mencong itu. Alih-alih seperti Toyyib yang menilik bobroknya iklim filsafat dari sudut pandang dan gerutuan personal, saya lebih ingin menawarkan itu sebagai problem kolektif.
Umpama sebuah kapal, filsafat Indonesia dipimpin nahkoda gila dengan layar yang compang-camping, juga lambung kapal yang bocor. Waktunya sudah habis. Kita perlu terobosan baru sesegera mungkin. Menepi sebentar di anjungan pelabuhan membenahi kapal yang sedang sekarat. Jika tidak, filsafat Indonesia akan karam dan jadi bangkai.
Catatan Kaki
[1] Esai-esai perdebatan tersebut dapat Anda akses di Antinomi.org.
[2] Karilina Supelli, 2019, Manusia dan Budaya Indonesia, Penerbit Buku Kompas: Jakarta, hal. 53.
[3] Ibid., hal. vii.
Daftar Bacaan
Supelli. Karlina. 2019. Manusia dan Budaya Indonesia. Jakarta: Penerbit Buku Kompas.
Hegel. G.W.F. 2001. Philosophy of Right. Canada: Batoche Books.