Memasak dan Penelitian tentang Memasak

Lulusan filsafat selayaknya tidak hanya ahli dalam mencicipi masakan, namun ia juga harus paham proses memasak karena ia adalah juru masak.

Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Magister Filsafat yang memiliki minat riset dalam bidang logika, metafisika, dan filsafat ilmu. Selain filsafat, juga tertarik dengan ekonomi, investasi, dan trading: telah memantau pergerakan pasar secara otodidak dan kuantitatif-logis sejak 2018.

Taufiqurrahman (2024), yang selanjutnya saya singkat Taufiq, menganalogikan filsuf sebagai juru masak. Mungkin analogi tersebut bisa benar, dan segala problem metodologis dalam filsafat yang dijelaskan oleh Taufiq, terutama filsafat di Indonesia, saya akui kebenarannya dan saya juga mengalaminya pada saat saya menempuh kuliah sarjana dan magister.  Namun, pertanyaan saya adalah apakah lulusan filsafat adalah filsuf? Pertanyaan ini merupakan hal yang pelik apabila direnungkan.

Saya melihat Taufiq (2024) mengaburkan perbedaan antara filsuf dengan peneliti filsafat melalui ajakannya di akhir: “Mari memasak!”; seakan-akan lulusan filsafat, yang merupakan peneliti filsafat, juga harus bisa memasak, harus bisa berfilsafat. Saya sepakat akan hal itu 200% hanya jika pengaburan tersebut merupakan poin penting bagi Taufiq. Di titik ini, saya memiliki posisi bahwa peneliti-lulusan filsafat adalah filsuf, dan calon lulusan filsafat harus dilatih untuk menjadi filsuf-yang-berfilsafat sehingga lulusan filsafat adalah orang-orang yang terlatih dalam berfilsafat-berargumentasi. Namun, saya melihat pengaburan ini menjadi rapuh ketika ditabrakkan dengan konstruksi penelitian yang ditawarkan oleh Taufiq.

Taufiq (2024) membedakan dua macam penelitian filsafat: sejarah filsafat dan problem filsafat. Kemudian ia memperlihatkan hubungan di antara keduanya (Taufiqurrahman, 2024): intinya, sejarawan filsafat menyediakan banyak sumber berharga bagi pekerjaan filsuf/peneliti problem filsafat sehingga sejarah filsafat mengalami perkembangan dan begitu seterusnya. Saya menyangsikan konstruksi penelitian ini. Apabila meneliti perihal problem filsafat juga perlu menilik sejarah filsafat, mengapa harus ada penelitian sejarah filsafat secara terpisah? Mengapa tidak langsung saja sejarah filsafat ini termasuk/tercakup dalam penelitian problem filsafat?

Bagi saya, sumber berharga seorang filsuf adalah pemikiran filsuf lain, dan mereka bersama-sama mengembangkan sejarah filsafat. “Sumber berharga” di sini tidak melulu dalam rangka untuk mengamini pemikiran filsuf, untuk mengkritisi juga perlu sumber. Sejarawan filsafat secara khusus tidak wajib ada, dan kalaupun ada, ia juga filsuf yang meneliti problem filsafat tertentu dari pandangan filsuf-aliran tertentu. Dengan kata lain, ahli-ahli filsuf-aliran tertentu itu bukan orang yang sekadar tahu lebih dalam atau hafal apa saja yang ditulis maupun diungkapkan oleh filsuf-aliran yang diteliti: ahli Plato-Platonisme itu bukan orang yang sekadar tahu lebih dalam atau hafal pemikiran Plato-Platonisme. Melainkan, ahli filsuf-aliran tertentu merupakan orang yang paham pola pikir filsuf-aliran yang diteliti, paham metode filsuf-aliran yang diteliti, dalam berfilsafat-berargumentasi: semisal X adalah seorang ahli Plato-Platonisme, berarti X paham bagaimana Plato-Platonisme berfilsafat dan berargumentasi, sehingga X juga mampu berargumentasi terkait problem-problem lain dalam pola pikir Plato-Platonisme. Pada titik ini, keberadaan penelitian filsafat tentang sejarah filsafat tidak diperlukan secara terpisah, meski mungkin penelitian sejarah tentang sejarah filsafat masih diperlukan: semisal mencari dan menggali teks-teks filsuf yang hilang, mempertanyakan keotentikan teks filsuf, dan lain sebagainya.

Dengan ini, saya melihat bagan penelitian filsafat sebagai bagan yang lurus atau tidak bercabang: penelitian filsafat adalah penelitian mengenai problem filsafat. Terkait macam-macam problem yang dijelaskan Taufiq (2024), saya melihat bahwa yang dimaksud problem praktis ini sebenarnya adalah problem moral-etis dalam penyamaran: pada akhirnya tetap akan dibawa ke ranah teoretis yang bergantung pada teori etika yang digunakan. Lantas, mengapa tidak langsung saja mengkategorisasikannya ke dalam problem filsafat itu sendiri yang sahih sebagai filsafat “murni”? Lagi pula, keberadaan filsafat murni ini berpotensi mengerdilkan keberadaan filsafat praktis, seakan-akan filsafat yang hakiki itu filsafat yang “murni”. Pembedaan tersebut muncul hanya karena objek yang dikaji memang perihal moralitas dan perilaku yang riil serta tangible di kehidupan sehari-hari sehingga “praktis”, namun saya kira ia pada hakikatnya tetaplah teoretis-abstrak sesuai dengan sifat filsafat.

Secara sederhana, saya melihat setidaknya terdapat enam problem filsafat: logika, metafisika, epistemologi, aksiologi, metafilsafat, dan filsafat khusus. Problem logika adalah problem terkait penalaran. Semisal, apa itu penalaran yang valid? Apakah validitas berarti harus mempreservasi kebenaran? Bagaimanakah status pluralitas logika? Apa konstruksi, asumsi, dan konsekuensi logis dari sistem logika X?

Problem metafisika adalah problem terkait realitas secara umum. Di dalam problem metafisika terdapat sub-problem ontologi yang membahas problem terkait keberadaan secara khusus. Misalnya, bagaimana realitas tersusun? Apa itu substansi? Mengapa terdapat sesuatu daripada tidak ada sama sekali? Apakah keberadaan sifat khusus setara dengan keberadaan substansi?

Problem epistemologi adalah problem terkait pengetahuan. Misalnya, apa itu pengetahuan? Mengapa dan bagaimana kita dapat mengetahui sesuatu? Apakah keberuntungan dapat dikatakan pengetahuan? Apakah terdapat tingkatan pengetahuan?

Problem aksiologi adalah problem terkait nilai secara umum. Di dalam problem aksiologi, terdapat dua sub-problem: etika yang berkutat perihal nilai kebaikan dan moral, serta estetika yang berkutat perihal nilai keindahan. Semisal, apa itu nilai? Bagaimana menentukan perilaku yang baik dengan perilaku yang buruk? Apa itu keindahan? Bagaimana sesuatu itu bersifat indah/jelek? Dalam kasus X, apakah perilaku pada kasus X dapat disebut setara dengan pembunuhan sehingga buruk?

Problem metafilsafat adalah problem terkait filsafat itu sendiri dan interseksi antara problem filsafat. Dalam problem ini, termasuk pula meta-meta dari problem sebelumnya, seperti meta-logika, meta-metafisika (termasuk meta-ontologi), meta-epistemologi, dan meta-aksiologi (termasuk meta-etika serta meta-estetika), yang terlalu panjang apabila saya bahas satu-persatu; anda dapat mencari apa maksud dari meta-meta tersebut secara mandiri. Problem campuran, seperti problem logika-metafisika atau problem metafisika-epistemologi, dapat dikategorikan sebagai problem metafilsafat ini. Semisal untuk metafilsafat, apa tujuan filsafat? Apa batasan filsafat? Bagaimanakah berfilsafat itu? Apakah terdapat progres dalam filsafat? Untuk problem campuran, misalnya, apakah pengetahuan bergantung pada realitas atau sebaliknya? Apakah penalaran terlepas dari pengetahuan dan pikiran?

Problem filsafat khusus adalah problem filsafat sebelumnya, namun dalam konteks topik yang khusus. Semisal filsafat ilmu, filsafat matematika, filsafat akal-budi, filsafat bahasa, filsafat politik, filsafat ekonomi, filsafat hukum, filsafat pendidikan, dan topik-topik lainnya yang ditambahkan prefiks “filsafat” di depannya.

Diagram Problem Filsafat

Telah saya tekankan bahwa posisi saya di sini adalah: lulusan filsafat adalah orang yang terlatih dalam berfilsafat sehingga pantas untuk disebut filsuf, yakni tidak sekadar belajar masakan, namun juga belajar memasak. Maka dari itu, setidaknya terdapat tiga model penelitian filsafat, yang ketiganya juga memerlukan derajat pemahaman sejarah filsafat tertentu. Model pertama adalah model penelitian satu filsuf-aliran dengan setidaknya satu problem filsafat. Luaran model penelitian ini adalah analisis dan pemahaman atas pola pikir filsuf-aliran tertentu, termasuk sejarah pemikirannya, terkait setidaknya sebuah problem filsafat. Dengan demikian, peneliti yang melakukan penelitian ini dapat disebut sebagai ahli filsuf-aliran tertentu dalam problem tertentu. Harapannya, peneliti dalam model penelitian ini memahami bagaimana filsuf-aliran yang diteliti berfilsafat dan berargumentasi sehingga ia kemudian mungkin dapat menerapkannya pada problem lain. Model penelitian ini cocok untuk penelitian S1 filsafat.

Model Penelitian Filsafat Pertama

Model penelitian filsafat yang kedua adalah model penelitian mendalam terkait setidaknya satu problem filsafat. Model penelitian ini mengambil setidaknya satu problem filsafat, dan kemudian menganalisisnya dari berbagai perspektif atas problem tersebut yang setidaknya terdiri dari dua filsuf-aliran, termasuk sejarah pemikiran-perdebatannya. Luaran dari model penelitian ini adalah pemahaman atas pola pikir multiperspektif sehingga peneliti dalam model penelitian ini dapat memahami, mengevaluasi, dan memposisikan diri diantara banyaknya pandangan. Harapannya, peneliti dalam model penelitian ini memahami bagaimana filsuf berdebat satu sama lain, pada titik apa mereka sepakat dan tidak sepakat, sehingga ia memahami bagaimana proses menganalisis berbagai argumentasi dan perdebatan yang kemudian skill ini dapat dijadikan modal untuk melihat sebuah permasalahan apapun dalam berbagai perspektif. Model penelitian ini cocok untuk penelitian S2 filsafat.

Model Penelitian Filsafat Kedua

Model penelitian filsafat yang ketiga adalah model penelitian pemecahan masalah berbasis konstruksi atau rekonstruksi teori-pemikiran baru. Model penelitian ini menganalisis setidaknya satu problem filsafat dari semua perspektif filsuf-aliran yang pernah ada dalam melihat problem tersebut, berikut sejarah pemikiran-perdebatannya. Luaran dari model penelitian ini adalah sebuah upaya pemecahan problem filsafat, baik konstruksi pemikiran baru maupun rekonstruksi pemikiran lama, dengan mempertimbangkan dan menjawab seluruh posisi-keberatan filsuf-aliran dalam perdebatan yang ada mengenai problem tersebut. Harapannya, peneliti dalam model penelitian ini mampu berpikir dan berargumentasi secara mandiri, menjadi bagian dari filsuf yang berupaya dalam menjawab serta memecahkan problem filsafat. Model penelitian ini cocok untuk penelitian S3 filsafat.

Model Penelitian Filsafat Ketiga

Problem selanjutnya adalah bagaimana ketiga model ini dapat dieksekusi dengan segala keterbatasan sumber daya manusia, baik kuantitas maupun kualitasnya. Dari tiga model tersebut, dapat dipahami bagaimana penelitian S1 merupakan sumber berharga untuk penelitian S2, dan dapat dipahami pula bagaimana penelitian S1 dan S2 merupakan sumber berharga untuk penelitian S3. Maka dari itu, kuncinya terdapat pada mahasiswa S3: mahasiswa S3 filsafat dapat dilatih untuk menjadi ketua tim peneliti. Dengan demikian, dorong dan fasilitasi mahasiswa S3 (boleh juga diterapkan pada mahasiswa S2) untuk membentuk tim peneliti, yang terdiri dari mahasiswa S1 dan/atau S2, sehingga mereka dapat saling membantu dalam menyelesaikan penelitian mereka masing-masing: mahasiswa S2 dan S3 membantu penelitian mahasiswa S1 sehingga hasil penelitian S1 tersebut dapat digunakan-dikutip dalam penelitian S2 dan S3, dan mahasiswa S3 membantu penelitian mahasiswa S2 sehingga hasil penelitian S2 tersebut dapat digunakan-dikutip dalam penelitian S3. 

Proses tim peneliti yang telah dijelaskan sebelumnya dapat dilakukan berbarengan dengan proses yang sudah ada, yakni dengan keberadaan pembimbing penelitian dan/atau pembimbing ahli dari dosen. Apabila ternyata keterbatasan sumber daya manusia ada pada mahasiswa S2 dan S3, tidak ada salahnya mengadakan matrikulasi terlebih dahulu agar mereka dapat mengimbangi mahasiswa yang linier dengan jurusan filsafat. 

Kita kembali lagi pada analogi masak-memasak. Lulusan filsafat selayaknya tidak hanya ahli dalam mencicipi masakan, namun ia juga harus paham proses memasak karena ia adalah juru masak. Pemahaman tersebut dicapai dengan mengikutsertakan mereka dalam proses memasak. Berawal dari belajar pada seorang juru masak, kemudian ia belajar berbagai metode memasak dari berbagai juru masak. Akhirnya, ia mampu membuat metode memasaknya sendiri, entah membuat metodenya sendiri dari 0 karena dirasa metode-metode sebelumnya kurang memadai, atau dengan memodifikasi-rekombinasi metode-metode yang sudah ada, dan keduanya dilakukan dengan mempertimbangkan semua metode memasak yang telah ada. 

Oleh karena Taufiq sudah menjadi juru masak di dalam dapur sebuah restoran, saya harap upaya ini tidak hanya berhenti dalam tulisan. Saya harap upaya ini benar-benar dicari solusinya bersama-sama dan kemudian diimplementasikan. Meski saya juga paham, tentu akan ada banyak rintangan, terutama terkait kultur toksik per-juru-masak-an, seperti yang telah dijelaskan secara tajam oleh Taufiq (2023).


Referensi

Taufiqurrahman, 2024, “Filsuf sebagai Juru Masak: Catatan tentang Metodologi Penelitian Filsafat”, Antinomi. <https://antinomi.org/filsuf-sebagai-juru-masak-catatan-tentang-metodologi-penelitian-filsafat/>

Taufiqurrahman, 2023, “Kultur Toksik Dunia Akademik”, Kompas. <https://www.kompas.id/baca/opini/2023/05/07/kultur-toksik-dunia-akademik>

Bacaan Lainnya