Niko Kolodny dan Cinta yang Bertumbuh

Apa yang sering kita gagal sadari adalah bahwa cinta, dengan segala bentuknya, mempunyai keindahan dan kebernilaiannya sendiri, bahkan ketika cinta itu tidak mengikuti skenario yang kita bayangkan.

Fajar N.
Fajar N.
Tertarik pada isu-isu etika lingkungan, etika kesehatan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum.

Di sudut ruangan, yang dibayangi pantulan bulan dan di musim yang memutuskan untuk menepi dengan harap untuk sembuhkan. Laki-laki itu datang, masih dengan cerita yang sama, meskipun dia sendiri tidak sepenuhnya yakin dengan jalan yang dilalui kali ini, namun tetap ada satu kegigihan yang tidak terbantahkan dalam usahanya memahami labirin cinta yang penuh dengan teka-teki dan seringkali menyesatkan. Seolah-olah membawa obor keingintahuan yang tidak mau terpadamkan, bahkan setelah menghadapi berbagai kegagalan yang mungkin menghantui, dan dapat terjadi di masa depan setelahnya.

Barangkali ini adalah kali ketiga, dia berdiri-menantang kembali, mencoba menguraikan ambiguitas melalui interpretasi Niko Kolodny tentang struktur cintanya—setelah sebelumnya upaya penarasiannya berkisar antara John Armstrong (2016) dan Erich Fromm (2018), yang keduanya sama-sama tertutupi oleh kekurangannya sendiri dalam sebuah hubungan romantis. Namun satu hal yang pasti, dia bersedia memulai perjalanan sekali lagi, bergulat dengan kerumitannya menyusuri sudut-sudut gelap, dan menawarkan narasi lain dalam upaya berkelanjutan untuk menguraikan hasrat penasaran dan keingintahuannya terhadap ‘cinta’.

Tentang Cinta dan Sebuah Penilaian

Kolodny mengungkapkan, hakikat cinta berkisar pada persepsi terhadap suatu nilai yang ada dalam hubungan antara diri sendiri dan orang lain[1]. Seringkali, nilai-nilai relasional ini belum tentu bersifat timbal balik, melainkan mungkin terwujud secara sepihak. Fenomena ini umumnya dikenal sebagai cinta takberbalas—atau bertepuk sebelah tangan.

Sayangnya, cinta takberbalas umumnya dianggap bukan dari perwujudan cinta yang ideal, hanya karena kurang resiprokal (timbal balik). Ketidakseimbangan dalam kasih sayang dan hasrat ini dapat menimbulkan berbagai emosi, termasuk kesedihan, frustrasi, dan penderitaan yang menyayat hati bagi yang mengalaminya. Padahal cinta yang kita temui tidak pernah ideal, justru sangat berantakan dan seringkali menyakitkan. Barangkali terdapat kesalahpahaman besar yang mendasari persepsi kita tentang cinta, yang berasal dari anggapan bahwa cinta akan berkembang sesuai keinginan kita, sehingga mengabaikan realitas yang terjadi sebenarnya. Bila mendasarkan premis Kolodny ini, jika saya menaruh perasaan cinta kepada seseorang yang tidak membalas perasaan itu, jalinan hubungan cinta dianggap tetap tidak ada. Hal ini membawa kita pada kritik terhadap struktur Kolodny, di mana gagasan tentang keberadaan cinta ditolak dan upaya yang dilakukan untuk itu dianggap sia-sia karena tidak adanya timbal balik di sana.

Perasaan ‘mencintai’ tidak serta merta ditiadakan hanya karena tidak adanya timbal balik. Kita bisa terus mencintai seseorang, terlepas dari apakah kasih cinta itu berbalas atau tidaknya. Kecintaan kita pada seseorang didasarkan pada perasaan kita sendiri, dan bukannya bergantung pada timbal balik yang ada atau respon eksternal. Perasaan cinta yang ditujukan kepada dirinya hadir karena perasaan dari kita dan bukan bergantung pada perasaannya terhadap diri kita. Meski begitu, kita harus berhati-hati dan menahan diri agar tidak terjebak dalam konsep mencintai tanpa syarat. Sesuai kerangka Kolodny, hakikat cinta bergantung pada penilaian kita terhadap suatu hubungan, yang mengarah pada penjelasan mengapa perasaan cinta kita mungkin ditujukan kepada satu individu tertentu dan bukan yang lainnya[2]—tidak lain disebabkan oleh adanya kualitas yang terdapat dalam diri seseorang[3].

Penjelasannya tidak lain karena landasan Kolodny bertumpu pada teori kualitas yang menyatakan bahwa alasan yang memotivasi merupakan syarat utama untuk dapat menumbuhkan rasa cinta terhadap seseorang[4]. Apabila kita menerima proposisi ini, maka gagasan mencintai tanpa syarat—seringkali diartikan sebagai bentuk mencintai tanpa dasar yang jelas, seperti ‘Aku mencintamu bukan dan tanpa karena’—menjadi tidak dapat diterima. Oleh sebab sejak awal diasumsikan tidak terdapat kekuatan yang dapat memaksa ataupun mengikatnya. Tidak terdapat hati yang bergerak tanpa ada gaya yang menariknya terlebih dulu, sehingga kualitas di sini tentu diperlukan.

Berdasarkan hal tersebut, tentu yang menjadi kritik di sini mengenai “mencintai tanpa karena” adalah sebuah dongeng belaka—kemustahilan yang tidak dapat diterima. Sebaliknya, ia tentang bagaimana kita memaknai dan menghargai nilai yang ada (melekat) tersebut yang merupakan bagian dari cinta. Namun, penting untuk ditekankan bahwa tindakan ‘penilaian’ atau pemberian nilai pada kualitas yang ada tidak boleh disamakan halnya dengan cinta itu sendiri. Selain itu, konsep ‘kualitas’ tidak boleh dipandang dengan cara yang sama seperti halnya alat atau instrumen—seperti pisau, ia dihargai karena ketamajamannya, sebab digunakan untuk memotong, sedangkan pisau yang tumpul dianggap tidak berguna[5]. Kualitas dalam cinta tidak dapat direduksi menjadi fungsi instrumental belaka. Lebih jauh lagi, tentang ‘kualitas’ ini tidak bisa dipahami dalam bentuk yang konsisten atau abadi karena kualitas dapat menurun dan memudar seiring berjalannya waktu. Terlebih bila disadari, konsistensi tidak memungkinkan hadirnya ruang untuk bertumbuh dan membuat kita terjebak pada ilusi untuk mengejar ketetapan semu tersebut di dalam cinta.

Cinta sebagai Tempat Bertumbuh

Kritik terhadap konsistensi Kolodny terdapat pada kualitasnya. Bila kualitas yang dicintai hilang, maka hilang juga cintanya. Pertanyaannya di sini adalah berkaitan dengan keberlanjutan cintanya, bagaimana cinta dengan dependensi kuatnya terhadap kualitas ini, dapat bertahan seiring dengan berjalannya waktu. Apakah upaya mencintai menjadi layaknya kutukan untuk menggapai dan mempertahankan suatu kualitas yang abadi?

Apa yang sering kita gagal sadari adalah bahwa cinta, dengan segala bentuknya, mempunyai keindahan dan kebernilaiannya sendiri, bahkan ketika cinta itu tidak mengikuti skenario yang kita bayangkan. Dalam perjalanan cinta ini, justru kita dapat melihat perubahan-perubahan yang jelas terjadi dan membentuknya, serta menjadi katalis untuk berintrospeksi dan bertumbuh—sebagaimana perasaan cinta kita terhadap dirinya mempengaruhi bagaimana cara kita melihatnya, bagaimana dia berubah, dan bagaimana kita sendiri pun berubah. Mencintai berarti memberikan kesaksian terhadap perubahan-perubahan ini dan memberi kita kesempatan untuk menyesuaikan diri dan berkembang bersama perubahan-perubahan tersebut. Oleh karena itu, perihal cinta adalah tentang menyajikan sebuah kanvas untuk bertumbuh dan beradaptasi, mengundang kita untuk menyesuaikan diri, belajar, dan menjadi versi diri kita yang lebih baik—yang setiap guratannya ditentukan oleh hati kita sendiri dan keindahan yang muncul terhadapya merupakan hasil interaksi antara subjektivitas dan perubahan yang ada. Sudut pandang ini mengungkapkan aspek dinamis dari cinta—yang berkembang dan membentuk baik diri kita maupun yang dicintai.

Menganggap konsistensi yang tidak berubah dalam cinta adalah sebuah kekeliruan. Penting untuk ditekankan bahwa mencintai didasarkan pada penilaian, yang didukung oleh alasan yang melekat di dalamnya—seperti bagaimana kita jatuh cinta karena alasan-alasan tertentu, mempertahankannya karena alasan-alasan lainnya, dan bahkan meninggalkannya karena alasan-alasan setelahnya[6]. Pendasaran ini sangat subjektif dan tidak universal. Seperti halnya dalam pernyataan ‘Saya mencintaimu karena kamu terlihat anggun di mata saya’. Konsekuensinya, pada individu yang sama mungkin tampak anggun di mata saya, namun bisa jadi terlihat biasa-biasa saja di mata yang lainnya. Semua itu bergantung pada beragam penilian atas kualitas, pengalaman, dan persepsi dalam diri setiap individu.

Selain itu, dalam memahami perubahan yang terjadi ini, dapat diibaratkan seperti pendekatan kita dalam membaca sebuah buku[7]. Ada kalanya kita berkomitmen pada buku yang telah kita mulai dan membacanya sampai akhir. Sebaliknya, ada saat-saat ketika kita menjadi kondisional—dan selektif—dengan mengesampingkan buku tersebut ketika minat kita menjadi berkurang atau bisa jadi rasa bosan muncul. Begitu halnya dengan cinta, beberapa orang merasa terdorong untuk tetap bertahan dan melanjutkan apa yang telah mereka mulai, tidak peduli betapa frustasinya mereka atau mungkin sudah tidak menarik lagi. Sementara itu, ada pula yang memilih untuk mengakhiri perjalanannya, ketika mereka merasa sampai batasnya atau ‘sudah cukup’. Meski begitu, perlu diketahui bahwa keputusan mereka untuk berhenti dan melepaskan, bukan berarti mereka tidak melihat atau memedulikan nilai yang ada; justru sebaliknya, nilai yang mereka pahami terletak pada suatu subjek—atau seseorang—dan bukan pada hubungan itu sendiri[8].

Sementara secara pribadi, saat saya menuliskan ini, saya lebih cenderung memilih opsi kedua. Meskipun hubungan yang langgeng merupakan sebuah pencapaian yang berharga, hal ini tidak berarti kita boleh mengabaikan penderitaan yang mungkin dialami seseorang untuk mempertahankan komitmen tanpa syarat—seperti halnya dengan komitmen kita untuk menyelesaikan buku yang sudah kita mulai. Hal seperti itu, menurut saya, adalah sebuah kekeliruan. Bentuk komitmen seperti itu menunjukkan kegagalan dalam mengenali dan memahami nilai-nilai yang melekat, terutama jika apa yang kita pertahankan dalam hubungan tersebut menyebabkan kita menderita. Misalnya, bayangkan sebuah skenario, di mana pasangan kita mencintai diri kita semata-mata karena janjinya untuk tetap setia sampai akhir, terlepas dari dinamika yang berkembang dalam hubungan tersebut, yang bagi dia komitmen menjadi sebuah kewajiban yang harus dirinya junjung[9]. Apabila kita mengetahui ini, tentu dapat menimbulkan kekecewaan tersendiri, karena tersirat “Aku mencintaimu bukan karena keanggunanmu ataupun kualitas-kualitas lain yang terdapat dalam dirimu, tapi karena aku terikat untuk bersamamu sampai akhir, terlepas dari akan seperti apa hubungan kita berkembang dan tidak peduli akan menjadi seperti apa dirimu di masa mendatang”.

Dengan memahami hal ini, kita mengakui bahwa, pada kenyataannya, tidak ada seorang pun yang benar-benar ingin dicintai tak bersyarat hanya karena rasa simpati atau rasa kasihan. Terlebih lagi, tidak ada seorang pun yang ingin dimaafkan atas kekurangannya atau kesalahannya, tanpa ada upaya untuk memperbaikinya. Sebaliknya, apa yang didambakan adalah cinta yang mengakui ketidaksempurnaannya sekaligus menjadi katalis—atau mendorong—hadirnya pertumbuhan dan perbaikan diri di dalamnya. Menjadi jelas di sini, mencintai adalah tentang membina hubungan yang mendalam dan bermakna dengan menunjukkan kepedulian dan penghargaan terhadap kualitas—maupun keunikan—dalam diri masing-masing.

Dalam bentuk idealnya, ‘mencintai’ berarti merangkul dan mendukung pasangan melalui saat-saat suka maupun duka, menerima kelemahan dan kelebihannya. Namun, hal ini tidak berarti kita menutup mata (mengabaikan) terhadap perilaku berbahaya atau menerima begitu saja hubungan yang menyakitkan. Sebaliknya, ia harus menuntun pada komunikasi yang terbuka, berkompromi, dan perkembangandiri. Dengan berupaya mencapai keseimbangan antara memberikan dukungan dan memberikan tantangan, hal ini memperkuat ikatan di antara mereka, sehingga mengantarkannya untuk mencapai potensi penuh masing-masing.

Pada akhirnya, cinta adalah perpaduan, sebuah interaksi yang harmonis di mana kedua individu secara aktif terlibat dalam memelihara dan menjaga nyala api kasih sayang yang ada. Hal ini berkembang menjadi sebuah perjalanan, dengan setiap langkahnya ditandai dengan komitmen bersama untuk memperkuat hubungan, menjadikannya lebih kuat, lebih bahagia, dan lebih berwarna bagi kedua belah pihak. Penafsiran seperti ini mungkin dapat membuka jalan bagi kisah cinta yang memuaskan dan bertahan lama, karena berakar pada pengalaman bersama, saling pengertian, dan ikatan emosional yang tumbuh secara alami seiring berjalannya waktu.

Berdasarkan penjelasan di atas, tentu di titik ini, dapat kita sadari bahwa cinta bagaikan sebuah permadani yang rumit, yang ditenun dari serangkaian benang emosi, persepsi, dan penilaian kita, di mana di dalamnya terdapat tarian-tarian antara dua jiwa, yang berpadu membentuk simfoni pertumbuhan—yang kekuatannya bisa selembut angin yang menggembirakan atau bergejolak seperti badai yang menyayat hati, dengan cara yang mungkin tidak pernah kita pahami sepenuhnya. Akan tetapi hal yang perlu diingat dari simpulan ini adalah meski cinta dapat menjadi pengalaman emosional yang kuat, namun ada pentingnya untuk tidak meromantisasi rasa sakit dan dampak negatif yang mungkin menyertainya.

Mengakui subjektivitas cinta adalah hal yang penting, namun tidak kalah pentingnya juga untuk memahami dan mengantisipasi jebakan penafsiran subjektif—di satu sisi, keunikan cinta dapat menimbulkan berbagai manifestasi, namun di sisi lain juga dapat mengakibatkan keterikatan yang tidak sehat. Sebagaimana cinta tak berbalas ataupun cinta tak bersyarat, bila berkepanjangan tanpa pemahaman dan tanpa dipertimbangkan secara matang, tentu dapat menyebabkan ledakan emosional yang mengambat pertumbuhan pribadi. Meski begitu, apabila diterima dengan pengertian dan sikap positif, hal ini dapat menjadi bukti tentang betapa dalammnya kemampuan kita untuk menyayangi orang lain dengan ketulusan yang mendalam—hal ini tentu saja menyoroti secara utuh kerentanan kita, dan pada saat yang sama resiliensi (ketahanan) kita sebagai manusia.

Melalui upaya pengenalan dan pembahasan sudut-sudut gelap dan terjal dari interpretasi subjektif ini, setidaknya dapat membuka pandangan yang lebih seimbang tentang subjektivitas cinta. Tidak dapat dipungkiri bahwa persoalan tentang cinta dan ketubuhan dalam cinta itu sendiri menarik untuk dijelajahi, dan mengundang berbagai eksplorasi kritis terhadapnya. Akan tetapi satu hal yang pasti, jatuh cinta itu serupa tamu tak diundang. yang datang tanpa permisi dan menempati seisi hati, dan barangkali meninggalkan bekas yang tak mudah terhapuskan dalam perjalanan hidup kita kedepannya, dengan cara yang mendalam.


Catatan Akhir

[1] Lih. S. Protasi, “Loving People for Who They Are (Even When They Don’t Love You Back)”, European Journal Philosophy, Vol. 24, No. 1 (Mar., 2016), hlm. 214–234.

[2] Lih. S. Protasi, “Loving People for Who They Are (Even When They Don’t Love You Back)”, European Journal Philosophy, Vol. 24, No. 1 (Mar., 2016), hlm. 214–234.

[3] Lih. M. Lanham, “Is Unconditional Love Possible?”, Aporia, Vol. 31, No. 1  (Spring, 2021), hlm. 37–50.

[4] Lih. M. Lanham, “Is Unconditional Love Possible?”, Aporia, Vol. 31, No. 1  (Spring, 2021), hlm. 37–50.

[5] Lih. T. Jollimore, “Should We Want to Be Loved Unconditionally and Forever?”, Philosophies, Vol. 8, Iss. 2 (Apr., 2023).

[6] Lih. S. Protasi, “Loving People for Who They Are (Even When They Don’t Love You Back)”, European Journal Philosophy, Vol. 24, No. 1 (Mar., 2016), hlm. 214–234.

[7] Lih. T. Jollimore, “Should We Want to Be Loved Unconditionally and Forever?”, Philosophies, Vol. 8, Iss. 2 (Apr., 2023).

[8] Lih. T. Jollimore, “Should We Want to Be Loved Unconditionally and Forever?”, Philosophies, Vol. 8, Iss. 2 (Apr., 2023).

[9] Lih. T. Jollimore, “Should We Want to Be Loved Unconditionally and Forever?”, Philosophies, Vol. 8, Iss. 2 (Apr., 2023).


Referensi

Jollimore, T., “Should We Want to Be Loved Unconditionally and Forever?”, Philosophies, Vol. 8, Iss. 2 (Apr., 2023). https://doi.org/10.3390/philosophies8020034

Lanham, M., “Is Unconditional Love Possible?”, Aporia, Vol. 31, No. 1 (Spring, 2021), hlm. 37–50. https://aporia.byu.edu/pdfs/lanham-is_unconditional_love_possible.pdf

Protasi, S., “Loving People for Who They Are (Even When They Don’t Love You Back)”, European Journal Philosophy, Vol. 24, No. 1 (Mar., 2016), hlm. 214–234. https://doi.org/10.1111/ejop.12077

Bacaan Lainnya