Tiga Tesis dan Tiga Catatan: Rancière, Estetika, dan Politik (1)

Jika politik adalah sebuah distribusi sensibel dan berkaitan dengan elemen-elemen pengalaman indrawi in stricto sensu, maka politik pada dasarnya sudah selalu merupakan estetika.

R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang terfokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sampai saat ini (2023), ia telah menulis satu buku Akhir Sentuhan dan puluhan esai ilmiah terkait bidang yang ia sukai.

Jacques Rancière, filsuf kesetaraan dan emansipasi itu, lahir di Aljazair yang berdebu pada 10 Juni 1940. Rancière punya keyakinan teoritis yang mengagumkan: Semua berhak berpartisipasi dan sembarang subjek bisa ambil bagian dalam panggung demokratis. Rancière meluluh lantakkan asumsi biner antara mereka yang pakar dan mereka yang bukan pakar. Semua asumsi teoritis ini dimulai sejak ia masuk di Ecole Normale Superieure

Setelah resmi menjadi mahasiswa Ecole Normale Superieure, Rancière silau atas kebesaran Louis Althusser; dan karena kesilauan itu, Rancière yakin Althusser adalah kompas penunjuk yang tepat untuknya berfilsafat. Kekaguman itu bermula ketika Althusser tak memilih jalan humanis, seperti Sartre misalnya, dalam memahami Marx. Althusser memilih jalan teoritis yang lebih terjal dan penuh ngarai: Strukturalisme, psikoanalisis dan etnologi. Semua tawaran Althusser itu, bagi Rancière, adalah sebentuk jalan baru dalam memahami diskursus marxisme—juga politik secara umum. Namun, pada Mei ’68 yang berdarah itu, Rancière kecewa. 

Althusser dengan terang-terangan menyatakan bahwa betapa pentingnya sebuah gerakan revolusi harus dibimbing dengan teori revolusi. Althusser, di titik ini, begitu percaya pada maksim Lenin: “Tak ada revolusi, tanpa teori revolusi.” Sebuah aksi pemberontakan harus dibimbing oleh sebuah teori, oleh sebuah diskursus yang datang dari atas. 

Di Mei ’68 ketika Paris luluh lantak, Althusser menulis surat terbuka bagi mahasiswa dan menuduh para mahasiswa itu tak punya bekal diskursus yang cukup; mereka bergerak hanya dibimbing ideologi, bukan teori. Gerakan mahasiswa di seantero Paris pada Mei ’68 itu, bagi Althusser, tampak sebagai usaha yang sia-sia, tak punya tujuan, tak punya arah. Althusser ingin suatu pemberontakan harus mendapat mandat dari pimpinan tertinggi dan pakar-pakar gerakan. 

Pada 1974 La Lecon d’Althusser terbit, di buku ini Rancière dengan tajam mengritik guru dan juru kompas filsafatnya. Di La Lecon d’Althusser, Rancière dengan tegas mengucap perpisahan teoritis dengan Althusser. Semenjak La Lecon d’Althusser, Rancière memilih jalan baru untuk membangun teori (filsafat) politiknya. Rancière memilih menelusuri konsep tentang emansipasi (kesetaraan), demokrasi, politik dan estetika. Rancière barangkali tepat—namun belum tentu memadai—jika menganggap politik sudah selalu berarti perselisihan.

Le partage du sensible: Dimensi Estetik dari Politik

Satu konsep paling penting yang ditawarkan oleh Rancière adalah konsep bahwa politik mempunyai dimensi estetik. Namun, dimensi estetik ini tidak berhubungan dengan seni atau keindahan, melainkan berkaitan dengan semesta persepsi dan indrawi (sensory) (Rancière, 2004: 08-09). Konsep penting Rancière itu adalah le partage du sensible. Konsep le partage du sensible, secara khusus, merupakan kritik Rancière terhadap teoritisme Althusser; dan, secara umum, merupakan usaha Rancière untuk menyingkap mereka yang dieksklusi atau yang-tak-masuk-hitungan (unaccounted) dalam tatanan politik.

Le partage, dalam bahasa Inggris, diterjemah sebagai partition atau distribution. Terma le partage ini, menurut Panagia, merujuk pada dua makna: Pertama, pada kondisi “pembagian” yang membangun kontur (garis bentuk) kolektivitas; dan kedua, pada sumber atau asal-usul disrupsi atau disensus. Oleh karena itu, le partage mempunyai dua makna: Le partage sebagai pembagian (sharing) dan le partage sebagai pemisahan (separating) (Deranty, 2014: 95). Di sini kita akan mengalihbahasakan partage ke dalam bahasa Indonesia menjadi distribusi, tetapi dengan dua makna, yakni distribusi sebagai pembagian dan distribusi sebagai pemisahan. Logika dari terma partage ini penting untuk kita telusuri lebih jauh; karena, le partage du sensible menjadi elemen penting dalam bangunan teoritik Rancière—khususnya, tentang estetika politik.

Kata kunci untuk memahami konsep le partage du sensible adalah adanya tegangan antara aktus persepsi dan kepercayaan implisit pada preconstitude objects (kondisi-kondisi apa saja yang memungkinkan sebuah objek x menjadi mungkin). Dua tegangan di dalam distribusi sensibel ini persis terjadi di dalam disensus. Politik demokrasi terjadi ketika elemen-elemen tertentu dalam masyarakat yang dianggap tak-masuk-hitungan menantang dan menguji tatanan politik dominan. Inilah apa yang disebut sebagai sebuah disensus

Rancière menyebut mereka yang tak-terlihat dan tak-masuk-hitungan sebagai yang-salah (the wrong); juga, terkadang, Rancière menyebutnya sebagai demos atau people. Dengan demikian, satu hal penting dalam pemikiran Rancière adalah politik selalu bersifat mengganggu terhadap tatanan dominan oleh mereka yang-salah (the wrong). Gangguan terhadap tatanan dominan inilah yang Rancière sebut sebagai politik. Karena bagi Rancière, tak semua bisa dianggap sebagai aktus atau tindakan politik. Politik hanya terjadi ketika mereka yang-salah memverifikasi, menguji, dan mengganggu tatanan dominan: “Jika segala hal adalah politik, maka tidak ada politik” (Rancière, 1999; 32).

Semua aktus politik tersebut persis berada di dalam semesta estetik via la partage du sensibleDistribusi sensibel, dengan demikian, adalah suatu garis pembagi yang menciptakan kondisi-kondisi perseptual (yang-terhitung dan yang-tak-terhitung, yang-terlihat, sensible, dan yang-tak-terlihat, insensible, dst.) terhadap komunitas politik dan disensusnya. Oleh karena itu, distribusi sensibel adalah sebentuk usaha untuk menjelaskan ulang garis pembagi yang membentuk struktur sosial. 

Dengan demikian, politik mempunyai hubungan erat dengan estetika. Namun, estetika dalam arti bukan tentang yang indah dan yang jelek, melainkan estetika sebagai prakondisi perseptual yang membagi-bagi dan memisah-misahkan subjektivitas ke dalam struktur yang hirarkis. Pada akhirnya, aktivitas politik yang membagi-bagi dan memisah-misahkan secara hirarkis ini, membuat politik mempunyai sebuah arkhe. Proses pembagian dan pemisahan inilah yang terjadi di dalam tatanan dominan, atau apa yang disebut Rancière sebagai la policeLa police, Tatanan dominan itu, merupakan sebuah aktus pembagian dan pemisahan ke dalam sekat-sekat dan peran-peran apa yang layak bagi masyarakat. Kita semua hidup di dalam tatanan dominan; kita hidup di dalam la police; dan kita terbagi ke dalam sekat-sekat.

Untuk memperjelas posisi Rancière dalam melampaui konsep politik yang berdasar pada sebuah arkhe dan hirarkis, kita perlu melihat kritik Rancière terhadap Aristoteles. Di dalam Nichomacean Ethics, Aristoteles membangun prinsip keadilan yang didasarkan pada kesetaraan aritmatis dan kesetaraan geometris (Trott, 2012: 630-632). Kesetaraan aritmatis berangkat dari sebuah pengandaian bahwa setiap individu mempunyai hak yang sama; dan, oleh karena itu, berhak memperoleh bagian yang sama rata. Sedangkan kesetaraan geometris, berangkat dari sebuah pengandaian bahwa setiap individu itu unik, setiap individu mempunyai kapasitas dan kemampuan yang berbeda; dan, oleh karena itu, pembagian kepada masing-masing individu tidaklah sama dan tergantung pada kapasitas dan kemampuan yang dimiliki oleh setiap individu. Di dalam bineritas kesetaraan aritmatis dan geometris tersebut, Rancière memihak pada kesetaraan aritmatis. Keadilan terjadi ketika semua setara, dan setiap individu punya hak yang sama. Sebuah kesetaraan radikal.

Rancière, di dalam Disagremeent, menyatakan bahwa kesetaraan aritmatis itu pada akhirnya akan memusnahkan arkhe dalam politik: “Sederhananya, kesetaraan aritmatis adalah kesetaraan bagi setiap dan semua individu: kesimpulan akhirnya adalah ketiadaan arkhe, sifat kontingen dari setiap tatanan sosial” (Rancière, 1999: 15). Lantas, apa itu arkhe? Di satu sisi, arkhe adalah prinsip mendasar yang menentukan kriteria-kriteria apa saja agar seseorang bisa mendapatkan mandat untuk memerintah; di sisi lain, karena arkhe adalah sebentuk kriteria untuk mendapat mandat memerintah, maka arkhe juga sebentuk cetak-biru, sebuah mesin pengatur yang menentukan bagaimana dunia sosial harus bekerja dan berjalan.  

Mandat atau wewenang memerintah itu, seperti yang dijelaskan Rancière dalam wawancaranya dengan Bowman dan Stamp, dibentuk berdasarkan kriteria keturunan, persahabatan politik, keningratan, dan kepakaran (Bowman & Stamp, 2011: 239). Seperti yang telah dijelaskan di atas, kesetaraan bagi Rancière juga bersifat kontingen; kesetaraan bisa terjadi atau tidak. Kesetaraan, karena ia bersifat kontingen, tak bisa didasarkan pada sebuah telos di ujung sana yang harus kita kejar; ia bukan tujuan, melainkan titik tolak, kesetaraan adalah hal yang harus diandaikan di awal: “…sebuah kondisi yang hanya berfungsi jika ditempatkan di dalam tindakan” (Rancièrer, 2004: 52). Tindakan di sini tentu mempunyai makna khusus, yakni momen ketika, seperti yang telah kita singgung sebelumnya, yang-salah (the wrong) atau demos atau yang-tak-terhitung menguji kesetaraan dan, pada akhirnya, mendisrupsi la police (tatanan dominan). Dengan demikian, kesetaraan adalah kondisi awal, sebuah titik tolak yang memungkinkan demos mendisrupsi la police.

Di dalam La police inilah terdapat karakter le partage du sensible. Menjadi jelas bahwa la police inilah yang membagi-bagi dan memisah-misah, kemudian, membangun sebuah politik yang hirarkis dan ditopang oleh sebuah arkhe. Pembagi-bagian dan pemisah-misahan yang dilakukan oleh la police, memberlakukan prinsip hirarkis (sebuah arkhe) sebagai dasar absah untuk memerintah. La police dengan karakter le partage du sensible ini, dengan demikian, adalah sebuah momen ketika tatanan dominan membuat sebuah sekat-sekat dan batas-batas antar kelompok di dalam struktur sosial; dan, pada akhirnya, pembentukan garis pembagi terhadap struktur sosial ini, menghasilkan pelbagai kelompok sosial yang bisa dikategorikan sebagai yang terlihat dan yang tak-terlihat, yang terhitung dan yang tak-masuk-hitungan. Seperti yang Rancière katakan di dalam Disagreement:

Police adalah sebuah tatanan satu-kesatuan yang menentukan bagaimana cara bertindak, cara berada, cara bertutur, dan cara pembagian sebuah tempat dan kerja; police adalah sebuah tatanan tentang apa yang dapat dilihat dan dikatakan, apa yang terlihat dan yang lain tak terlihat, bahwa bertutur dipahami sebagai diskursus, dan yang lain dianggap sebagai suara yang bising.

Rancière, 1999: 29

Persis di dalam la police, di dalam tatanan dominan itu, politik terjadi. Namun, politik dengan makna yang khusus, yakni politik bisa dikatakan politik, jika dan hanya jika demos (yang tak masuk hitungan itu) menyambung kembali sekat-sekat yang diciptakan oleh la police. Rancière menyebut penyambungan atau penyatuan sekat-sekat yang dibuat oleh la police sebagai nexusatau node, sebuah simpul. Di titik ini, demos melakukan sebuah nexus (penyatuan, penyimpulan) dengan memverifikasi kesetaraan. Ketika demos telah menantang dan memverifikasi kesetaraan, demos menjelma menjadi suplemen bagi tatanan dominan dan membentuk sebuah tatanan baru. Momen di saat demos berhasil menginterupsi la police, mengguncang tatanan dominan dan membentuk tatanan baru, persis di situ politik berakhir. Oleh karena itu, bagi Rancière, politik sudah selalu berarti gangguan, disrupsi, dan perselisihan. Namun, ketika gangguan, disrupsi dan perselisihan itu berakhir, politik juga berakhir. Tak ada lagi politik, justru ketika perselisihan lenyap; politik lesap, justru ketika yang tak masuk hitungan telah menjadi subjek yang masuk hitungan; politik absen, justru ketika tuturan yang dianggap sebagai yang-bising, menjelma sebagai yang-diskursus. Persis di sini, demokrasi berdiri tegak di atas perselisihan dan disrupsi. 

Jika karakter terdasar politik selalu berupa gangguan, sebuah disrupsi, maka, politik tidak akan pernah menjanjikan sebuah kondisi yang ajek, politik tidak akan pernah berhasil mencapai sebuah struktur sosial yang harmonis—tak ada arkhe. Dengan demikian, politik tak akan pernah selesai. Persis di sini titik tumpu kritik Rancière terhadap bangunan konsep politik dari Plato hingga teori (filsafat) politik kontemporer. Oleh karena itu, dalam mengritik konsep politik dari era klasik hingga kontemporer, Rancière menawarkan tiga topografi politik: archi-politik, para-politik dan meta-politik. Tiga topografi yang ditawarkan Rancière tersebut adalah identifikasi yang disematkan kepada tiga filsuf besar: Plato sebagai archi-politik, Aristoteles sebagai para-politik, dan Karl Marx sebagai meta-politik (Wibowo, 2022: 394).

Pertama, archi-politik. Topografi pertama yang diajukan Rancière ini ditujukan pada Plato. Mengapa harus Plato? Sebagai filsuf, Plato dengan gamblang memperlihatkan semesta police, kesetaraan, dan ketaksetaraan di dalam tatanan sosial di karya masyhurnya Republic. Bagi Rancière, konsep politik yang diandaikan oleh Plato bertopang pada sebuah arkhe (Rancière, 1999: 69-71). Politik adalah tentang bagaimana membagi-bagi dan memisah-misahkan tatanan sosial menjadi tatanan hirarkis. Tatanan ini, pada akhirnya, membuat kelas-kelas dan sekat-sekat sosial sesuai dengan kemampuan dan bakat masing-masing. Hirarki tertinggi berada di Raja Filsuf yang hendak mengatur dan memberi mandat kepada mereka yang ada di bawah. Adapun mereka yang ada di bawah, karena kesibukan praktis keseharian—pengrajin misalnya, seperti yang dicontohkan Plato sendiri—membuat mereka tak bisa ambil bagian di dalam urusan-urusan dan kebijakan polis (kota). Pembagian-pembagian dan pemisahan-pemisahan ini—tentu karena ulah le partage du sensible—harus diterima apa adanya oleh tatanan sosial dengan sikap legowo; di titik ini, terdapat sebuah logika kepatuhan. Di dalam archi-politik, kehidupan diatur dari titah yang di atas.

Kedua, para-politik. Tipografi kedua diarahkan pada Aristoteles, yang, bagi Rancière, jauh lebih canggih dibanding Plato. Jika Plato enggan mengakomodir mereka yang di bawah sebagai orang yang layak didengar, beda halnya dengan Aristoteles. Bagi Aristoteles, kebijakan sebuah polis harus memberi tempat dan ruang yang setara bagi yang-salah untuk ambil bagian. Persaingan tuturan di dalam ruang yang setara itulah momen terjadinya le politique (Politik), momen terjadinya perselisihan. Ruang temu antara mereka yang di atas dan mereka yang di bawah ini, bagi Rancière, adalah rezim yang baik:

Rezim yang baik, adalah rezim yang memberi ruang oligarki bagi oligark dan demokrasi bagi demos. Artinya, kelompok orang-orang kaya dan kelompok orang-orang miskin dipertemukan untuk berinteraksi di dalam Politik yang sama rata.

Rancière, 1999: 74

Namun, rezim baik dalam para-politik hanyalah tatanan semu, sebuah ilusi. Yang-salah, di dalam para-politik, adalah mereka yang juga sibuk dengan kehidupan praktis keseharian, mereka hanya mampu berpikir bagaimana cara untuk bertahan hidup. Lagi-lagi, yang punya bagian untuk memutuskan kebijakan hanyalah mereka yang menduduki singgasana kekuasaan. Tatanan sosial yang mengakomodir mereka yang-salah hanya sebentuk tatanan semu; tatanan sosial yang hanya sekadar ada dalam rumusan-rumusan hukum, tetapi tidak akan pernah terjadi di dalam kenyataan. Tatanan semu inilah yang Rancière sebut sebagai para-politik. 

Ketiga meta-politik. Tipografi ketiga ini, Rancière tujukan untuk Karl Marx, si pengarang Das Kapital yang masyhur itu. Marx, bagi Rancière, hendak menempatkan kesetaraan sebagai telos, sebagai tujuan yang harus kita kejar. Kesetaraan tak hadir saat ini, kesetaraan ada di ujung labirin yang gelap. Kesetaraan, seperti yang kita tahu, selalu mensyaratkan sebuah perjuangan kelas agar cita-cita kesetaraan bisa dicapai. Usaha mengejar kesetaraan ini, pada akhirnya, akan mengungsikan le politique. Dalam arti, kita mengevakuasi politik (le politique) agar yang-salah menjadi yang-benar; menjadikan mereka yang-salah diakomodasi di dalam struktur tatanan yang tunggal di mana di dalamnya kesetaraan dan keadilan mengejawantah. Dengan demikian, meta-politik adalah sebentuk usaha untuk mewacanakan dan menawarkan diskursus tentang kesetaraan dan keadilan sosial—beserta tata cara dan metode-metodenya. Meta-politik berusaha untuk membentuk sebuah masyarakat tanpa kelas yang di dalamnya tidak ada lagi yang-salah, tidak ada lagi yang tak masuk hitungan. Semua masuk hitungan, semua dapat terlihat, semua diakomodasi dalam satu himpunan besar bernama komunisme. Persis di sini, kita bersentuhan dengan “ideologi”: “…sebuah rezim kebenaran yang tak didengar dan (ideologi) merupakan bentuk hubungan baru antara kebenaran dan politik” (Rancière, 1999: 81). Ideologi menjadi semacam jarum kompas yang mengatur ke mana subjek seharusnya mengarah.

Semua analisis tentang politik yang dibangun oleh Rancière di atas, bersandar pada konsep distribusi sensibel yang dilakukan oleh tatanan dominan (le police). Distribusi sensibel pada akhirnya akan membagi-bagi dan memisah-misah tatanan sosial menjadi sebuah tatanan hirarkis. Di titik ini, di momen ketika distribusi sensibel menghasilkan sebuah tatanan hirarkis dalam masyarakat, distribusi sensibel adalah prinsip pengorganisir persepsi. Distribusi sensibel, sebagai prinsip pengorganisiran persepsi, menentukan di manakah posisi-posisi yang layak bagi suatu kelompok tertentu. Kita—sebagai subjek yang dipilah-pilah dalam sebuah tatanan politik itu—dikondisikan oleh persepsi yang dilekatkan pada diri kita. Subjek dipilah-pilah, dibagi-bagi dan dipisah-pisah sesuai dengan kategori-kategori. Namun, kategori-kategori ini tidak mampu menghimpun semua lapisan masyarakat; akan selalu ada yang tak masuk hitungan (yang-salah). Ketika yang-salah memverifikasi kesetaraan dan mengganggu tatanan dominan, persis di situ le politique terjadi.

Selamanya politik (demokrasi) ditakdirkan menolak sebuah arkhe. Politik selalu dikutuk untuk berselisih, dan mendisrupsi le police. Seperti yang dikatakan Rancière, melalui tesis ketiga dalam Onze thèses sur la politique, “Politik adalah suatu patahan spesifik atas logika arkhe” (Rancière, 1997: 04)

Jika politik adalah sebuah distribusi sensibel dan berkaitan dengan elemen-elemen pengalaman indrawi in stricto sensu, maka politik pada dasarnya sudah selalu merupakan estetika. Tak ada lagi garis pemisah yang jelas antara yang estetik dan yang politik. Di titik ini, terdapat sebuah kesejajaran antara konsep seni dan konsep disensus yang ditawarkan oleh Rancière. Terdapat sebuah fusi yang jauh lebih rumit dan subtil antara politik dan estetika. 


Daftar Pustaka

Bowman, Paul & Stamp, Richard (2011), Reading Ranciere,London: Continuum. 

Deranty, Jean-Philippe (2010), Jacques Ranciere: Key Concepts, London: Routledge.

Ranciere, Jacques (1999), Disagreement: Politics and Philosophy, tr. by Julie Rose, Minneapolis: University of Minnesota Press.

Ranciere, Jacques (2004), The Politics of Aesthetics: The Distribution of the Sensible, tr. and introduced by Gabriel Rockhill, with an Afterword by Slavoj Zizek, London: Continuum.

Ranciere, Jacques (2023), Sepuluh Tesis tentang Politik, trj. Muhammad Al-Fayyadl, Monograf.

Trott, Adriel (2012), Ranciere and Aristotle: Parapolitics, Part-y Politics, dan the Institution of Perceptual Politics, dalamThe Journal of Speculative Philosophy, Vol. 26, No. 04, pp. 627-646, http://www.jstor.org/stable/10.5325/jspecphil.26.4.0627.

Wibowo, Setyo (2020), Menjaga Girah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere, dalamMembaca Goenawan Mohamad, Jakarta: KepustakaanPopuler Gramedia.

Bacaan Lainnya