Manusia mengomunikasikan keyakinannya setiap saat. Dalam beberapa kondisi, beberapa orang dapat memiliki keyakinan yang sama jika saling menyetujuinya. Keyakinan ini berperan penting dalam menjelaskan dan memotivasi tindakan yang dilakukan seseorang. Namun, asersi seseorang dalam mengatributkan keyakinan sering inkonsisten dan dapat menuntun pada kontradiksi logis. Lalu, bagaimana filsafat dapat menjelaskan kontradiksi yang terjadi? Dalam artikel ini, saya akan membahas bagaimana Saul Kripke memaparkan bahwa teka-teki keyakinan merupakan permasalahan yang belum selesai dalam filsafat.
Substitusi Identitas
Terdapat dua pandangan tradisional mengenai nama diri (proper name): Pertama, pandangan Millian: nama diri hanyalah nama yang mengacu pada pengusungnya dan tidak memiliki fungsi linguistik. Di sini nama dipahami sebagai designatum atas objek. Kedua, pandangan Frege-Russell yang menyatakan nama memiliki asosiasi terhadap suatu sifat (property) yang secara unik dapat mengidentifikasikan pengacunya. Sifat ini menciptakan ‘sense’ atau makna dari nama tersebut. Nama dalam pandangan Frege-Russell berperan sebagai denotatum dari objek yang diacu. Kedua pandangan ini sangat kontras mengenai hubungan nama dengan sifat objek.
Nama dalam pandangan Millian tidak memiliki sifat spesifik yang dapat mengidentifikasi pengusungnya yang menyebabkannya dapat dipertukarkan salva veritate bahkan salva significatione.
Misalnya pada contoh:
(1) Cicero[1] berkepala botak.
Nama Cicero pada kalimat (1) mendesignasi seorang anggota senat Romawi yang pada masanya dikenal dengan nama Tullius, maka:
(2) Tullius berkepala botak.
Kalimat (2) memiliki makna yang sama karena mendesignasi pengusung yang sama. Di kalimat (1) dan (2) nama Cicero dan Tullius dapat dipertukarkan. Nilai modal yang diletakkan pada kalimat dengan nama-nama yang memiliki penggusung yang sama juga tidak berubah karena inti makna kedua kalimat (seperti contoh di atas) tidak berubah.
Ini bertolak belakang dengan deskripsi definit yang diajukan Russell yang berpendapat substitusi dari deskripsi koreferensial (mengacu pada hal yang sama) pada kalimat dapat mengubah kontennya termasuk nilai modal. Ini terjadi karena nama dipahami sebagai sesuatu yang identik dengan deskripsi unik, maka seseorang dapat menyetujui kalimat (1) dan kalimat (2) dengan makna yang berbeda tanpa menghubungkan keduanya.
Hal ini juga dapat diaplikasikan pada teori ‘cakupan’ Russell. Pada de re atau cakupan luas, kalimat:
(3) Jonas tahu bahwa Cicero berkepala botak.
Dalam pembacaan de re, sebuah sifat/deskripsi dapat dipertukarkan salva veritate dengan nama diri. Relasi keniscayaan antara deskripsi dan nama membuat perubahan deskripsinya (berkepala botak) dapat mengubah nilai modal dan kontennya. Sedangkan dalam pembacaan cakupan sempit atau de dicto nama kodesignatif (memiliki pengusung yang sama) hanya memiliki relasi yang niscaya pada objek yang diusung, independen dari deskripsi, dan dapat dipertukarkan selama masih mengusung hal yang sama. Pembacaan de dicto sama dengan pandangan Millian yang menjadikan nama Cicero atau Tulius pada kalimat (3) merupakan nama kodesignatif yang jika dilakukan pertukaran nama tidak mengubah nilai modal maupun konten kalimat tersebut.
Meskipun di atas terkesan sangat jelas pada asersi secara umum, dalam asersi yang menyangkut keyakinan aspek subtitusi identitas merupakan permasalahan yang tidak sepele. Dalam contoh klasik Frege, Hesperus adalah bintang sore dan Phosphorus adalah bintang pagi, kedua nama ini mendesignasi pengusung yang sama, yaitu planet Venus. Namun Frege melihat kedua nama ini tidak dapat dipertukarkan semata-mata karena merupakan hal yang identik. Frege berargumen kedua nama ini memiliki mode presentasi yang berbeda dan karenanya memiliki sense yang berbeda. Seorang Diar dapat mempercayai bahwa Hesperus adalah bintang sore tetapi tidak pada Phosphorus juga adalah bintang sore, padahal Hesperus adalah Phosphorus. Pertukaran nama tidak mungkin dilakukan karena setiap nama secara ketat mengacu pada deskripsi, bukan pada pengusung.
Pandangan Frege-Russell diatas juga memunculkan masalah pada asersi keyakinan dalam situasi perbedaan nama yang tidak diketahui. Seseorang belum tentu mengetahui bahwa negeri ‘Myanmar’ adalah ‘Burma’, maka pernyataan:
(4) Myanmar adalah negeri yang indah.
(5) Burma adalah negeri yang indah.
Kedua kalimat di atas dapat memiliki makna yang berbeda pada orang yang tidak mengetahui kedua nama tersebut mengacu pada negeri yang sama. Gagasan perbedaan mode representasi juga memunculkan permasalahan lain pada pandangan Frege-Russell. Makna seakan menjadi terikat kuat dengan kepercayaan suatu tempat/komunitas yang membuat suatu pernyataan tidak dapat diterjemahkan nilai kebenarannya ke pernyataan dalam komunitas lain. Kripke[2] berpendapat:
“that whenever two codesignative names fail to be interchangeable in the expression of a speaker’s beliefs, failure of interchangeability arises from a difference in the ‘defining’ descriptions the speaker associates with these names—is, therefore, false.”
Kripke meyakini bahwa pandangan Millian lebih layak dipertahankan dalam menjelaskan asersi keyakinan karena dapat terhindar dari kegagalan pertukaran nama yang dialami oleh pandangan Frege-Russell.
Beberapa Prinsip Umum
Kemudian, apakah pandangan Millian dapat diterima begitu saja? Seperti yang dijelaskan di atas, pandangan Millian, yang menjadikan nama sebagai designasi semata, membuatnya dapat dipertukarkan. Tetapi ini hanya dimungkinkan jika kedua nama kodesignatif tidak memiliki perbedaan semantik. Maka, bagaimana mungkin seseorang bisa percaya bahwa kalimat (1) benar tetapi tidak dengan kalimat (2)?
Sebelum menjawab pertanyaan di atas, Kripke mencoba untuk memberikan beberapa prinsip semantik sebagai upaya penjelas permasalahan yang muncul. Pertama, prinsip diskuotasional yang menjelaskan bahwa “seorang pengujar secara reflektif, jujur menyetujui ‘p’, maka ia percaya bahwa p. Kalimat p dipahami sebagai kalimat normal yang diajukan oleh pengujar yang di dalamnya memiliki nama diri sebagai subjek. Misal pada kalimat “Kebumen adalah kota yang indah”, pengujar harus memenuhi kriteria normal dalam menggunakan kata ‘Kebumen’ sebagai nama dari kota Kebumen, serta menggunakan kata ‘indah’ sebagai atribut suatu bentuk keindahan. Kualifikasi ‘secara reflektif’ dimaksudkan untuk menghindari sesat pikir dan kesalahan lingustik dalam mengasersi sesuatu. Sedangkan ‘jujur’ berarti pengujar mengajukan asersinya tanpa ironi atau sarkasme yang membuat ambiguitas intensi pengujar.
Kedua, bentuk bikondisional dari prinsip diskuotasional yang menjelaskan bahwa “seorang pengujar yang tanpa keraguan dapat dikatakan jujur dalam menyetujui ‘p’ jika dan hanya jika ia percaya bahwa p”. Bentuk bikondisional ini merupakan penguat asersi di mana kualifikasi ‘tanpa keraguan’ berarti pengujar tidak menegaskan ulang keyakinannya yang mungkin dikarenakan malu, rahasia, atau untuk menghindari menyinggung orang lain. Prinsip diskuotasional dan bentuk bikondisionalnya diadakan untuk menghindari seseorang mengajukan dua asersi yang ia percayai dengan jujur secara simultan berkontradiksi satu sama lain (p dan -p).
Ketiga, prinsip penerjemahan, yaitu “jika sebuah kalimat pada suatu bahasa mengekspresikan kebenaran pada bahasa tersebut, maka terjemahan dalam bahasa mana pun juga mengekspresikan kebenaran. Dalam keadaan sehari-hari, penerjemahan yang terjadi dapat melanggar prinsip ini bukan untuk menjaga suatu konten tetapi untuk menjaga tujuan dari suatu kalimat dalam bahasa aslinya ke bahasa terjemahannya. Namun Kripke berpendapat, dalam asersi keyakinan, penerjemahan yang terjadi, seminimalnya harus mempertahankan nilai kebenaran pada kalimat dengan bahasa asli. Ketiga prinsip ini digunakan untuk memformalisasikan sebuah afirmasi atau persetujuan menjadi asersi keyakinan untuk menelaah permasalahan yang ada.
Teka-Teki
Mari kita lakukan eksperimen pikiran. Bayangkan Prancis pada abad pertengahan di mana penyebaran informasi masih berjalan lambat dan hanya dapat diakses segelintir orang. Di zaman ini banyak orang yang memiliki impian untuk keluar dari kota atau negaranya untuk melihat dunia, atau sekedar pergi dari segala permasalahan yang ada di tempat ia tinggal. Di zaman nestapa ini, hidup seorang pemuda milisi bernama Pierre yang tinggal di jalanan Paris. Ia melihat segala bentuk revolusi dan pemberontakan yang terjadi dan meluluhlantakkan Paris saat itu. Pierre melihat Paris sebagai kota kumuh penuh penyakit dan kemiskinan, yang membuat ia bermimpi untuk pergi dari sana. Pierre yang tak mampu membeli makan untuk mencukupi kebutuhannya setiap hari, sering memungut kertas koran yang terbuang di pinggir jalan dan membacanya. Pada banyak edisi koran yang ia lihat, Pierre terkesima oleh sketsa dari kota bernama ‘Londres’ yang penuh pohon rimbun dan istana-istana yang tertata sangat rapih. Pierre telah menemukan taman Edennya, tempat di mana ia dapat tinggal dengan tenang, tanpa penyakit, kemiskinan, maupun penderitaan. Pierre meyakini bahwa ‘Londres’ adalah tempat yang indah, atau yang sering ia katakan pada kawan-kawannya sebelum tidur di pinggir sungai Seine:
(6) Londres est jolie.
Dalam bulan-bulan selanjutnya, Paris kembali diguncang kekacauan yang disebabkan kebangkitan rezim Napoleon. Pierre yang semakin lelah dengan perang dan kerusuhan yang terus terjadi tidak dapat membelenggu hasratnya untuk pergi dari Paris. Ia menumpang kereta kuda pertama yang ia lihat untuk membawanya pergi dari kota tersebut. Kereta kuda tersebut kebetulan membawa jagung yang akan diekspor ke Inggris via Normandi. Pierre yang tidak tahu harus kemana, mengikuti kereta kuda tersebut ke atas kapal dan menyeberangi selat Inggris. Sesampainya di pulau Britania, Pierre mengikuti arus massa para pekerja yang kebanyakan menuju kota London. Setelah berminggu-minggu berkelana, Pierre akhirnya menetap di pinggir kota London. Walau kini ia mempunyai pekerjaan tetap sebagai buruh pabrik, hidup Pierre tetap menderita. Ia tidak punya tempat tinggal, dan tidur di jalan atau gorong-gorong. Setiap hari hanya memakan roti dan jagung pemberian yayasan filantropi seorang pengusaha. Kesulitan berbahasa juga kian merepotkannya, tidak satu pun orang di sekitar ia tinggal dapat berbahasa Prancis, begitu pun dengan Pierre yang tidak mengerti bahasa Inggris. Pierre sering dibohongi teman-teman buruhnya dalam pembagian upah, dilecehkan dan dihina di tengah jalan oleh para tentara, ditipu oleh para pedagang di pasar, dan ditindas atasannya di pabrik. Tapi yang paling mengenaskan adalah bahwa ia tidak dapat berbincang-bincang dengan siapa pun. Dari segala kenaasan hidup seorang buruh awal abad 18, Pierre sendirian. Pierre begitu membenci setiap detik yang ia lewati di kota tersebut.
Namun Pierre masih menyimpan impiannya, setiap hari ia berharap dapat pergi ke kota Londres. Bahkan kebiasaan Pierre di Paris belum berubah, ditengah lelapnya istirahat sepulang mengangkut puluhan, bahkan ratusan kilogram batu bara, Pierre selalu mengucap dengan lembut:
(6) Londres est jolie.
Pierre meniatkan dirinya untuk belajar bahasa lokal agar ia tidak ditipu terus-menerus dan dapat berbicara dengan orang lain. Setelah bertahun-tahun belajar bahasa secara ‘langsung’ seperti anak bayi, Pierre fasih berbahasa Inggris. Dengan modal komunikasi yang lebih baik, kehidupan Pierre berangsur-angsur berubah. Kini ia tinggal di Durham, sebuah kota kecil yang tenang di mana kerusuhan paling besar yang terjadi adalah perselingkuhan tetangga. Pierre bekerja di sebuah universitas baru di sana. Walau hanya menjadi seorang penjaga, Pierre merasa tercukupi dan bahkan kini ia memiliki banyak teman. Suatu hari Stephen, seorang remaja yang lahir dan besar di Durham, menceritakan impiannya ke Pierre untuk pergi ke London dan beradu nasib di sana. Stephen, seperti banyak remaja desa yang termakan iklan kapitalisme, melihat London sebagai kota penuh peluang dan kesempatan. Mengingat kembali segala lara yang dilewatinya di sana, Pierre sontak menyanggah ucapan Stephen. Dalam penuh pilu dan amarah, Pierre dengan keras berkata:
(7) London is not pretty!
Stephen yang selama ini mengenal Pierre sebagai sosok teduh yang selalu dapat memetik hikmah dari setiap kejadian buruk, hanya dapat diam dan terperangah.
Dalam eksperimen pikiran d iatas, apa yang diucapkan oleh Pierre pada kalimat (7) berkontradiksi langsung dengan kalimat (6) yang jika diterjemahkan dalam bahasa inggris menjadi: London is pretty. Pierre bersikukuh bahwa keyakinannya pada kalimat (6) dan (7) tidak bertolak belakang. Hal ini berbasiskan pada lanskap bahasa dan epistemik Pierre yang berbeda pada saat di Prancis dan saat di Inggris. Pierre pada posisi monolingual di Prancis, mendapatkan pengetahuan tentang London sebagai ‘Londres’ dari berbagai macam sketsa di surat kabar. Gambar-gambar di koran yang dibaca Pierre memperlihatkan London sebagai kota impian nan indah. Sedangkan dalam posisinya di Inggris, Pierre mengalami langsung penderitaan di kota yang disebut oleh semua orang berbahasa inggris di sekitarnya sebagai London. Dari pengalamannya tersebut ia menyimpulkan bahwa London adalah kota yang sangat buruk dalam memperlakukan dirinya. Ini sejalan dengan teori cakupan Russell, yang menempatkan kalimat (6) sebagai pembacaan de re dan kalimat (7) sebagai de dicto. Namun hal ini malah membuat Pierre jatuh ke lubang yang sama dengan Jonas pada kalimat (3). Permasalahan substitusi identitas pada kalimat (6) via deskripsi koreferensial, maupun kalimat (7) via nama kodesignatif tidak dapat dipadankan.
Kita sebagai sudut pandang orang ketiga tentu melihat Pierre sebagai orang yang naif, bahwa kontradiksi yang terjadi dapat diselesaikan dengan pemeriksaan sederhana sebuah terjemahan. Namun apa yang kita lakukan menurut Kripke mereduksi agensi Pierre dan menjadikan keyakinan Pierre sebagai keyakinan pembaca. Ini berimplikasi pada keyakinan monolingual Pierre (6) yang secara retroaktif harus dinilai dalam lanskap epistemik posteriori pada (7) yang menjadikan kalimat (6) tidak relevan karena disimpulkan Pierre yang tidak pernah percaya London itu indah.
Tapi apakah mungkin Pierre telah mengubah keyakinannya yang dahulu? Kemungkinan ini dapat dibenarkan dalam pembacaan de dicto di mana Pierre jelas mengetahui bahwa ‘London’ dan ‘Londres’ memiliki pengusung yang sama. Namun pada situasi ini Pierre secara tegas meyakini kalimat (6) dan (7) secara bersamaan. Bahwa tidak ada keyakinannya yang berubah sejak Pierre meninggalkan Paris.
Lalu bagaimana dengan kemungkinan Pierre menyatakan keyakinannya karena hanya melihat satu sisi kota? Jika diandaikan Pierre sering dicemooh oleh teman kerja karena keyakinannya pada kalimat (7) yang menganggap Pierre ‘belum melihat keseluruhan isi kota’. Pierre, karena tekanan sosial, akhirnya memiliki sikap yang sama dengan teman kerjanya yang justru akan menunda keyakinannya pada kalimat (7). Maka, pada kalimat (6) pun keyakinan yang sama akan ditunda karena ia juga belum melihat keseluruhan kota ‘Londres’. Pada pengandaian lain, Pierre akhirnya mengetahui bahwa ‘Londres’ adalah bagian cantik suatu kota dan ‘London’ adalah bagian kumuh kota yang sama. Maka Pierre dapat berkata bahwa kota yang ia maksud pada kalimat (6) maupun (7) secara parsial mendesignasi tempat yang berbeda walau memiliki acuan yang sama. Bahwa ‘London’ secara unik memenuhi deskripsi tempat yang kumuh, dan ‘Londres’ secara unik memenuhi deskripsi tempat yang indah. Kedua keyakinan Pierre pun dapat dipertahankan tanpa kontradiksi, begitu pun teka-tekinya. Kedua kalimat yang membedakannya hanya sense, seperti Hesperus dan Phosporus.
Keberatan lain yang dapat muncul adalah proses penerjemahan pada nama ‘London’, yang dipandang adanya perbedaan makna yang menjadikannya tidak dapat diterjemahkan. Teori deskripsi klasik menilai bahwa penerjemahan hanya dapat terjadi di antara dua pengujar saat keduanya memahami sifat identitas unik yang sama antar kedua nama yang diterjemahkan. Semisal Pierre dapat menerjemahkan setiap kata pada kalimat (6) kecuali pada nama Londres, maka:
(8) Londres is pretty.
Pada pengandaian ini Pierre juga telah mengubah keyakinannya pada kalimat (7) dan menjadi:
(9) London is pretty.
Secara sederhana Pierre dapat menyimpulkan bahwa ‘London’ dan ‘Londres’ memiliki sifat unik yang sama untuk mengidentifikasi kota tersebut dan deskripsi ini dapat dipertukarkan salva veritate dengan nama pada kalimat. Perlu dipahami bahwa identitas dari acuan ini merupakan konsekuensi logis dari keyakinan pengujar. Kedua sifat yang mengidentifikasi ini memenuhi kriteria penerjemahan teori deskripsi klasik. Namun Pierre masih dapat meyakini ‘London’ dan ‘Londres’ merupakan dua kota yang berbeda. Walau Pierre mengumpulkan himpunan sifat yang sama pada kedua nama, Pierre masih mungkin gagal menyamakan ‘London’ dan ‘Londres’.
Hal yang sama juga terjadi pada keadaan sebaliknya. Misal nama ‘Londres’ dianggap kurang merepresentasikan ‘London’ dalam bahasa inggris, dan digantikan oleh kata ‘London’ dengan tulisan yang sama. Maka kalimat (6) menjadi:
(10) London est jolie.
Kalimat (10) diajukan Pierre dalam situasi monolingual, di mana ia hanya bisa berbahasa prancis yang menimbulkan perbedaan cara pengucapan (pronunciation). Kalimat (9)[3] dan (10) walau dapat dipahami oleh Pierre pada situasi bilingual memiliki predikat yang sama (jolie = pretty), Pierre masih dapat gagal memahami bahwa kedua nama dalam dua kalimat di atas mengacu pada kota yang sama karena perbedaan pengucapan yang muncul.
Keberatan terakhir yang dibahas oleh Kripke dalam artikel ini adalah ‘indeterminacy of translation’ oleh Quine. Kripke menganggap argumen Quine[4] yang menekankan perbedaan intensi pengujar dan pendengar dalam proses penerjemahan berbeda dengan teka-teki yang Kripke ajukan. Ketersesatan makna dalam penerjemahan pada argumen Quine mengandaikan perbedaan persepsi yang substansial dan memunculkan makna yang berbeda di dalam kepala pengujar dan pendengar. Teka-teki yang Kripke berikan lebih sederhana karena pada asersi yang diajukan, hanya dibuktikan adanya keyakinan yang inkonsisten antar setiap asersi. Walau lanskap epistemik juga dipertimbangkan, Kripke mengasumsikan jika dalam kondisi yang sama maka persepsi yang dimiliki juga sama, berbeda dengan Quine yang memungkinkan adanya perbedaan persepsi dalam keadaan apapun.
Kesimpulan
Kripke memandang bahwa pada setiap kasus kontradiksi dalam asersi keyakinan, konklusi kebanyakan filsuf yang pada saat itu memiliki kecenderungan pandangan Frege-Russell tidak dapat dibenarkan. Pada contoh kasus kalimat (3), Jonas dapat mempercayai Cicero berkepala botak, dan Tullius tidak berkepala botak secara bersamaan karena kedua asersi tidak mengacu pada deskripsi yang sama. Pandangan ini menyatakan nama pribadi kodesignatif tidak dapat dipertukarkan salva veritate dalam konteks keyakinan. Kripke berpendapat bentuk keyakinan atributif yang didasarkan pada prinsip diskuotasional dan penerjemahan seperti pada kasus Jonas dan Pierre patut dipertanyakan.
Pada penerjemahan ragam alamiah (natural kinds), seorang bilingual mungkin mempertanyakan apakah ‘kelinci’ dan ‘lapin’ dalam lingkup bahasa aslinya merujuk pada satu spesies yang sama atau tidak. Sama halnya pada kasus Pierre, ia dapat mempertanyakan bahwa ‘Londres’ dan ‘London’ merupakan sinonim atau bukan. Permasalahan yang muncul bukan dari klaim nama kodesignatif tidak dapat dipertukarkan salva veritate pada konteks keyakinan, atau dipertukarkan salva significatione pada konteks sederhana. Tetapi pada absurditas melakukan subtitusi identitas pada konten asersi atau ekspresi proposisi seseorang.
[1] Penggunaan nama:
(kota) tanpa italic dan tanpa apostrof: mengacu pada objek real.
(kota) italic dan tanpa apostrof: mendesignasi objek dalam cerita.
(‘kota’) italic dan apostrof: mendesignasi kata dalam asersi.
[2] Lih. Saul Kripke, “A Puzzle About Belief” dalam Saul Kripke, Philosophical Troubles, (New York: Oxford University Press, 2018), hal. 135.
[3] Demi konsistensi contoh, saya menggunakan kalimat (9) sebagai pembanding.
[4] Lih. Willard Van Orman Quine. Word and object. MIT press, 2013.