Tiga Tesis dan Tiga Catatan: Rancière, Estetika, dan Politik (2)

Teori politik demokrasi Rancière yang berdasar pada perselisihan, tidak ada arkhe, hanya sejauh bersentuhan dengan dimensi manusia.

R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther
R.H. Authonul Muther, yang akrab disapa Ririd, lahir 15 Desember 1998. Seorang editor in chief di penerbitan Edisi Mori yang terfokus pada buku filsafat, sains dan humaniora. Ririd juga adalah seorang editor dan penyunting teks-teks filsafat. Minat kajian yang digeluti adalah filsafat, sastra dan politik; khususnya, ia lebih menekuni filsafat kontemporer. Sampai saat ini (2023), ia telah menulis satu buku Akhir Sentuhan dan puluhan esai ilmiah terkait bidang yang ia sukai.

Kesetaraan dan Tiga Rezim Seni

Konsep penting yang menjadi dasar dalam pemikiran Rancière tentang estetika adalah konsep tentang rezim seni. Rezim seni adalah sebuah jejaring relasi bagaimana suatu objek, tindakan, proses, maupun praktik, dapat dipahami sebagai seni (Rancière, 2009: 28). Di sini, rezim seni membuat sebuah spesifikasi bagaimana praktik-praktik tertentu atau objek-objek tertentu harus dilihat dan dipahami; dan, dapat dikatakan sebagai sebuah karya seni. 

Di dalam Aesthetics and Its Discontents, Rancière menulis bahwa dalam satu objek yang sama mungkin dapat dianggap seni maupun yang-bukan-seni dan, jika pun suatu objek bisa dikatakan sebagai sebuah seni, maka objek tersebut dapat dipahami dalam satu atau dua cara yang berbeda (Rancière, 2004: 27-28). Dengan kata lain, suatu objek yang sama bisa dianggap seni atau bukan seni tergantung pada rezim atau mazhab seni tertentu. Bisa jadi, satu objek dapat dikatakan seni dalam sebuah rezim atau mazhab seni tertentu, tetapi bukan seni menurut rezim atau mazhab seni lain. Toh, jika pun suatu objek dapat dikatakan suatu karya seni—baik dalam satu atau lebih rezim seni—banyak cara yang dapat kita tempuh untuk melihat dan memahami objek seni tersebut. Menariknya, Rancière membuat tiga tipografi rezim seni.

Pertama, rezim etis seni. Rezim etis, pada dasarnya, bukan rezim seni in stricto sensu. Di dalam rezim etis, sebuah objek—patung dewi Nyx misalnya—harus ditangkap sebagai sebuah gambar (dalam konteks patung dewi Nyx, objek yang kita persepsi harus dihadirkan sebagai gambar seorang dewi). Bagi rezim etis, sekurang-kurangnya, kita harus mengajukan tiga pertanyaan mendasar: Apakah sudah tepat gambaran kita terhadap sesosok dewi dalam patung tersebut? Apakah dewi dalam gambar tersebut benar-benar riil? Begitukah seharusnya gambar atas objek itu kita tangkap? Karakter rezim etis seni ini tampak dalam konsep seni Plato. 

Karakter dasar diskursus seni dalam semesta Platonik adalah ia bekerja dalam parameter rezim etis. Dalam diskusi tentang puisi, misalnya, Plato tertuju pada bagaimana gambar yang ditangkap atas puisi mampu memengaruhi pengetahuan audiens dan bagaimana puisi—juga teater—mampu menyumbang keserasian harmonis dalam sebuah kota (polis) (Rancière, 2004: 27-28). Di titik ini, rezim etis seni secara umum, dan Platonian secara khusus, gambar atau makna sebuah karya seni dikondisikan dalam kerangka “ethos”—baik secara individu maupun kolektif. Gambar atau makna sebuah objek seni harus mampu membangkitkan pertanyaan etis dalam artinya yang paling luas. Rancière memberi contoh bagaimana praktik rezim etis seni ini berjalan: Dansa sebagai teknik terapeutik; puisi sebagai pendidikan; dan teater sebagai festival warga sipil (Davis, 2010: 135). Dalam rezim etis seni, kegunaan adalah barang keramat; seni harus berguna.

Kedua, rezim representational seni. Rezim representasional seni sangat bersandar pada konsep Aristoteles tentang mimesis. Seni representasional dibangun di atas prinsip mimesis. Namun, hal yang perlu ditekankan, mimesis dalam pemikiran Rancière sedikit berbeda. Mimesis, bagi Rancière, bukanlah imitasi dari dunia nyata ke dalam sebuah bentuk seni. Pertanyaan tentang jiplakan atau mengimitasi kenyataan ke dalam semesta seni, justru termasuk ke dalam rezim etis seni, bukan rezim representasional (Rancière, 2004: 21-22). Bagi Rancière, mimesis adalah prinsip yang memungkinkan sebuah praktik atau objek tertentu dapat dianggap sebagai seni. Karena bagi Rancière, konsep mimesis Aristoteles adalah sebentuk usaha untuk memisahkan praktik-praktik kesenian dari penilaian pragmatis atau etis seperti yang dilakukan oleh Plato (Rancière, 2004: 21-22). Di dalam rezim representasional, sesuatu dianggap seni sesuai dengan hierarki sosial—bagi seni atas (kaum bangsawan), seni bawah (kaum pekerja) bukanlah seni. 

Seperti yang telah saya uraikan dalam tulisan saya sebelumnyale partage du sensible membuat sebuah pemisahan dan pembagian tatanan sosial ke dalam tatanan hierarkis. Persis di sini, rezim representasi, dalam struktur internalnya, juga bersifat hierarkis. Sekali lagi, seni bukan hendak merepresentasi sebuah kenyataan yang bersifat alamiah (gunung, pantai), melainkan hendak merepresentasi tatanan sosial. Oleh karena itu, di dalam rezim representasional tidak ada kesetaraan, persis karena ia ditopang dan merepresentasi tatanan sosial yang hierarkis. Tak heran, tempat paling pas untuk rezim representasional adalah teater. Teater adalah tempat paling representasional dalam menggambarkan hierarki pekerjaan, pangkat sosial dan aktus kehidupan manusia. Seni, bagi rezim representasional, adalah tentang seni yang berurusan dengan pangkat dan kedudukan—meski tanpa pertimbangan pragmatis maupun etis.

Ketiga, rezim estetika.  Di dalam rezim seni, tidak ada lagi hierarki genre, dan seni tidak lagi berada dalam modus apropriasiyang memengaruhi subjek yang memersepsi. Rezim estetika hanya sekadar rezim yang berbicara tentang “seni”, bukan “kesenian”. Rezim estetika telah menanggalkan sembarang kriteria, sembarang mimesis; rezim estetika meninggalkan sembarang tolak ukur kriteria agar suatu objek dapat dikatakan karya seni. Singkatnya, semua objek mungkin menjadi karya seni dan segala aktivitas manusia potensial untuk menciptakan karya seni (Rancière, 2004: 23). Di dalam rezim estetika, tidak ada lagi arkhe, tidak ada lagi hierarki, yang ada hanyalah seni, bukan kesenian. 

Rezim estetika, di sisi lain, tidak punya sebuah pagar pembatas apa dan mengapa sebuah objek bisa dikatakan indah. Oleh karena itu, sebagai konsekuensi, karena tidak ada aturan dan titik tolak kriteria, konsep tentang keindahan adalah gagasan yang mubazir. Di dalam rezim estetika, tidak ada lagi logika jual-beli, tidak ada rantai kausalitas sebab-akibat. Seni kontemporer, yang terkait erat dengan rezim estetika, tentu saja sejak Kant hingga pasca Kant, dikutuk untuk tidak memiliki mistar pengukur. Di titik ini, rezim estetika merupakan sebentuk kesetaraan radikal dalam seni.

Jika seni tidak lagi punya mistar pengukur, lantas, di mana kedudukan karya seni di dalam rezim estetika? Apakah segala objek adalah seni? Bukankah, sama seperti tesis Rancière tentang le politique, jika segala objek adalah seni, berari tidak ada seni sama sekali? 

Dalam menjawab pertanyaan di atas, terdapat satu hal penting yang harus kita singgung: Pada dasarnya, dalam artinya yang paling luas, di dalam rezim estetika, kedudukan karya seni dipahami sebagai objek pengalaman inderawi, bahwa karya seni adalah bagian dari dunia.  Patung dewi Nyx, misalnya, bagi rezim estetika bukanlah sebuah “imitasi” yang merujuk pada sebuah model atau tokoh tertentu dan mempunyai sebuah pesan yang berguna. Bukan pula berusaha mencari makna tersembunyi dengan mendekomposisi bentuk dalam suatu karya seni. Justru, rezim estetika melampaui sembarang bineritas dalam pengalaman inderawi: “Karya seni memberikan sebuah pengalaman yang unik, yang menangguhkan hubungan-hubungan lumrah tidak hanya antara penampakan dan realitas, tapi juga antara bentuk dan materi, aktivitas dan pasivitas, pemahaman dan sensibilitas (sensorik)” (Rancière, 2009: 30). 

Di dalam rezim seni, kita seakan-akan dipaksa berpikir seperti di pengasingan, di sebuah tempat yang sama sekali baru dan belum terjamah. Kita dipaksa mengembara, tetapi tanpa jarum kompas atau peta pasti untuk menentukan sebuah tujuan akhir. Di hadapan karya seni, kita seolah-olah seperti tak memikirkan untuk apa dan mengapa memersepsi sebuah karya seni; tidak ada kompas, tidak ada peta, apalagi seorang pemandu yang serba tahu. Hal ini disebabkan karena Rancière terpengaruh dengan bagaimana Kant menawarkan konsep seni dan keindahan. Bagi Kant, kita memersepsi sebuah karya seni hanya sejauh pemuasan hasrat estetik. 

Rancière memberi contoh karya seni di dalam semesta rezim estetis: Patung dewi Juno Ludovisi. Patung dewi Juno penuh misteri, ia tampak begitu tenang dan anggun. Namun pada saat yang sama, ketika memersepsi patung dewi Juno, tidak ada panduan atau gejala makna apakah wajah sang dewi sedang berpikir atau melamun, tersenyum atau sedih. Patung itu melampaui sembarang bineritas. Patung dewi Juno “memberikan sebuah pengalaman yang unik”, wajah sang dewi melampaui bineritas. Semua berhak punya bagian, semua setara dalam menentukan tafsir. Rezim estetik tidak hendak menempatkan seni ke dalam kerangkeng tatanan hierarkis; ia tidak berdasar pada arkhe.

Penutup: Tiga Tesis, Tiga Catatan

Sebagai penutup, kita harus mengajukan tiga catatan, lebih tepatnya pertanyaan, mengenai konsep politik yang ditawarkan Rancière. Pertama, sejauh mana politik demokrasi yang didasarkan pada sebuah perselisihan menjadi mungkin di “dunia ketiga”? Seperti yang kita tahu, demokrasi di dunia ketiga adalah demokrasi yang terjerembab ke dalam demokrasi seremonial; dan, di dalam jati dirinya, terdapat sebuah watak aristokratik. Demokrasi dunia ketiga, jika meminjam istilah Rancière sendiri, adalah demokrasi yang tetap terjerembab di dalam para-politik. Sebuah rezim yang di dalam hukum-hukum formal pemerintahannya, terdapat sebuah akomodasi bagi yang-salah, tetapi akomodasi semu dan sekadar seremonial. Yang-salah punya ruang, mereka bisa bersuara, mereka memverifikasi kesetaraan, namun tetap dianggap suara yang bising dan tidak pernah menggoncang tatanan dominan. Juga, mereka tidak pernah bisa memberi sumbangsih masukan apa pun pada tatanan. Bagaimana cara Rancière menyikapi demoraksi yang sekadar seremonial ini?

Kedua, bagaimana jika, di dalam struktur internal demokrasi itu sendiri, verifikasi datang dari dalam? Artinya, verifikasi kesetaraan dimulai dari dalam, dari mereka yang merupakan tatanan dominan (le police). Bagaimana jika yang memverifikasi kesetaraan itu adalah instansi yang merupakan bagian penting di dalam demokrasi itu sendiri? Bagaimana jika perselisihan itu tidak lagi dilakukan oleh demos, melainkan oleh kratos? Jika benar, apakah Rancière tetap menoleransi pemberontakan militer? Sebuah verifikasi yang tidak hendak menciptakan sebuah tatanan, melainkan menggantikan kedudukan tertinggi sebuah kekuasaan? Lantas, jika Rancière menolak verifikasi kesetaraan dilakukan oleh instansi, di mana batas-batas mereka yang boleh dan tidak boleh memverifikasi kesetaraan? Apakah dalam demokrasi masih ada secuil logika kepatuhan? Jika memang harus ada kepatuhan, maka, demokrasi tidak hanya berdiri dengan satu kaki, ia tidak hanya berdiri di atas perselisihan, melainkan juga dibangun di atas logika kepatuhan. Patuh pada siapa? Hukum? Hukum yang dikangkangi seremonial dan sangat aristokratik?

Ketiga, politik dalam pengertian Rancière adalah sejauh politik dalam semesta antroposentrisme. Politik sejauh ia dipersepsi, politik sejauh memverifikasi kesetaraan. Di luar manusia, tidak ada politik; di titik ini, seluruh aktivitas le politique didasarkan pada logos manusia. Sebenarnya, politik Rancière tetaplah mengandaikan arkheLogos kesadaran antroposentris. Hewan non-manusia tak punya bagian, ia adalah yang-salah sekaligus yang-kalah. Hewan non-manusia tidak masuk hitungan, yang-salah, tapi pada saat yang sama, juga tidak bisa memverifikasi kesetaraan, yang-kalah. Padahal, kita semua tahu, hewan non-manusia mempunyai semesta persepsi—meski dalam kondisi-kondisi yang tidak sama dengan persepsi manusia. Bagaimana Rancière menjawab politik interspesies? Bagaimana mereka yang di luar spesies manusia mampu mempunyai semesta politik? Apakah Rancière menganggap hewan itu di luar subjek politik? Jika Rancière menjawab iya, maka, ia tidak benar-benar bisa lepas dari logika arkhe. Persisnya, teori politik demokrasinya yang berdasar pada perselisihan, tidak ada arkhe, hanya sejauh bersentuhan dengan dimensi manusia. Di luar manusia tidak ada politik, tidak ada perselisihan. Hewan selamanya, pertanyaan saya bagi Rancière, dikutuk berada di luar himpunan le politique?


Daftar Pustaka

Bowman, Paul & Stamp, Richard (2011), Reading Ranciere, London: Continuum.

Davis, Olivier (2009), Jacques Ranciere, Cambride: Polity Press

Deranty, Jean-Philippe (2010), Jacques Ranciere: Key Concepts, London: Routledge.

Ranciere, Jacques (1999), Disagreement: Politics and Philosophy, tr. by Julie Rose, Minneapolis: University of Minnesota Press.

Ranciere, Jacques (2004), The Politics of Aesthetics: The Distribution of the Sensible, tr. and introduced by Gabriel Rockhill, with an Afterword by Slavoj Zizek, London: Continuum.

Ranciere, Jacques (2009), Aesthetics and Its Discontents, tr. by Steven Cocoran, Cambridge: Polity.

Ranciere, Jacques (2009), Dissensus: On Politics and Aesthetics, ed. by Steven Cocoran, London: Continuum.

Ranciere, Jacques (2023), Sepuluh Tesis tentang Politik, trj. Muhammad Al-Fayyadl, Monograf.

Trott, Adriel (2012), Ranciere and Aristotle: Parapolitics, Part-y Politics, dan the Institution of Perceptual Politics, dalam The Journal of Speculative Philosophy, Vol. 26, No. 04, pp. 627-646, http://www.jstor.org/stable/10.5325/jspecphil.26.4.0627.

Wibowo, Setyo (2020), Menjaga Girah Emansipasi: GM Membaca Politik dan Seni Jacques Ranciere, dalam Membaca Goenawan Mohamad, Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia.

Bacaan Lainnya