Artikel ini bertujuan untuk menunjukkan bahwa analisis terhadap sesat pikir Ad Hominem tidak dapat dijelaskan secara koheren dengan kerangka logika klasik. Artikel ini dimulai dengan mendefinisikan sesat pikir Ad Hominem dan kemudian mendefinisikan sebuah penghinaan. Dari definisi tersebut, saya akan menunjukkan bahwa sebuah penghinaan juga merupakan sesat pikir Ad Hominem apabila menggunakan kerangka logika klasik. Atas dasar hasil tersebut, saya akan berargumen bahwa hal tersebut tidaklah koheren sehingga logika klasik tidak dapat digunakan untuk menganalisis sesat pikir Ad Hominem. Sebagai penutup, saya akan memperlihatkan kemungkinan jalan untuk menganalisis sesat pikir Ad Hominem secara koheren.
Ad Hominem dan Penghinaan
Pertama-tama, pertimbangkan contoh percakapan berikut:
Anin: “…. Dengan demikian, untuk menyelesaikan problem tersebut, kita harus mendesak pemerintah dengan mendemo pemerintah.”
Bela: “Karena wajahmu jelek, maka argumenmu keliru. Karena argumenmu keliru, maka saya tidak sepakat denganmu.”
Secara intuitif, hal yang dilakukan Bela merupakan sebuah sesat pikir Ad Hominem. Perhatikan bahwa Bela mengatakan “Karena wajahmu jelek, maka argumenmu keliru.” Hal tersebut mendasarkan kekeliruan sebuah argumen pada aspek pribadi orang yang berargumen, yakni kejelekan wajah Anin. Kita dapat abstraksi secara formal kasus tersebut menjadi sebuah definisi untuk sesat pikir Ad Hominem:
(AH) Seorang X melakukan sesat pikir Ad Hominem jika dan hanya jika X berargumen bahwa “karena A, maka B” atau “B karena A”, untuk A merupakan sebuah penilaian terhadap aspek pribadi seseorang Y dan B merupakan penilaian terhadap argumentasi orang Y tersebut.
Dapat diperhatikan bahwa argumentasi “karena A, maka B” merupakan sebuah bentuk argumentasi entimematik dari sebuah penyimpulan. Dengan kata lain, “karena A, maka B” berarti “[A ⊨ B] dan [⊨ A]”, untuk ‘⊨’ merupakan sebuah penyimpulan, dan sebuah asersi apabila tanpa premis. Dari sini cukup jelas bahwa sesat pikir Ad Hominem merupakan sebuah bentuk argumentasi yang menilai argumentasi orang lain dengan dasar aspek pribadi orang yang berargumen tersebut.
Untuk penghinaan, penghinaan dapat kita abstraksi sebagai sebuah pernyataan yang merendahkan aspek pribadi seseorang. Kita tidak perlu mendetailkan hal yang dimaksud ‘merendahkan’ sebab detail tersebut tidaklah signifikan maupun relevan untuk analisis ini. Untuk memudahkan analisis, kita dapat ambil contoh pernyataan merendahkan dalam konteks penampilan seperti “wajahmu jelek” sebagai perwakilan dari penghinaan. Sampai titik ini, cukup jelas apa yang dimaksud dengan sesat pikir Ad Hominem maupun sebuah penghinaan. Dengan demikian, dapat kita lanjutkan pada proses analisis logis.
Menghina berarti Sesat Pikir Ad Hominem dalam Logika Klasik
Perhatikan pernyataan dengan penghinaan berikut:
Andi: “…. Dengan demikian, argumenmu keliru; dan lagi pula, wajahmu juga jelek.”
Pernyataan Andi tersebut muncul berawal dari analisis yang kokoh sehingga menunjukkan bahwa argumentasi seseorang keliru, dan kemudian Andi juga menutupnya dengan sebuah penghinaan. Andi tidak mengatakan bahwa kekeliruan argumentasi seseorang tersebut didasarkan pada kejelekan wajah; sehingga, sekilas di titik ini Andi tidak melakukan sesat pikir Ad Hominem. Dengan kata lain, di titik ini, Andi hanya melakukan penghinaan, namun tidak melakukan sesat pikir Ad Hominem.
Sayangnya hal tersebut hanyalah di permukaan saja. Apabila kita lihat pernyataan Andi tersebut menggunakan logika klasik, dapat dengan mudah ditunjukkan bahwa Andi juga melakukan sesat pikir Ad Hominem. Sebut ‘A ⊨X B’ sebagai penyimpulan ‘dari A dapat disimpulkan B’ dengan menggunakan logika X; sehingga, penyimpulan tanpa premis ‘⊨X A’ (yakni ‘∅ ⊨X A’) dapat disebut sebagai sebuah asersi atas proposisi A dalam logika X. Sebut pula ‘CL’ sebagai logika klasik sehingga penyimpulannya merupakan preservasi kebenaran. Dari hal tersebut, dapat ditunjukkan secara abstrak formal bahwa, apabila Andi menggunakan logika klasik, Andi menyatakan:
(1) ⊨CL A ∧ B.
Untuk A merupakan penilaian argumentasi, B merupakan penghinaan, dan ‘∧’ merupakan konektif ‘dan’.
Seperti yang telah diketahui, terdapat prinsip simplifikasi untuk konjungsi sehingga [A ∧ B ⊨CL B]. Dengan demikian, dari (1), secara transitif dengan prinsip simplikasi bertransformasi menjadi:
(2) ⊨CL B.
Dalam logika klasik, penyimpulan berikut adalah valid:
(3) A ∧ B ⊨CL B → A.
Untuk ‘→’ sebagai implikasi material. Pembuktiannya sederhana:
Pembuktian untuk A ∧ B ⊨CL B → A: |
Karena ‘⊨CL’ merupakan preservasi kebenaran, maka kita tunjukkan bahwa dengan menetapkan ‘A ∧ B’ sebagai benar maka dapat ditunjukkan pula bahwa ‘B → A’ juga benar. Tetapkan ‘A ∧ B’ benar. Karena ‘A ∧ B’ benar, maka ‘A’ benar dan ‘B’ benar. Karena ‘→’ merupakan implikasi material, maka ‘B → A’ benar jika dan hanya jika ‘B’ salah atau ‘A’ benar. Karena ‘A’ benar, maka ‘B → A’ benar. Dengan demikian, telah ditunjukkan bahwa A ∧ B ⊨CL B → A valid. |
Maka dari itu, melalui (1) dan (3) dapat dilihat secara transitif bahwa:
(4) ⊨CL B → A.
Dalam metalogika klasik, terdapat prinsip deduktif bahwa [⊨CL B → A] menghasilkan [B ⊨CL A] dengan pembuktian yang cukup mudah: tetapkan bahwa [⊨CL B → A], kemudian cukup jelas bahwa semisal kita memiliki premis B, secara modus ponens, dapat disimpulkan A, yakni [B ⊨CL A]. Dengan demikian, melalui prinsip deduktif, (4) bertransformasi menjadi:
(5) B ⊨CL A.
Dari penyimpulan di atas, dapat dilihat bahwa (1) yang dinyatakan oleh Andi yakni, [⊨CL A ∧ B], bertransformasi menjadi (5), [B ⊨CL A], dan (2), [⊨CL B]. Jelas bahwa secara definitif, “[B ⊨CL A] dan [⊨CL B]” merupakan “karena B, maka A”. Sebab B merupakan penghinaan dan A merupakan penilaian argumentasi, maka transformasi tersebut merupakan sesat pikir Ad Hominem. Dengan demikian, dengan Andi menyatakan [⊨CL A ∧ B], Andi juga melakukan sesat pikir Ad Hominem—ingat bahwa ini terbatas dalam kerangka logika klasik.
Penyimpulan di atas dapat digeneralisir secara garis besar: menyajikan analisis yang kokoh dengan tambahan beberapa penghinaan sebagai bumbu argumentatif berefek pada jatuhnya sajian tersebut menjadi sesat pikir Ad Hominem dalam logika klasik. Dengan kata lain, tidak terdapat ruang dalam logika klasik untuk sekadar menambah bumbu-bumbu pemantik keributan argumentatif sebab semua yang dinyatakan benar dianggap berhubungan satu sama lain sebagai satu kesatuan dalam logika klasik.
Inkoherensi Sesat Pikir Ad Hominem dalam Logika Klasik
Telah ditunjukkan sebelumnya bahwa [⊨CL A ∧ B] berarti [B ⊨CL A] dan [⊨CL B]. Untuk sebaliknya, [B ⊨CL A] dan [⊨CL B] berarti [⊨CL A ∧ B], dapat ditunjukkan dengan mudah:
Pembuktian [B ⊨CL A] dan [⊨CL B] berarti [⊨CL A ∧ B]: |
Tetapkan bahwa [B ⊨CL A] dan [⊨CL B]. Maka dari itu, secara transitif, [⊨CL A]. Karena [⊨CL A] dan [⊨CL B], maka [⊨CL A ∧ B]. Dengan demikian, [B ⊨CL A] dan [⊨CL B] berarti [⊨CL A ∧ B]. |
Karena “[⊨CL A ∧ B] berarti [B ⊨CL A] dan [⊨CL B]” dan “[B ⊨CL A] dan [⊨CL B] berarti [⊨CL A ∧ B]”, maka:
[⊨CL A ∧ B] setara dengan [B ⊨CL A] dan [⊨CL B].
Kesetaraan tersebut merupakan sebuah inkoherensi apabila diterjemahkan dalam konteks Ad Hominem. Untuk A merupakan penilaian argumentasi dan B merupakan penghinaan, asersi yang menggandung penghinaan setara dengan sesat pikir Ad Hominem dalam logika klasik. Saya berposisi bahwa hal ini tidak dapat diterima secara intuitif.
Konsekuensi dari kesetaraan tersebut adalah tidak adanya perbedaan antara (a) pernyataan yang mengandung penghinaan, dengan (b) pernyataan yang mendasarkan penilaian argumentasi pada kualitas pribadi orang yang berargumen namun menggunakan diksi dan gaya yang merendahkan atau menghina. Padahal, cukup jelas bahwa dua hal tersebut secara definitif-intuitif berbeda. Akan tetapi, dengan menggunakan logika klasik, (a) dan (b) runtuh menjadi satu kesatuan, menjadi tidak ada bedanya.
Hal tersebut merupakan kebingungan konseptual yang dihasilkan dari penggunaan kerangka logika klasik. Saya tidak mengatakan bahwa logika klasik inkoheren dengan sendirinya; saya mengatakan bahwa apabila kita menganalisis sesat pikir Ad Hominem dengan menggunakan logika klasik, maka inkoherensi terjadi. Logika klasik masih merupakan logika yang koheren dalam bangunan metalogikanya.
Apabila konstruksi logika klasik dibongkar, dapat dipahami bagaimana model yang dibangun dan bekerja sehingga [B ⊨CL A] dan [⊨CL B] setara dengan [⊨CL A ∧ B]. Logika klasik dibangun atas konstruksi ℐ ≔ ⟨𝒫, 𝒦, 𝒩, ν⟩: 𝒫merupakan himpunan proposisi; 𝒦 = {0, 1} merupakan himpunan nilai kebenaran; 𝒩 = {1} merupakan himpunan nilai yang didesignasi; dan ν merupakan fungsi nilai kebenaran yang memetakan nilai kebenaran untuk setiap proposisi dalam 𝒫. Untuk 𝒫 dalam kasus ini, kita cukup mendefinisikan φ ∈ 𝒫 sebagai:
φ ∷= p | φ ∧ ψ
di mana ‘p’ merupakan parameter proposisional atau proposisi sederhana/atomis; dan ‘φ’ serta ‘ψ’ merupakan proposisi skematik yang mewakili proposisi lain. Definisi tersebut dibaca: proposisi φ yang merupakan anggota 𝒫 dapat berbentuk proposisi sederhana ‘p’ maupun proposisi kompleks ‘φ ∧ ψ’. Rekursi untuk ‘∧’ adalah:
ν(A ∧ B) = 1 iff ν(A) = 1 dan ν(B) = 1.
Sedangkan rekursi untuk penyimpulan ‘⊨CL’ adalah preservasi kebenaran:
Γ ⊨CL A iff Untuk ∀B ∈ Γ, ν(B) ∈ 𝒩, s.t. ν(A) ∈ 𝒩.
Sehingga, rekursi untuk asersi ‘⊨CL’ adalah:
⊨CL A (atau ∅ ⊨CL A) iff ν(A) ∈ N.
Dari konstruksi di atas, jelas bahwa [B ⊨CL A] dan [⊨CL B] setara dengan [⊨CL A ∧ B] sebab [B ⊨CL A] dan [⊨CLB] berarti ν(A) = 1 dan ν(B) = 1 sehingga ν(A ∧ B) = 1 yang juga berarti [⊨CL A ∧ B]. Konstruksi logika klasik sendiri tetap koheren, namun tidak apabila kerangkanya digunakan untuk membedah sesat pikir Ad Hominem, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya. Dengan kata lain, konstruksi logika klasik tetap sahih: mungkin dapat berlaku pada konteks lain yang sesuai, seperti aritmatika dan matematika.
Bagaimanapun, kesetaraan tersebut menunjukkan bahwa logika klasik tidak cocok digunakan untuk membedah sesat pikir Ad Hominem. Hal ini dapat dijadikan dasar untuk skeptis terhadap penggunaan logika klasik atas analisis sesat pikir secara umum. Eksplorasi perihal ini dapat menjadi lahan basah riset untuk para filsuf-logikawan apabila memang ada yang berminat untuk mengeksplorasinya lebih jauh pada sesat pikir lain.
Lalu, Memakai Logika Apa?
Salah satu logika yang dapat menjadi kandidat adalah logika di mana (3) tidak berlaku, yakni [A ∧ B ⊭ B → A]. Dengan tidak berlakunya (3), konsekuensinya, meskipun [⊨ A ∧ B], tidak serta merta [B ⊨ A] dan [⊨ B]—ingat bahwa [B ⊨ A] dan [⊨ B] masih berarti [⊨ A ∧ B]. Dengan demikian, koherensinya dapat dipertahankan: pernyataan yang mengandung penghinaan belum tentu sesat pikir Ad Hominem, meski sesat pikir Ad Hominem sudah tentu pernyataan yang salah satunya mengandung penghinaan.
Logika yang memenuhi kriteria [A ∧ B ⊭ B → A] berkisar pada beberapa logika seperti logika kondisional C, C+, dan S, serta hampir di setiap logika relevan (baca Nute, 1980; dan Brady, 2003). Pembahasan secara detail mengenai logika di mana [A ∧ B ⊭ B → A] akan dibahas lebih lanjut dalam artikel berikutnya—entah kapan; saya tidak janji perihal waktunya.
Dari berbagai hal tersebut dapat disaripatikan bahwa logika klasik tidak dapat disebut absolut di segala konteks. Pluralitas logika membuka cakrawala kita perihal variasi dalam bernalar dan berlogika: memahami kekuatan, kelemahan, serta kegunaan mereka masing-masing dalam menjelaskan model-model penalaran dan realitas tertentu. Apabila ditarik lebih jauh lagi, pluralitas logika membuat kita mampu untuk menghargai perbedaan pola nalar. Sebagai refleksi, apakah di titik ini logika masih bebas topik? Dalam tataran logika general-plural, mungkin saja demikian; tapi sepertinya tidak demikian dalam tataran sistem logika spesifik.
Daftar Pustaka
Brady, R. T. (ed.), 2003, Relevant Logics and their Rivals, vol. 2, Aldershot: Ashgate.
Nute, D., 1980, Conditional Logic, Dordrecht: Reidel.