Perkenalan saya dengan Daniel Dennett (atau yang lebih akrab dipanggil “‘Dan”’) terjadi di penghujung masa perkuliahan, ketika proses pengerjaan skripsi mulai berjalan, sedangkan judul penelitian yang meyakinkan belum kunjung saya peroleh. Nama Dennett sendiri menarik perhatian saya secara serius pertama kali melalui kumpulan esai dalam bentuk buku yang berjudul Dennett’s Philosophy: A Comprehensive Assessment (Ross dkk., 2000), dengan sampul berwarna hijau muda beserta potret Dennett yang tengah menggendong simpanse. Momen persentuhan lebih dekat tersebut berakhir dengan meninggalkan perasaan yang bercampur aduk: ‘pesimis’, sekaligus ‘tertantang’. Pesimis, sebab nyaris setiap klaim dan argumen yang diberikan di dalam buku tersebut benar-benar sarat dengan detail-detail saintifik dari berbagai disiplin keilmuan (biologi, etologi, neurosains, ilmu komputer, dsb.), sesuatu yang saya kira mustahil terpahami oleh mahasiswa filsafat Indonesia pada umumnya seperti saya. Persoalannya, iklim filsafat di Indonesia yang masih jauh dari kata ‘akrab’ (atau bahkan ‘alergi’) dengan wacana saintifik dalam tingkatan yang cukup serius, membuat saya tidak dapat berharap terlalu banyak (faktanya, mata kuliah konsentrasi ‘filsafat IPTEK’ di tempat perkuliahan saya sudah berlangganan setiap tahun untuk memperoleh peminat/pendaftar paling sedikit dibanding rumpun-rumpun konsentrasi lain). Tertantang, sebab di sisi lain, saya memperoleh suatu kesimpulan yang kemudian mengubah keseluruhan cara pandang saya terhadap filsafat itu sendiri: bahwa pandangan-dunia saintifik adalah apa yang dibutuhkan oleh filsafat supaya ia tetap dapat relevan. Refleksi ini tidaklah terlepas dari perdebatan seputar hubungan fundamental antara filsafat dengan sains yang telah bergulir semenjak pertengahan abad lalu dan kembali memanas setelah tahun 2000-an, dengan sosok Dennett (setidaknya, bagi saya secara pribadi) yang berperan besar dalam menunjukkan bagaimana keduanya tidaklah dapat saling terpisahkan.
Sebelum mengenal Dennett secara lebih dekat, saya hanya mengetahui sosoknya sebatas sebagai seorang ‘filsuf populer’ a la selebritas yang tergabung dalam kelompok “Empat Penunggang Kuda Ateisme” (Four Hoursemen of Atheism)—sekelompok intelektual publik termasyhur dalam perannya menyebarluaskan ajaran ateisme baru. Nama Dennett sendiri mulai melambung setidaknya semenjak tahun 90-an melalui serangkaian perdebatan publiknya yang melegenda bersama dengan berbagai figur besar seperti Richard Dawkins dan John Maynard Smith di satu sisi, dengan Stephen Jay Gould dan Richard Lewontin, serta Jerry Fodor dan John Searle di sisi yang berseberangan. Serangkaian perdebatan yang kemudian dikenal sebagai “Perang Darwin” (Brown, 1999) tersebut membuat Dennett dikenal secara luas sebagai sosok ‘intelektual ateis’ atau ‘filsuf pop’—dengan serangkaian pandangan yang tidak jarang dianggap kontroversial. Secara karikatural (meskipun amat keliru), banyak pihak yang mengetahui karya-karyanya secara sepintas (termasuk saya pada awalnya), kemudian mengasosiasikannya dengan sejumlah doktrin: bahwa seleksi alam menggerogoti moralitas, bahwa termostat memiliki pikiran, dan bahwa orang-orang tidaklah memiliki kesadaran (Ross, 2002). Tentunya gambaran semacam ini tidak jarang berakhir menimbulkan sikap antipati. Namun, penyimpulan secara terburu-buru terhadap pemikiran Dennett semacam ini juga menunjukkan betapa dalam dan seringnya Dennett disalahpahami, dan dengan begitu mengerdilkan fakta tentang betapa luar biasanya pengaruh yang ditinggalkan olehnya tidak hanya bagi filsafat, tetapi juga bagi dunia keilmuan secara luas.
Meskipun karya-karya yang berkenaan dengan isu-isu turunan seperti agama (Breaking the Spell, 2006) dan kehendak bebas (Freedom Evolves, 2003) jauh lebih populer, mereka yang bersentuhan dengan pemikiran Dennett secara lebih dekat umumnya akan merujuk pada dua buah magnum opus-nya mengenai problem kesadaran, Consciousness Explained (1991) serta mengenai teori evolusi, Darwin’s Dangerous Idea (1995), yang diikuti dengan sejumlah buku berisikan kumpulan berbagai artikel yang telah diterbitkan sebelumnya. Meskipun demikian, fondasi utama dari keseluruhan proyek pemikiran Dennett dapat ditemukan melalui karya perdananya (yang tidak lain merupakan sebuah adaptasi dari disertasi doktoralnya), yaitu Content & Consciousness (1969). Tesis utama di buku ini kemudian disempurnakan melalui kumpulan esai-esainya di dalam Brainstorms (1978) dan The Intentional Stance (1987).
Dennett menyelesaikan program studi sarjananya di Harvard University di bawah bimbingan W.V.O. Quine, dan kemudian studi doktoralnya di Oxford University di bawah bimbingan Gilbert Ryle—dua figur besar di dalam dunia akademi filsafat saat itu. Semenjak di Oxford, Dennett mulai menaruh keraguan mendalam terhadap pendekatan berfilsafat di antara kolega-koleganya, khususnya dalam memahami pikiran (mind). Alih-alih tenggelam dalam analisis konsep dan bahasa yang tidak berkesudahan, Dennett memutuskan untuk mempelajari bagaimana otak bekerja—pada masa ketika disiplin neurosains bahkan belum terbentuk secara resmi. Dari petualangan lintas disiplin tersebut, ia memperoleh kesimpulan kokohnya yang pertama, bahwa “satu-satunya yang otak dapat lakukan adalah untuk memprakirakan responsivitas terhadap makna yang kita andaikan dalam wacana mental keseharian kita […] Tetapi dalam jangka panjang, otak dapat didesain ”melalui proses evolusioner—untuk melakukan hal yang benar (dari sudut pandang makna) dengan tingkat keandalan tinggi” (Dennett, 1994: 237).
Dennett menemukan bahwa terdapat dua topik utama yang membentuk keseluruhan lanskap perdebatan di dalam filsafat pikiran, yaitu: konten mental (mental content) dan kesadaran (consciousness)—yang kemudian menjadi judul bagi buku perdananya tersebut. Namun, kesimpulan utama yang diperolehnya mengenai otak menunjukkan bahwa terdapat permasalahan serius sekaligus fundamental dalam bagaimana penyelidikan filosofis secara umum memandang hubungan konseptual di antara kedua topik tersebut. Melalui pengaruh Ryle dalam The Concept of Mind (1949), Dennett memperoleh petunjuk: bahwa keharfiahan filosofis ekstrim mengenai ekspresi mental selama berabad-abad telah melahirkan ‘hantu-hantu dalam mesin’ yang memblokir segala kemungkinan bagi penyelidikan objektif mengenai pikiran. Pelajaran berharga tersebut diuraikan bertahun-tahun kemudian olehnya dalam suatu konferensi di Seattle: “Kekeliruan terbesar yang kita buat adalah mengambil pemahaman kita bersama tentang bagaimana rasanya menjadi diri kita sendiri, yang kita pelajari dari novel, drama, dan percakapan satu sama lain, lalu menerapkannya kembali pada hewan” (Rothman, 2017). Alih-alih terjebak pada ketidakwaspadaan semacam itu dengan mempelajari sang ‘hantu’, Dennett memilih untuk berfokus pada sang ‘mesin’; dengan senantiasa menaruh keawasan terhadap bagaimana pikiran itu sendiri bekerja dalam memahami dirinya sendiri dan dunia beserta isinya.
Dennett pun menawarkan sebuah strategi: mendorong proses penalaran kita secara maksimal untuk mencapai bukan hanya kemungkinan bagi suatu resolusi, melainkan juga (dalam gestur Wittgensteinian) suatu disolusi terhadap berbagai pseudo-problem filosofis. Penalaran semacam itu dapat diraih melalui sudut pandang pihak-ketiga dengan merujuk pada sains terbaik yang tengah tersedia. Bagi Dennett, hal ini tidak dapat dilepaskan dari keutamaan sains yang justru terletak pada sifatnya yang ‘berbahaya’ (dangerous)—dalam arti bahwa sains mampu menghadirkan ancaman terhadap segala konsep dan pemahaman yang membuatnya terbuka untuk direvisi di hadapan kebaruan temuan saintifik, dan dengan demikian, menghindarkannya dari segala bentuk pemberhalaan. Kewaspadaan saintifik ini bukan hanya membantu Dennett untuk mengusir ‘hantu-hantu dalam mesin’ di dalam studi mengenai pikiran, melainkan juga menunjukkan bahwa alih-alih sebuah hantu atau ‘sihir sungguhan’, alam justru menunjukkan berbagai ‘pertunjukan sihir’ yang sangat mengagumkan. Di antara berbagai gagasan yang tersedia, Dennett (1995) menemukan pemikiran Darwin sebagai yang paling berbahaya (sebagaimana tergambarkan melalui pemilihan judul bukunya tersebut)—suatu ‘asam universal’.
Dennett (1995) menunjukkan melalui biologi evolusioner, bahwa proses evolusi tidaklah menghasilkan desain atau struktur dengan klasifikasi berdasarkan batasan yang sepenuhnya ketat—bahwa, memparafrase ulang ungkapan Plato, tidak ada ‘sendi-sendi alam’ yang telah diukir sejak awal di hadapan proses evolusi. Oleh karena itu, alih-alih menjalankan penyelidikan mengenai pikiran dari titik tolak kesadaran yang diandaikan fundamental pada manusia sebagai kasus paradigmatis, Dennett justru melakukan sebaliknya: mengamati apa yang sesungguhnya kita ‘lakukan’ (melalui ekspresi mental dan perilaku keseharian) mengenai pikiran dari sudut pandang pihak-ketiga untuk membangun ulang pemahaman tentangnya, lalu berusaha memahami kesadaran berdasarkan temuan tersebut (dan kemudian memperluas keseluruhan temuan tersebut pada kasus organisme atau sistem lain berdasarkan biografi evolusionernya). Pembalikkan skema konseptual inilah yang secara persis membentuk inti dari keseluruhan proyek pemikiran Dennett!
Kita perlu untuk sejenak merefleksikan tentang betapa radikalnya jawaban yang hendak Dennett tawarkan dengan mengajukan pertanyaan berikut: “Apa perbedaan antara sistem organik dan non-organik?” Pada faktanya, keduanya sama-sama bersifat mekanis pada tingkatan fundamental; sebagaimanana rentetan impuls dan sinyal kimiawi di dalam jejaring neural otak berperan dalam menyalurkan informasi pada diri individu, milyaran transistor mengirimkan sinyal elektrik dalam CPU (central processing unit) pada komputer untuk tujuan yang sama. Untuk memperjelas letak persoalannya, pertanyaan tersebut dapat diubah secara lebih sederhana menjadi: “mengapa robot berbeda dari manusia?”. Pertanyaan tersebut beranggapan bahwa perbedaan tersebut disebabkan oleh karena robot tidak memiliki ‘jiwa’, ‘kesadaran’, atau ‘pikiran’ selayaknya manusia. Akan tetapi, muatan antroposentris dari proses penalaran semacam ini menjadi jelas manakala struktur kalimat dari pertanyaan tersebut dibalik, tanpa mengubah substansinya, menjadi: “mengapa manusia berbeda dari robot?”. Dengan ini, kita dapat menetralisasi keberpihakan ontologis dari pertanyaan tersebut dengan menggeser tuntutan eksplanasinya pada sisi manusia, yaitu: bagaimana manusia dapat memiliki pikiran, jiwa, maupun roh, meskipun secara fundamental keduanya tidaklah berbeda.
Berangkat dari refleksi di atas, Dennett mengungkap ‘rahasia’ sesungguhnya di balik pikiran: Pikiran bukanlah sesuatu yang tertanam di dalam otak atau ‘bersemayam’ di dalam tubuh, melainkan pola-pola informasi yang terdistribusi pada keseluruhan disposisi perilaku, lingkungan, dan arsitektur kognitif dari sistem terkait untuk merasionalisasi perilakunya di bawah tekanan adaptif lingkungan. Dengan demikian, usaha untuk memahami pikiran seseorang bukanlah dilakukan dengan ‘masuk ke dalam’ kepalanya dan melacak setiap proses yang terjadi di dalam sistem kognitifnya, melainkan ‘beranjak meluas’ padake keseluruhan jejaring informasi yang menyituasikan orang terkait. Tidak ada pikiran yang intrinsik pada otak/tubuh, yang ada hanyalah pikiran ‘seakan-akan’ (atau ‘virtual’) yang dibangun dalam usaha pelacakan informasi melalui tindak prakira pihak-ketiga. Pengertian ini jelas tidaklah membutuhkan kesadaran sebagai prasyarat bagi suatu sistem untuk dapat memiliki pikiran; sebagaimana ditunjukkan dalam biografi evolusi, bahwa suatu organisme (atau segala sistem fisis secara umum) dengan pikiran berevolusi dari organisme tanpa pikiran, dengan kesadaran (sebagaimana akan dijelaskan di bawah) berevolusi dari sistem yang awalnya tidak mendukung kapasitas semacam itu. Dengan kata lain, hal-hal seperti robot atau amoeba dapat dikatakan memiliki pikiran; sesuatu yang terdengar cukup kontra-intuitif! Tetapi justru inilah yang secara persis selalu ditekankan oleh Dennett, sebagaimana ia seringkali berusaha mengingatkan melalui slogan andalannya dalam berbagai kesempatan: “jangan percaya pada intuisi anda!”.
Tentu saja, pikiran manusia mengambil bentuk yang berbeda dari spesies-spesies lain. Dalam Kinds of Minds (1996), Dennett menjelaskan bahwa meskipun otak manusia memiliki ukuran yang relatif lebih besar daripada saudara terdekatnya, perbedaan ukuran tersebut bukanlah dasar bagi perbedaan kapasitas kognitif manusia yang istimewa (dan faktanya, lumba-lumba dan paus tertentu justru memiliki otak lebih besar!). Rahasianya, bagi Dennett, justru terletak pada bahasa publik manusia. Melalui bahasa, manusia berkemungkinan untuk “melepas muatan kerja-kerja kognitif sebanyak mungkin ke dalam lingkungan itu sendiri—memperluas pikiran kita (yaitu proyek dan aktivitas mental kita) kepada dunia sekitar, di mana sejumlah perangkat periferal yang kita konstruksi dapat menyimpan, memproses, dan merepresentasikan kembali makna-makna kita [sehingga] melepaskan kita dari limitasi otak hewani kita” (Dennett, 1996: 134-135). Kebutuhan atas kompleksitas representasi mental semacam itu muncul, dan kemudian terkodifikasi melalui bahasa publik manusia, melalui evolusi sosiokultural yang pada gilirannya menuntut pemeliharaan bangunan sosial dalam tingkat kompleksitas yang sangat tinggi melalui penciptaan ceruk informasi yang pada gilirannya bertopang pada bangunan sosial tersebut (Dennett, 1983, 1991; lihat juga Clark, 1997; Sterelny, 2003). Oleh karena itu, Dennett seringkali meminjam kutipan favorit dari murid sekaligus koleganya, Bo Dahlbom: “Sebagaimana anda tidak bisa melakukan banyak kerja pertukangan dengan sekadar tangan, anda tidak bisa melakukan banyak kerja berpikir dengan sekadar otak” (Dennett, 1996, 2017).
Konsekuensi dari keseluruhan temuannya mengenai pikiran mengantarkan Dennett pada gugatannya terhadap pendekatan introspeksionisme pada pikiran, serta konsekuensinya bagi cara pandang terhadap kesadaran yang telah diwariskan dan dilestarikan sejak René Descartes (Dennett, 1987, 1991a). Dalam pandangan Descartes, instrospeksi mengandaikan bahwa kesadaran merupakan esensi dari pikiran, bahwa setiap pikiran ‘transparan’ pada dirinya sendiri, dan bahwa keawasan yang dimiliki oleh setiap pikiran pada keadaan dan prosesnya saat itu menghasilkan pengetahuan dengan derajat kepastian tertinggi yang mungkin (Shoemaker, 1994: 396). Gambaran meditatif semacam ini kemudian menjadi fondasi bagi model kesadaran yang dinamakan oleh Dennett (1991) sebagai “teater Cartesian”. Teater Cartesian merujuk pada gambaran mengenai sistem kesadaran yang mengambil bentuk selayaknya suatu layar yang menampilkan tiap-tiap keadaan sadar secara bergantian di hadapan diri kita (yang kita proyeksikan untuk melihat ‘ke dalam’ melalui laku introspeksi) yang seakan-akan tengah duduk di tengah kursi penonton.
Letak persoalannya cukup jelas: usaha introspektif sebagaimana diuraikan di atas tidaklah memberikan kepastian apa pun dan justru cenderung menyesatkan, sebab transparansi terhadap keadaan internal diri semacam itu tidak pernah ada sejak awal, dan apa yang kita lakukan sesungguhnya tidak lain merupakan suatu bentuk prakira terhadap keadaan internal diri sendiri sebagaimana kita memprakirakan pikiran orang lain. Proses prakira atau representasi ‘diri’ tersebut diibaratkan oleh Dennett (1991) sebagai suatu proses penulisan narasi yang dimungkinkan melalui bahasa publik, dan dengan demikian, melibatkan lebih dari satu ‘penulis’ dalam menuliskan kisah menganai sosok ‘diri’ yang sama. Oleh karena itu, teater Cartesian tidak pernah sungguh-sungguh ada; apa yang selama ini kita maksud dan rasakan adalah sesuatu yang hanya ‘tampak’ seperti teater Cartesian. Alih-alih merupakan suatu aliran pengalaman yang berbentuk tunggal sekaligus terpadu, kesadaran sesungguhnya tersusun oleh proses kognitif yang kompleks sekaligus dinamis dengan melibatkan sejumlah ‘draf’ atau narasi yang saling berkompetisi atas pengalaman berkesadaran tersebut. Secara evolusioner, kehadiran ‘kesadaran’ serta ‘diri’ tersebut merupakan hasil dari fungsi adaptif pikiran untuk mengorganisasikan informasi sebagai dasar bagi pembentukan kontrol perilaku yang menjadi kunci untuk memenuhi tuntutan koordinasi sosial pada spesies manusia. Dennett, dengan demikian, tidak pernah menolak kesadaran, melainkan menunjukkan bahwa kesadaran, layaknya pikiran, merupakan sebuah artefak sosial.
(Apabila anda masih dipenuhi dengan rasa ketidakpuasan dengan segala keganjilan dari klaim-klaim yang diketengahkan oleh Dennett, saya sangat menyarankan anda untuk langsung membaca karya-karyanya.)
Terlepas dari kemegahan (atau kerumitan) berbagai argumen yang menyusun keseluruhan pemikirannya, Dennett juga menunjukkan bahwa selalu terdapat hal-hal menarik yang dapat dilakukan dalam hidup, di luar panasnya polemik perdebatan intelektual dan tumpukan buku-buku yang telah menggunung di sudut meja. Dalam autobiografinya, I’ve Been Thinking (2023), kita dapat mengetahui banyak hal dari sisi kehidupannya yang lain: Dennett sangatlah menyukai musik, sebagaimana ia seringkali tertidur atau bernyanyi bersama setiap kali mendengarkan ibunya bermain piano ketika kecil, hingga kemudian ia sendiri tumbuh sebagai seorang pianis (dan juga penari) yang handal. Dennett juga memiliki beberapa hobi lain, seperti berlayar (dengan kapal layar pribadi bernama Xanthippe); menghabiskan musim panasnya dengan bertani di Maine selama hampir empat puluh tahun lamanya; mengikuti klub bernyayi (untuk berkenalan dengan gadis-gadis) serta paduan suara (yang tentu saja, berada di gereja); serta melukis dan memahat (yang melaluinya ia kemudian bertemu dengan istrinya, Susan).
Keseluruhan potret kehidupan keseharian tersebut mengingatkan saya pada ungkapan Hume (1748): “jadilah seorang filsuf; tetapi di antara seluruh filsafatmu, jadilah manusia”; bahwa kehidupan seorang filsuf tidak harus sepenuhnya dipenuhi oleh ironi. Persis kesimpulan inilah yang kemudian diungkapkan secara terpisah oleh Dennett di bagian penutup karya akademisnya yang terakhir, From Bacteria to Bach and Back (2017: 348):
“Sebagaimana yang dikatakan oleh Socrates, ‘kehidupan yang tidak diperiksa tidaklah layak untuk dijalani’, dan sejak Socrates, kita telah menganggap jelas bahwa mencapai pemahaman yang semakin besar tentang segala hal adalah tujuan profesional tertinggi kita […] Tetapi sebagaimana ditambahkan oleh filsuf lainnya, mendiang Kurt Baier, “kehidupan yang diperiksa berlebihan juga tidaklah menarik sama sekali.”
Selamat jalan, Dan.
Daftar Pustaka
Brown, A. (1999). The Darwin wars: How stupid genes became selfish gods. Simon & Schuster Books For Young Readers.
Clark, A. (1997). Being There. MIT Press.
Dennett, D. C. (1969). Content and consciousness. Routledge.Dennett, D. C.
______. (1978). Brainstorms: Philosophical essays on mind and psychology. MIT press.
______. (1983). “Intentional Systems in Cognitive Ethology: The “Panglossian Paradigm” Defended.” Behavioral and Brain Sciences 6 (3): 343-355.
______. (1987). The Intentional Stance. MIT Press.
______. (1991). Consciousness Explained. Penguin UK.
______. (1994). “Self-portrait.” In Guttenplan, S., ed., A Companion to the Philosophy of Mind, 111-121. Oxford: Blackwell.
______. (1995). Darwin’s Dangerous Idea. Penguin Science.
______. (1996). Kinds of Minds: Toward an Understanding of Consciousness. Basic Books.
______. (2004). Freedom evolves. Penguin.
______. (2006). Breaking the spell. London: Allen Lane.
______. (2017). From Bacteria to Bach and Back: The Evolution of Minds. WW Norton & Company.
______. (2023). I’ve Been Thinking. WW Norton & Company.
Ross, D., A. Brook, D. Thompson, eds. (2000). Dennett’s Philosophy: A Comprehensive Assessment. Cambridge, MA: MIT Press /A Bradford Book.
Ross, D. (2002). Dennett and the Darwin Wars. In Ross, D. and A. Brook, Daniel Dennett, 3-37.
Rothman, J. (2017). Daniel Dennett’s Science of the Soul. The New Yorker. https://www.newyorker.com/magazine/2017/03/27/daniel-dennetts-science-of-the-soul
Ryle, G. (1949). The Concept of Mind. London: Hutchinson.
Shoemaker, S. (1994). “Introspection”. In Guttenplan, S., ed., A Companion to the Philosophy of Mind, 395-400. Oxford: Blackwell.
Sterelny, K. (2003). Thought in a Hostile World. Oxford: Blackwell.