Sebagai salah satu ilmu sosial arus utama, sosiologi mencakup beragam teori dan metode yang seringkali saling berbenturan dalam menjelaskan karakter dan sistem beroperasinya masyarakat. Namun, bagi Gillian Rose (2009), berbagai varian sosiologi memiliki basis tradisi filsafat yang identik, yaitu neo-Kantianisme. Rose membedakan sosiologi dalam dua lapisan, yaitu “sosio-logi” sebagai ilmu tentang masyarakat yang mencakup beragam karya sosial-humaniora (termasuk filsafat) dan “sosiologi” dalam arti sempit sebagai suatu disiplin saintifik tentang fenomena empiris. Rose melacak bahwa pada perkembangan awal sosiologi saintifik, selain terdidik dan bekerja dalam lingkaran neo-Kantian, Weber dan Durkheim juga membangun kerangka analisis sosial mereka berdasarkan persoalan neo-Kantian tentang legitimasi (validitas) dan nilai (fakta moral).
Neo-Kantianisme merupakan sumber kekuatan dan kelemahan daya eksplanasi sosiologi. Aliran filsafat yang berakar dari pemikiran J.G. Fichte ini memperbarui filsafat Immanuel Kant dalam upaya memahami prinsip dasar yang menjadi basis kesadaran empiris dan memungkinkan pengalaman objektif. Aliran filsafat ini masih mengandung kontradiksi dalam sistem berpikir Kant. Dalam ranah teoretis, kognisi berupaya mengetahui kebenaran yang ia sendiri memahaminya sebagai sesuatu yang tidak dapat diketahui (noumena). Dalam ranah moral, kehendak (the will) berupaya merealisasikan tujuan ideal (seperti kebebasan, keadilan, keindahan) yang ia sendiri meyakininya sebagai sesuatu yang tidak mungkin direalisasikan (the Ideal) (Zambrana, 2015: 118-119).
Dua kutub paradigmatis dalam neo-Kantianisme, yaitu validitas dan nilai, bereinkarnasi menjadi beragam persoalan dan lensa analisis dalam sejarah sosiologi, seperti dilema struktur dan agensi, sistem dan aksi, teori dan praktik, serta metode dan moralitas. Mazhab Marburg, yang digawangi Hermann Cohen dan Paul Natorp, memprioritaskan status ontologis dari validitas faktual kesadaran manusia yang menjelma dalam prinsip logis dan matematis. Validitas, yang menjadi standar nilai kebenaran sesuatu, dipahami sebagai asal mula pikiran yang mana proses penalaran teoretis dan penggambaran empiris bergantung kepadanya. Dalam kerangka pikir Durkheim, validitas ditempatkan pada ranah sosial dengan mempertahankan status logisnya (a priori). Layaknya prinsip logis, konsep masyarakat sebagai entitas transendental (sui generis force)—yang hanya dapat dipostulasikan atau diyakini namun tidak dapat diverifikasi—menentukan validitas fakta sosial (institusi, norma, dan nilai).
Sebaliknya, Weber yang mengadopsi mazhab Heidelberg (didirikan oleh Wilhelm Windelband dan Heinrich Rickert) memprioritaskan nilai sebagai fondasi validitas. Mazhab Heidelberg menekankan signifikansi nilai atau moralitas, yang merupakan bagian primer dari kesadaran dan menentukan validitas pengalaman spasio-temporal manusia. Bagi Weber, validitas interpretasi dan sains bergantung nilai kultural dalam konteks sejarah tertentu. Tatanan sosial tidak didefinisikan berdasarkan otoritas dan koersi yang menentukan validitas sosial, namun berbasis makna yang bersumber dari kapasitas dan kehendak moral subjek dalam menavigasikan tindakannya dalam realitas sosial.
Rose menunjukkan bahwa dua paradigma neo-Kantian tersebut merepresentasikan dua jenis logika dalam sosiologi, yaitu logika postulat regulatif dan logika prinsip konstitutif. Postulat regulatif menyangkut ide tentang entitas transenden (seperti Tuhan) yang tidak dapat diverifikasi namun membuat pengalaman dapat dimengerti. Sementara itu, prinsip konstitutif menyangkut kategori (seperti kausalitas) yang dapat menunjukkan validitas objektif pengalaman. Menurut Rose, dua jenis Fichteanisme sosiologis tersebut mempostulasikan berbagai konsep yang terkesan konkret namun masih formal. Status transendental konsep-konsep tersebut mengasumsikan entitas atau kondisi abstrak, baik struktur eksternal maupun nilai internal, yang memiliki daya kausal dalam membentuk kesadaran dan tatanan sosial. Bagi Rose, penalaran formal tersebut masih belum menjelaskan realitas seutuhnya. Keutuhan atau totalitas yang dimaksud meniscayakan mode berpikir spekulatif, bagaimana sesuatu yang oposisional, seperti dunia subjektif dan dunia objektif, dipahami sebagai kesatuan (Hegel, 2010; Lazarus, 2020).
Marxisme Neo-Kantian
Rose berargumen bahwa sistem logika Hegel dapat membantu dalam meresolusi kontradiksi neo-Kantianisme dan membentuk ulang corak analisis sosiologi. Setelah mengajukan polemik dengan beragam aliran sosiologi klasik dan modern di bab 1, ia mendedikasikan sebagian besar tulisannya untuk merekonstruksi filsafat Hegel dalam lingkup logika dan sosial-politik untuk menggambarkan mode analisis sosial yang berbeda.
Dalam tradisi Marxisme, logika Hegel seringkali dipisahkan menjadi dua bagian, yaitu metode radikal sebagai inti rasional (rational kernel) dan sistem konservatif sebagai cangkang mistis (mystical shell). Metode radikal yang dimaksud adalah logika dialektis, sementara sistem konservatif yaitu logika spekulatif (Engels, 1976; problematisasi distingsi Engels tersebut, lihat Althusser, 2005: 92-93). Bagi Rose, logika spekulatif yang bergumul dengan entitas absolut seperti agama dan negara justru merupakan bagian paling rasional dan radikal dalam filsafat Hegel (argumen yang serupa juga dilontarkan Comay dan Ruda, 2018).
Rose merujuk analisis Marx tentang transformasi bentuk-nilai (value-form) dalam kapitalisme untuk menyontohkan eksplanasi yang lebih konkret atas realitas sosial. Bagi Rose, konsep fetisisme komoditas merupakan titik paling spekulatif dari penjelasan Marx dalam menunjukkan “bagaimana substansi dimisrepresentasikan sebagai subjek, bagaimana ilusi yang niscaya muncul dari aktivitas produktif (Rose, 2009: 232).” Dalam hal ini, Marx (1990) menggambarkan pengkultusan rupa-rupa entitas ekonomi yang menjalar seiring kelahiran dan perkembangan masyarakat modern. Analisis Marx tentang metamorfosis produk kerja dalam berbagai bentuk nilai (nilai-guna, nilai-tukar, nilai-surplus) menunjukkan bagaimana kapital yang merupakan substansi kerja dipersonifikasi dan diberkahi dengan kesadaran dan kehendak; subjek absolut yang otonom dan adikuasa (Marx, 1990: 254-255; Heinrich, 2021: 294-295).
Rose mengeksaminasi bagaimana Lukács mereformulasi konsep fetisisme komoditas Marx melalui teori reifikasi untuk menunjukkan proses objektivikasi relasi sosial di tengah fragmentasi produksi kapitalis yang menghambat kesadaran kelas proletariat. Teori ini diiringi dengan tesis Fichtean tentang supremasi absolut subjek (the absolute self) yang mengondisikan dunia material: manusia (pekerja) sejatinya merupakan ukuran nilai segala benda (komoditas; uang), bukan sebaliknya. Dalam hal ini, Lukács hendak mengusung sosiologi spekulatif tentang proletariat sebagai subjek dan objek sejarah. Teori reifikasi mengimplikasikan bahwa perubahan kesadaran kelas proletariat diyakini akan berimplikasi pada perubahan bentuk objektivikasi dalam kapitalisme.
Sementara itu, Adorno mengafirmasi teori reifikasi namun menolak positivisme di balik tesis tentang supremasi absolut subjek (proletariat) dalam mendominasi objek. Menolak absolutisme subjek tersebut, ia mengusung prioritas nilai atau moralitas akan idealitas masyarakat yang bebas (free society). Menurut Rose, komposisi organik masyarakat dan bentuk-bentuk ekonomi (komoditas, uang, dan kapital) yang menopang reifikasi tidak mampu dijelaskan dengan cermat dan konsisten oleh Adorno. Preskripsi moral akan ‘dunia yang seharusnya’ tidak diletakkan dalam relasi-relasi sosial yang mendasarinya. Akhirnya, meskipun berupaya mengatasi keterbatasan paradigma Neo-Kantian tentang nilai dan validitas dengan merevitalisasi pemikiran Hegel dan Marx, mazhab Frankfrut justru menjelma dalam bentuk Marxisme Neo-Kantian.
Proposisi Spekulatif
Sebagaimana diagnosis Marx terhadap fetisisme komoditas, analisis terhadap kehadiran dunia absolut yang melampaui subjek namun tidak terpisah darinya, merupakan bagian sentral dalam filsafat spekulatif Hegel. Di bagian lainnya, Rose menyebut perspektif Marx lebih Fichtean dari pada Hegelian karena masih mengasumsikan oposisi abstrak antara idealisme dan materialisme (teori dan praxis). Akan tetapi, ketika mengkritik formalisme neo-Kantian dalam sosiologi dan Marxisme, dalam tataran logika (Bab 6), Rose tidak cukup jelas mendemonstrasikan bagaimana Hegel menjembatani aspek formal dan material dalam logika. Padahal penjelasan ini krusial supaya misi Rose dalam membuat daya eksplanasi sosiologi lebih konsisten dan konkret dapat tercapai. Tulisan Rose tidak cukup jelas dalam menunjukkan transisi dari Fichte ke Hegel perihal kesatuan dua aspek tersebut.
Salah satu upaya yang memungkinkan untuk membuat penjelasan Rose cukup terang yaitu mempertimbangkan proposisi spekulatif Hegel yang ia klarifikasi. Ia berangkat dari perbedaan proposisi biasa (ordinary proposition) dan proposisi spekulatif (speculative proposition). Dalam logika Hegel (2010), proposisi biasa seringkali diidentifikasi dalam berbagai bentuk pertimbangan, seperti pertimbangan kualitas (judgment of quality; “The rose is red”), pertimbangan eksistensi (judgment of existence; “The rose is a flower”), dan pertimbangan keniscayaan (judgement of necessity; “The plant is an organism”). Proposisi biasa berisi subjek dan predikat gramatikal yang independen dan dikoneksikan dengan kata kerja penghubung (S adalah P). Konsep dalam predikat berfungsi menunjukkan atribut, kelas, dan genus yang secara abstrak mendefinisikan subjek, seperti konsep mawar (the rose) dan kemerahan (redness) yang memiliki makna terpisah satu sama lain (Zambrana, 2015: 99).
Rose menyebutkan bahwa proposisi spekulatif seperti “Agama dan fondasi negara adalah satu hal yang sama” (Religion and the foundation of the state are one and the same thing) seringkali disalah-pahami dengan struktur proposisi biasa sehingga menyiratkan preskripsi moral dan pernyataan yang secara empiris tidak valid. Dalam hal ini, ia menjelaskan bahwa proposisi spekulatif mengafirmasi identitas dan kekurangan identitas (a lack of identity, non-identity) antara subjek dan predikat dalam mengekspresikan kontradiksi dan harmoni dua konsep beserta kondisi sosial dan kondisi historis yang mengiringinya.
Dalam catatan-catatan politiknya yang berisi proposisi spekulatif di atas (Dickey dan Nisbet, ed., 1999), Hegel menunjukkan bahwa berbagai bentuk kesatuan dan oposisi agama dan negara dalam rentang sejarah (teokrasi, sekularisme, dan monarki konstitusional) menggambarkan bagaimana ide kebebasan dipertarungkan dan dinegosiasikan dalam ranah spiritual dan sekuler. Hal ini bukan semata perkara benturan dan rekonsiliasi otoritas keagamaan dan kehendak individu, namun bagaimana formasi sosial terbentuk dan berubah secara organik berdasarkan relasi kesadaran subjek dengan dunia absolut beserta praktik, budaya, dan institusi yang menyertainya.
Namun, bagaimana sebenarnya menerjemahkan mode berpikir spekulatif dalam tataran teori dan metodologi sosiologi? Ketika Rose merujuk model analisis Marx perihal fetisisme komoditas dan transformasi nilai, pembaca yang pernah mencicipi Capital I akan terbayang betapa rumitnya standar metode spekulatif yang dimaksud. Dengan menjadikan formula logis sebagai basis sainsnya, Marx menyusun lapisan-lapisan proposisi dalam mengurai kompleksitas relasi sosial dan ekonomi (perihal struktur silogistik dari sirkulasi kapital [M-C-M´], lihat Tombazos, 2013: 133). Hal ini tidak dijelaskan secara elaboratif oleh Rose. Sebagaimana disebutkan Lazarus (2020: 9), Rose tidak menjabarkan dengan sistematis bagaimana sebenarnya stuktur logis dan metodologis analisis Marx dalam menjelaskan transformasi nilai menjadi subjek absolut yang otonom dan dominan. Akhirnya, dorongan Rose untuk kembali ke Hegel dan Marx dengan cara pandang baru terhadap dunia absolut belum diiringi gambaran utuh mengenai operasionalisasi apa yang ia sebut sosiologi spekulatif.
Daftar Pustaka
Althusser, Louis. 2005. For Marx. London, New York: Verso.
Comay, Rebecca, and Frank Ruda. 2018. The Dash: The Other Side of Absolute Knowing. Massachusetts: MIT Press.
Dickey, Laurence dan H.B. Nisbet (Ed.). 1999. Hegel: Political Writings. Cambridge: Cambridge University Press.
Engels, Friedrich. 1976. “The end of classical German philosophy.” Dalam Marx and Engels, Collected Works 26.
Hegel, Georg Wilhelm Fredrich. 2010. Encyclopedia of the Philosophical Sciences in Basic Outline, Part I: Science of Logic. Cambridge: Cambridge University Press.
Heinrich, Michael. 2021. How to read Marx’s Capital: commentary and explanations on the beginning chapters. New York: NYU Press.
Lazarus, Michael. 2020. “The legacy of reification: Gillian Rose and the value-form theory challenge to Georg Lukács” dalam Thesis Eleven 157.1: 80-96.
Marx, Karl. 1990. Capital Volume I. London: Penguin UK.
Rose, Gillian. 2009. Hegel Contra Sociology. London, New York: Verso.
Tombazos, Stavros. 2013. Time in Marx: The Categories of Time in Marx’s Capital. Leiden: Brill.
Zambrana, Rocío. 2019. Hegel’s theory of intelligibility. Chicago: University of Chicago Press.