Berlogika untuk Memahami Satu sama Lain

Rachmanda Aquila Arkhano
Rachmanda Aquila Arkhano
Mahasiswa Filsafat UGM angkatan 2023 yang tertarik dengan logika, matematika, dan metafisika. Barcan sentence membuat saya yakin bahwa saya mempunyai jodoh di masa depan.

Artikel ini hendak menunjukan ketergantungan pemahaman dalam kehidupan sehari-hari terhadap logika. Selanjutnya, saya hendak menunjukan absurditas penilaian yang dipahami seseorang melalui logika klasik. Absurditas logika klasik akan ditunjukan melalui perbandingannya dengan logika lain. Pandangan mengenai egoisme logika (logic-egoism) dan bagaimana tendensi pada suatu logika yang bisa muncul juga akan diperkenalkan sebagai implikasi filosofis pluralisme logika. Artikel ini akan ditutup dengan penolakan saya terhadap pandangan Irving Copi terkait logika.

Logika dan Komunikasi Sehari-hari

Aktivitas sosial manusia tidak mungkin terlepas dari komunikasi satu sama lain. Komunikasi dilakukan melalui bahasa yang di dalamnya terdapat makna yang tergantung pada situasi dan kondisinya. Makna dalam suatu bahasa tidaklah mempunyai batasan yang jelas dan kekaburan itulah yang menjadi aspek dari bahasa (Baca Wittgenstein, 1958). Makna dari seruan “kayu!” tidak hanya merujuk pada wujud dari pohon tetapi mungkin juga bahwa makna dari seruan tersebut adalah perintah untuk mengambil batang pohon. Kekaburan bahasa ini tidak menjadikan suatu makna tidak dapat dipahami dan dievaluasi oleh individu lain. Sangat jelas bahwa dalam situasi apa pun ketika kita berkomunikasi selalu berusaha untuk memahami makna lawan bicara sehingga komunikasi dapat berjalan lancar. Lantas bagaimana seseorang dapat memahami dan mengevaluasi makna sehingga bisa saling memahami satu sama lain?

Individu dapat memahami dan mengevaluasi, salah satunya, dengan berlogika. Logika dalam konteks ini tidaklah dipahami menjadi suatu kondisi ceteris paribus dan kaku, penilaian dari percakapan sehari-hari juga termasuk aktivitas berlogika. Seseorang dapat menyimpulkan bahwa dirinya akan bekerja di rumah ketika bosnya menyatakan “Pilihan perusahaan adalah tidak terjadi pandemi atau pekerja akan bekerja di rumah, sayang sekali pandemi COVID-19 melanda”. Pernyataan implisit juga melibatkan logika, contohnya seseorang dapat menyimpulkan bahwa seorang murid mengasumsikan “Semua guru yang ceroboh tidak layak mengajari muridnya” ketika sang murid menyatakan “Guru yang tidak bisa mengintrospeksi dirinya sendiri tidak layak mengajari muridnya karena semua guru yang tidak bisa mengintrospeksi dirinya sendiri adalah guru yang ceroboh”, asumsi murid itu adalah premis enthymeme yang dibangun oleh orang pertama melalui logika. Memikirkan hal yang sama dari pernyataan orang lain atau menyatakan kesamaan terhadap apa yang kita katakan juga melibatkan logika, dari “pelanggar HAM atau penipu rakyat” dapat disimpulkan “pelanggar HAM atau penipu rakyapenyimpulan ini secara formal kita dapat dituliskan sebagai $ A \vdash A$. Dengan demikian, komunikasi dalam kehidupan sehari-hari tak mungkin lepas dari logika. Namun apakah wilayah logika menjadi dasar yang jelas dan tanpa keburaman di dalamnya?

Permasalahan Prinsip-Prinsip Logika Klasik

Logika Klasik adalah sistem penalaran yang memiliki tiga prinsip umum yaitu, identitas, penyisihan jalan tengah, dan non-kontradiksi. Ketiga prinsip tersebut hadir dengan beberapa masalah secara filosofis. Saya hendak menjelaskan secara singkat beberapa problem logika klasik yang diturunkan melalui prinsip umum tersebut (untuk pembahasan yang lebih komprehensif, baca Ahnaf dan Arkhano, 2024a dan 2024b). Kemudian, saya akan menunjukkan solusi atas problem tersebut melalui logika relevan, kondisional, dan logika paradoks. Pembuktian dilakukan dengan reductio; yaitu, berangkat dari premis yang benar dan kesimpulan salah, sehingga penyimpulan atau aksioma akan benar jika terdapat kontradiksi—jika tidak, maka kita mendapatkan contoh kontranya.

Prinsip Identitas: $A \rightarrow A $

Prinsip Identitas menyatakan bahwa A selalu identik dengan dirinya sendiri. Berkat prinsip tersebut, penyimpulan berikut valid di dalam logika klasik. 

$ \models P \rightarrow (Q \rightarrow Q) $

“Jika prinsip identitas tidak berlaku, maka jika kucing berwarna coklat maka kucing berwarna coklat.”

Akan tetapi, penyimpulan tersebut absurd secara intuitif: bagaimana bisa menegaskan bahwa prinsip identitas tidak berlaku namun konsekuensinya prinsip identitas tetap berlaku? Penyimpulan tersebut tidak berlaku dalam kerangka logika relevan.

Logika relevan mengasumsikan adanya jaminan relevansi implikasi pada setiap proposisinya. Jaminan relevansi itu direpresentasikan sebagai relasi tiga hal (ternary relations) yang membagikan informasinya atau mengizinkan adanya pembagian informasi (Baca Priest, 2008). Asumsikan terdapat relasi $Rxyz$ pada implikasi $A \rightarrow B,x$ benar, maka  $A,y$ pasti membagikan informasi terhadap $B,z$. Sebaliknya, jika diasumsikan salah, maka terdapat $A,y$ yang tidak membagikan informasinya pada $B,z$.

Implikasi relevan menetapkan dunia 0 sebagai dunia awal kita bernalar sebagai dunia normal/relevan sehingga pastilah mengasumsikan sistem logika yang lazim, yakni proposisinya dianggap mempunyai dunia yang sama. Oleh karena itu, relasi awal untuk $A \rightarrow B,0$ digambarkan sebagai $R011$. Selanjutnya, setelah dunia 0 tidak ada jaminan bahwa dunia itu normal sehingga diasumsikan memiliki dunia yang berbeda $R1yz$. Proposisi $P \rightarrow (Q \rightarrow Q)$ valid dalam logika klasik karena $Q \rightarrow Q$ pastilah bersifat benar sebab prinsip identitas; namun, mari kita bayangkan $Q$ sebagai “kucing berwarna coklat” dan $P$ sebagai “prinsip identitas tidak berlaku”. Dalam logika relevan, kebenaran $Q$ sebagai konsekuen terakhir haruslah relevan terhadap anteseden $P$ dan $Q$. Dengan mengambil logika relevan paling lemah yakni logika relevan B, pembuktian kesalahannya dapat dilihat sebagai $ \not\models_B P \rightarrow (Q \rightarrow Q) $ melalui counterexample dari model berikut:

Kita berangkat dari dunia 0 sehingga $P \rightarrow (Q \rightarrow Q)$ salah di dunia tersebut. Dunia 0 yang merupakan dunia normal, seperti yang telah dijelaskan sebelumnya, dapat mengakses dunia yang sama: maka, terdapat relasi $R011 $, sehingga $P$ benar pada dunia 1 dan $Q \rightarrow Q$ salah di dunia 1. Dunia 1, yang bisa jadi bukan dunia normal (dunia non-normal), mengharuskan adanya relasi dunia yang berbeda sehingga terdapat relasi $ R123 $ yang mana $Q$ benar pada dunia 2 dan $Q$ salah pada dunia 3. Terlihat bahwa prinsip identitas tidak serta-merta valid karena adanya perbedaan antar $Q$ sehingga tidak terjadi kontradiksi; yakni, $ \not\models_B P \rightarrow (Q \rightarrow Q) $ sebab Q bisa jadi tidak relevan dengan dirinya sendiri, yaitu berada di dunia yang berbeda.

Prinsip Penyisihan Jalan Tengah: $A \lor \neg A$

Prinsip penyisihan jalan tengah menyatakan ketiadaan pilihan lain selain A atau bukan A. Prinsip penyisihan jalan tengah ditolak keras oleh kubu intuisionis karena dapat menyimpulkan hal secara tidak konstruktif-intuitif. Logika intuisionistik pernah disinggung Wittgenstein dalam Tractatus-Logico Philosophicus:

…And if there were an object called ‘’, it would follow that ‘’ said something different from what ‘’ said, just because the one proposition would then be about ‘’ and the other would not.

Wittgenstein, 2001: 5.44

Ibaratkan sesuatu yang bukan pisang sebagai $\neg P$, tentu kebukanan dari pisang ini dapat berarti hal lain seperti apel. Kebukanan dari Apel tentu bukanlah menjadi pisang. Kerangka berpikir intuisionistik melibatkan adanya konstruksi kebenaran secara intuitif, kebenaran dari Canberra adalah kota di Australia dikonstruksikan kebenaran keberadaannya dalam realitas, tidak serta-merta kebukanan dari yang lain–misalnya Jakarta (Baca Priest, 2008). Semantik negasi implikasi dari logika intuisionistik berbeda dengan logika klasik, dalam logika intuisionistik $ \neg P $ dinilai sebagai kesalahan $P$ di segala dunia mungkin. Begitu pun Implikasi $P \rightarrow Q $ berarti implikasinya niscaya di segala mungkin. Berikut bagaimana prinsip penyisihan jalan tengah tidak valid dalam logika intuisionistik:

Untuk membuktikan $ \nvdash_I P  \lor  \neg P$, dapat ditunjukkan contoh kontranya melalui $ v_{w_0}(P \lor \neg P) = 0 $. Karena $ v_{w_0}(P \lor \neg P) = 0 $, maka $v_{w_0} (P) = 0 $ dan $v_{w_0}(\neg P)=0$. Karena $v_{w_0}(\neg P)=0$, maka ${w_0}R{w_1}$ s.t. $v_{w_1}(P)=1$. 

Dengan demikian, contoh kontranya dapat dilihat ketika $P$ atau $ \neg P$ salah di dunia 0, maka $ P $ salah di dunia 0 dan $P$ benar di dunia 1: yakni kondisi dunianya berbeda.

Prinsip Non-Kontradiksi: $\neg(A \land \neg A)$

Prinsip non-kontradiksi menyatakan ketiadaan kebenaran dari kontradiksi, tidak mungkin A sekaligus bukan A. Berkat prinsip tersebut, penyimpulan berikut valid dalam logika klasik:

$P \land \neg P \models Q$

“Dari ‘rumah saya berada di Indonesia dan tidak di Indonesia (perbatasan negara)’ dapat disimpulkan ‘Jokowi tiga periode’.”

Akan tetapi, penyimpulan tersebut absurd secara intuitif: bagaimana bisa benar dapat disimpulkan ‘jokowi tiga periode’ dari keberadaan rumah saya yang inkonsisten? Penyimpulan tersebut tidak berlaku dalam kerangka logika tiga nilai.

Logika tiga nilai adalah logika yang menambahkan nilai kebenaran ‘i’ yang dapat berarti ‘tidak benar maupun salah’ maupun ‘benar dan salah’, bergantung pada status designasinya. Nilai kebenaran ‘i’ memiliki status terdesignasi (dianggap valid) atau tidak terdesignasi tergantung pada jenis logikanya. Pada logika klasik, hanya {1} yang terdesignasi dari keseluruhan nilai kebenaran {1, 0}. Dari perbedaan designasi nilai terdapat dua jenis konstruksi dasar logika tiga nilai: logika Kleene dan Paradoks. Logika Kleene menganggap bahwa ‘i’ tidak terdesignasi, sehingga designasi nilainya mirip seperti logika klasik yaitu {1} dari keseluruhan {1, 0, i}; konsekuensinya, ‘i’ menjelma menjadi ‘tidak benar maupun salah’. Sementara itu, logika Paradoks menganggap bahwa ‘i’ terdesignasi sehingga nilai designasinya adalah {1, i} dari keseluruhan nilai kebenaran {1, 0, i}; konsekuensinya, ‘i’ menjelma menjadi ‘benar dan salah’.

Bagi Dialetheisme terdapat kontradiksi yang benar, hal ini tentu diungkapkan secara berdasar, karena kontradiksi pun bisa ada dan kita pahami, ambil contoh paradoks pembohong atau eksperimen pikiran kucing Schrodinger (Baca Priest, 2009). Melalui logika paradoks prinsip ledakan dapat dihindari sehingga kontradiksi tidak mengimplikasikan atau menyimpulkan segala sesuatu. Contoh kontra dapat dilihat pada $\nu(P) = i$ dan $\nu(\neg P) = i$: Perhatikan bahwa premis menjadi terdesignasi dan mempunyai kemungkinan untuk salah.  Melalui logika ini kita dapat menghindari penyimpulan yang tidak masuk akal seperti “Alien turun ke bumi” yang diturunkan dari prinsip ledakan dengan premis apa pun.

Kontraposisi: $P \rightarrow Q \models \neg Q \rightarrow \neg P$

Selain tiga prinsip sebelumnya, terdapat penyimpulan lain yang bermasalah dalam logika klasik. Salah satunya adalah kontraposisi. Perhatikan contoh berikut:

$P \rightarrow Q \models \neg Q \rightarrow \neg P$

“Dari ‘jika saya mengendarai motor maka motor yang saya kendarai akan menghabiskan kurang lebih 2 liter bensin’ dapat disimpulkan ‘jika motor yang saya kendarai tidak menghabiskan kurang lebih 2 liter bensin maka saya tidak mengendarai motor’.”

Akan tetapi, penyimpulan tersebut absurd secara intuitif: bagaimana bisa motor yang dikendarai tidak menghabiskan kurang lebih 2 liter bensin padahal konsekuensinya saya tidak mengendarai motor? Penyimpulan tersebut tidak berlaku dalam kerangka logika kondisional.

Logika kondisional berangkat dari kondisi ceteris paribus anteseden dan keberadaan fungsi dunia yang membuat kelas konsekuensinya benar. Secara umum logika kondisional menolak kontraposisi, hipotetikal silogisme, dan pelemahan anteseden. Anteseden adalah fungsi yang menyatakan keberadaan dunia terhadap kelas konsekuensi. Dikarenakan perbedaan tipe anteseden sebagai fungsi dan konsekuensi sebagai kelas, kontraposisi dapat ditolak melalui pembuktian $P \rightarrow Q \not\models_{C^+} \neg Q \rightarrow \neg P$ berikut: 

Untuk mencari contoh kontranya, tetapkan $f_{P} (w) \subseteq [Q]$ dan $f_{\neg Q} (w) \not \subseteq [ \neg P]$. Maka dari itu, $f_{\neg Q} (w) \cap [ \neg \neg P] \neq \varnothing$, yakni $f_{\neg Q} (w) \cap [P] \neq \varnothing$ sehingga $[P] \neq \varnothing$. Semisal $a \in [P]$, berarti $a \in f_{P}(w)$. Karena $a \in f_P(w)$, maka $a \in [Q]$ sebab $f_{P} (w) \subseteq |Q|$. Karena $a \in [Q]$, maka $a \in [Q] \neq \varnothing$. Selain itu, karena $f_{\neg Q} (w) \cap [P] \neq \varnothing$, maka $f_{\neg Q}(w) \neq \varnothing$. Ingat, $f_{\neg Q}(w) \subseteq [\neg Q]$. Maka dari itu, semisal $b \in f_{\neg Q}(w)$, berarti $b \in [\neg Q]$. Karena $b \in [\neg Q]$, maka $b \in [\neg Q] \neq \varnothing$. Dengan demikian, $[Q]$ dan $[\neg Q]$ memiliki kondisi yang berbeda sebab tidak ada tuntutan untuk $a = b$.

Perbedaan kondisi tersebut menghindari terjadinya kontradiksi, dan ini mengindikasikan bahwa penyimpulan kontraposisi tidak valid dalam logika kondisional.

Beberapa logika di atas memiliki keterbatasan sehingga tidak dapat menyimpulkan segala proposisi yang valid dalam logika klasik. Tetapi, penolakan dari logika-logika non-klasik ini tetaplah koheren dan masuk akal dalam konteks tertentu; sehingga ini bukanlah keterbatasan, namun sebuah logika yang lebih ketat dari logika klasik. Logika klasik, seperti yang sudah dijelaskan sebelumnya, memvalidasi penyimpulan yang tidak intuitif sehingga dia kini telah kehilangan tahtanya sebagai sistem untuk menilai kebenaran. Lantas apa implikasi dari keberagaman dari sistem logika ini dalam komunikasi kita sehari-hari? Logika apakah yang paling benar?

Konvensi dan Egoisme Logika

Suatu malam, beberapa matematikawan dan seorang filsuf-logikawan sedang minum kopi di sebuah warung untuk menikmati debat pilpres akhir putaran. Filsuf-logikawan mengatakan bahwa “Jika beriman maka pilih X”. Pernyataan yang ia lontarkan memicu keributan dan rasa amarah. Lantas, salah satu matematikawan menanyakan “Apakah maksudmu: ‘orang yang tidak memilih X itu tidak beriman’?”. Lantas, filsuf-logikawan tersebut menggelengkan kepalanya dan seketika matematikawan tersebut berteriak dengan bangganya mengatakan “kamu melakukan kesesatan berpikir!!”. Matematikawan tersebut lantas menjelaskan ekuivalensi kontraposisi sehingga dari pernyataan “Jika beriman maka pilih X” dapat disimpulkan “Jika tidak pilih X maka tidak beriman”. Filsuf-logikawan itu lantas mengambil secarik kertas dan menuliskan pembuktian logika kondisional yang ia gunakan dan menunjukan bahwa cara berpikir matematikawan di warung itu terlalu sempit dan klasik. Semua matematikawan di warung itu lantas terkejut dan meminta maaf pada logikawan itu. 

Cerita di atas menunjukan implikasi adanya logika selain logika klasik dan betapa berbahayanya jika kita mengevaluasi sistem logika tanpa adanya persetujuan dari logika yang digunakan oleh lawan bicara. Seseorang dapat diperbolehkan menggunakan logika lain jika logika yang digunakan mempunyai bukti kekokohan sistemnya. Hal ini mengharuskan adanya komunikasi dua arah antara pembicara dan lawan bicara. Konstruksi percakapan secara formal dapat dinyatakan sebagai berikut:

A:“Saya menyatakan formula $ \varphi$
B:”Apakah dari  dapat disimpulkan $ \psi$?”
A:”Tidak, karena menurut logika saya,  $ \varphi$ tidak bisa menjadi $ \psi$
B:”Apakah terdapat bukti demikian atas konstruksi logika anda?”
A:”Ya, pembuktian berikut membuat konstruksi logika saya dapat direkursi sehingga koheren.” *menunjukkan konstruksi serta pembuktian logikanya*
B:”Oh, itu yang anda pikirkan.”

Melalui konstruksi percakapan di atas, saya diharuskan untuk mencapai suatu kesepakatan tentang apa yang dinyatakan oleh pihak lain. Konstruksi tersebut melibatkan suatu pembuktian sehingga kesepakatan dapat tercapai. Pembuktian dalam logika dilakukan untuk menguji completeness dan soundness suatu sistem logika. Dengan demikian, sistem logika tidak asal-asalan dan arbitrer tergantung oleh pembicara pertama. Tapi apakah logika yang dilakukan asal-asalan itu bukan logika? Bagaimana jika kita berbicara tentang masa lalu sehingga logika itu belum ditemukan? Apakah proposisi yang tidak intuitif itu valid karena buktinya belum ditemukan? Pertanyaan-pertanyaan ini memberikan pertimbangan kita untuk memikirkan posisi egoisme dalam berlogika.

Egoisme logika adalah suatu pandangan subjektivisme total dalam berlogika yang menolak untuk dipahami dan dievaluasi orang lain. Jika menurut Wittgenstein bahasa adalah batasan dunia (baca Wittgenstein, 2009), maka, lebih dalam lagi, logika juga merupakan batasan dunia (Suryajaya, 2022). Jika dunia hanya bisa dipahami oleh seseorang yang memikirkannya, seseorang itu hidup dalam dunianya sendiri; dengan kata lain, solipsisme dalam logika. Ketika logika saya tidak bisa dipahami oleh orang lain dan saya menolak segala penilaian orang lain, disitulah saya egois dalam berlogika. Bayangkan betapa berbahayanya jika seseorang menyimpan logikanya sendiri. Bagaimana orang lain dapat memahami dan mengevaluasi apa yang dia katakan? “Jika saya telah mengatakan A, kamu tidak dapat memahaminya lebih jauh karena logika saya ada di dalam pikiran saya”. Keberagaman sistem logika dapat mengimplikasikan egoisme logika yang dengannya logika tidak memiliki batasan untuk dinilai. Lantas, apakah egoisme dalam logika ini dapat dihindari?

Penggunaan konstruksi percakapan logis yang telah dijelaskan sebelumnya menjadi salah satu kunci untuk menghindari egoisme logika. Konstruksi logis memberikan penjelasan kepada orang lain yang menilai logika yang dibangun; kendati demikian, terdapat beberapa permasalahan filosofis dalam keharusan hadirnya konstruksi logis. Bayangkan pada waktu di mana logika kondisional belum ditemukan, apakah proposisi itu dapat diterima? Mendasarkan pertanggungjawaban melalui pembuktian logika agaknya akan menjadi sangat berat, terlebih lagi bagi orang yang tidak belajar logika. Egoisme logika menghilangkan salah satu aspek logika yaitu pembuktian dan pemahaman dalam pikiran dan cenderung dekat dengan intensionalitas (intentionality) psikologisme.

Logika memiliki aspek sosial sebagai salah satu aspek yang tidak tergantikan dan membuatnya spesial dari pandangan psikologis yang sukar dipahami. Saat logikawan memberikan penjelasan bagaimana suatu logika bisa valid dan dipahami, ia membuka ruang kepada orang lain untuk mengevaluasi dan memahami dunianya. Kesediaan untuk dinilai dan memberikan penjelasan ini adalah satu penerapan aspek sosial dalam logika dan secara umum adalah esensi dalam studi ilmu logika sendiri untuk membuktikan sistem yang ia bangun.

Pemahaman dan cara menilai logika seseorang juga tidak lepas dari aspek sosial dan kebiasaan. Bayangkan Ani dan Imam hidup dalam lingkungan sosial dan pendidikan yang berbeda, lingkungan sosial Ani selalu menggunakan prinsip logika klasik sedangkan Imam selalu menggunakan sistem logika kondisional. Pada suatu saat, mereka bertemu di sebuah kota dan berbincang satu sama lain. Apakah mereka akan setuju ketika “Jika hujan maka jalan basah” dapat disimpulkan “Jika jalan tidak basah maka tidak hujan”? Ketidaksetujuan akan datang dari Imam yang hanya belajar logika kondisional dan sebaliknya Ani akan menyetujui penyimpulan kontraposisi tersebut. Logika Klasik dan Kondisional ditentukan oleh kebiasaan seseorang dalam lingkungannya. Lantas bagaimana jika suatu negara hanya memberikan pendidikan satu sistem logika saja?

Penutup

Logika sebagai ilmu bukan lagi seperti yang diungkapkan Irving Copi yang mana “logika adalah ilmu yang membedakan penalaran yang tepat (valid) dan yang tidak tepat (invalid)” (Baca Copi, et al., 2014). Argumen Copi terkait logika mengharuskan logika sebagai ilmu menjadi sempit dan hanya digunakan untuk menilai argumen tanpa melihat sistem logika itu sendiri dari dalam. Jika argumennya dianggap valid di masa sekarang yang mana terdapat banyak sistem logika, ilmu logika hanya akan menjadi alat untuk menyerang argumentasi secara egois tanpa memperhatikan absurditas sistem logika yang ia pakai, dapat dibayangkan seseorang yang menggunakan logika seperti itu tidak ada bedanya dengan seseorang yang terikat dogma-dogma masa lalu. 

Sepanjang saya belajar logika, saya melihat ilmu logika tidak hanya berhenti untuk menganalisis argumen, tetapi ia juga menganalisis dirinya sendiri dan mempertanyakan cara kita memahaminya melalui konsep-konsep filsafat-metafisika yang ditawarkan. Tak jarang pula sistem logika itu direvisi untuk menyesuaikan pada suatu konteks melalui aturan-aturan tambahan yang dapat direkursi sehingga sistem yang dibangun tidak ad-hoc begitu saja. Keleluasaan dalam logika ini tidak dapat diartikan dengan “menilai argumen” layaknya memperbaiki rumah hanya menggunakan palu: kita tentu perlu menanyakan pula kenapa kita mesti menggunakan palu pada situasi tersebut. Pluralitas dalam logika dan keleluasaan membangun sistem yang koheren mengharuskan semua orang yang mengaku “berlogika” untuk tidak terburu-buru untuk menilai argumentasi seseorang hanya karena tidak sesuai dengan logika yang ia pahami. Logika menjadi ilmu padi yang merunduk sehingga tidak serta merta mengatakan seseorang sesat pikir hanya karena tidak sesuai dengan logika yang dipahami dirinya.


Daftar Pustaka

Ahnaf, M. Q., dan Arkhano, R. A., 2024a, Beberapa Penyimpulan Bermasalah dalam Logika Klasik (1), diakses pada 12 Februari 2024, 
<https://antinomi.org/beberapa-penyimpulan-bermasalah-dalam-logika-klasik-1/>.

Ahnaf, M. Q., dan Arkhano, R. A., 2024b, Beberapa Penyimpulan Bermasalah dalam Logika Klasik (2), diakses pada 12 Februari 2024,
<https://antinomi.org/beberapa-penyimpulan-bermasalah-dalam-logika-klasik-2/>.

Copi, I., Cohen, C., dan McMahon, K., 2014, Introduction to Logic, edisi ke-14, New York: Routledge.

Priest, Graham, 2008, Introduction to Non-Classical Logic, edisi ke-2, Cambridge: Cambridge University Press.

Wittgenstein, L., 1958, Philosophical Investigation, Oxford: Basil Blackwell.

Suryajaya, Martin, 2022, Principia Logica, Jakarta: Gang Kabel.

Wittgenstein, L., 2001, Tractatus-Logico-Philosophicus, edisi ke-2, London: Routledge.

Priest, Graham, 2009, In Contradiction, New York: Oxford University Press.

Bacaan Lainnya