Memang benar bahwa setiap premis di dalam argumentasi logika formal secara umum itu dianggap pasti benar sehingga kesimpulan yang ditarik pun harus pasti benar; hal tersebut disebut dengan sifat mempreservasi kebenaran. Akan tetapi, merupakan sebuah kekeliruan besar apabila menganggap tidak terdapat istilah “kemungkinan besar benar” atau semacamnya dalam logika formal.
Perhatikan contoh berikut:
Premis 1: Jika Aldo mengendarai motor, maka Aldo pergi ke suatu tempat.
Premis 2: Aldo pergi ke suatu tempat.
Pertanyaannya, apa kesimpulan dari dua premis tersebut? Memang, dari contoh tersebut, bisa saja kita menyimpulkan “Aldo mengendarai motor” dan kebetulan kesimpulan kita benar. Hal tersebut hanya kebetulan saja karena kesimpulan yang ditarik pada dasarnya merupakan kemungkinan, yakni “mungkin saja Aldo mengendarai motor”; dan perlu diingat, apabila kita menyimpulkan “pasti bahwa Aldo mengendarai motor”, maka kita melakukan sesat pikir formal mengafirmasi konsekuensi dalam kerangka logika klasik. Akan tetapi, tidak ada dasar logis untuk menilai bahwa penyimpulan tersebut bukan kepastian sebab penyimpulannya tetap pasti: “pasti bahwa mungkin saja Aldo mengendarai motor”; dan pada dasarnya, dalam logika klasik bermodalitas normal serial atau refleksif, “pasti bahwa: mungkin saja Aldo mengendarai motor atau mungkin saja Aldo tidak mengendarai motor”.
Memang, tidak ada premis lain dalam contoh tersebut. Apabila disebutkan bahwa “mengendarai motor merupakan satu-satunya cara Aldo untuk pergi ke suatu tempat”, maka bentuk premisnya akan berubah menjadi “Aldo mengendarai motor jika dan hanya jika Aldo pergi ke suatu tempat” sehingga sah untuk menyimpulkan “Aldo mengendarai motor”. Namun, dengan merujuk pada contoh sebelumnya, dapat dipahami bahwa bisa jadi mengendarai motor bukan merupakan satu-satunya cara Aldo untuk pergi ke suatu tempat sehingga kesimpulan “Aldo mengendarai motor” hanya merupakan kemungkinan saja. Akan tetapi, meski kesimpulan tersebut merupakan kemungkinan saja, bukan berarti semata-mata hal tersebut bukan kepastian. Kita masih bisa menggunakan logika formal, dengan membangun fungsi modalitas “mungkin” dan “pasti/niscaya”, untuk menyimpulkan “mungkin saja Aldo mengendarai motor” dan “pasti bahwa mungkin saja Aldo mengendarai motor”.
Istilah “pasti” atau “niscaya” pada umumnya tidak selalu disebutkan di soal-soal logika formal karena memang terdapat kaidah preservasi kebenaran untuk setiap argumentasi sehingga terdapat ruang untuk menjawab: apa kebenaran yang dipreservasi dari himpunan premis yang disediakan? Namun, ini bukan sebuah permasalahan, melainkan sebuah kekuatan penalaran logis: melatih pikiran untuk tetap mengacu pada fakta, data, atau premis yang diberikan dan dimiliki sehingga penalarannya tidak mengada-ada. Meski terdapat beberapa kasus di mana tidak dapat disimpulkan “pasti benar”, sering kali kita dapat menyimpulkan “mungkin benar” pada beberapa kasus; namun, kemungkinan tersebut harus tetap ada dalam kerangka preservasi kebenaran, yakni harus pasti bahwa hal tersebut mungkin dengan berdasarkan fakta, data, atau premis yang diberikan, yaitu “pasti bahwa mungkin benar”.
Menurut saya, tidak ada dasar logis untuk membeda-bedakan logika formal dengan logika di kehidupan sehari-hari sebab perbedaannya hanya terdapat pada skala kompleksitasnya, bukan pada bentuknya. Meski logika formal dasar itu gagal dalam menjelaskan penalaran sehari-hari, bukan berarti logika formal tingkat lanjut itu gagal dalam menjelaskan penalaran sehari-hari. Upaya membeda-bedakan tersebut itu seperti seseorang yang merasa bahwa aritmatika dasar itu sampah karena tidak dapat menghitung luas daerah di bawah kurva; hal yang bermasalah justru orang tersebut karena ia memakai alat analisis tidak pada tempatnya, dan seharusnya ia memakai matematika tingkat lanjut yakni kalkulus.
Lagipula, logika itu tidak tunggal, melainkan plural: terdapat banyak macam logika seperti logika klasik, logika intuisionistik, logika parakonsisten, logika relevansi, maupun logika pragmatik. Sebagai contoh, akan saya jelaskan tentang logika intuisionistik. Kita tidak dapat menyimpulkan P dari ¬¬P sebab negasi juga memerlukan bukti dalam logika intuisionistik; tidak seperti logika klasik di mana ¬¬P ⊢ P berlaku. Dalam logika intuisionistik, bukti untuk ¬¬P tidak identik dengan bukti untuk P sebab ketiadaan bukti untuk ¬P bukan berarti bukti untuk P. Konsekuensinya, prinsip excluded middle P ∨ ¬P tidak berlaku dalam logika intuisionistik: bisa jadi kita tidak punya bukti sama sekali baik untuk P maupun untuk ¬P sehingga kebenarannya tidak dapat ditentukan (Priest, 2008: 104-5). Pluralitas logika memberikan kita banyak pilihan alat analisis untuk berbagai argumentasi sehingga tidak ada logika yang lebih benar atau lebih fundamental dari logika yang lain, dan yang ada adalah bagaimana penganalisis menggunakan alat yang tepat untuk menganalisis sebuah argumentasi. Sejauh ini, saya sepakat dengan pendapat Koszowy tentang formalitas dan informalitas sebuah analisis logis:
Wajar saja apabila seseorang kesulitan memotong pohon besar dengan palu dan lantas menganggap palu itu tidak berguna sebab dia tidak tahu ada alat yang disebut kapak, gergaji tangan, atau gergaji mesin. Akan tetapi, apabila dia lantas menilai bahwa “alat pertukangan itu tidak berguna”, pada titik itu saya tidak sepakat. Logika dasar di dalam kelas memang tidak didesain untuk argumentasi kompleks di kehidupan sehari-hari, namun logika dasar didesain dengan beberapa simplifikasi sebagai pengantar untuk memahami logika tingkat lanjut. Logika tingkat lanjutlah yang pada titik tertentu berguna untuk membongkar argumentasi di kehidupan sehari-hari.
Itulah mengapa, saya selalu menekankan pada semua orang untuk mempelajari logika tingkat lanjut, setidaknya sekadar tahu dan memahami beberapa variasi logika tingkat lanjut agar tidak salah kaprah; seperti setidaknya tahu dan paham sedikit tentang kalkulus agar tidak salah kaprah dan terjebak dalam aritmatika dasar dan kemudian menganggap matematika di kelas berbeda dengan matematika di kehidupan sehari-hari. Sehingga, sebuah sistem pendidikan perlu memasukkan pengantar logika tingkat lanjut sebagai mata pelajaran dan mata kuliah tersendiri; apabila tidak, wajar saja ada orang-orang yang amburadul pola nalarnya, meloncat tidak karuan, sebab yang diketahui dan diulang-ulang di kelas hanya:
Premis 1: Semua manusia adalah mamalia.
Premis 2: Sokrates adalah manusia.
Kesimpulan: Sokrates adalah mamalia.
Berbicara mengenai logika induktif, dalam skripsi saya (Ahnaf, 2020: 86-90), saya memberikan pembuktian bahwa logika induktif adalah logika deduktif dalam penyamaran. Maksudnya, segala sistem logika induktif bekerja dalam skema logika deduktif. Dapat dipahami bahwa keduanya, baik logika deduktif maupun logika induktif, dapat dianalisis titik temunya pada tataran metalogis melalui aksioma berikut (Ahnaf, 2020: 89):
“Semua proposisi yang disimpulkan dari aturan yang memenuhi kriteria X adalah proposisi yang valid (benar dalam kriteria X)”.
Kita hanya perlu melakukan substitusi terhadap kriteria X untuk mendapatkan sistem logika deduktif maupun sistem logika induktif; misalnya, apabila kriteria X disubstitusikan dengan preservasi kebenaran beserta aturan-aturan klasik, maka kita mendapatkan logika deduktif klasik.
Begitu pula dengan logika induktif, semisal kita sebut kriteria berikut sebagai kriteria logika induktif Y: semua proposisi dalam cakupan sistem belum tentu benar secara langsung dan didapatkan dari regresi data. Dari hal tersebut dapat kita formulasikan penalaran logika induktif Y pada tataran metalogis atas kriteria Y dengan melakukan substitusi terhadap kriteria X sebagai kriteria Y pada aksioma sebelumnya:
Premis 1: Semua proposisi yang disimpulkan dari aturan yang memenuhi kriteria Y adalah proposisi yang valid (benar dalam kriteria Y).
Premis 2: Proposisi P disimpulkan dari aturan yang memenuhi kriteria Y.
Kesimpulan: Proposisi P valid (benar dalam kriteria Y).
Terlihat bahwa kita masih tetap berada pada logika deduktif. Pertanyaannya, apakah penalaran metalogika di atas dapat dinilai dengan kriteria logika induktif Y sendiri? Jawabannya, tentu tidak bisa! Sebab, apabila bisa, maka penalaran pada logika induktif Y tidak dapat dilakukan karena aksioma metalogikanya (premis 1) belum tentu benar secara langsung sehingga absurd. Pada titik ini, terbukti bahwa logika induktif tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri.
Satu-satunya jalan keluar adalah logika induktif Y harus dijelaskan dalam skema logika deduktif yang mengandung aturan atau kriteria Y, dan setiap aturan atau kriteria tersebut harus pasti. Dengan kata lain, dalam tataran metalogika atas logika induktif Y: pasti bahwa semua proposisi dalam cakupan sistem belum tentu benar secara langsung dan didapatkan dari regresi data. Dengan demikian, logika induktif Y sebenarnya adalah logika deduktif dengan tambahan kriteria Y, yakni logika deduktif dalam penyamaran; dan klaimnya dapat diperkuat: semua logika induktif adalah logika deduktif dengan tambahan kriteria tertentu, sehingga semua logika induktif adalah logika deduktif dalam penyamaran.
Terdapat anggapan awam bahwa logika induktif merupakan logika yang digunakan dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Justru dari anggapan tersebut, berdasarkan pada pembuktian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa orang-orang secara tidak langsung menggunakan logika deduktif dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya. Klaim ini dapat diperkuat: semua orang menggunakan logika deduktif dalam kehidupan sehari-hari pada umumnya, sebab logika induktif tidak dapat menjelaskan dirinya sendiri dan memerlukan logika deduktif untuk menjelaskan dirinya.
Hal yang sama juga berlaku pada logika abduktif. Logika abduktif merupakan kombinasi kompleks antara logika deduktif dan induktif; dan karena logika induktif harus dijelaskan dengan logika deduktif, maka logika abduktif merupakan kombinasi kompleks antara logika deduktif dan logika deduktif lain dengan kriteria tambahan tertentu. Dengan demikian, logika abduktif secara umum juga harus dijelaskan dengan logika deduktif.
Pada titik ini, kita telah menemukan closure dari penalaran: semua bentuk penalaran adalah penalaran dalam logika deduktif. Berbagai perbedaan bentuk penalaran muncul karena perbedaan penerapan kriteria tambahan pada logika deduktif yang dipakai untuk dijadikan dasar. Memang betul, kita tidak harus selalu menyimpulkan secara eksak “pasti benar”. Namun, untuk menyimpulkan “mungkin benar”, kita tetap harus menyimpulkan “pasti bahwa mungkin benar”. Sehingga, cakupan kemungkinan tetap harus ada dalam kepastian penalaran tertentu, dan harus ada dalam kepastian logika deduktif tertentu.
Meskipun kita menggunakan teori probabilitas sehingga kesimpulannya probabilistik, penyimpulan dalam teori probabilitas itu sendiri bekerja secara deduktif. Meskipun kita menggunakan teori statistik tentang distribusi probabilitas dengan fungsi kerapatan probabilitas, yakni sederhananya terdapat probabilitas atas probabilitas, teori itu sendiri tetap bekerja secara deduktif. Untuk menyimpulkan “kejadian ini kemungkinan besar terjadi” perlu adanya sistem logika deduktif dan kriteria tertentu sehingga dari fakta, data, atau premis yang diketahui, meskipun tidak lengkap, kita dapat menyimpulkan “pasti bahwa kejadian ini kemungkinan besar terjadi”. Bahkan, untuk menyimpulkan “mungkin saja kejadian ini kemungkinan besar terjadi”, kita masih perlu sistem logika deduktif dan kriteria tertentu sehingga dari fakta, data, atau premis yang diketahui, meskipun tidak lengkap, dapat disimpulkan “pasti bahwa mungkin saja kejadian ini kemungkinan besar terjadi”. Sehingga, tidak ada sistem logika yang cukup untuk menjelaskan logika lain selain sistem logika deduktif itu sendiri.
Apabila kembali pada contoh awal tantang Aldo, apakah masuk akal menyimpulkan “Aldo mengendarai motor”? Setidaknya terdapat dua jawaban. Untuk jawaban pertama, penyimpulan tersebut masuk akal sejauh orang yang menyimpulkan dapat mempertanggungjawabkan sistem logika yang dipakai dalam menyimpulkan hal tersebut. Hal ini senada dengan prinsip toleransi yang dirumuskan oleh Carnap (dari Restall, 2002: 429-30; Carnap, 2001: 51-2):
Pertanggungjawaban sebuah sistem logika terdapat dalam ranah teknis: merumuskan aspek sintaksis (dan semantik) sistem logikanya, dan lalu menetapkan status completeness dan soundness dari sistem logikanya (dan terkadang boleh juga ditetapkan lebih jauh perihal status decidability dan compactness sistemnya). Apabila hal tersebut terlihat merepotkan, ada baiknya tetap mengikuti sistem logika yang sudah teruji secara teknis seperti logika klasik, logika intuisionistik, logika parakonsisten, logika relevan, maupun logika pragmatik; dan sayangnya semua sistem tersebut justru menyuruh kita untuk tidak serta-merta menyimpulkan demikian. Namun, apabila memang ingin sekali menyimpulkan kemungkinannya, gunakan saja logika yang cukup kompleks seperti logika modal dengan tambahan aksioma bahwa “segalanya mungkin”; untuk pembuktian, saya serahkan pada pembaca, atau teman-teman filsafat maupun non-filsafat yang belajar logika modal—terlalu panjang untuk saya jelaskan di sini.
Untuk jawaban kedua, penyimpulan tersebut tidak dapat diterima dalam skema probabilitas. Semisal:
Q ≔ Aldo mengendarai motor; dan
R ≔ Aldo pergi ke suatu tempat.
Sebut P(φ) sebagai peluang P atas φ, dan sebut P(φ | ψ) sebagai peluang P atas φ jika ψ. Apabila diterapkan pada contoh, kita tahu bahwa:
[1] “Jika Aldo mengendarai motor, maka Aldo pergi ke suatu tempat”, sehingga P(R | Q) > 0.
[2] “Aldo pergi ke suatu tempat”, sehingga P(R) > 0.
Pertanyaannya, apakah dari dua premis tersebut, [1] dan [2], dapat disimpulkan P(Q) > 0, yakni terdapat peluang (sehingga mungkin) bahwa “Aldo mengendarai motor”? Mari kita masuk pada pembuktian. Kita tahu melalui teorema multiplikasi bahwa (Kolmogorov, 1950: 7):
[3]
Kita juga tahu melalui hukum komutatif bahwa:
[4]
Sehingga,
[5]
Dari teorema [5] dapat dipahami bahwa P(R | Q) = P(Q | R) jika dan hanya jika
P(R) = P(Q). Sementara itu, tidak ada informasi lebih lanjut bahwa P(R) = P(Q), sehingga terdapat kemungkinan bahwa P(R) ≠ P(Q) dan konsekuensinya terdapat kemungkinan pula bahwa P(R | Q) ≠ P(Q | R). Kita hendak membuktikan apakah P(Q) > 0 dapat disimpulkan, dan kita tahu melalui premis [1] bahwa P(R | Q) > 0 sehingga P(R | Q) ≠ 0, maka dari itu kita transformasi teorema [5] menjadi:
[6]
Kita telah mengetahui dari premis [1] dan [2] bahwa P(R | Q) > 0 dan P(R) > 0. Dengan demikian, P(Q) > 0 jika dan hanya jika P(Q | R) > 0. Karena terdapat kemungkinan bahwa P(R | Q) ≠ P(Q | R), dan P(R | Q) > 0, maka terdapat kemungkinan bahwa P(Q | R) ≯ 0. Karena terdapat kemungkinan bahwa P(Q | R) ≯ 0, dan P(Q) > 0 jika dan hanya jika P(Q | R) > 0, maka terdapat kemungkinan bahwa P(Q) ≯ 0. Karena terdapat kemungkinan bahwa P(Q) ≯ 0, maka tidaklah niscaya/pasti bahwa P(Q) > 0. Karena P(Q) > 0 tidak niscaya/pasti, maka tidak dapat disimpulkan bahwa “Aldo mengendarai motor” atau P(Q) > 0 dari premis [1] dan [2].
Lantas, apakah dapat disimpulkan bahwa “mungkin saja P(Q) > 0”? Bisa saja, namun penyimpulan tersebut tidak berdasarkan premis. Perhatikan bahwa hal tersebut berarti kemungkinan bertingkat: “mungkin saja bahwa peluang Q itu lebih dari 0” yakni “mungkin saja bahwa Q itu mungkin”. Ya, memang benar demikian, lalu apa poin yang ditarik dari premis? Penyimpulan seperti itu tidak menarik poin apa pun dari premisnya; penyimpulan seperti itu hanya terjebak dalam kemungkinan, mengada-ada, dan tidak relevan.
Mentok-mentoknya, kita dapat menyimpulkan P(Q) > 0 dengan berasumsi bahwa P(Q | R) > 0; namun ini bukan jawaban yang diminta sebab jawaban kita menjadi: dapat disimpulkan bahwa P(Q) > 0 dari premis [1] dan [2] dengan asumsi P(Q | R) > 0. Padahal, jawaban yang diminta hanyalah kesimpulan dari premis [1] dan [2]. Dari sini kita dapat membedakan penalaran yang ketat dengan penalaran yang seenaknya sendiri: penalaran ketat berarti kita tahu kita menyimpulkan dari mana dan mampu membedakan mana data/fakta/premis yang ada dan mana yang asumsi kita, sementara penalaran seenaknya sendiri adalah penalaran yang tidak tahu premisnya dari mana, maupun mencampuradukkan data/fakta/premis dengan asumsi—asumsi jadi fakta, fakta jadi asumsi. Kalau memang inginnya seenaknya sendiri, buat saja soal anda sendiri dengan memasukkan asumsimu sebagai premis tambahan.
Terdapat dalih yang sekilas terlihat meyakinkan namun sebenarnya tidak sama sekali, yakni: “apabila peluang Aldo untuk tidak mengendarai motor itu kecil, maka masuk akal untuk menyimpulkan bahwa Aldo mengendarai motor”. Dengan kata lain, dalih tersebut menyatakan bahwa ”jika P(¬Q) mendekati 0, maka masuk akal menyimpulkan P(Q) > 0”. Saya menolak argumen tersebut sebab hal tersebut tidak relevan dengan permasalahan yang dipertanyakan oleh contoh.
Permasalahan pada contoh yang diberikan adalah: “apakah dari dua premis tersebut, [1] dan [2], dapat disimpulkan P(Q) > 0?”. Namun, dalih tersebut tidak mempertimbangkan maupun berangkat dari premis [1] maupun [2], melainkan berangkat dari asumsi implisitnya sendiri atas Q, yakni asumsi bahwa Q merupakan kasus biner sehingga P(Q) + P(¬Q) = 1. Dari asumsi tersebut, jelas bahwa apabila P(¬Q) mendekati 0 maka P(Q) mendekati 1, yakni P(Q) > 0; lagi pula, kasusnya juga tidak mengatakan maupun menunjukkan bahwa P(¬Q) mendekati 0 sehingga penyimpulan ini tidak relevan dengan permasalahan yang diberikan contoh.
Sebuah penyimpulan dinilai relevan jika dan hanya jika proses penyimpulannya mempertimbangkan seluruh premis yang diberikan. Meski pada proses penyimpulannya terdapat asumsi, usahakan asumsi tersebut dieksplisitkan sedemikian rupa dengan tetap mempertimbangkan seluruh premis yang diberikan. Apabila gagal memenuhi kriteria relevansi tersebut, maka sebuah penyimpulan dapat dinilai termasuk dalam sesat pikir perihal relevansi. Apakah ini hanya ada dalam pembahasan logika informal? Tentu tidak. Kriteria ini sudah dijelaskan panjang lebar secara formal oleh para logikawan relevansi untuk ragam sistem logika relevansi substruktural (baca lebih lanjut Restall, 2000).
Nada tulisan saya pada paragraf sebelumnya memang terkesan seperti orang yang sedang marah, dan memang demikian. Jujur saja, saya sudah cukup muak dengan berbagai pembeda-bedaan dan pengunggul-unggulan tak berdasar seperti: “logika formal vs logika informal”, “bentuk penalaran vs konten penalaran”, dan terutama “X di kelas vs X di kehidupan sehari-hari”. Lantas, apa selanjutnya? Probabilitas di kelas berbeda dengan probabilitas di kehidupan sehari-hari? Matematika di kelas berbeda dengan matematika di kehidupan sehari-hari? Logika di kelas berbeda dengan logika di kehidupan sehari-hari? Saya pikir, pendapat yang hendak membeda-bedakan keduanya dan mengunggul-unggulkan salah satunya itu merupakan omong kosong murni. Hal tersebut terjadi bisa jadi hanya karena orang yang berpendapat demikian memang malas untuk belajar sedikit saja tentang logika tingkat lanjut; mungkin saja demikian. Akan tetapi, saya juga tidak menutup kemungkinan bahwa hal ini bisa jadi ada benarnya: cara kerja otak di kelas berbeda dengan cara kerja otak di kehidupan sehari-hari; dan justifikasinya adalah cara kerja otak orang yang membeda-bedakan logika di kelas dengan logika di kehidupan sehari-hari.
Daftar Pustaka
Ahnaf, M. Q., 2020, Implikasi Teoritis atas Kritik Bertrand Russell terhadap Logika Aristotelian, Yogyakarta: Fakultas Filsafat Universitas Gadjah Mada. http://etd.repository.ugm.ac.id/penelitian/detail/183682
Carnap, Rudolf, 2001, Logical Syntax of Language, Oxon: Routledge
Kolmogorov, A. N., 1950, Foundations of The Theory of Probability, Nathan Morrison (trans.) (ed.), New York: Chelsea Publishing Company
Koszowy, Marcin, 2010, “Pragmatic Logic and The Study of Argumentation” dalam Studies in Logic, Grammar and Rhetoric, 22(35): 29-45. https://www.researchgate.net/publication/273393575_Pragmatic_Logic_and_the_Study_of_Argumentation
Priest, Graham, 2008, An Introduction to Non-Classical Logic: From If to Is, edisi ke-2, New York: Cambridge University Press
Restall, Greg, 2002, “Carnap’s Tolerance, Meaning and Logical Pluralism” dalam The Journal of Philosophy, 99(8): 426–443. doi:10.2307/3655622
Restall, Greg, 2000, An Introduction to Substructural Logics, London: Routledge