Problematika Studi Logika dan Psikologi

Terdapat ‘miniatur psikosis’ dalam pikiran orang tertentu sehingga menerima sebuah konstruksi nalar inkoheren dengan kebingungan konseptualnya.

Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Magister Filsafat yang memiliki minat riset dalam bidang logika, metafisika, dan filsafat ilmu. Selain filsafat, juga tertarik dengan ekonomi, investasi, dan trading: telah memantau pergerakan pasar secara otodidak dan kuantitatif-logis sejak 2018.

Dengan mengadaptasi Wason dan Johnson-Laird (1975: 172-173), bayangkan Anda disuguhi empat kartu yang bertuliskan simbol berikut:

R9U6

Kemudian Anda disuruh memilih beberapa kartu tersebut untuk menguji kebenaran proposisi berikut:

(P) “Jika terdapat angka ganjil pada satu sisi, maka terdapat huruf konsonan di sisi lain.”

Kartu dengan simbol apa saja yang Anda pilih untuk menguji (P)?

Seseorang yang menggunakan logika klasik akan memilih tiga kartu: 9, 6, dan U. Pembuktiannya sederhana. Sebut ‘angka ganjil’ sebagai ‘G’, ‘huruf konsonan’ sebagai ‘K’, ‘→’ sebagai implikasi material, ‘¬’ sebagai negasi material, dan ‘⊨X’ sebagai penyimpulan sistem X; serta ‘CL’ sebagai sistem logika klasik. Dari hal tersebut, proposisi (P) dapat diformalisasi sebagai ‘G → K’. Dalam logika klasik, dari ‘G → K’ dapat disimpulkan ‘¬K → ¬G’, yakni [G → K ⊨CL ¬K → ¬G], sehingga untuk menguji ‘G → K’, kita juga perlu menguji ‘¬K → ¬G’. Maka dari itu, untuk membuktikan kebenaran ‘G → K’, kita harus memilih kartu G dan juga kartu ¬K, yakni memilih kartu angka ganjil dan juga kartu bukan huruf konsonan. Perhatikan bahwa kita memilih kartu G untuk menguji apakah di baliknya adalah K, yakni huruf konsonan, dan memilih kartu ¬K untuk menguji apakah di baliknya adalah ¬G, yakni bukan angka ganjil. Dengan demikian, kita memilih kartu 9, yang merupakan angka ganjil dan bukan huruf konsonan, dan juga kartu 6 serta U, yang keduanya merupakan bukan huruf konsonan.

Selanjutnya, mari kita kembali ke persoalan yang sama namun terdapat informasi tambahan sebagai berikut:

(Q) “Jika terdapat angka di satu sisi maka terdapat huruf di sisi lain.”

Pertanyaan yang sama: kartu dengan simbol apa saja yang anda pilih untuk menguji (P)? Dengan menggunakan logika klasik, proposisi (Q) menunjukkan kita untuk tidak perlu memilih kartu 6 yang merupakan angka dan jelas bukan huruf konsonan sebab di baliknya pastilah huruf yang sudah pasti bukan angka ganjil sehingga ‘¬K → ¬G’ untuk kartu 6 pastilah benar dan tidak perlu diuji kembali. Dengan demikian, kita cukup memilih 9 dan U untuk diuji.

Bagaimanapun, jawaban untuk kedua persoalan di atas terbatas pada kerangka logika klasik. Lantas, bagaimana bila kita memakai kerangka logika non-klasik? Ambil satu contoh, logika kondisional C yang memakai konsep implikasi kondisional ‘□→’ (untuk detailnya, baca Priest, 2008: 82-102). Dengan menggunakan logika C, proposisi (P) diformulasi menjadi ‘G □→ K’. Logika C tidak seperti logika klasik yang memakai proposisi implikatif ‘G → K’, yakni benar ketika ‘G salah atau K benar’ dan salah ketika ‘G benar dan K salah’. Dalam logika C, proposisi implikatif ‘G □→ K’ berarti terdapat komitmen intensional (intensional,  bukan intentional) terhadap kondisi untuk anteseden G, ceteris paribus (c.p.), sehingga K benar. Komitmen intensional tersebut diejawantahkan sebagai sebuah fungsi proposisional anteseden G atas kondisi wfG(w), yang merupakan subhimpunan dari kelas kebenaran [K]; dengan kata lain, G □→ K ≔ fG(w) ⊆ [K]. Itulah mengapa, dalam logika C, kontraposisi tidak berlaku, yakni [G □→ K ⊭C ¬K □→ ¬G], sebab dari fG(w) ⊆ [K] bukan berarti f¬K(w) ⊆ [¬G], bisa jadi f¬K(w) ⊈ [¬G]; keduanya memiliki komitmen intensional yang jauh berbeda, di kondisi yang jauh berbeda pula. Secara intuitif, hal ini dapat dipahami seperti seseorang yang mengasersi bahwa “jika sesuatu merupakan gagak, maka sesuatu tersebut berwarna hitam”: ia hanya berkomitmen pada kondisi untuk sesuatu merupakan gagak, c.p., sehingga benar bahwa sesuatu tersebut berwarna hitam; jelas ia tidak berkomitmen pada kondisi untuk sesuatu tersebut tidak berwarna hitam, c.p., sehingga benar bahwa sesuatu tersebut bukanlah gagak. Hal tersebut sama halnya dengan orang tersebut tidak berkomitmen pada kondisi untuk sesuatu berwarna coklat, c.p., sehingga benar bahwa sesuatu tersebut adalah kuda; ia hanya berkomitmen pada kondisi untuk sesuatu merupakan gagak, dan tidak selain itu.

Maka dari itu, dalam logika C, secara intuitif, proposisi (P) hanya berkomitmen secara intensional pada kondisi di mana G (angka ganjil), c.p., sehingga benar bahwa di baliknya adalah K (huruf konsonan); namun proposisi (P) tidak berkomitmen secara intensional pada kondisi di mana ¬K (bukan huruf konsonan), c.p., sehingga benar di baliknya adalah ¬G (bukan angka ganjil). Konsekuensinya, dalam logika C, untuk kedua problem sebelumnya, kita cukup memilih kartu 9 saja untuk menguji proposisi (P) karena hanya angka ganjil yang menjadi komitmen intensional dari proposisi (P).

Contoh lain dapat kita bangun dari logika C; semisal logika kondisional inversif, sebut saja C-Inv, yang menerjemahkan proposisi (P) sebagai ‘G ■→ K’. Definisi dari ‘G ■→ K’ adalah G ■→ K ≔ (G □→ K) ∧ (¬G □→ ¬K), dengan ‘∧’ sebagai ‘dan’, sehingga G □→ K dan ¬G □→ ¬K haruslah benar secara bersamaan agar G ■→ K benar. Dengan kata lain, G ■→ K memiliki dua komitmen: (1a) komitmen intensional pada kondisi di mana G, c.p., sehingga K benar, dan (2a) komitmen intensional pada kondisi di mana ¬G, c.p., sehingga ¬K benar. Konsekuensinya, dengan menggunakan logika C-Inv, kita harus memilih semua kartu pada problem pertama, yakni 9, R, U, dan 6 (ingat bahwa R, U, dan 6 adalah bukan angka ganjil). Untuk problem kedua, kita cukup memilih kartu 6 dan 9; proposisi (Q) mendetailkan apa yang terdapat di balik kartu dengan dua komitmen intensional: (1b) angka, c.p., sehingga di baliknya huruf, dan (2b) bukan angka, c.p., sehingga di baliknya bukan huruf; dengan demikian, ada dua hal yang di uji: (a) apakah di balik 9 merupakan huruf konsonan, dan (b) apakah di balik 6 merupakan huruf vokal (huruf yang bukan huruf konsonan)—perhatikan bahwa R dan U adalah ‘bukan angka’ yang sudah jelas ‘bukan angka ganjil’ sehingga, menurut C-Inv, di baliknya pastilah ‘bukan huruf’ yang sudah jelas ‘bukan huruf konsonan’ berdasarkan komitmen (2b) dari (Q); maka dari itu kartu R dan U tidak perlu diuji sebab kebenaran (P) untuk kedua kartu tersebut sudah dapat dipastikan melalui (Q).

Contoh lainnya dapat kita bagun juga dari logika C; misalnya logika kondisional konversif, sebut saja C-Con, yang menerjemahkan proposisi (P) sebagai ‘G ▣→ K’. Definisi dari ‘G ▣→ K’ adalah G ▣→ K ≔ (G □→ K) ∧ (K □→ G) sehingga G □→ K dan K □→ G haruslah benar secara bersamaan agar G ▣→ K benar—perhatikan bahwa definisi ini tidak runtuh menjadi ‘… jika dan hanya jika …’ dalam arti ekuivalensi standar sebab tidak terdapat komitmen untuk negasi: tidak terdapat komitmen untuk ¬G, c.p., sehingga ¬K, maupun komitmen untuk ¬K, c.p., sehingga ¬G; meski demikan, memang benar definisi ini runtuh menjadi ‘… jika dan hanya jika …’ dalam semesta sistem logika kondisionalnya sendiri sehingga ini merupakan kebingungan konseptual, tetapi kita akan tetap menganalisisnya seperti ini karena konsekuensinya menarik (akan dijelaskan lebih lanjut di bawah). Dengan kata lain, G ▣→ K hanya memiliki dua komitmen: (1c) komitmen intensional pada kondisi di mana G, c.p., sehingga K benar, dan (2d) komitmen intensional pada kondisi di mana K, c.p., sehingga G benar. Konsekuensinya, dengan menggunakan logika C-Con, kita cukup memilih kartu 9 dan R pada kedua problem sebelumnya sebab komitmen intensionalnya hanya terletak pada angka ganjil dan huruf konsonan. 

Sebenarnya terdapat satu lagi logika yang dapat dibangun dari logika C, yakni logika kondisional kontrapositif, sebut saja C-CP, yang mendefinisikan konsep implikasinya sebagai (G □→ K) ∧ (¬K □→ ¬G). Namun, hal ini tidak diperlukan, karena tidak menarik, sebab konsekuensi pilihannya identik seperti logika klasik meski konsep implikasinya tidak identik dengan logika klasik. Untuk pembuktiannya saya serahkan kepada pembaca sebagai latihan.

Pilihan dari berbagai logika di atas dapat dirangkum dalam tabel berikut:

 Logika
Klasik
‘→’ 
Logika C
‘□→’
Logika C-Inv
‘■→’
Logika C-Con
‘▣→’
Problem 1: 
uji (P) 
Pilih 9, 6, dan UHanya pilih 9Pilih 9, 6, U, dan RPilih 9 dan R
Problem 2: 
uji (P) apabila (Q) 
Pilih 9 dan UHanya pilih 9Pilih 9 dan 6Pilih 9 dan R

Pertanyaannya, jawaban pilihan mana yang benar atau tepat? Berbagai kombinasi jawaban pilihan tersebut benar dan tepat dalam kerangka logikanya masing-masing. Lantas, logika mana yang ‘benar’ atau tepat? Apabila Anda fanatik terhadap salah satu sistem logika, kalian akan berdebat selamanya tanpa akhir perihal jawaban tersebut; ujung-ujungnya akan cenderung ideologis-filosofis. Namun, saya sebagai logikawan pluralis akan menjawab: semua logika tersebut tepat sebab semua logika tersebut dapat dipertanggungjawabkan baik secara teknis dan filosofis, kecuali logika C-Con—logika C-Con tidak dapat dipertanggungjawabkan secara teknis maupun filosofis: terdapat kebingungan konseptual antara ‘jika … maka …’ dengan ‘… jika dan hanya jika …’ dalam semesta sistemnya sendiri.

Wason dan Johnson-Laird (1975) melakukan penelitian perihal psikologi penalaran. Dalam penelitian tersebut, Wason dan Johnson-Laird (1975: 229) melihat bahwa interaksi antara soal-soal logika dengan proses penalaran seseorang dalam menjawabnya dapat dianalogikan sebagai sebuah ‘miniatur psikosis’. Dari miniatur tersebut kemudian dapat dilihat jejak keserupaannya dengan fenomena patologis nyata yang menggambarkan sebuah patologi penalaran. Bagaimanapun, Wason dan Johnson-Laird (1975: 229) tidak membuat klaim yang kuat sebab buktinya tidak cukup, yakni hanya cukup untuk klaim lemah. Dari penelitian tersebut, poin yang hendak saya angkat adalah terkait soal-soal logika yang digunakan.

Salah satu soal logika yang dipakai Wason dan Johnson-Laird (1975: 172-173) adalah seperti problem 2 yang telah dijelaskan di awal. Wason dan Johnson-Laird (1975: 173) menemukan bahwa mayoritas partisipan menjawab “pilih 9 dan R” atau “hanya pilih 9”. Bagi Wason dan Johnson-Laird (1975: 173), jawaban yang tepat dan ‘benar’ adalah “pilih 9 dan U”. Namun, ini berarti Wason dan Johnson-Laird menilai jawaban seseorang dengan memaksakan skema logika yang relatif klasik—ingat, jawaban logika C-CP identik dengan logika klasik, maka dari itu saya bilang ‘relatif klasik’. Bagi saya, penilaian ini tidak dapat diterima dan dibenarkan sebab tidak terdapat penafian sebelumnya bahwa soal logika tersebut harus dijawab menggunakan logika klasik atau relatif klasik.

Bahkan Wason dan Johnson-Laird (1975: 173) menunjukkan bahwa beberapa logikawan professional juga ‘gagal’ pada soal yang mirip, dan bagi mereka hal tersebut terlihat memalukan. Namun, bagi saya hal tersebut tidaklah memalukan dan logikawan tersebut tidak juga ‘gagal’. Karena tidak terdapat penafian sebelumnya, maka sah bagi logikawan tersebut untuk menjawab sesuai intuisi logis mereka, semisal menjawab ‘hanya pilih 9”, sebab intuisi mereka sejalan dengan konstruksi logika kondisional oleh David Lewis (1973a; dan 1973b) dan Stalnaker (1968) (untuk detailnya, baca lebih lanjut Nute, 1984). Para psikolog[1] ini secara tidak langsung memaksa orang lain untuk bernalar secara klasik, kemudian menganggap orang lain yang tidak bernalar secara klasik itu keliru atau salah dan memiliki semacam patologi penalaran tertentu; dan justru hal inilah yang memalukan: melakukan penilaian psikologis atas penalaran seseorang yang tidak ada bedanya dengan penilaian fanatik pendukung paslon tertentu atas pendukung paslon lain.

Dengan mengeksklusikan logika C-Con, ketiga sistem yang telah dijelaskan sebelumnya merupakan sistem yang sah dalam kerangka mereka masing-masing—saya mengeksklusi logika C-Con sebab ia tidak sahih; eksklusi ini berlaku untuk seterusnya. Ketiga sistem tersebut sama-sama menjelaskan konektif ‘jika … maka …’ pada konstruksi rasionalitas koheren mereka masing-masing. Sejauh ini terlihat di mana problematika studi logika dan psikologi perihal penalaran: logika mencoba memahami konstruksi rasionalitas koheren seseorang, sementara psikologi hendak mengkotak-kotakkan penalaran seseorang dan kemudian menilai kapabilitas mental serta penalaran orang tersebut dengan berjangkar pada sistem penalaran yang diasumsikan tepat dan ‘benar’ namun tanpa dasar yang jelas. 

Problematika ini berlaku hingga pada soal-soal penalaran dalam tes potensi akademik (TPA). Soal-soal TPA selalu menjangkarkan dirinya pada konstruksi logika klasik—itu pun seringkali soal dan kunci jawabannya kacau-balau. Dengan demikian, TPA dengan sendirinya gagal dalam mengukur potensi akademik seseorang: TPA hanya mengukur kemampuan penalaran seseorang secara spesifik dalam kerangka logika klasik; tetapi TPA tidak mengukur kemampuan seseorang dalam berlogika maupun bernalar secara umum—ia tidak mengukur potensi akademik apa pun, mengingat ‘potensi’ itu sifatnya umum. Untuk mengubah ini, perlu adanya keterlibatan logikawan yang mengikuti perkembangan lanjut studi logika dalam menyusun soal-soal penalaran TPA; ini sama halnya memerlukan keterlibatan matematikawan dalam menyusun soal-soal kuantitatif TPA. 

Sebagai penekanan, pluralitas logika tidaklah terjatuh pada relativisme. Pernyataan “kontraposisi tidak berlaku pada logika klasik” tentu pernyataan yang salah; ini sama salahnya dengan pernyataan “kontraposisi berlaku pada logika kondisional C”. Dalam tataran metalogika, benar bahwa “kontraposisi berlaku pada logika klasik” dan “kontraposisi tidak berlaku pada logika kondisional C”. Meski logika itu plural, bukan berarti trivial bahwa segalanya dibenarkan; tetap ada jangkar kebenaran pada tataran konstruksi metalogika yang mengawal pluralitas tersebut. Dengan demikian, tidak terdapat ruang untuk mengklaim kebenaran penalaran seenaknya sendiri: tunjukkan konstruksi logika Anda sehingga dapat diuji oleh siapa pun; dan lihat apakah konstruksinya bertahan dari hantaman hutan belantara filsafat logika dan analitik.

Catatan Tambahan: Ketidaksahihan Logika C-Con dan Problem Sesat Pikir

Logika C-Con tidaklah sahih sebab terdapat kebingungan konseptual di dalamnya. Pembuktiannya sederhana. Mengulas kembali, implikasi dalam logika C-Con adalah A ▣→ B ≔ (A □→ B) ∧ (B □→ A). Definisikan biimplikasi dalam logika C-Con sebagai A ←▣▣→ B ≔ (A ▣→ B) ∧ (B ▣→ A). Ingat sifat dari konjungsi: [idempotensi] A ∧ A ⟛A; [asosiatif] (A ∧ B) ∧ C ⟛ A ∧ (B ∧ C); dan juga [komutatif] A ∧ B ⟛ B ∧ A. Dari hal tersebut, dapat dibuktikan bahwa definisi A ←▣▣→ B dan A ▣→ B runtuh menjadi satu kesatuan secara definitif. 

Pembuktian bahwa A ←▣▣→ B ≔ A ▣→ B:

A ←▣▣→ B(A ▣→ B) ∧ (B ▣→ A) 
 ((A □→ B) ∧ (B □→ A)) ∧
((B □→ A) ∧ (A □→ B))
((A □→ B) ∧ (A □→ B)) ∧
((B □→ A) ∧ (B □→ A))
(A □→ B) ∧ (B □→ A)A ▣→ B

Pembuktian di atas menunjukkan kebingungan konseptual dalam logika C-Con: yakni ‘… jika dan hanya jika …’ runtuh sehingga identik dengan ‘jika … maka …’. Dengan kata lain, dalam logika C-Con, apabila seseorang berkata ‘jika A maka B’, ia juga bermaksud ‘A jika dan hanya jika B’; inilah letak kebingungan konseptualnya. Maka dari itu, logika C-Con tidak dapat disebut logika yang koheren sebab ia mencampuradukkan konsep logisnya sendiri secara teknis; sehingga, akan inkoheren dan campur aduk pula secara filosofis.

Hal yang menarik dari logika C-Con adalah korespondensinya terhadap penalaran beberapa orang awam pada umumnya. Untuk mengawali, modus ponens berlaku dalam logika C apabila ditambahkan kriteria berikut dalam logika C: 

(m.p.) untuk x ∈ [A], x ∈ fA(w). 

Dengan menambahkan kriteria tersebut pada logika C, sehingga menjadi logika C+(m.p.), modus ponens [A, A □→ B ⊨C+(m.p.) B] berlaku. 

Pembuktian [A, A □→ B ⊨C+(m.p.) B]: 

Asumsikan A dan A □→ B sehingga kelas kebenaran [A] ≠ ∅ dan fA(w) ⊆ [B]. Karena [A] ≠ ∅, semisal a ∈ [A], maka a∈ fA(w) berdasarkan (m.p.). Karena a ∈ fA(w) maka a ∈ [B] sebab fA(w) ⊆ [B]. Karena a ∈ [B], dapat disimpulkan bahwa [B] ≠ ∅. Dengan demikian, [A, A □→ B ⊨C+(m.p.) B].

Dari validnya modus ponens pada logika C+(m.p.), dapat kita lihat konsekuensi penambahan kriteria (m.p.) pada sistem lain seperti C-Inv dan C-Con.  Konsekuensinya disusun pada tabel berikut:

Logika C+(m.p.)(1) [A, A □→ B ⊨C+(m.p.) B]
Logika C-Inv+(m.p.)(2a) [A, A ■→ B ⊨C-Inv+(m.p.) B]
(2b) [¬A, A ■→ B ⊨C-Inv+(m.p.) ¬B]
Logika C-Con+(m.p.)(3a) [A, A ▣→ B ⊨C-Con+(m.p.) B]
(3b) [B, A ▣→ B ⊨C-Con+(m.p.) A]

Sangat ‘mudah’ untuk memeriksa satu-persatu penyimpulan tersebut; saya persilahkan untuk Anda, logikawan masokis. Perhatikan (2b) dan (3b): keduanya terlihat seperti penalaran beberapa orang awam pada umumnya. (2b) dan (3b) dapat direpresentasikan dalam bahasa sehari-hari sebagai berikut:

(2b′)(3b′)
– Sekarang tidak hujan.
– Jika sekarang hujan, maka sekarang jalanan basah.
– Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sekarang jalanan tidak basah. 
– Sekarang jalanan basah.
– Jika sekarang hujan, maka sekarang jalanan basah.
– Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa sekarang hujan.

Terlihat familiar, bukan?

Tentu, keduanya merupakan sesat pikir, namun sesat pikir dalam kerangka logika klasik dan logika C. Sesat pikir seperti ini saya sebut sebagai sesat pikir relatif; yakni status sesat pikir yang bergantung pada logika yang dipakai untuk menilai. Sehingga, dalam perspektif logika klasik dan juga logika C, (2b′) dan (3b′) merupakan sesat pikir: (2b′) disebut sesat pikir menolak anteseden; sedangkan (3b′) disebut sesat pikir mengafirmasi konsekuen. Akan tetapi, keduanya bukanlah sesat pikir dalam kerangka logikanya masing-masing; meski setiap argumentasi dari keduanya merupakan sesat pikir dalam kerangka logika satu-sama lain. Hal yang sama juga terjadi dalam konsepsi mengenai penyimpulan kontraposisi [A → B ⊨CL ¬B → ¬A]. Tentu kontraposisi merupakan sesat pikir bagi logika C (dan C+(m.p.)) beserta turunannya. Perhatikan tabel berikut:

 (2b′)(3b′)Kontraposisi
Logika KlasikSesat pikirSesat pikirBukan sesat pikir
Logika C+(m.p.)Sesat pikir Sesat pikirSesat pikir
Logika 
C-Inv+(m.p.)
Bukan sesat pikirSesat pikirSesat pikir
Logika 
C-Con+(m.p.)
Sesat pikirBukan sesat pikirSesat pikir

Sampai sini, cukup jelas apa yang dimaksud dengan sesat pikir relatif.

Selain sesat pikir relatif, terdapat sesat pikir lain, yakni sesat pikir konstruksional. Sesat pikir konstruksional merupakan sesat pikir yang terjadi dalam kerangka bangunan logika yang dipakai. Salah satu contohnya telah saya tunjukkan, yakni logika C-Con. Logika C-Con dibangun sepaket dengan kebingungan konseptualnya; dan hal ini berarti logika C-Con tidaklah koheren. Dengan kata lain, konstruksi logika C-Con merupakan sebuah sesat pikir konstruksional; dan penggunaannya merupakan sebuah sesat pikir.

Kita dapat berdebat tentang apa saja jenis dari sesat pikir konstruksional. Selain inkoherensi, saya terpikir mengenai inkonsistensi, atau sistem logika dengan kontradiksi internal. Namun, inkonsistensi sendiri sudah diperdebatkan logikawan sedemikian rupa sehingga lahir sistem logika parakonsisten-dialeteik yang koheren; sehingga, banyak logikawan telah berdamai dengan inkonsistensi: tidak masalah apabila sebuah sistem logika itu inkonsisten, selama ia koheren—hal ini akan saya bahas pada artikel selanjutnya.

Terakhir, kita kembali lagi pada problematika psikologi penalaran. Analisis psikologis Wason dan Jhonson-Laird ada benarnya untuk orang-orang yang menjawab “pilih 9 dan R” sebab apabila orang tersebut memakai logika C-Con, maka orang tersebut sebenarnya terjatuh pada sesat pikir, yakni melakukan sesat pikir konstruksional. Maka dari itu, cukup masuk akal untuk menerka bahwa terdapat ‘miniatur psikosis’ dalam pikiran orang yang demikian sehingga menerima sebuah konstruksi nalar inkoheren dengan kebingungan konseptualnya. Selain itu, studi psikologi penalaran juga tetap sah untuk membongkar kondisi psikis orang-orang yang bernalar dengan menggunakan logika klasik maupun non-klasik, seperti logika C beserta turunannya: yakni mencari perbedaan signifikan dalam aspek psikisnya, namun dengan syarat tanpa menjangkarkan penilaiannya pada logika tertentu yang diabsolutkan. Bagaimanapun, saya tetap mencoba berbaik sangka kepada orang-orang yang menjawab “pilih 9 dan R”: bisa jadi orang-orang yang menjawab demikian memang silap, sedang tidak enak badan maupun pikiran, atau memang tidak belajar maupun terbiasa untuk berlogika—sehingga mereka seharusnya dididik terlebih dahulu: apabila sudah dididik ternyata masih sesat pikir, berarti sebenarnya kecil potensi akademik mereka perihal penalaran; dan mungkin ada baiknya dicarikan jalan untuk menghidupkan potensinya, atau mungkin diarahkan untuk berkembang di bidang lain selain bidang akademik.


Catatan Akhir

[1] P. C. Wason adalah psikolog kognitif dan P. N. Johnson-Laird adalah filsuf bahasa dan penalaran tetapi di departemen psikologi, keduanya merupakan pionir dan pengembang studi psikologi penalaran; itulah mengapa saya sebut keduanya seorang psikolog. 


Daftar Pustaka

Lewis, D., 1973a, ‘Counterfactuals and Comparative Possibility’, Journal of Philosophical Logic 2: 418–46; dicetak ulang di Harper, Stalnaker and Pearce, 1981, pp. 57–85. 

Lewis, D., 1973b, Counterfactuals, Oxford: Basil Blackwell.

Nute, D., 1980, Conditional Logic, Dordrecht: Reidel.

Priest, Graham, 2008, An Introduction to Non-Classical Logic: From If to Is, edisi ke-2, New York: Cambridge University Press.

Stalnaker, R., 1968, ‘A Theory of Conditionals’, dalam Studies in Logical Theory, American Philosophical Quarterly Monograph Series, no. 2, Oxford: Basil Blackwell; dicetak ulang di Harper, Stalnaker and Pearce, 1981, pp. 41–55.

Wason, P. C., dan Johnson-Laird, P. N., 1975, Psychology of Reasoning: Structure and Content, Cambridge: Harvard University Press.

Bacaan Lainnya