11. [⊨ (A ⊃ B) ∨ (A ⊃ ¬B)]
Teorema di atas adalah bentuk implikasi yang merupakan turunan dari hukum penyisihan jalan tengah. Kedua implikasi tersebut dihubungkan oleh disjungsi sehingga setidaknya salah satu dari kedua sisi disjungsi tersebut bernilai benar. Teorema ini benar jika memang anteseden pada kedua proposisi tersebut berada pada situasi yang unik meski keduanya berada pada kelas kebenaran yang berbeda. Masalahnya, tidak ada dasar untuk menerima bahwa anteseden pada kedua proposisi tersebut berada pada situasi yang unik meskipun entitasnya unik. Semisal seseorang X yang memiliki dua nama: Akil dan Akiru. Nama Akil terdaftar sebagai warga negara Amerika, sementara nama Akiru terdaftar sebagai warga negara Jepang. Tidak ada dasar untuk mengatakan bahwa: orang X tersebut unik dalam deskripsi yang berbeda tersebut sehingga konsekuensinya eksklusif antara X warga negara Amerika atau X bukan warga negara Amerika (karena X warga negara Jepang) dengan sebab X merujuk pada entitas yang unik; perhatikan bahwa meski entitasnya unik, entitas tersebut terikat pada dua kondisi yang berbeda.
Selain itu, teorema ini menunjukan kebingungan pada tataran metalogika seperti yang ditunjukkan oleh Priest (2008). Substitusikan A menjadi “besok kiamat atau besok tidak kiamat” dengan B menjadi “besok kiamat” sehingga ¬B menjadi “besok tidak kiamat”. Dengan demikian, adalah tautologi bahwa: “jika besok kiamat atau besok tidak kiamat maka besok kiamat, atau jika besok kiamat atau besok tidak kiamat maka besok tidak kiamat”, yakni [⊨ ((B ∨ ¬B) ⊃ B) ∨((B ∨ ¬B) ⊃ ¬B)].
Akan tetapi, perhatikan bahwa baik ((B ∨ ¬B) ⊃ B) maupun ((B ∨ ¬B) ⊃ ¬B) tidaklah benar dengan sendirinya, atau tidak tautologis. Apabila disubstitusikan bahwa ((B ∨ ¬B) ⊃ B) ≔ C dan ((B ∨ ¬B) ⊃ ¬B) ≔ D, pertanyaannya adalah bagaimana mungkin [⊨ C ∨ D] padahal baik C maupun D tidaklah tautologis, sedangkan agar C ∨ D untuk benar/tautologis memerlukan setidaknya salah satu dari C atau D untuk benar/tautologis? Ini membuktikan inkonsistensi dari logika klasik pada tataran metalogika. Pada titik ini, hal yang tersisa untuk diucapkan pada logika klasik adalah: logika sampah.
Teorema ini ditolak dalam logika kondisional tingkat C1 kebawah tetapi diterima pada sistem C2. Sistem C2menegaskan kondisi dunia yang unik untuk anteseden yang identik. Priest (2008) menunjukkan bahwa David Lewis sendiri mengganti C2 dengan C1: C1 adalah sistem logika dengan batasan dunia unik yang tidak serta merta didasarkan pada anteseden/fungsi proposisionalnya saja namun harus didasari pula pada keberadaan konsekuen/kelas kebenarannya.
12. [A ∧ B ⊨ A ⊃ B]
Penyimpulan ini merupakan turunan dari poin pertama. Karena B benar maka B merupakan konsekuensi dari proposisi apapun, termasuk A. Itulah mengapa dari A ∧ B dapat disimpulkan A ⊃ B. Dengan kata lain, apabila terdapat dua proposisi yang benar, maka salah satu mengimplikasikan yang lain. Hal ini dapat diperkuat: apabila terdapat dua proposisi yang benar, maka keduanya saling mengimplikasikan satu sama lain (biimplikasi) sebab [A ⊨ B ⊃ A].
Bayangkan seorang ibu menyenggol gelas hingga gelas tersebut pecah. Ternyata, pada saat yang sama, anak dari ibu tersebut terkena musibah yakni kecelakaan di jalan. Dengan demikian, berdasarkan penyimpulan ini, dapat disimpulkan bahwa pecahnya gelas tersebut mengimplikasikan kecelakaan pada anak; dan bahkan, apabila diperkuat, pecahnya gelas tersebut saling mengimplikasikan satu sama lain dengan kecelakaan pada anak.
Jelas bahwa penyimpulan ini sangatlah dekat dengan penalaran mistis orang awam. Apabila dikaitkan dengan sesat pikir, penyimpulan ini merupakan representasi non-temporal (yang juga non-kausal) dari sesat pikir post hoc ergo propter hoc. Untuk mengubah penyimpulan ini menjadi kausal, tambahkan aspek temporalitas pada premis: semisal, At ∧Bt+1, yakni A benar pada saat t dan B benar pada saat t+1, maka dapat disimpulkan At ⊃ Bt+1; perhatikan bahwa implikasi “At ⊃ Bt+1” berubah menjadi sebuah kausalitas. Pertanyaannya, bagaimana status sebuah sistem logika yang menilai valid sebuah sesat pikir?
13. [⊨ A ∨ ¬A]
Penyimpulan di atas adalah salah satu asas yang mendasari berdirinya logika klasik. Asas ini dikenal sebagai asas penyisihan jalan tengah (excluded middle). Berdasarkan asas ini kita dihadapkan pada dua pilihan, yaitu A atau negasi A dan meniadakan pilihan lainnya. Asas penyisihan jalan tengah ditolak keras oleh mazhab intuisionisme dengan alasan yang cenderung ideologis berdasarkan landasan teknis yang cukup kuat.
Bagaimanapun, seperti penjelasan Moschovakis (2023), harus digarisbawahi bahwa penolakan dari intuisionis mempunyai dasar tersendiri. Alasan penolakannya adalah asas penyisihan jalan tengah ini menegaskan kebenaran pada suatu proposisi tanpa adanya bukti intuitif yang jelas atau dengan kata lain non-konstruktif. Pertanyaannya, bagaimana kita tahu begitu saja bahwa hanya terdapat jawaban biner antara A atau negasi A? Dalam mazhab intuisionisme, nilai kebenaran mesti dipisahkan dari proposisi sehingga bukti kesalahan dari negasi A bukan berarti bukti kebenaran atas A. Pemisahan ini akan menunjukan bahwa nilai kebenaran dikonstruksikan melalui pembuktian untuk menentukan kebenaran dari proposisi tersebut.
14. [¬¬A ⊨ A]
Penyimpulan di atas menegaskan bahwa dari negasi atas negasi A dapat disimpulkan A. Hal ini menandakan bahwa nilai kebenaran sudah terkondisikan baik dalam A maupun negasi A. Dengan kata lain, bukti untuk kebenaran atas negasi dari negasi A juga merupakan bukti untuk kebenaran A. Prinsip ini dikenal sebagai prinsip negasi ganda.
Prinsip ini diterima jika kita menerima asas penyisihan jalan tengah. Namun, dengan konstruksi intuisionistik, penyimpulan ini tidak dapat diterima. Secara intuitif, bukti untuk kebenaran atas negasi dari negasi A merupakan bukti atas kesalahan dari negasi A. Namun, secara intuitif pula, bukti atas kesalahan dari negasi A bukanlah bukti atas kebenaran A. Lagi pula, juga secara intuitif, ketiadaan bukti untuk kebenaran negasi A bukan berarti bukti atas kebenaran A.
Sementara itu, pola pikir sebaliknya diterima dalam logika klasik. Dalam logika klasik, bukti atas kesalahan dari negasi A adalah bukti atas kebenaran A, dan ketiadaan bukti untuk kebenaran negasi A juga bukti atas kebenaran A. Dapat dipahami bahwa hal tersebut disebabkan oleh status kebenaran yang identik dengan asersi proposisional dalam logika klasik, yakni sebuah posisi yang cukup kacau balau apabila dilihat dalam perspektif intuisionistik. Kendati logika intusionistik menolak penyimpulan negasi ganda, beberapa variasi logika intusionistik lain, seperti intuisionistik dengan 3 sampai 4 nilai kebenaran, menilai valid penyimpulan negasi ganda dengan syarat negasi yang bersifat konstruktif (constructible negation).
15. [⊨ ¬(A ∧ ¬A)] dan [A ∧ ¬A ⊨]
Teorema ini sering disebut sebagai asas non-kontradiksi. Teorema ini menegaskan bahwa negasi dari A ∧ ¬A bersifat tautologis. Bentuk negatif dari teorema tersebut adalah A ∧ ¬A bersifat kontradiktif. Permasalahan mengenai teorema ini terkait langsung dengan asas ledakan eksplosif.
Asas ledakan eksplosif bernilai valid karena premis dari asas tersebut kontradiktif. Dengan berdasarkan preservasi kebenaran, proposisi kontradiktif dipreservasi pada proposisi kosong sehingga konsekuensinya kesimpulan dapat disubstitusi dengan proposisi apapun (yakni, [A ∧ ¬A ⊨ B] sebab [A ∧ ¬A ⊨]). Apabila kontradiksi dapat benar (tidak kontradiktif), yakni [A ∧ ¬A ⊭], maka terdapat contoh kontra untuk asas ledakan eksplosif yaitu A ∧ ¬A bernilai benar namun B bernilai salah sehingga asas ledakan eksplosif invalid. Namun, problem filsafatnya, bagaimana bisa terdapat kontradiksi yang tidak kontradiktif?
Tentu, secara intuitif, A ∧ ¬A bersifat kontradiktif jika dan hanya jika
¬(A ∧ ¬A) bersifat tautologis. Maka dari itu, konsekuensi lebih lanjut adalah
A ∧ ¬A tidak kontradiktif jika dan hanya jika ¬(A ∧ ¬A) tidak tautologis. Dengan kata lain, selayaknya, apabila [A ∧ ¬A ⊭] maka [⊭ ¬(A ∧ ¬A)]. Namun, dalam konstruksi metalogika, kita dapat membangun sebuah logika sehingga [A ∧ ¬A ⊭] namun [⊨ ¬(A ∧ ¬A)], semisal dalam sistem LP (Logic of Paradox) oleh Priest (2008). Konsekuensinya, itu berarti keduanya tidak memiliki hubungan yang mudah dimengerti secara teknis-logis. Hal ini menunjukkan betapa peliknya pembahasan mengenai kontradiksi dalam diskursus logika baik secara konseptual maupun secara teknis.
16. [¬A, A ∨ B ⊨ B]
Penyimpulan ini sering disebut sebagai silogisme disjungtif. Sekilas, penyimpulan ini dapat diterima secara intuitif. Semisal terdapat pilihan dengan kondisi berikut: “antara Akil berada di kampus atau berada di rumah”. Cukup intuitif untuk menyimpulkan Akil berada di rumah apabila ternyata Akil tidak berada di kampus. Sayangnya, dapat dipahami bahwa hal ini bekerja dalam konteks pilihan/disjungsi terbatas (finite disjunction). Hal yang berbeda terjadi apabila pilihannya tidak terbatas (infinite disjunction) seperti yang dijelaskan oleh Priest (2008).
Secara teknis, bayangkan pilihannya terbatas, yakni “A ∨ B”. Dengan penyimpulan silogisme disjungtif, apabila terdapat ¬A maka dapat disimpulkan B. Tentu dalam konteks ini tidak ada dasar untuk mengekspektasikan fakta baru yakni ¬B karena hal tersebut akan menimbulkan sebuah kontradiksi; dan itulah mengapa pada konteks ini silogisme disjungtif dapat diterima. Namun, bayangkan pilihannya takhingga, yakni “A ∨ B ∨ C ∨ …”. Dengan penyimpulan silogisme disjungtif, apabila terdapat ¬A maka dapat disimpulkan “B ∨ C ∨ …”. Dalam konteks ini terdapat dasar untuk mengekspektasikan fakta baru yakni ¬B sehingga dapat disimpulkan “C ∨ …”; dan masalahnya, ekspektasi ini dapat terus diterapkan secara takhingga, untuk ¬C, ¬D, dan seterusnya, sehingga disjungsi ini sebenarnya merupakan pilihan kosong: maka dari itu, sebenarnya, penyimpulannya sudah tidak dapat diterima sedari awal. Dengan fakta bahwa terdapat aturan adisi disjungtif [A ⊨ A ∨ B] pada logika klasik, maka disjungsi logika klasik adalah disjungsi takhinggasebab kita dapat menambahkan proposisi baru secara terus menerus: dari “A ∨ B” menjadi
“A ∨ B ∨ C”, lalu menjadi “A ∨ B ∨ C ∨ D”, dan seterusnya sehingga “A ∨ B ∨ C ∨ D ∨ …”. Dengan demikian, silogisme disjungtif tidak dapat diterima secara intuitif. Disjungsi silogisme ditolak dalam sistem First Degree Entailment (FDE); dan adanya penolakan pada disjungsi silogisme mengindikasikan adanya konsep implikasi yang lebih ketat dari implikasi material.
17. [⊭ ¬(¬A ⊃ A)] dan [⊭ ¬(A ⊃ ¬A)]
Permasalahan pada poin ini adalah: mengapa proposisi ini bukan teorema? Poin ini merupakan tesis yang dicetuskan oleh Aristoteles. Bagi Aristoteles, tidaklah demikian negasi dari sesuatu mengimplikasikan sesuatu tersebut, dan tidaklah demikian sesuatu mengimplikasikan negasi dari dirinya sendiri. Itulah mengapa, bagi Aristoteles, [⊨ ¬(¬A ⊃A)] dan [⊨ ¬(A ⊃ ¬A)]. Sekilas, tesis Aristoteles ini terlihat dapat diterima secara intuitif; lantas mengapa hal ini bukan teorema logika klasik?
Dalam logika Aristotelian, konsep implikasi dapat diwakilkan oleh proposisi universal afirmasi: Semua S adalah P. Pada konteks logika Aristotelian, tentu proposisi “Semua non-S adalah S”/“Semua S adalah non-S” merupakan proposisi kontradiktif: pertimbangkan proposisi “Semua non-manusia adalah manusia”/“Semua manusia adalah non-manusia” yang kemudian dapat disubalternasi menjadi “Beberapa non-manusia adalah manusia”/“Beberapa manusia adalah non-manusia” sehingga kontradiktif. Pertanyaannya, bagaimana bisa ada non-manusia yang manusia, atau ada manusia yang non-manusia? Memang bisa jadi benar ada robot, yakni non-manusia, yang berlaku layaknya manusia, dan bisa jadi ada pula manusia yang berlaku layaknya iblis, yakni non-manusia; akan tetapi sayangnya ini berada di luar bahasan definitif-kategoris yang ketat. Namun, apabila proposisi tersebut diinterpretasikan secara ketat, maka tidak ada ruang untuk non-manusia menjadi manusia maupun manusia menjadi non-manusia secara definitif-kategoris.
Posisi pada logika Aristotelian ini sebenarnya bersumber pada status importasi eksistensial yang menjadi dasar dari relasi subalternasi. Apabila diterjemahkan kembali pada logika proposisional, maka dasar dari tesis Aristoteles terdapat pada status importasi anteseden pada sebuah implikasi yang disebut prinsip koneksif (connexive). Eksplorasi secara teknis mengenai tesis Aristoteles ini menghasilkan rumpun sistem logika yang biasa disebut logika koneksif seperti yang dijelaskan oleh Wansing (2023).
18. [⊭ (A ⊃ B) ⊃ ¬(A ⊃ ¬B)] dan [⊭ (A ⊃ ¬B) ⊃ ¬(A ⊃ B)]
Sama seperti poin sebelumnya, poin ini juga mempermasalahkan status ketidakteoremaan dari sebuah proposisi. Tesis ini sering disebut dengan tesis Boethius. Konsep berikut dapat dipahami secara intuitif: apabila sesuatu mengimplikasikan sesuatu hal yang lain, maka tidaklah demikian sesuatu tersebut juga mengimplikasikan negasi dari hal yang diimplikasikan sebelumnya. Dapat dipahami bahwa konsepsi tersebut merupakan turunan dari tesis Aristoteles.
Dasar berpikir dari tesis ini adalah hubungan logika dengan konsistensi. Apabila kelogisan atas sebuah argumen didasarkan pada konsistensi argumen tersebut, maka tidak ada dasar untuk mengekspektasikan sebuah kontradiksi dari argumen apa pun; sehingga, tidak ada ruang untuk berposisi bahwa sebuah argumen dapat mengimplikasikan sesuatu sekaligus negasi dari sesuatu tersebut. Atas dasar itu, apabila A mengimplikasikan B (atau ¬B), maka sah bagi kita untuk berposisi bahwa tidaklah demikian A mengimplikasikan negasinya, yakni ¬B (atau B). Namun, pertanyaannya, apakah setiap argumen itu pasti konsisten? Lantas apakah konsistensi menjadi dasar utama dalam berlogika dan berargumen? Pertanyaan tersebut diekplorasi lebih jauh secara konseptual dalam filsafat logika dengan kerangka teknis rumpun sistem logika koneksif.
19. [¬(A ⊃ B) ⊨ B ⊃ A]
Penyimpulan ini merupakan bentuk yang lebih aneh dari penyimpulan atas negasi implikasi. Contoh yang digunakan sama seperti sebelumnya: “tidaklah demikian bahwa jika Tuhan ada maka ada doa yang tidak dikabulkan”. Berdasarkan poin ini, dari proposisi tersebut dapat disimpulkan bahwa “jika ada doa yang tidak dikabulkan, maka Tuhan ada”. Bayangkan sekali lagi seorang ateis yang menolak relasi implikatif dari keberadaan Tuhan dengan keterkabulan doa sehingga ia menegasikannya; maka, menurut logika klasik, seorang ateis tersebut sudah selayaknya menerima bahwa keterkabulan doalah yang mengimplikasikan keberadaan Tuhan—kekonyolan hakiki, yakni logika klasik gagal menangkap poin utama argumennya.
Terlihat jelas bahwa logika klasik membingungkan konsepsi intuitif kita mengenai implikasi. Sumber utama masalah ini secara konseptual adalah segala proposisi harus berhubungan secara implikatif dengan proposisi lain dalam logika klasik: perhatikan bahwa [⊨ (A ⊃ B) ∨ (B ⊃ A)] dalam logika klasik. Dalam bentuknya yang umum, setiap proposisi harus menjadi anteseden atau konsekuen dari proposisi lain dalam logika klasik: perhatikan pula bahwa [⊨ (A ⊃ B) ∨ (B ⊃ C)] dalam logika klasik. Bagaimanapun, meski beberapa konsep tersebut menjadi dasar teoritis mengapa penyimpulan ini berlaku, penyimpulan ini secara teknis berlaku sebagai konsekuensi dari poin 1, 2, dan 5: karena [¬(A ⊃ B) ⊨ A] dan [A ⊨ B ⊃ A], maka [¬(A ⊃ B) ⊨ B ⊃ A] secara transitif; begitu pula, karena [¬(A ⊃ B) ⊨ ¬B] dan [¬B ⊨ B ⊃ A], maka [¬(A ⊃ B) ⊨ B ⊃ A] secara transitif.
20. [A, A ⊃ B ⊨ B]
Penyimpulan ini sering dinamai dengan modus ponens. Modus ponens dapat disebut sebagai kunci utama dari sebuah sistem penalaran. Baik secara langsung maupun tidak, penarikan sebuah kesimpulan dari premis tentu pada suatu titik akan menggunakan modus ponens: kita punya “A”, dan ternyata “jika A maka B”, maka dari itu dapat disimpulkan bahwa “B”. Namun, apa yang bermasalah dari modus ponens? Paradoks Curry mengubah pandangan kita tentang modus ponens: terdapat ruang untuk mempertanyakan validitasnya secara intuitif.
Bayangkan seseorang berkata: “jika proposisiku ini benar, maka B”. Sebut proposisi tersebut sebagai “A” dan lalu kita definisikan “A” sebagai “A ⊃ B”; yakni [Proposisi Curry] “A ≔ (A ⊃ B)”. Secara sederhana, proposisi ini menyatakan bahwa proposisi A benar jika dan hanya jika A mengimplikasikan B–apapun B tersebut, baik “bumi itu datar”, “bumi itu segitiga”, “Tuhan ada”, “Tuhan tidak ada”, dan sebagainya; inilah proposisi Curry, yakni awal dari paradoks Curry.
Shapiro (2021) menjelaskan bahwa paradoks Curry berawal dari proposisi Curry yang kemudian dapat dibuktikan bahwa segala proposisi B adalah benar dan sah untuk disimpulkan; pola dari paradoks Curry mirip seperti ledakan eksplosif, namun bedanya tidak ada kontradiksi yang terjadi: paradoks Curry adalah ledakan eksplosif yang terjadi tetapi tidak berawal dari kontradiksi. Pembuktiannya adalah sebagai berikut (anda boleh saja melompati bagian ini apabila tidak mau melihat pembuktian simbolik, tapi setidaknya perhatikan bagaimana modus ponens memainkan peran sentral dalam pembuktiannya):
Pembuktian 1
P1) A ≔ (A ⊃ B) | P2) A | P3) A ⊃ B | P4) B P5) A ⊃ B P6) A P7) B | [Proposisi Curry] [Asumsi Pembuktian Kondisional] [P1, P2; Definisi] [P2, P3; Modus Ponens] [P2-P4; Pembuktian Kondisional] [P5; Definisi] [P5, P6; Modus Ponens] |
Pembuktian 2
P1) A ≔ (A ⊃ B) | P2) A ⊃ B | P3) A | P4) B P5) (A ⊃ B) ⊃ B P6) A ⊃ B P7) A P8) B | [Proposisi Curry] [Asumsi Pembuktian Kondisional] [P1, P2; Definisi] [P2, P3; Modus Ponens] [P2-P4; Pembuktian Kondisional] [P5, P1; Definisi] [P6, P1; Definisi] [P6, P7; Modus Ponens] |
Perhatikan bahwa kedua pembuktian di atas tidak memiliki premis lain selain proposisi Curry. Dengan kata lain, hanya dengan bermodalkan modus ponens (dan pembuktian kondisional), dari proposisi Curry dapat disimpulkan bahwa proposisi B, apapun itu, benar. Meski sangat berlawanan dengan intuisi, pembuktian mengarahkan kita bahwa permukaan masalahnya terdapat pada modus ponens.
Beberapa logikawan memilih jalan memutar dengan menolak aturan metalogika pembuktian kondisional, yakni “jika [A ⊨ B], maka [⊨ A ⊃ B]”. Namun, pembuktian kondisional ini juga memegang posisi sentral dan intuitif sebagai mirror image dari modus ponens pada tataran metalogika: jika dari A lantas dapat disimpulkan B, maka demikian bahwa “jika A maka B”; perhatikan bahwa modus ponens pada tataran metalogika merupakan konversinya: jika [⊨ A ⊃ B], maka [A ⊨ B]; yakni jika demikian bahwa “jika A maka B”, maka tentu dari A dapat disimpulkan B. Dengan demikian, pilihan penolakan ini merupakan sebuah dilemma yang sama-sama memiliki harga mahal.
Modus ponens invalid pada berberapa sistem logika seperti Logika Paradoks (LP) dan Kondisional C. Kendati demikian, modus ponens dipertahankan dengan cara memaksa (forcing) fungsi nilai kebenaran yang kemudian mengubah sistem logikanya sehingga modus ponens masih bisa sahih; semisal dari sistem LP menjadi RM3, dan sistem C menjadi C+. Usaha dari logikawan untuk mempertahankan modus ponens menunjukkan betapa pentingnya penyimpulan tersebut dalam penalaran kita. Paradoks Curry menjadi permasalahan yang krusial dalam logika karena menyangkut fitur utama penalaran. Jika modus ponens diragukan, lantas bagaimana kita menarik kesimpulan? Bayangkan kondisi berikut: kita tahu benar bahwa “jika Ahnaf ada di UGM maka Ahnaf ada di Yogyakarta” tetapi kita tidak dapat menyimpulkan “Ahnaf ada di Yogyakarta” meski ternyata benar bahwa “Ahnaf ada di UGM”; dan apabila kondisinya demikian, logika sekilas hanyalah omong kosong belaka.
Lantas, Apa Selanjutnya?
Kami sepakat dengan Priest bahwa logika itu topik bahasan yang kontensius. Setiap sistem logika, pada titik tertentu, memiliki posisi yang cukup kontroversial bagi sistem logika lain; apalagi gagasan tentang keabsolutan sebuah sistem: lebih kontroversial lagi. Gagasan tentang adanya sebuah sistem yang absolut merupakan gagasan yang indah, namun penuh masalah—kecuali kita memang tidak mau memikirkan masalahnya dan hanya ingin tenggelam begitu saja dalam keindahan gagasan tersebut, apa pun yang dimaksud dengan “indah”. Konsekuensi dari kekontensiusan ini cukup jelas dan fatal: tidak ada tolok ukur yang jelas pula untuk konsep-konsep yang berkaitan dengan logika dan kelogisan seperti “logis”, “rasional”, “kritis”, “masuk akal”, bahkan “saintifik”; dan segala klaim atasnya perlu dibongkar secara detail dengan penuh rasa skeptis.
Bagaimanapun, kekontensiusan logika tidaklah seperti kekontensiusan di diskursus lain: tidak ada ruang untuk subjektivitas murni maupun otorisasi logika. Upaya sistemisasi dan mekanisasi logika yang dilakukan oleh Frege-Russell membentuk diskursus logika sedemikian rupa sehingga tidak ada ruang untuk terjatuh pada klaim bahwa “ini dapat disimpulkan karena menurutku demikian” maupun “ini dapat disimpulkan karena otoritas tertentu menyatakan demikian”—hal yang terpenting dalam logika adalah mekanisme sistemisnya. Meski saat ini sistem dan mekanisme logika yang dipakai oleh Frege-Russell maupun sebelumnya seperti Aristoteles dapat disebut usang/kuno, pada prosesnya lahir berbagai sistem dan mekanisme baru yang membuat kita dapat mengeksplorasi dunia dengan kacamata baru, termasuk mengeksplorasi pikiran kita sendiri—dan keusangan pandangan kuno bukanlah keusangan mutlak: kita hanya perlu melihatnya dari sudut pandang baru secara radikal untuk menggali sistem dan mekanisme baru. Pertanyaannya, apakah (1) manusia mau menyelami lautan logika yang sering kali dituduh kering dengan simbol-simbol membosankan, atau (2) manusia lebih suka belajar sesat pikir logika secara informal sehingga bisa flexing dalam setiap perdebatan dan berdelusi bahwa ia sudah membantah argumen lawannya?
Referensi
Moschovakis, Joan, 2023, “Intuitionistic Logic”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Edisi Musim Panas), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/logic-intuitionistic/>.
Priest, Graham, 2008, An Introduction to Non-Classical Logic: From If to Is, Edisi ke-2, Cambridge University Press: New York.
Shapiro, Lionel dan Jc Beall, 2021, “Curry’s Paradox”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Edisi Musim Dingin), Edward N. Zalta (ed.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/win2021/entries/curry-paradox/>.
Wansing, Heinrich, 2023, “Connexive Logic”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Edisi Musim Panas), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/logic-connexive/>.