Berfilsafat, Interpretasi, dan Terapan

Proyek metode-metode filsafat menjadi penting sebagai langkah awal memahami bagaimana filsuf berfilsafat.

Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Magister Filsafat yang memiliki minat riset dalam bidang logika, metafisika, dan filsafat ilmu. Selain filsafat, juga tertarik dengan ekonomi, investasi, dan trading: telah memantau pergerakan pasar secara otodidak dan kuantitatif-logis sejak 2018.

Terdapat berbagai respon terhadap tulisan saya (Ahnaf, 2024b) sebelumnya yang berjudul “Memasak dan Penelitian tentang Memasak”. Selain respon dari Taufiqurrahman (2024a), terdapat beberapa pertanyaan di 𝕏/Twitter yang membuat saya merasa harus memberikan penjelasan lebih lanjut mengenai model penelitian yang saya tawarkan. Sebelum saya menanggapi respon Taufiqurrahman, saya akan mengklarifikasi terlebih dahulu model-model yang saya tawarkan pada tulisan saya sebelumnya.

Terkait Model-Model Penelitian

Terdapat tiga model penelitian (Ahnaf, 2024b): model pertama fokus pada membedah pola pikir filsuf-aliran yakni bagaimana ia berfilsafat, model kedua fokus pada mengevaluasi perdebatan filosofis, dan model ketiga fokus pada memecahkan masalah. Untuk memperjelas, saya (Ahnaf, 2024a) beri nama untuk masing-masing model: model pertama adalah model konstruksi analisis; model kedua adalah model konstruksi evaluatif; dan model ketiga adalah model konstruksi kebaruan. Penamaan tersebut terinspirasi dari taksonomi Bloom (Krathwohl, 2002). Dapat diperhatikan, cukup jelas bahwa model pertama bukanlah sekadar deskripsi.

Hal yang tampak dari berfilsafat adalah berargumentasi untuk menjawab atau memecahkan problem filsafat. Argumentasi disusun oleh filsuf-aliran sedemikian rupa sehingga dari premis-premis yang diberikan dapat ditarik beberapa kesimpulan yang berusaha menjawab sebuah problem filsafat. Namun, terdapat hal yang tidak tampak dalam berargumentasi. 

Hal yang tidak tampak dalam berargumentasi salah satunya adalah asumsi, korelasi, dan konsekuensi lanjutan dari argumentasi yang diungkapkan. Model konstruksi analisis tidak hanya mengenumerasi poin-poin, premis-premis, maupun kesimpulan-kesimpulan yang diungkapkan oleh filsuf-aliran, tetapi juga harus membongkar asumsi, korelasi, maupun konsekuensi logis-filosofis dari argumentasi filsuf-aliran tersebut sehingga peneliti pada model ini paham betul bagaimana pola pikir dari filsuf-aliran yang diteliti dan juga bagaimanametode filsuf-aliran tersebut dalam berfilsafat. Model penelitian ini bagi saya adalah level pertama dalam menjadi filsuf, yakni memahami bagaimana filsuf berfilsafat. 

Skema pembongkaran argumentasi filsafat

Asumsi merupakan hal-hal yang dianggap benar oleh filsuf-aliran sehingga argumentasi yang diungkapkan berlaku. Asumsi bisa tersurat, yakni diungkapkan oleh filsuf-alirannya sendiri, dan bisa pula tersirat, yakni asumsi tersembunyi. Membongkar asumsi tersirat merupakan hal yang cukup terbilang seru karena membutuhkan proses interpretasi dan konsiderasi yang kompleks. Meski demikian, menguji asumsi tersurat pun juga tidak kalah seru sebab terkadang apa yang filsuf ucapkan tidak sama dengan apa yang lazim dipahami. Dengan mengeksplorasi asumsi ini kita dapat mengubah perspektif kita dalam melihat argumentasi filsuf-alirannya maupun problem filsafatnya.

Korelasi merupakan hubungan internal di dalam dan di antara argumentasi si filsuf-aliran sendiri. Korelasi sebagai hubungan internal argumentasi merupakan hubungan antara premis-premis dan kesimpulan secara internal dalam argumentasi sang filsuf-aliran, yakni terkait sistem logika, penyimpulan, maupun penalaran yang digunakan sang filsuf-aliran. Selain itu, korelasi juga dapat dimaknai sebagai hubungan antar argumentasi si filsuf-aliran. Filsuf-aliran biasanya tidak hanya memiliki satu argumentasi: filsuf-aliran memiliki banyak argumentasi baik untuk satu problem filsafat tertentu maupun tersebar di banyak problem filsafat. Kita dapat mencari hubungan atau keterkaitan di antara argumentasi tersebut sehingga juga memperlihatkan kaitan antar-problem filsafat. Selain itu, kita juga dapat memahami pola pikir filsuf-aliran secara utuh dengan memperlihatkan korelasi antar argumentasi filsuf-aliran tersebut.

Konsekuensi, salah satunya, merupakan hal-hal yang menjadi poin dalam menjawab sebuah problem filsafat. Namun, konsekuensi juga dapat berupa efek lain dari argumentasi yang diungkapkan oleh filsuf-aliran. Dengan demikian, kita dapat mengeksplorasi apa saja konsekuensi yang mungkin belum diungkap maupun dipikirkan oleh sang filsuf-aliran, baik terkait problem filsafat yang sama, maupun terkait problem filsafat yang lain.

Dari sini dapat dipahami konsekuensi pembongkaran ini untuk model konstruksi evaluatif dan model konstruksi kebaruan. Dalam konstruksi evaluatif, pembongkaran yang dilakukan akan lebih kompleks dengan melibatkan lebih dari satu filsuf-aliran. Hal ini akan menunjukkan bagaimana perdebatan filosofis berlangsung, di mana letak kesepakatan maupun ketidaksepakatan dari pemikiran filsuf-filsuf yang diteliti, baik pada argumentasi, asumsi, korelasi, maupun konsekuensinya. Harapannya, peneliti model kedua akan memahami pola-pikir banyak filsuf secara mendalam (bahkan yang bertentangan), yakni pola pikir multi-perspektif. Perlu dipahami bahwa pada konstruksi evaluatif, peneliti tidak hanya dapat mengambil perdebatan filsuf yang secara aktual terjadi, namun peneliti juga dapat membenturkan setidaknya dua pandangan filsuf-aliran meski secara aktual mereka tidak berdebat. Hal ini menjadi sangat seru dan kompleks pada prosesnya: peneliti dapat mengeksplorasi benturan-benturan filosofis di antara filsuf-aliran dan memahami secara mendalam benturan-benturan tersebut berikut konsekuensinya. 

Terkait konstruksi kebaruan, fokusnya adalah perihal pemecahan problem filosofis oleh sang peneliti. Skill berpikir multi-perspektif pada model sebelumnya juga diterapkan pada model ini yang kemudian dibawa lebih jauh untuk berupaya memecahkan sebuah masalah filsafat maupun turunannya. Peneliti pada model ketiga ini belajar berargumentasi secara mandiri dan merespon berbagai argumentasi filsuf yang telah ada, yang juga hendak memecahkan problem yang sama. Peneliti dapat merekonstruksi pandangan lama, dengan cara memperkuat argumentasi pandangan lama sehingga menjadi konstruksi argumentasi baru khas peneliti; peneliti dapat pula mengonstruksikan pandangan baru dari nol sekiranya semua pandangan lama telah direspon dan dirasa tidak memadai oleh peneliti; dan peneliti mau eklektik pun tidak masalah, yakni merekombinasi pandangan-pandangan lama yang sekiranya kompatibel sehingga menjadi argumentasi baru. Peneliti di sini bebas berargumentasi, karena tujuan dari model ketiga ini adalah menjadi filsuf.

Saya akan menyaripatikan ketiga model penelitian tersebut. Model konstruksi analisis adalah bagaimana peneliti memahami cara filsuf berfilsafat. Model konstruksi evaluatif adalah bagaimana peneliti memahami benturan-benturan filosofis di antara berbagai argumentasi para filsuf. Model konstruksi kebaruan adalah bagaimana peneliti membangun argumentasi mereka sendiri, yakni menjadi filsuf. Secara sederhana, prosesnya adalah: memahami filsuf, lalu membenturkan filsuf, kemudian menjadi filsuf:

memahami-membenturkan-menjadi.

Penelitian Sejarah Filsafat sebagai Filsafat Interpretatif

Taufiqurrahman (2024a), selanjutnya saya tulis Taufiq, menunjukkan bahwa penelitian sejarah filsafat berputar pada “problem eksegesis terkait pemahaman atas satu tokoh”. Di titik ini saya tidak melihat mereka sebagai sejarawan, melainkan interpretator, yakni filsuf-interpretator; dan penelitian “sejarah” filsafat ini sebenarnya adalah penelitian filsafat interpretatif. Model penelitian ini sebenarnya sudah diakomodasi oleh model penelitian yang saya tawarkan, yakni model penelitian pertama: konstruksi analisis.

Betul bahwa penelitian problem filsafat secara umum memang tidak berorientasi eksegesis, namun poin saya adalah terdapat derajat eksegesis tertentu dalam penelitian problem filsafat. Tentu, dalam penelitian problem filsafat, semisal tentang filsuf X dengan pandangan Y dan problem Z, peneliti juga harus memeriksa apakah si X benar-benar memiliki pandangan Y, yakni apakah pandangan Y dapat diatribusikan pada X, dan juga membongkar pandangan si X tentang problem Z. Oleh karena itulah poin saya menegaskan bahwa penelitian “sejarah” filsafat ini dapat direduksi pada penelitian problem filsafat. Sehingga, penelitian “sejarah” filsafat ini tidak harus ada secara terpisah, karena ia sudah ada dalam penelitian problem filsafat. Dengan kata lain, saya tidak hendak menghapus model penelitian “sejarah” ini, melainkan ia tidak wajib ada secara terpisah karena sudah termasuk dalam penelitian problem filsafat dengan derajat tertentu.

Memang, untuk “early-career philosophers”, berfilsafat memang sulit; bahkan untuk filsuf besar pun, saya yakin berfilsafat bagi mereka juga masih suli—kecuali memang asal berargumen saja, yakni yang penting kelihatan omongannya filosofis/berfilsafat. Sehingga, dengan melihat kesulitan tersebut, model penelitian pertama yang saya tawarkan adalah penekanannya pada pemahaman peneliti terkait filsuf yang dikaji dalam batasan problem tertentu. Apakah ini disebut penelitian problem filsafat atau “sejarah” filsafat, saya tidak mempersoalkan hal tersebut, toh bagi saya “sejarah” filsafat itu dapat direduksi pada penelitian problem filsafat, yakni penelitian problem filsafat pada titik tertentu juga harus menginterpretasikan pemikiran filsuf. 

Skema kerja filsuf-interpretator

Bagaimanapun, bagi saya, apabila penelitian “sejarah” filsafat ini memang mau diadakan secara khusus dan terpisah, dalam arti bahwa memang hendak mengadakan-melatih orang-orang yang hanya fokus pada menginterpretasikan pemikiran filsuf, maka jurusannya harus berbeda dengan mahasiswa filsafat umum karena luaran akhir dan skill set-nya berbeda. Mahasiswa filsafat umum memahami filsuf untuk kemudian menjadi filsuf yang berargumentasi-memecahkan masalah filsafat, sementara mahasiswa filsafat interpretatif memang fokusnya hanya memahami-menginterpretasi filsuf dan tidak untuk memecahkan masalah filsafat. 

Kembali pada poin Taufiq (2024a)mengenai riset “sejarah” filsafat yang berbeda fokus dengan riset problem filsafat, saya sepakat akan hal ini. Tetapi, poin tambahan saya adalah: riset ”sejarah” filsafat dapat direduksi pada riset problem filsafat sebab dalam riset problem filsafat perlu juga proses riset “sejarah” filsafat. Dengan kata lain, menurut saya, biarkan penelitian “sejarah” ini ada di bawah satu bendera penelitian, dan biarkan mahasiswa sendiri yang menentukan fokusnya: apakah mahasiswa mau fokus pada interpretasi pemikiran filsuf, atau ia hendak fokus pada pemecahan masalah. Terlebih, apabila riset “sejarah” ini hendak diadakan secara khusus dan terpisah, maka jurusannya harus terpisah karena luaran dan skill set-nya berbeda.

Filsafat Terapan yang Praktis

Taufiq (2024a) berargumen bahwa pembedaan problem teoretis dengan praktis tetap diperlukan sebab pembedaan tersebut membantu peneliti dalam menentukan fokusnya: apakah akan fokus pada teori besarnya, atau fokus pada kasus spesifik terkait dengan teori tersebut. Jika fokus pada kasus spesifik, maka peneliti perlu mengetahui detail kasusnya (Taufiqurrahman, 2024a).

Pertanyaannya, semisal penelitian etika X dalam kasus Y, jika fokusnya pada teori X, apakah peneliti tidak perlu tahu detail kasus Y? Saya pikir peneliti juga perlu tahu detail kasus Y meski fokus dia terletak pada teori X, sebab bisa saja peneliti menemukan kritik praktis untuk teori X yang diteliti. Justru konsekuensi lain dari poin saya adalah memberikan kebebasan pada peneliti dengan memasukkan filsafat terapan dalam kerangka filsafat teoretis: peneliti berhak memodifikasi teori dengan argumen praktis, ini juga termasuk kemajuan teoretis karena modifikasi tersebut dapat disebut sebagai teori “baru”.

Skema kerja filsuf-terapan secara sederhana adalah sebagai berikut. Semisal terdapat problem filosofis X dalam kasus spesifik Y. Kemudian, filsuf-terapan mencari filsuf-aliran Z yang berfilsafat dan menjawab problem filosofis X. Dari sana, filsuf-terapan melakukan interpretasi praktis atas filsafat filsuf-aliran Z sehingga dapat dilihat bagaimana filsafat filsuf-aliran Z memandang kasus spesifik Y; dan di titik ini dimungkinkan sebuah luaran berupa kebijakan praktis, dan sebagainya.

Skema kerja filsuf-terapan

Saya kira, pada konteks terapan, fokus pada kasus spesifik memang wajib, harus, dan penting. Namun, boleh tidak filsuf-terapan memodifikasi teori dengan argumentasi praktis? Atau mungkin, bagaimana bila peneliti ingin membentuk teori baru dari argumentasi praktis plus eksplorasi teoretis? Saya pikir boleh, dan itulah mengapa ia juga filsuf karena ia berfilsafat, membangun teori filsafat. Posisi saya ini membebaskan filsuf-terapan dalam melakukan penelitian: entah ia akan fokus secara penuh pada kasus spesifiknya sehingga tidak mengotak-atik teori filsuf-aliran yang dipakai, atau ia akan mengotak-atik teori untuk memecahkan kasus praktis yang diteliti, atau bahkan mungkin membuat teori baru dari argumentasi praktis plus berbagai eksplorasi teoretis. 

Bagaimanapun, dapat dipahami bahwa skema filsuf-terapan mirip dengan filsuf-interpretator. Hal yang berbeda adalah filsuf-interpretator membatasi penelitiannya perihal interpretasi-atribusi argumentasi filsuf, sedangkan filsuf-terapan membatasi penelitiannya perihal interpretasi praktis atas argumentasi filsuf terkait kasus spesifik tertentu. Sehingga, berlaku pula bahwa apabila ingin penelitian ini ada secara khusus dan terpisah, maka perlu ada jurusan yang berbeda dari filsafat umum sebab fokusnya berbeda: luaran dan skill set-nya berbeda. Filsuf-terapan menginterpretasikan argumentasi filsuf yang kemudian dikaitkan dengan kasus spesifik, sementara filsuf-umum menginterpretasikan argumentasi filsuf untuk memahami dan kemudian berfilsafat.

Saya membayangkan filsuf-terapan dengan filsuf-umum seperti orang teknik dengan akademisi pada umumnya. Apabila ingin filsuf-terapan ada secara khusus dan terpisah, maka jurusannya juga harus terpisah sebab skill set dari penelitian mereka berbeda. Akan tetapi, perlu dipahami bahwa baik skill set dari filsuf-interpretator maupun skill set dari filsuf-terapan memerlukan core skill set dari seorang filsuf-umum; maka, agar proses dan birokrasi pendidikannya sederhana, ajarkan saja skill set menjadi seorang filsuf yang hendak memecahkan problem filsafat, sisanya terserah mahasiswa ingin menjadi filsuf yang seperti apa.

Lalu,Apa Selanjutnya?

Terdapat kasus lain yang mirip, terutama untuk studi filsafat di Indonesia: keberadaan filsuf-budayawan. Saat saya kuliah S1, seringkali dipertanyakan status kefilsafatan dari riset-riset filsafat budaya oleh kalangan mahasiswa sendiri sebab risetnya sangat mirip dengan riset antropologi. Dulu saat saya menempuh S1, saya tidak terlalu peduli akan hal tersebut karena dulu fokus saya adalah logika dan filsafat ilmu. Tetapi, sekarang saya dengan tegas berposisi bahwa filsuf-budayawan sah disebut sebagai filsuf dan risetnya juga sah disebut sebagai riset filsafat hanya jika skema kerja filsuf-budayawan mengikuti skema kerja yang saya jelaskan berikut ini.

Skema kerja filsuf-budayawan mirip dengan filsuf-interpretator dan filsuf-terapan. Semisal terdapat budaya X yang bersinggungan dengan problem filsafat Y. Filsuf-budayawan akan mencari filsuf-aliran Z yang berfilsafat mengenai problem filsafat Y. Dari sini, filsuf-budayawan melakukan interpretasi atas filsafat filsuf-aliran Z sehingga terungkap bagaimana filsafat filsuf-aliran Z memandang budaya X. 

Skema kerja filsuf-budayawan

Pertanyaannya sama: apakah filsuf-budayawan fokus pada budaya yang diteliti? Ya, tentu saja. Namun, bagi saya, filsuf-budayawan tidak sekadar tunduk patuh pada pemikiran filsafat yang dipakai. Filsuf-budayawan juga sah untuk mengkritik maupun mengotak-atik pandangan filsafat dari filsuf-aliran dengan argumentasi budaya, sehingga kemudian ia mengonstruksikan pandangan filsafat “baru” yang berjangkar pada budaya tertentu. Pada titik ini filsuf-budayawan berfilsafat, sehingga sah untuk disebut sebagai filsuf.

Dapat dipahami bahwa skema kerja filsuf-budayawan juga mirip dengan filsuf-interpretator dan filsuf-terapan. Ketiganya dapat diabstraksikan sehingga tereduksi pada filsuf-umum baik pada model konstruksi analisis, evaluatif, maupun kebaruan. Akan tetapi, apabila ketiganya ingin diadakan secara khusus dan terpisah, maka jurusannya juga harus terpisah sebab skill set mereka berbeda: filsuf-budayawan harus terbiasa dengan tema-tema kebudayaan, filsuf-terapan harus terbiasa dengan mengulik kasus-kasus praktis, filsuf-interpretator harus terbiasa dengan kerja-kerja eksegesis, dan filsuf-umum harus terbiasa dengan berfilsafat dan berargumentasi secara umum. 

Sekali lagi, posisi saya adalah memberikan kebebasan kepada mahasiswa sebagai calon filsuf sehingga mereka cukup diberikan core skill set yang umum yakni berfilsafat-berargumentasi, dan sisanya biarkan mereka mengeksplorasi minat mereka. Sehingga, apabila mereka berminat untuk berfilsafat-berargumentasi dan berdebat secara umum, mereka sudah memiliki skill set-nya. Apabila mereka berminat dengan tema-tema kebudayaan, fasilitasi mereka untuk mengeksplorasinya dan menjadi filsuf-budayawan. Apabila mereka berminat dengan kasus-kasus spesifik dengan luaran praktis, fasilitasi juga mereka sehingga dapat mengeksplorasinya lebih lanjut dan menjadi filsuf-terapan. Apabila mereka lebih minat dengan mengulik pemikiran filsuf, ya jadilah filsuf-interpretator. Tidak ada salahnya mahasiswa mau meneliti apa pun, tidak ada batasan juga untuk mereka harus menjadi filsuf yang seperti apa karena pada intinya adalah mereka berfilsafat-berargumentasi. 

Bagi saya, muara dari segala hal mengani metodologi penelitian filsafat ini adalah kedewasaan berpikir filsafat. Berawal dari tidak dapat berpindah sendiri, kemudian seseorang belajar merangkak. Setelah dapat merangkak, kemudian ia belajar berdiri dan berjalan, meski tertatih-tatih dan perlu bantuan. Hingga akhirnya, orang tersebut dapat berlari sendiri. Begitu pula dengan proses kedewasaan berpikir dalam filsafat, hingga akhirnya mahasiswa dapat berlari dengan kakinya sendiri, berfilsafat dengan pikirannya sendiri. 

Hal yang bermasalah adalah keberadaan orang-orang yang belum berlari, bahkan berdiri saja tidak, namun mereka membatasi orang lain untuk berhenti pada tahap merangkak karena mereka hanya bisa merangkak. Mereka tidak mau orang lain dapat berdiri dan berlari karena mereka tidak dapat melakukan hal demikian; mereka tidak dewasa. Bagi saya, hal pertama yang harus dijebol adalah tembok-tembok pembatas yang membatasi mahasiswa dalam berfilsafat, tembok-tembok yang menjulang tinggi dalam pikiran orang yang membatasi kedewasaan berpikir orang lain.

Taufiq (2024b) menekankan pentingnya pemahaman terkait metode-metode filsafat dalam penelitian problem filsafat karena peneliti dituntut untuk berfilsafat, dan saya sepakat akan hal tersebut. Sebagai sebuah proses menuju filsafat Indonesia yang berfilsafat, maka proyek metode-metode filsafat menjadi penting sebagai langkah awal memahami bagaimana filsuf berfilsafat. Saya tidak membayangkan proyek metode-metode filsafat sebagai upaya yang hanya mengumpulkan deskripsi argumentasi filsuf, namun proyek ini mengulik lebih dalam perihal bagaimana filsuf-aliran berfilsafat. Maka dari itu, pola-pola yang dibongkar tidak bersifat umum, melainkan spesifik filsuf yang diteliti. 

Semisal kita merujuk pada enam elemen metodis umum dalam metode filsafat oleh Chris Daly (2021: 5): terkait data, terdapat pandangan umum, eksperimen pikiran, dan basis saintifik; serta terkait prinsip pemilihan, terdapat analisis filosofis, kesederhanaan, dan penjelasan filosofis. Hal yang dibongkar dalam proyek metode-metode filsafat adalah cara-proses filsuf-aliran berargumen dan menggunakan elemen-elemen metodis tersebut, yakni cara-proses ia berfilsafat. Jika filsuf-aliran tertentu menggunakan elemen metodis tertentu, bagaimana hal tersebut dilakukan? Hal ini akan memperlihatkan corak berfilsafat dari filsuf-aliran yang diteliti. Kemudian, dari proyek tersebut dapat ditarik-diabstraksikan pola-pola umum atau corak dari filsuf-aliran tertentu dalam berfilsafat.

Setelah pola-pola umum atau corak filsuf-aliran tertentu dalam berfilsafat dipahami, penelitian selanjutnya dapat menggunakannya untuk proyek problem filsafat sebagai usaha untuk memecahkan problem filsafat. Tentu, “menggunakan” di sini tidak dalam arti yang sempit, melainkan luas: peneliti dapat memodifikasi pola-pola tersebut sesuai dengan keinginan mereka sejauh hal tersebut juga merupakan upaya untuk menjawab-memecahkan problem filsafat sehingga terbentuk pola berfilsafat yang unik dan khas oleh peneliti. Saya pikir, ketika dan hanya ketika itulah filsafat Indonesia sah disebut filsafat.


Referensi

Ahnaf, M. Q. [@mqahnaf], 2024a, Di artikel ini, saya merespon tulisan @philtaufiq tentang filsuf sebagai juru masak. [Utas], 𝕏/Twitter.
<https://x.com/mqahnaf/status/1849292330513363407>

Ahnaf, M. Q., 2024b, “Memasak dan Penelitian tentang Memasak”, Antinomi.
<https://antinomi.org/memasak-dan-penelitian-tentang-memasak/>

Daly, Chris, 2021, Pengantar Metode-Metode Filsafat, Taufiqurrahman (penerjemah), Yogyakarta: Penerbit Antinomi.

Krathwohl, D. R., 2002, “A Revision of Bloom’s Taxonomy: An Overview”, dalam THEORY INTO PRACTICE, volume 41(4), Columbus: The Ohio State University.
<https://cmapspublic2.ihmc.us/rid=1Q2PTM7HL-26LTFBX-9YN8/Krathwohl%202002.pdf>

Taufiqurrahman [@philtaufiq], 2024a, tengkyu, Naf, sudah merespons tulisan saya. berikut respons balik saya: [Utas], 𝕏/Twitter.
<https://x.com/philtaufiq/status/1849386871522001406>

Taufiqurrahman, 2024b, “Filsuf sebagai Juru Masak: Catatan tentang Metodologi Penelitian Filsafat”, Antinomi.
<https://antinomi.org/filsuf-sebagai-juru-masak-catatan-tentang-metodologi-penelitian-filsafat/>

Bacaan Lainnya