Filsafat Judi: Sebuah Demarkasi Filosofis-Matematis

Tidak semua hal yang berhubungan dengan probabilitas atau peluang adalah judi; dan tidak semua perilaku yang mempertaruhkan sesuatu adalah perilaku berjudi.

Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Muhammad Qatrunnada Ahnaf
Magister Filsafat yang memiliki minat riset dalam bidang logika, metafisika, dan filsafat ilmu. Selain filsafat, juga tertarik dengan ekonomi, investasi, dan trading: telah memantau pergerakan pasar secara otodidak dan kuantitatif-logis sejak 2018.

Sudah menjadi rahasia umum bahwa fenomena judi online (judol) marak terjadi, bahkan populer, di Indonesia. Judol, mulai dari judol berbasis situs web yang diakses melalui komputer hingga berbasis aplikasi yang diakses melalui ponsel pintar, seakan menjadi jalan cepat mendapatkan kekayaan, melalui iming-iming iklan ‘pasti jackpot’. Berbagai usaha telah diupayakan pemerintah untuk memberantas fenomena judi online ini, terutama usaha penegakan hukum; dan usaha tersebut saja sudah patut untuk diapresiasi. 

Artikel ini menawarkan sebuah definisi riil (real definition) yang secara logis dan matematis akan membongkar sifat esensial dari judi untuk menjawab pertanyaan: apa itu judi? Definisi ini memberikan demarkasi konkret yang mampu membedakan secara jelas dan esensial perihal mana saja aktivitas yang merupakan judi dan mana saja yang tidak. Lebih jauh, definisi ini dapat dijadikan acuan untuk menilai apakah sebuah aktivitas maupun perilaku termasuk dalam kategori judi atau perjudian. Agar pembaca dapat memahami secara umum konsep dari judi, maka untuk mengawalinya, akan dijelaskan terlebih dahulu mengenai pandangan umum terkait judi; meski pandangan umum tersebut kurang lebih tidak menggambarkan secara esensial apa yang dirujuk oleh konsep judi, analisis terhadapnya akan memberikan kejelasan terkait konsep judi. 

Setidaknya terdapat dua pandangan umum terkait judi. Pandangan umum pertama, judi berhubungan dengan peluang (chance) dan probabilitas. Akan tetapi, menerapkan kondisi hubungan tersebut dalam semua kasus justru merupakan sebuah kekeliruan. Mengendarai motor juga melibatkan beberapa derajat peluang, seperti peluang kecelakaan lalu lintas. Lantas, apakah mengendarai motor berarti judi? Saya pikir tidak demikian. Maka dari itu, pandangan ini perlu dispesifikasi: judi itu berhubungan dengan peluang yang seperti apa?

Kemudian, pandangan umum kedua, judi merupakan aktivitas yang mempertaruhkan uang atau barang berharga. Namun, bagi saya, pandangan ini terlalu luas. Pada titik tertentu, bisnis juga mempertaruhkan uang (modal) atau barang berharga (modal dari hutang dengan jaminan barang berharga). Akan tetapi, secara intuitif, tidak semua bisnis merupakan judi. Maka dari itu, pandangan ini perlu dipersempit: ‘mempertaruhkan’ yang seperti apakah judi itu? Mari kita analisis lebih lanjut terkait dua pandangan umum ini.

Analisis Pandangan Umum Pertama

Pandangan umum pertama memfokuskan pandangannya pada aspek intrinsik dari aktivitas judi sebab ia mengangkat faktor peluang yang merupakan elemen utama dalam judi. Bagaimanapun, faktor peluang tersebut tidak dapat dilepaskan dari adanya keuntungan maupun kerugian sebagai hasil atau akibat atas peluang yang dimaksud. Sehingga, pertimbangan akan peluang tersebut akan selalu tentang peluang untuk memperoleh keuntungan tertentu, dan serta risikonya yang merupakan peluang untuk memperoleh kerugian tertentu.

Sebagai contoh, saya akan gunakan permainan melempar koin. Tentu permainan melempar koin melibatkan peluang, yakni peluang munculnya/terlihatnya sisi gambar dan juga peluang munculnya sisi angka sebagai kebalikannya. Akan tetapi, fakta keberadaan peluang ini saja tidaklah cukup untuk permainan koin tersebut dapat disebut judi; perlu dipertimbangkan pula apa keuntungan/kerugian yang didapat apabila muncul sisi gambar, dan apa pula kerugian/keuntungan yang didapat apabila muncul sisi angka, setelah koin dilempar. 

Semisal kasusnya seperti ini: dengan koin yang adil/tidak bias, dipertaruhkan uang sebesar 100 rupiah untuk munculnya sisi gambar sehingga mendapatkan 100 rupiah. Dengan kata lain, apabila muncul sisi gambar, maka kita akan mendapatkan keuntungan berupa uang sebesar 100 rupiah, sementara sebaliknya apabila muncul sisi angka, maka kita akan mendapatkan kerugian yakni kehilangan uang sebesar 100 rupiah. Karena koin yang dipergunakan adil, maka peluang munculnya sisi gambar maupun sisi angka adalah sebesar ½, atau perbandingan probabilitasnya:

gambar:angka = 50:50. 

Lantas, bagaimana kita menilai pertaruhan ini? Secara intuitif hasil dari pertaruhan ini terlihat impas: dalam jangka panjang, tidak ada keuntungan maupun kerugian yang didapatkan sebab baik nilai keuntungan dan kerugiannya maupun peluang dari keduanya adalah setara sehingga nilai kemenangan akan dihilangkan oleh nilai kerugian yang bisa jadi muncul kemudian, dan nilai kerugian akan dihilangkan oleh nilai kemenangan yang bisa jadi muncul kemudian. Secara natural, kita cukup melihat rata-rata hasilnya karena koin yang digunakan adil. Rata-rata hasil permainan ini adalah:

$\displaystyle \frac{100 + (-100)}{2} = 0$, 

atau

$100 \times 50\% + (-100) \times 50\% = 0$.

Perhatikan bahwa 100 yang bernilai positif merupakan keuntungan, sementara 100 yang bernilai negatif merupakan kerugian. Cukup jelas bahwa pertaruhan ini bernilai rata-rata impas; tidak untung dan juga tidak rugi. Lalu, bagaimana dengan kasus lain yang hasilnya tidak setara?

Contoh lain, semisal kasusnya seperti ini: dengan koin yang adil/tidak bias, dipertaruhkan uang sebesar 100 rupiah untuk munculnya sisi gambar sehingga mendapatkan 200 rupiah. Dengan kata lain, munculnya sisi gambar berarti mendapatkan uang sebesar 200 rupiah, dan sebaliknya, munculnya sisi angka berarti kehilangan uang sebesar 100 rupiah. Secara natural, kita dapat menilai permainan ini melalui rata-rata hasilnya. Rata-rata hasil permainan ini adalah:

$\displaystyle \frac{200 + (-100)}{2} = 50$, 

atau

$200 \times 50\% + (-100) \times 50\% = 50$.

Dengan kata lain, rata-rata hasil yang akan didapatkan untuk sekali lempar koin adalah 50 rupiah. Dapat dipahami bahwa rata-rata ini akan terakumulasi, sehingga untuk dua kali lemparan, rata-rata hasilnya adalah 100 rupiah, dan untuk seratus kali lemparan, rata-rata hasilnya adalah 5000 rupiah. Maka dari itu, dapat dimengerti bahwa pertaruhan ini adalah pertaruhan yang menguntungkan.

Untuk kasus sebaliknya, dapat dimengerti mengapa kasus tersebut merupakan pertaruhan yang merugikan. Semisal apabila muncul gambar maka untung 100 rupiah, namun rugi 200 rupiah untuk kemunculan angka. Dengan demikian:

$\displaystyle \frac{100 + (-200)}{2} = -50$, 

atau

$100 \times 50\% + (-200) \times 50\% = -50$.

Sehingga, jelas bahwa rata-rata hasil dari pertaruhan ini adalah rugi sebesar 50 rupiah untuk sekali lempar koin; dan rata-rata hasil rugi ini akan terakumulasi untuk lemparan berikutnya: rata-rata rugi 100 rupiah untuk dua lemparan, dan rata-rata rugi 5000 rupiah untuk seratus lemparan. Maka dari itu, jelas bahwa ini merupakan pertaruhan yang merugikan.

Lalu, bagaimana dengan koin yang tidak adil/bias? Tentu kita akan tetap menilai dengan menggunakan rata-rata hasil. Namun, rata-rata hasilnya ditentukan melalui rata-rata tertimbang (weighted average), dengan mempertimbangkan hasil sesuai probabilitasnya. Semisal koin yang tidak adil yakni probabilitas munculnya gambar sebanyak 75% sehingga 25% untuk munculnya angka, dan apabila muncul gambar maka untung 100 dan apabila muncul angka maka  rugi 100. Dengan demikian rata-rata hasilnya adalah:

$100 \times 75\% + (-100) \times 25\% = 50$.

Ini berarti adalah pertaruhan yang menguntungkan sebab rata-rata hasilnya adalah mendapatkan 50 rupiah untuk sekali lempar, yang juga akan terakumulasi untuk lemparan berikutnya.

Sekali lagi, untuk sebaliknya, cukup jelas akan merugikan. Semisal munculnya gambar berarti  untung 100 dengan probabilitas 25% dan munculnya angka berarti  rugi 100 dengan probabilitas 75%. Dengan demikian, rata-rata hasilnya:

$100 \times 25\% + (-100) \times 75\% = -50$.

Lagi-lagi, cukup jelas bahwa pertaruhan ini adalah pertaruhan yang merugikan sebab rata-rata hasilnya adalah rugi 50 rupiah untuk sekali lempar dan terakumulasi untuk lemparan berikutnya.

Sejauh ini dapat dipahami bagaimana cara menilai status sebuah pilihan pertaruhan dalam permainan koin, apakah menguntungkan, merugikan, atau impas. Selanjutnya kita akan melihat generalisasi dari cara tersebut untuk segala pilihan. Generalisasi dari rata-rata hasil atau rata-rata tertimbang yang telah kita bahas sebelumnya dalam teori probabilitas adalah nilai ekspektasi $\mathbb{E}$.

Secara sederhana, nilai ekspektasi $\mathbb{E}$ diperoleh dengan mempertimbangkan rata-rata dari masing-masing hasil terhadap probabilitasnya. Secara simbolis, tetapkan $M$ sebagai probabilitas menang, $U$ sebagai hasil keuntungan apabila menang, $K = 1 – M$ sebagai probabilitas kalah, dan $R$ sebagai hasil kerugian apabila kalah. Dengan demikian, formula dari nilai ekspektasi adalah[1]:

$\mathbb{E} = U \times M + (-R) \times K$.

Apabila nilai ekspektasi $\mathbb{E} > 0$ maka pilihan dalam permainan tersebut menguntungkan, dan apabila $\mathbb{E} < 0$ maka pilihan dalam permainan tersebut merugikan, dan apabila $\mathbb{E} = 0$ maka pilihan dalam permainan tersebut impas.

Kita akan terapkan analisis ini pada permainan lain, semisal Rolet Amerika. Dalam Rolet Amerika, terdapat 38 keluaran untuk angka (00, 0, 1, 2, …, 36) dan tiga keluaran untuk warna yakni 18 warna merah dan 18 warna hitam untuk angka > 0, dan hijau untuk angka 0 serta 00. Kita ambil satu pilihan taruhan untuk contoh, misal pilihan warna merah. 

Peluang atau probabilitas untuk menang, yakni munculnya warna merah tersebut adalah 18/38 atau sekitar 47,37%. Sehingga, peluang untuk kalah adalah 20/38 atau sekitar 52,63%. Sementara itu, semisal kita bertaruh sebesar 100 ribu rupiah, yakni apabila kalah, maka kita kehilangan 100 ribu rupiah; akan tetapi, apabila kita menang, maka kita mendapatkan 100 ribu rupiah. Maka dari itu, dapat kita hitung nilai ekspektasinya:

$\displaystyle \mathbb{E} = 100.000 \times \frac{18}{38} + (-100.000) \times \frac{20}{38}$

$\mathbb{E} \approx 47.368{,}42\ldots + (-52.631{,}58\ldots)$

$\mathbb{E} \approx -5.263{,}16\ldots$

Dengan demikian, rata-rata hasilnya, atau nilai ekspektasinya, adalah rugi sekitar lebih dari 5 ribu rupiah untuk setiap taruhan dan akan terakumulasi untuk taruhan-taruhan berikutnya, yakni semisal untuk 1000 kali bermain maka rata-rata akan rugi sekitar lebih dari 5 juta rupiah. 

Contoh lain, pilihan satu angka, misal angka 3. Peluang atau probabilitas untuk menang, yakni munculnya angka 3 tersebut, adalah 1/38 atau sekitar 2,63%. Sehingga, peluang untuk kalah adalah 37/38 atau sekitar 97,37%. Sementara itu, semisal kita bertaruh sebesar 100 ribu rupiah, yakni apabila kalah, maka kita kehilangan 100 ribu rupiah; akan tetapi, apabila kita menang, maka kita mendapatkan 35 kali lipat dari taruhan kita, yakni 3,5 juta rupiah. Maka dari itu, dapat kita hitung nilai ekspektasinya:

$\displaystyle \mathbb{E} = 3.500.000 \times \frac{1}{38} + (-100.000) \times \frac{37}{38}$

$\mathbb{E} \approx 92.105{,}26\ldots + (-97.368{,}42\ldots)$

$\mathbb{E} \approx -5.263{,}16\ldots$

Dengan demikian, rata-rata hasilnya, atau nilai ekspektasinya, kurang lebih akan sama dengan pilihan warna merah, yakni rugi sekitar lebih dari 5 ribu rupiah untuk setiap taruhan dan akan terakumulasi untuk taruhan-taruhan berikutnya, yakni semisal untuk 1000 kali bermain maka rata-rata akan rugi sekitar lebih dari 5 juta rupiah. Maka dari itu, jangan tergiur untuk bertaruh hanya karena ada kemungkinan untuk mendapatkan berkali-kali lipat dari taruhan apabila menang: cek dulu nilai ekspektasinya. 

Analisis ini dapat dilakukan untuk semua pilihan dalam sebuah aktivitas. Bagi saya, analisis nilai ekspektasi atas semua pilihan pemain dalam sebuah aktivitas akan menunjukkan apakah aktivitas tersebut merupakan judi atau tidak. Saya menawarkan definisi riil berikut:

“Sebuah aktivitas adalah judi jika dan hanya jika semua pilihan dalam aktivitas tersebut memiliki nilai ekspektasi tidak lebih dari 0.”

Sehingga, semisal nilai ekspektasi dari semua pilihan dalam sebuah aktivitas adalah antara $\mathbb{E} < 0$ atau $\mathbb{E} = 0$, maka aktivitas tersebut adalah judi. Sebaliknya, apabila terdapat pilihan dalam sebuah aktivitas yang memiliki nilai ekspektasi $\mathbb{E} > 0$, maka aktivitas tersebut bukan judi. Dengan kata lain, judi adalah aktivitas yang rata-rata hasil untuk semua pilihan dalam aktivitas tersebut merupakan rugi atau impas. Apabila terdapat pilihan yang memiliki nilai ekspektasi $\mathbb{E} > 0$, maka pemain tinggal memilih pilihan tersebut secara terus-menerus sehingga rata-rata hasilnya akan terakumulasi untung; dan ini berarti aktivitasnya tidak merugikan dalam jangka panjang sehingga aktivitas tersebut bukanlah judi. Dengan kata lain, sebuah aktivitas itu bukan judi apabila terdapat pilihan yang rata-rata hasilnya menguntungkan. Definisi ini dapat diterima secara intuitif, setidaknya bagi saya, karena ini berarti judi itu isinya hanya rugi: jika tidak rugi uang, maka rugi waktu sebab impas.

Contoh judi adalah permainan Rolet, baik Rolet Amerika, seperti yang telah dicontohkan sebelumnya, maupun Rolet Eropa (rolet yang tidak memiliki pilihan angka 00). Dalam permainan Rolet, semua pilihan pemain selalu memiliki nilai ekspektasi tidak lebih dari nol, atau kurang dari sama dengan nol. Dengan demikian, tidak ada strategi atau pilihan yang rata-rata menguntungkan bagi pemain. Satu-satunya yang rata-rata untung bukanlah pemain, melainkan bandar/pemilik kasino.

Definisi dan analisis ini dapat diterapkan di berbagai aktivitas, terutama aktivitas yang mengandung unsur pertaruhan. Semisal taruhan menebak paritas, atau ganjil-genapnya, plat nomor kendaraan yang lewat; ini jelas biasanya impas. Contoh lain adalah judi bola: jika kita tahu pengalinya apabila menang, dan kita juga tahu probabilitas kemenangan/kekalahan tim-timnya, maka kita tahu pula nilai ekspektasinya. Akan tetapi, bandar biasanya sudah riset terlebih dahulu, bahkan memiliki big data terkait probabilitas kemenangan/kekalahan tim-tim yang dijudikan; dan akibatnya, pengalinya akan dikondisikan sedemikian rupa oleh bandar sehingga nilai ekspektasi untuk semua pilihannya bernilai negatif—jadi, wajar saja, sesuai namanya, ya, judi bola itu memang judi: jelasnya, yang menang adalah bandar.

Analisis Pandangan Umum Kedua

Pandangan umum kedua memfokuskan pandangannya pada pemain. Dengan kata lain, pandangan umum kedua hendak menilai apakah seseorang itu berjudi atau tidak. Terdapat tiga intuisi dangkal: (1) berjudi adalah mempertaruhkan sesuatu tanpa dasar pengetahuan atas pilihan yang dipilih (berjudi epistemik), (2) berjudi adalah melakukan aktivitas yang termasuk dalam kategori judi, dan (3) berjudi adalah memilih pilihan atau taruhan yang nilai ekspektasinya non-positif, yakni negatif atau nol. Akan tetapi, tunggu dulu, tidak tanpa alasan saya menyebut tiga intuisi tersebut dangkal.

Mempertaruhkan sesuatu dalam keadaan buta, yakni tidak tahu probabilitasnya, tidak tahu keuntungan maupun kerugiannya, maupun tidak tahu pula nilai ekspektasinya, jelas merupakan perilaku berjudi. Melakukan aktivitas yang termasuk dalam kategori judi tentu adalah berjudi sebab pasti pilihannya memiliki nilai ekspektasi non-positif karena semua pilihannya memang demikian, ini jelas intuitif. Intuitif pula bahwa seseorang masih disebut berjudi apabila memilih pilihan yang nilai ekspektasinya non-positif dalam aktivitas yang bukan judi. Akan tetapi, berjudi tidak hanya tiga hal ini apabila kita pikirkan baik-baik.

Ya, tidak hanya orang yang melakukan aktivitas judi maupun orang yang memilih pilihan dengan nilai ekspektasi non-positif yang dapat disebut berjudi. Memilih pilihan yang memiliki nilai ekspektasi positif pun dapat disebut berjudi. Bagaimana bisa? Pertimbangkan kasus berikut. 

Kita ambil contoh pada kasus sebelumnya tentang permainan lempar koin yang memiliki nilai ekspektasi positif. Semisal, dipertaruhkan sejumlah 1 untuk mendapatkan sejumlah 2 dengan koin yang adil. Tentu permainan ini memiliki nilai ekspektasi positif:

$\mathbb{E} = 2 \times 50\% + (-1) \times 50\% = 0{,}5$.

Lantas, seseorang mempertaruhkan seluruh hartanya pada permainan ini sehingga “1” di sini berarti seluruh harta orang tersebut. Pertanyaannya, apakah orang ini berjudi? Jawaban saya adalah benar bahwa orang ini berjudi.

Meski nilai ekspektasinya positif, tentu tetap saja terdapat momen terjadinya kekalahan. Walaupun rata-rata hasilnya positif untuk setiap lemparan koin, akan tetapi sekalinya menghadapi kekalahan maka itu berarti hartanya habis total sehingga tidak dapat melanjutkan permainan dan tidak dapat mengaktualisasikan rata-rata hasilnya. Itulah mengapa saya tetap mengkategorikan perilaku seperti ini sebagai berjudi. Pertanyaannya, seberapa banyak yang perlu dipertaruhkan agar sebuah pertaruhan dapat disebut berjudi atau tidak? Perihal ini, saya pikir sudah ada tolok-ukurnya dalam teori probabilitas, yakni kriteria Kelly.

Kriteria Kelly mempertimbangkan hal yang sama dengan nilai ekspektasi, namun formula atau kalkulasinya berbeda. Kriteria Kelly menunjukkan porsi yang harus digunakan atau dipertaruhkan terhadap alokasi dana untuk memaksimalkan nilai ekspektasi jangka panjang atas logaritma kekayaan. Tetapkan $M$ sebagai probabilitas menang, $K = 1 – M$ sebagai probabilitas kalah, dan $f = U/R$ sebagai rasio dari keuntungan $U$ terhadap kerugian $R$; maka, kriteria Kelly adalah[2][2]:

$\displaystyle Kelly = M – \frac{K}{f}$

untuk

$\displaystyle f = \frac{U}{R}$.

Untuk memperjelas, kita kembali pada kasus sebelumnya. Semisal dipertaruhkan sejumlah 1 untuk mendapatkan sejumlah 2 dengan koin yang adil sehingga nilai ekspektasinya:

$\mathbb{E} = 2 \times 50\% + (-1) \times 50\% = 0{,}5$.

Maka dari itu, kriteria Kelly-nya adalah:

dengan

$\displaystyle f = \frac{2}{1} = 2$,

maka

$\displaystyle Kelly = 50\% – \frac{50\%}{2} = 25\%$.

Dengan kata lain, porsi yang optimal untuk dipertaruhkan dalam taruhan ini adalah 25% dari alokasi dana yang hendak dipertaruhkan. Dengan demikian, apabila seseorang mengalokasikan seluruh hartanya untuk dipertaruhkan, maka selayaknya orang tersebut hanya mempertaruhkan maksimum 25% dari alokasi tersebut untuk lemparan pertama. 

Ingat bahwa kriteria Kelly ini tidak berlaku statis, bukan 25% dari total alokasi awal, melainkan 25% dari sisa alokasi terkini. Sehingga, apabila alokasi awal adalah 100 ribu, maka taruhan maksimalnya adalah 25% dari 100 ribu yakni 25 ribu untuk lemparan pertama. Semisal lemparan pertama kalah, maka sisa alokasinya adalah 75 ribu, sehingga maksimal taruhan untuk lemparan kedua adalah 25% dari 75 ribu yakni 18,75 ribu; dan semisal lemparan pertama menang, maka sisa alokasinya adalah 125 ribu, sehingga maksimal taruhan untuk lemparan kedua adalah 25% dari 125 ribu yakni 31,25 ribu—begitu seterusnya untuk lemparan-lemparan berikutnya.

Penjelasan terkait kriteria kelly ini cukup kompleks, namun saya mencoba untuk menyederhanakannya agar mudah dipahami. Kriteria Kelly ini sama saja dengan memaksimalkan ekspektasi jangka panjang atas tingkat pertumbuhan geometris dari alokasi dana. Konsekuensinya, disamping memaksimalkan tingkat pertumbuhan alokasi dana, kriteria Kelly juga mengoptimalkan risiko; dengan kata lain, kriteria Kelly menunjukkan risiko optimal untuk tingkat pertumbuhan alokasi dana yang maksimal. Apabila risikonya lebih dari kriteria Kelly, maka tingkat pertumbuhannya menurun dengan resiko yang lebih tinggi sehingga perbandingan risiko dengan tingkat pertumbuhannya tidak sepadan (not worth it because too much risk); dan apabila risikonya terlalu tinggi, maka bisa jadi tingkat pertumbuhannya justru negatif yakni malah merugi dalam jangka panjang. Sebaliknya, apabila taruhannya kurang dari kriteria Kelly, pertumbuhan alokasi dananya memang tidak maksimal namun resikonya lebih kecil sehingga pilihan ini tetap terbilang aman; dan orang-orang yang memilih strategi seperti ini berarti merupakan orang yang terbilang konservatif.

Dari kriteria Kelly ini dapat dirumuskan definisi riil atas berjudi:

“Seseorang disebut berjudi jika dan hanya jika orang tersebut mempertaruhkan porsi lebih dari kriteria Kelly terhadap alokasi dananya”.

Sehingga, apabila kriteria Kelly menunjukkan 25%, dan lantas seseorang mempertaruhkan 30% dari alokasi dananya, maka orang tersebut berjudi; dan apabila ternyata ia mempertaruhkan 70%, 100%, atau bahkan 125% dari alokasi (kelebihan 25%-nya didapatkan dengan berhutang), maka jelas seseorang tersebut berjudi—sekaligus bodoh. Sampai di sini cukup jelas demarkasi yang riil perihal berjudi. Hal yang perlu dijelaskan lebih lanjut adalah terkait kemungkinan miskonsepsi perihal definisi ini. 

Definisi ini tidak memberikan saran apa pun terkait porsi yang seharusnya dipertaruhkan. Definisi ini tidak memberikan saran apa pun terkait apakah porsi taruhan kita harus sesuai dengan kriteria Kelly. Definisi ini hanya menunjukkan demarkasi perihal perilaku apa yang disebut berjudi dan apa yang tidak: kalau mempertaruhkan lebih dari kriteria Kelly berarti berjudi, dan tidak berjudi apabila kurang dari sama dengan kriteria Kelly. Pembahasan mengenai berapa porsi yang seharusnya dipertaruhkan agar keuntungannya maksimal dan keberlanjutan adalah masih merupakan sebuah perdebatan.

Perdebatan terkait hal tersebut muncul sebab kriteria Kelly tidak mempertimbangkan fungsi ekspektasi utilitas atas pilihan—dan Kelly (1956: 918) sendiri mengakui perlunya mempertimbangkan fungsi ekspektasi utilitas lebih lanjut. Kritik lain yang dapat dilayangkan kepada kriteria Kelly adalah tidak mempertimbangkan secara langsung risiko bangkrut. Dengan kata lain, kriteria Kelly sendiri bukanlah sebuah strategi optimal untuk bertaruh maupun berinvestasi; beberapa analis yang justru merekomendasikan penerapan fractional-Kelly (Thorp, 1997: 27), yakni menggunakan sebagian saja dari kriteria Kelly, untuk bertaruh secara optimal sebab kesalahan maupun anomali non-deterministik juga harus ikut dipertimbangkan—ini wajar karena kita membahas tentang probabilitas yang berkaitan erat dengan distribusi dan kerapatan probabilitasnya. Strategi optimal terkait bertaruh memerlukan pertimbangan lebih lanjut terkait utilitas, dan hal ini memerlukan pembahasan lebih mendalam secara matematis dan ekonomis. Bagaimanapun, bagi saya, kriteria Kelly saja sudah cukup untuk memberikan definisi riil terkait perilaku berjudi, yakni memberikan demarkasi esensial atas perilaku apa saja yang dapat disebut berjudi maupun tidak.

Refleksi

Tidak semua hal yang berhubungan dengan probabilitas atau peluang adalah judi; dan tidak semua perilaku yang mempertaruhkan sesuatu adalah perilaku berjudi. Terkait judi, perlu dianalisis terlebih dahulu apakah terdapat pilihan dengan nilai ekspektasi positif; dan terkait berjudi, perlu dianalisis dulu apakah orang yang bertaruh tersebut mempertaruhkan lebih dari kriteria Kelly. Definisi ini jelas, terpilah, riil, dan esensial, sehingga tidak perlu lagi kita mengawang-ngawang maupun meraba-raba perihal apa yang disebut judi atau berjudi seperti pada pandangan umum yang tidak konkret.

Semisal pertanyaan, apakah bisnis itu judi? Tentu tidak karena terdapat pilihan bisnis yang rata-rata ekspektasinya positif: semisal saja saya berjualan jeruk dengan mengambil rasio keuntungan bersih untuk setiap barang sebesar 150% sehingga dengan modal 100 juta maka saya mendapatkan untung bersih total sebesar 150 juta. Pun apabila probabilitas barang saya terbeli itu hanya 50%, seperti bermain lempar koin, nilai ekspektasi saya tetap positif:

$\mathbb{E} = 150 \times 50\% + (-100) \times 50\% = 25$.

Dengan demikian, bisnis saya tersebut bernilai ekspektasi rata-rata untung sebesar 25 juta untuk setiap batch penjualan sehingga bisnis saya tersebut bukanlah judi. Interpretasi probabilitas 50% dalam bisnis tersebut tidak melulu probabilitas seluruh barang terjual, bisa juga diinterpretasikan bahwa 50% barang saja yang terjual.

Tetapi, apakah ada bisnis yang sebenarnya judi? Tentu ada, ini seperti bisnis dengan skema ngawur yang nilai ekspektasi aktualnya nol atau bahkan negatif. Biasanya yang ditekankan adalah iming-iming keuntungan yang berlipat ganda, yang terlalu fantastis untuk menjadi nyata. Maka dari itu, bersikaplah skeptis dan hitung nilai ekspektasi aktualnya, jangan mau ditipu oleh iming-iming saja!

Lebih jauh, saya tetap saja dapat berjudi dalam bisnis yang bukan judi. Dengan menggunakan contoh yang sama, maka kriteria Kelly untuk bisnis saya adalah:

dengan

$\displaystyle f = \frac{150}{100} = 1{,}5$

maka

$\displaystyle Kelly = 50\% – \frac{50\%}{1{,}5} \approx 16{,}67\%$ 

Sehingga, maksimal saya hanya boleh menggunakan 16,67% dari alokasi dana bisnis saya agar saya tidak disebut berjudi. Semisal saya mengalokasikan seluruh harta saya untuk bisnis tersebut namun saya menggunakan seluruh alokasinya, atau mempertaruhkan seluruh harta saya, dalam satu batch penjualan, yakni lebih dari kriteria Kelly, maka ini merupkan berjudi. Sekali saja rugi karena kekeliruan strategi penjualan, atau bahkan rugi banyak karena kondisi ekonomi yang tidak disangka seperti tiba-tiba pandemi, maka otomatis bisnis saya bangkrut dan saya tidak memiliki penghasilan lagi. 

Mungkin ada yang beropini: menggunakan 16,67% saja dari alokasi itu kecil sekali. Ya, maka dari itu tingkatkan probabilitas penjualannya: tingkatkan kualitas barang, maksimalkan rasio keuntungan, pakai strategi marketing yang benar, buat branding yang baik, buat pelanggan puas sehingga probabilitas penjualan juga meningkat; dengan demikian, kriteria Kelly juga ikut naik sehingga kita dapat menggunakan dana yang lebih besar lagi. Maka dari itu, perlu manajemen keuangan yang baik serta strategi penjualan yang baik agar kita terlepas dari perilaku berjudi dalam bisnis.

Ini baru membahas bisnis, bagaimana dengan judi slot? Hitung saja nilai ekspektasinya. Kalau sulit, kita pakai logika saja: dengan prakondisi probabilitas yang dapat diatur secara suka-suka oleh bandar, kira-kira siapa yang akan dikondisikan untuk untung? Tentu sang bandar yang akan selalu untung sehingga nilai ekspektasi aktual pemain selalu negatif! Semua omong kosong “pasti jackpot” adalah trik marketing belaka; akan tetapi, ternyata banyak juga orang yang termakan oleh fenomena judi ini hingga terlilit utang sebesar puluhan bahkan ratusan juta rupiah. Sehingga, secara intuitif, pilihannya adalah: antara manusia Indonesia yang memang sekumpulan orang yang tidak mau belajar, atau pendidikan Indonesia yang sebenarnya gagal.


Catatan Akhir

[1] Formula ini saya sederhanakan khusus untuk kasus sederhana dari bentuk generalnya yang kompleks yakni fungsi $\mathbb{E}[X] = \sum_{i}x_{i}P(x_i) = x_{1}P(x_1) + x_{2}P(x_2) + \ldots + x_{i}P(x_i)$ untuk himpunan kejadian $X = \{x_1, x_2, \ldots, x_i\}$ dengan probabilitas total $P(x_1) + P(x_2) + \ldots + P(x_i) = 1$. Semisal $X = \{U, -R\}$, dengan $P(U) + P(-R) = 1$, maka $\mathbb{E}[X] = U \times P(U) + (-R) \times P(-R)$. Dengan $P(U) = M$ dan $P(-R) = K$, didapatkan $\mathbb{E}[X] = U \times M + (-R) \times K$. Karena himpunan kejadian yang dibahas pasti $X = \{U, -R\}$, maka langsung saja ditulis $\mathbb{E} = U \times M + (-R) \times K$. Perihal detail teorinya, silahkan baca Billingsley (1995: 76).

[2] Konstruksi yang diberikan Kelly (1956: 925) sangatlah kompleks. Thorp (1997: 7) memberikan konstruksi yang lebih sederhana, dan saya menggunakan konstruksi tersebut: $Kelly = (bp – q)/b$ untuk $b$ sebagai rasio keuntungan bersih terhadap kerugian, $p$ sebagai probabilitas menang, dan $q$ sebagai probabilitas kalah; perhatikan bahwa formula tersebut dapat disederhanakan menjadi $Kelly = p – q/b$ seperti konstruksi yang saya gunakan.


Referensi

Billingsley, Patrick, 1995, “Probability and Measure”, Wiley Series in Probability and Mathematical Statistics, Edisi ke-3, New York: John Wiley & Sons, Inc.

Kelly, J. L., 1956, “A New Interpretation of Information Rate”, Bell System Technical Journal, 35 (4): 917–926. doi:10.1002/j.1538-7305.1956.tb03809.x.
<https://www.princeton.edu/~wbialek/rome/refs/kelly_56.pdf>

Thorp, Edward O, 1997, “The Kelly criterion in blackjack, sports betting, and the stock market”, 10th International Conference on Gambling and Risk Taking, Montreal.
<https://www.eecs.harvard.edu/cs286r/courses/fall12/papers/Thorpe_KellyCriterion2007.pdf>

Bacaan Lainnya