Filsuf sebagai Juru Masak: Catatan tentang Metodologi Penelitian Filsafat

Filsuf itu seperti juru masak di sebuah restoran. Ia dapat memasak makanan dengan bahan dan cara yang beragam.

Taufiqurrahman
Taufiqurrahmanhttp://antinomi.org
Head of Metaphysics and Mind at ZENO Centre for Logic and Metaphysics.

Sudah sejak lama saya memiliki kegelisahan terkait metode penelitian filsafat. Apakah penelitian filsafat memiliki metode? Jika iya, apakah metodenya sama dengan penelitian bidang ilmu lain? Jika sama, apa yang membuat penelitian filsafat adalah penelitian filsafat dan bukan, misalnya, penelitian sosiologi atau antropologi? Jika beda, metode macam apa yang seharusnya digunakan dalam penelitian filsafat?

Pertanyaan-pertanyaan di atas muncul karena setiap kali membaca literatur filsafat, baik dalam bentuk artikel, buku, ataupun disertasi di kampus luar negeri, saya tidak pernah menemukan penulisnya mencantumkan metode apa yang dia gunakan sebagaimana dalam artikel-artikel para ilmuwan sosial maupun alam. Apakah ini berarti bahwa penelitian filsafat memang dapat dilakukan tanpa metode? Mengingat filsafat sering kali menekankan keketatan, tampaknya tidak mungkin penelitian filsafat ini dapat dilakukan tanpa metode.

Faktanya, dalam kepustakaan filsafat di Indonesia, memang terdapat satu buku berjudul Metodologi Penelitian Filsafat(MPF) yang ditulis oleh Anton Bakker dan Achmad Charris Zubair. Saat menulis skripsi dan tesis, saya menjadikan buku yang diterbitkan Penerbit Kanisius lebih dari tiga dekade lalu itu sebagai panduan, meski jujur waktu itu saya tidak paham bagaimana operasionalisasi metode-metode yang disarankan. Saya hanya mengikuti templat skripsi/tesis yang sudah ada sebelumnya.

Setelah mempelajari isu-isu metodologis filsafat (atau metafilsafat), saya coba baca-baca lagi buku MPF tersebut. Saya menemukan sejumlah masalah dan menyimpulkan bahwa buku tersebut sebenarnya kurang representatif untuk dijadikan sebagai buku rujukan metode penelitian filsafat. Berikut adalah penjelasannya.

Mereduksi Filsafat

Problem utama yang saya temukan dalam buku MPF ini adalah tendensinya untuk mereduksi keragaman dan keluasan filsafat pada satu corak saja. Setidaknya terdapat dua jenis reduksi di dalamnya.

Reduksi pertama tampak ketika buku ini menarik semua problem filosofis pada satu jangkar yang disebutnya “objek formal”, yaitu manusia sebagai manusia (Bakker & Zubair, 1990, p. 35). Ini jelas mengabaikan keberadaan corak (ber)filsafat yang non-antroposentris. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa filsuf yang berfilsafat adalah manusia. Namun, tidak semua filsuf itu menjadikan manusia sebagai jangkar filsafatnya. Ada filsuf realis dalam isu metafisik dan epistemologis, juga ada filsuf biosentris dan ekosentris dalam isu etis. Masing-masing filsuf itu menolak manusia sebagai dasar kenyataan, pengetahuan, dan nilai.

Reduksi kedua tampak ketika buku ini menjelaskan unsur-unsur metodis penelitian filsafat. Terdapat sepuluh unsur metodis: (1) interpretasi, (2) induksi dan deduksi, (3) koherensi intern [sic], (4) holistika, (5) kesinambungan historis, (6) idealisasi, (7) komparasi, (8) heuristika, (9) bahasa inklusif atau analogal [sic], dan (10) deskripsi (Bakker & Zubair, 1990). Saya tidak menemukan keterangan eksplisit apakah semua unsur itu dapat dan harus digunakan dalam semua jenis penelitian filsafat. Namun, di bab-bab berikutnya yang menjelaskan model-model penelitian filsafat, sepuluh unsur tersebut selalu disebutkan dalam semua model. Selain itu, penjabaran unsur-unsur metodis tersebut ditulis di Bab 3 yang berjudul “Unsur-unsur Metodis Umum bagi Penelitian Filsafat”. 

Berdasarkan dua petunjuk tersebut, kita dapat menarik dua kesimpulan terkait posisi buku ini. Pertama, posisi ekstrem: buku ini menyatakan bahwa sepuluh unsur metodis tersebut harus digunakan oleh semua model penelitian filsafat. Kedua, posisi moderat: buku ini menyatakan bahwa sepuluh unsur metodis tersebut dapat digunakan oleh semua model penelitian filsafat. Dalam posisi ekstremnya, buku ini mereduksi semua model penelitian filsafat ke dalam corak tertentu; sedangkan dalam posisi moderatnya, buku ini mereduksi semua model penelitian filsafat yang menggunakan metode tertentu ke dalam corak tertentu.

Pertanyaan berikutnya: unsur metodis mana yang dapat mereduksi penelitian filsafat ke dalam corak tertentu? Ada banyak, tetapi sebagai contoh, saya akan membahas tiga unsur saja di sini, yaitu interpretasi, holistika, dan kesinambungan historis.

Interpretasi tentu tidak dapat dihindari dalam banyak sekali aktivitas manusia, mulai dari aktivitas gosip hingga aktivitas membaca kitab suci. Namun, interpretasi yang dijabarkan sebagai unsur metodis dalam buku ini bukan interpretasi biasa melainkan interpretasi dalam kerangka interpretivisme. Berikut saya kutip penjelasannya secara langsung:

[…] dalam ilmu-ilmu sosial dan human [sic], dan khususnya dalam filsafat, si peneliti pertama dan terutama berhadapan dengan manusia hidup, dengan tingkah lakunya, agamanya, kebudayaannya, bahasanya, struktur sosialnya, kebaikan dan dosanya. Saya lihat, saya dengar, atau saya meraba-raba suatu fakta […]. Fakta itu saya tangkap sebagai suatu ekspresi manusia […]. Di dalam ekspresi itu dibaca dan ditangkap arti, nilai, maksud human [sic].
(Bakker & Zubair, 1990, pp. 41–42)

Jadi, filsafat yang menggunakan metode interpretasi ini akan diarahkan menjadi ilmu sosial berparadigma interpretivistik. Tujuannya adalah untuk menangkap makna atau nilai dari setiap tindakan manusia (tindakan berpikir, berbahasa, berperilaku, dan lain sebagainya). Paradigma interpretivisme dalam ilmu sosial ini mengasumsikan bahwa setiap tindakan manusia pasti mempunyai makna (Kincaid, 1996, p. 191). Peletak dasar filosofis paradigma interpretivisme ini adalah tokoh-tokoh hermeneutika seperti Wilhelm Dilthey dan Martin Heidegger, sedangkan salah satu penyokong utamanya dalam ilmu sosial adalah Clifford Geertz. Dasar metafisik di balik asumsi tersebut adalah bahwa manusia itu rasional dan otonom. Setiap tindakannya selalu didorong oleh alasan, keyakinan, atau pertimbangan personal tertentu, sehingga setiap tindakan yang teramati selalu menyembunyikan makna dan maksud. Filsafat yang menggunakan metode interpretasi ini bertujuan menyingkap makna dan maksud tersebut. 

Preskripsi metodologis ini, baik dalam pengertian ekstrem atau moderat, memiliki dua persoalan. Pertama, metode interpretasi ala interpretivisme itu jelas tidak kompatibel dengan semua jenis penelitian filsafat, sebab tak semua objek penelitian filsafat adalah, atau terkait dengan, manusia. Ada buku filsafat yang baru saja terbit yang membahas tentang kognisi tumbuh-tumbuhan (Philosophy of Plant Cognition). Jauh sebelumnya juga sudah ada buku filsafat tentang pikiran hewan (The Philosophy of Animal Minds). Jadi, interpretasi ala interpretivisme ini jelas hanya akan menyempitkan ruang gerak filsafat. 

Kedua, penggunaan paradigma interpretivisme sendiri dalam ilmu sosial itu problematik dan sudah banyak dikritik. Asumsi metafisiknya bahwa manusia itu rasional dan otonom merupakan pandangan yang kontroversial dan sulit dipertahankan. Sudah banyak penelitian psikologi kognitif yang membuktikan bahwa tindakan manusia tidak selalu rasional (Nisbett & Borgida, 1975; Slovic et al., 1976; Tversky & Kahneman, 1974). Manusia juga tidak selalu bertindak dalam kendali penuh otonominya sendiri. Sejumlah temuan riset psikologi sosial memberikan bukti-bukti yang menentang otonomi manusia (Nahmias, 2007).

Unsur metodis lain yang juga cenderung mereduksi filsafat adalah holistika. Preskripsi metodologis holistika dapat dibaca pada kutipan berikut:

Holistika merupakan corak khas dan suatu ‘keunikan’ dalam konsepsi filosofis, sebab justru filsafat berupaya mencapai kebenaran yang utuh. Dalam penelitian filsafat ini subjek yang menjadi objek studi, [sic] tidak hanya dilihat secara ‘atomistis’, yaitu secara terisolasi dari lingkungannya, melainkan ditinjau dalam interaksi dengan seluruh kenyataannya. […] Manusia baru mencapai identitas-diri dalam korelasi dan komunikasi dengan lingkungannya. […] Penelitian filsafat harus mengupayakan [sic] menangkap interaksi antara keunikan dan otonomi objeknya dan konteks universal lingkungan hidup dan sejarah yang luas.
(Bakker & Zubair, 1990, p. 46)

Lagi-lagi yang menjadi fokus bahasan dalam unsur metodis ini adalah manusia. Ini hanya semakin menegaskan bahwa buku ini ditulis dengan semangat antroposentrisme dua puluh empat karat. Namun, kita coba kesampingkan dulu soal antroposentrisme ini. Andaikan bahwa manusia dalam penjabaran itu hanyalah contoh. Inti dari preskripsi metodologis holistika adalah bahwa penelitian filsafat harus melihat objeknya, apa pun itu, secara utuh dan berusaha menemukan hubungan objek tersebut dengan hal-hal lain. 

Ketika dipahami demikian pun, preskripsi ini juga problematik, terutama dalam posisi ekstrem. Tidak semua penelitian filsafat bermaksud menghubungkan objeknya dengan hal-hal lain. Penelitian filsafat justru dapat bertujuan mengisolasi satu objek dari objek-objek lain untuk menemukan kejelasan. Semisal, David Chalmers mengisolasi masalah sulit kesadaran dari masalah mudah kesadaran; Ned Block mengisolasi kesadaran fenomenal dari kesadaran akses; Saul Kripke memisahkan pembedaan apriori/aposteriori (pembedaan epistemik) dari pembedaan niscaya/kontingen (pembedaan metafisik); dan banyak lagi filsuf lainnya. Jadi, filsafat tidak selalu berusaha menghubungkan, tetapi adakalanya ia justru memisahkan—dan pemisahan ini yang kadang justru diperlukan untuk menemukan kejelasan. Sebaliknya, ambisi untuk selalu melihat segalanya secara keseluruhan justru berpotensi mengaburkan persoalan dan membawa serta hal-hal yang sebenarnya tidak relevan.

Unsur metodis terakhir yang reduktif adalah kesinambungan historis. Unsur ini memiliki dua aspek, yaitu kesinambungan historis dalam objek penelitian sendiri dan kesinambungan historis objek lampau dan peneliti aktual (Bakker & Zubair, 1990, pp. 47–48). Pada aspek pertama, unsur metodis ini kembali mengasumsikan objek penelitiannya adalah manusia. Penelitian filsafat harus melihat “rangkaian kegiatan dan peristiwa dalam kehidupan setiap orang” serta memahami kesinambungan historisnya. Pada aspek kedua, unsur metodis ini menjelaskan hubungan antara peneliti yang hidup sekarang dan objek penelitiannya yang ada di masa lampau. Selain mengasumsikan bahwa objek filsafat pasti berada di masa lalu, aspek ini sepenuhnya problem hermeneutis.

Aspek pertama jelas problematik mengingat, lagi-lagi, tidak semua objek penelitian filsafat adalah manusia. Konsep atau problem filsafat tentu juga memiliki sejarahnya masing-masing dan pasti terhubung secara historis dengan konsep atau problem lain. Namun, tidak semua penelitian filsafat adalah penelitian sejarah konsep atau pemikiran. Penelitian filsafat bisa dibangun tanpa harus menitikberatkan dirinya pada sejarah pemikiran. Ia bisa hanya berfokus pada pemecahan suatu problem atau problematisasi suatu pandangan. Aspek historis dari problem atau pandangan tersebut dapat diabaikan, sebab yang jadi target utama penelitian hanyalah kontennya.

Berdasarkan tiga unsur tersebut, saya menduga jangan-jangan buku ini disusun dengan asumsi bahwa semua penelitian filsafat adalah penelitian sejarah pemikiran. Karenanya, ia kemudian memunculkan interpretasi, holistika, dan kesinambungan historis—yang ketiganya mengandaikan objek penelitian filsafat adalah (pemikiran) manusia yang berpikir rasional dan hidup berkelindan dengan hal lain dalam satu rantai perkembangan historis. Dengan kata lain, buku ini mereduksi penelitian filsafat pada penelitian sejarah filsafat. 

Menuju Metode Inklusif dan Non-Reduktif

Karena preskripsi metodologis dalam buku MPF ini tidak mengakomodasi keragaman dan keluasan penelitian filsafat, dan malah mereduksi filsafat pada sejarah filsafat, maka kita memerlukan buku panduan alternatif yang lebih inklusif dan tidak reduktif. Saya membayangkan buku alternatif itu nanti dapat disusun dengan kerangka kerja seperti berikut:

Penelitian filsafat, lebih tepatnya: penelitian yang dapat dilakukan di bawah payung Jurusan, Departemen, atau Fakultas Filsafat, secara umum dapat dibagi dua: penelitian sejarah filsafat dan penelitian problem filsafat. Meneliti sejarah filsafat berarti meneliti masa lalu filsafat. Di sini kita berusaha menyingkap aspek historis dari para filsuf dan pandangan-pandangannya. Misalnya, soal keterpengaruhan satu filsuf oleh filsuf lain atau soal perkembangan satu pandangan dari masa ke masa. Dari penelitian semacam ini, akan lahir para ahli tentang tokoh/mazhab tertentu atau ahli filsafat pada periode/wilayah tertentu. Semisal, ada ahli Plato, ahli Spinoza, ahli Hegel, ahli Kant, ahli Husserl, dan ahli Heidegger. Ada juga ahli filsafat Yunani kuno, ahli filsafat modern, ahli filsafat India, dan ahli filsafat Nusantara.

Penelitian problem filsafat dapat dibagi lagi menjadi dua, yaitu problem teoretis dan problem praktis. Yang pertama melahirkan filsafat murni, sedangkan yang kedua melahirkan filsafat terapan. Dalam kerangka filsafat murni, kita dapat meneliti sejumlah problem teoretis dalam filsafat. Misalnya, Apakah problem sulit kesadaran itu memang benar-benar problem atau hanya pseudo-problem? Apakah keberuntungan epistemik, seperti tebakan yang benar, sama sekali tak dapat disebut pengetahuan? Bagaimana menjelaskan pergantian teori dalam progres saintifik? Bagaimana menjelaskan problem fine-tuning dalam fisika teoretik?

Sebaliknya, dalam kerangka filsafat terapan, kita dapat meneliti sejumlah persoalan praktis yang biasa kita temui atau bahkan lakukan dalam kehidupan sehari-hari. Semisal, apakah terjustifikasi secara epistemik untuk memercayai sebuah berita politik dari media yang secara terbuka menyatakan preferensi politiknya? Apakah penularan virus Covid-19 oleh seseorang yang menyebabkan orang yang tertular meninggal termasuk tindakan pembunuhan? Apakah menghalangi orang yang hendak bunuh diri termasuk tindakan penyelamatan atau pembatasan? Apakah secara moral benar mematuhi hukum yang merugikan sekelompok orang?

Dengan kerangka kerja yang mengakui keanekaragaman penelitian filsafat, kita dapat menyusun metodologi yang lebih inklusif dan tidak reduktif. Selain itu, terlepas dari perdebatan apakah sejarah filsafat termasuk bidang filsafat atau bidang sejarah, kita akui saja bahwa sejarah filsafat adalah bidang yang dapat diajarkan dan diselidiki di bawah payung institusional Jurusan, Departemen, atau Fakultas Filsafat. Selain karena memang pada praktiknya banyak yang demikian, hal itu juga karena filsafat dan sejarah filsafat tidak dapat dipisahkan meskipun keduanya dapat dan perlu dibedakan. Antara filsafat dan sejarah filsafat terjalin hubungan resiprokal: filsuf yang berfilsafat membuat sejarah filsafat mengalami perkembangan dan, sebaliknya, sejarawan filsafat yang meneliti masa lalu filsafat dapat menyediakan banyak sumber berharga bagi pekerjaan para filsuf.

Lalu seperti apa desain metodologis yang dapat ditawarkan oleh kerangka kerja di atas? Dengan mengakui bahwa penelitian filsafat bukan hanya penelitian sejarah filsafat, maka kita dapat menawarkan banyak pilihan unsur metodis. Misalnya, untuk metodologi penelitian sejarah filsafat, kita dapat menggunakan apa yang sudah ada dalam buku MPF ini. Metode dan pendekatan lain juga dapat ditambahkan dalam penelitian sejarah filsafat. 

Untuk penelitian problem filsafat, kita semestinya menggunakan metode-metode filsafat sebab di sini kita diminta untuk berfilsafat. Inti berfilsafat itu adalah berargumentasi, dan terdapat beragam cara dan gaya untuk melakukannya. Kita bisa berfilsafat dengan mengacu pada intuisi atau pandangan umum (common sense), dan bisa juga berfilsafat dengan melakukan analisis ataupun rekayasa konsep. Selain itu, kita juga bisa membangun atau mengevaluasi sebuah pandangan filosofis dengan mengacu pada temuan-temuan saintifik. Jika para ilmuwan melakukan eksperimen di dalam laboratorium, maka kita pun juga dapat melakukannya, meskipun hanya di dalam pikiran (thought experiment). Kita juga dapat memilih serta mengevaluasi sebuah pandangan filosofis berdasarkan kesederhanaan atau daya eksplanasinya.

Penutup

Filsuf itu seperti juru masak di sebuah restoran. Ia dapat memasak makanan dengan bahan  dan cara yang beragam. Namun, saat menyajikan makanan itu pada pembeli, ia tidak perlu menceritakan apa saja bahan yang digunakan dan bagaimana cara memasaknya. Cukup sajikan saja makanannya pada si pembeli, dan biarkan si pembeli yang akan menilai. Saat si pembeli itu mulai mencicip, mengunyah, dan kemudian menelan makanannya, ia akan tahu apakah makanan yang tersaji di depannya itu dimasak dengan cara direbus, dikukus, atau digoreng. Ia mungkin juga dapat menebak apa saja bahan-bahan yang digunakan untuk masakan tersebut.

Filsuf sebagai juru masak adalah orang yang memasak argumen atau pandangan filosofis menggunakan bahan-bahan dari pandangan umum, sains, agama, atau budaya. Bahan-bahan itu dapat dimasak dengan cara analisis konsep, rekayasa konsep, eksperimen pikiran, heuristika, dan lain sebagainya. Dan di Jurusan, Departemen, atau Fakultas Filsafat, seseorang semestinya tidak hanya dilatih sebagai pengulas, apalagi cuma pembeli, masakan tetapi juga sebagai pembuat masakan.

Mari memasak!


Daftar Referensi

Bakker, A., & Zubair, A. C. (1990). Metodologi Penelitian Filsafat. Penerbit Kanisius.

Kincaid, H. (1996). Philosophical Foundations of the Social Sciences: Analyzing Controversies in Social Research. Cambridge University Press.

Nahmias, E. (2007). Autonomous Agency and Social Psychology. In M. Marraffa, M. D. Caro, & F. Ferretti (Eds.), Cartographies of the Mind (pp. 169–185). Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/1-4020-5444-0_13

Nisbett, R. E., & Borgida, E. (1975). Attribution and the psychology of prediction. Journal of Personality and Social Psychology32(5), 932–943. https://doi.org/10.1037/0022-3514.32.5.932

Slovic, P., Fischhoff, B., & Lichtenstein, S. (1976). Cognitive Processes and Societal Risk Taking. In Decision Making and Change in Human Affairs (pp. 7–36). Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-94-010-1276-8_2

Tversky, A., & Kahneman, D. (1974). Judgment under Uncertainty: Heuristics and Biases. Science185(4157), 1124–1131. https://doi.org/10.1126/science.185.4157.1124

Bacaan Lainnya