Yang Terbaik dari Dua Dunia: Antara Realisme dan Antirealisme

Moh. Gema
Moh. Gema
Penulis adalah lulusan Fakultas Filsafat UGM yang memiliki minat fokus kajian dalam ranah metafisika dan filsafat sains

Perdebatan realisme-antirealisme dalam filsafat sains adalah mengenai realitas yang takteramati yang diposit oleh sains, bukan tentang pro atau anti sains. Misalnya positivisme logis, positivisme logis adalah aliran filsafat yang paling gencar dalam mempromosikan sains. Tapi meskipun positivisme logis pro-sains, positivisme logis adalah sebuah antirealisme karena tidak mempercayai realitas yang takteramati. Ketidakpercayaan terhadap realitas yang takteramati ini didasarkan pada ciri pemahaman positivisme logis yang empiristik dan anti-metafisika—bahwa realitas yang takteramati itu terlalu metafisik dan tidak dapat kita ketahui.

Distingsi antara realitas yang teramati  dan yang takteramati adalah mengenai hal-hal yang dalam kondisi tertentu dapat dicerap oleh indera tanpa bantuan alat tertentu dan hal-hal yang tidak dapat dicerap oleh indera. Penggunaan term ‘yang teramati’ dan ‘yang takteramati’ ini berbeda dari praktik ilmiah dalam sains itu sendiri. Dalam praktik ilmiah label ‘yang teramati’ biasa digunakan secara permisif pada apapun yang dapat ditempa oleh jenis kontak kausal tertentu, seperti menggunakan instrumen (contohnya mikroskop) untuk medeteksinya. Dalam disputasi realisme-antirealisme, yang teramati  adalah hal-hal yang dapat dicerap oleh indera tanpa mediasi apapun.[1] (Kriteria ini didasarkan pada klaim antirealis empirisme konstruktif yang digagas oleh Bas van Fraassen bahwa instrumen teknologis dibangun berdasarkan teori ilmiah tertentu (misalnya hukum-hukum ilmiah dan algoritma). Jadi jika pencerapan inderawi dimediasi oleh instrumen teknologis maka apa yang dicerap oleh indera tersebut telah selalu dimediasi oleh teori-teori tertentu.

Di satu sisi, realisme, secara metafisik berkomitmen pada realitas tersebut, dan di sisi lain, antirealisme, bersikap agnostik. Terdapat dua argumen yang secara substansial sama-sama kuat dalam perdebatan tersebut. Argumen utama dari realisme adalah argumen tanpa-keajaiban yang dirumuskan oleh Hilary Putnam. Argumen ini menyatakan bahwa realisme ilmiah adalah satu-satunya filsafat yang tidak membuat kesuksesan sains sebagai suatu keajaiban. Premis dari argumen ini adalah kesuksesan sains itu sendiri yang berhasil membuat deskripsi dan prediksi baik itu tentang realitas yang teramati maupun tentang realitas yang takteramati. Jika kesuksesan ini tidak benar atau hanya sebuah kebetulan maka kita dapat menyebut kesuksesan sains sebagai sebuah keajaiban yang begitu saja dapat membuat deskripsi dan prediksi akurat tentang dunia, maka dari itu kita harus percaya bahwa teori-teori ilmiah (secara aproksimatif) benar.  Argumen ini dapat dirumuskan sebagai berikut:

  • (P1) Sains sangat sukses (extremely successful).
  • (P2) Realisme ilmiah menyediakan sebuah eksplanasi yang baik untuk kesuksesan sains.
  • (P3) Kita harus percaya filsafat sains yang memberikan eksplanasi terbaik tentang sains.
  • (⸫) Kita harus mempercayai realisme ilmiah.

Dengan dukungan argumen tanpa-keajaiban ini kita dapat mempercayai eksistensi realitas yang takteramati yang digambarkan oleh sains, yaitu karena keyakinan (belief) kita bahwa teori-teori ilmiah adalah benar memerlukan keyakinan bahwa entitas-entitas yang dipostulasikan oleh teori ilmiah eksis.[2]

Selain kesuksesan sains antirealsime melihat fakta lain yaitu terdapat banyak pergantian teori dalam sejarah sains, Pergantian teori ini menjadi argumen bagi antirealisme. Pergantian teori merupakan fakta dalam sejarah sains. Banyak teori pada waktu t dipercayai sebagai teori yang benar namun pada t2 tidak. Bentuk penalaran induksi-meta pesimistik dapat dirumuskan sebagai berikut[3]:

  • (P1) Entitas a, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis p1, kemudian pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
  • (P2) Entitas b, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis p2, kemudian pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
  • (P3) Entitas c, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis p3, kemudian pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
  • (Pn) Entitas i, diusulkan sebagai fakta dalam periode historis pn, kemudian pada periode berikutnya telah disepakati tidak ada.
  • (⸫) Entitas yang diusulkan sebagai fakta saat ini akan ditunjukkan pada periode berikutnya bahwa entitas tersebut tidak ada.

Konsekuensi dari pergantian teori dalam sejarah sains ini adalah bahwa entitas yang takteramati, beserta properti dan prosesnya, yang sering dipostulatkan oleh sains sebagai dasar bagi fenomena empiris tidak dapat dipercaya. Antirealisme seperti empirisme konstruktif mengambil sikap empiris terhadap fakta yang disuguhkan oleh sejarah sains ini.[4] Menurut empirisme konstruktif kita dapat mendukung kesuksesan sains tanpa perlu mempercayai semua pengetahuan yang diproduksi oleh sains. Kita hanya perlu percaya pada teori-teori ilmiah yang adekuat secara empiris. Karakterisasi teori yang adekuat secara empiris adalah sebagai berikut: sebuah teori adalah adekuat secara empiris jika dan hanya jika apa yang dikatakan oleh teori tersebut tentang hal-hal dan peristiwa yang teramati benar.[5] Dari karakterisasi ini kita tidak perlu mempercayai hal-hal dan peristiwa yang tidak dapat diobservasi, kita hanya perlu mengambil sikap agnostik karena eksistensinya melampaui pengalaman kita. Selain itu antirealis juga dapat mengakomodasi inferensi pada eksplanasi terbaik sebagai inferensi pada adekuasi empirik dari eksplanasi terbaik (inference to the empirical adequacy of best explanation). Kita dapat mengakui bahwa sains membuat hipotesis tertentu ketika hendak menjelaskan sebuah fenomena tapi kita juga dapat menolak bahwa sains menyimpulkan kebenaran dari hipotesis ini. Dalam contoh inferensi pada eksplanasi terbaik tentang elektron, kita dapat menarik kesimpulan bahwa hipotesis elektron adekuat secara empiris, bukan bahwa elektron benar-benar eksis.[6]

Kita dapat melihat bahwa kedua argumen yang saling bertentangan ini sama-sama kuat. Akibat dari kedua argumen yang sama-sama kuat ini perdebatan dalam filsafat sains mengalami kemandekan. Dengan munculnya realisme struktural kemandekan itu dapat di atasi.

Realisme Struktural Epistemik

Pernyataan eksplisit pertama dari program strukturalis dalam filsafat sains dapat ditelusuri kembali hingga Henri Poincaré, Pierre Duhem, dan Bertrand Russell. Strukturalis lain atau filsuf yang-berorientasi-strukturalis diikuti oleh Arthur Eddington, Ernst Cassirer, Rudolph Carnap, Moritz Schick, W. V. Quine, dan Grover Maxwell. Dalam satu setengah dekade terakhir posisi tersebut telah dihidupkan kembali, direformulasi, dan dipertahankan oleh beberapa filsuf, di antaranya John Worrall, Elie Zahar, James Ladyman, Steven French, Michael Redhed, Otávio Bueno, Anjan Chakravartty, Tian Yu Cao, dan Bas van Fraassen. Beberapa di antara filsuf tersebut menggunakan pendekatan strukturalisme dalam filsafat sains untuk mengartikulasikan sebuah versi struktural dari realisme ilmiah yang kemudian melahirkan realisme struktural.

Secara kasar struktur dapat didefinisikan sebagai sistem relasi di antara beberapa sistem elemen. Dalam kehidupan sehari-hari misalnya ketika kita diminta untuk menggambarkan struktur sebuah bingkai gambar pada sebuah dinding. Untuk menggambarkannya kita dapat mendaftar bagian-bagian dari bingkai tersebut—kacanya, bagian pinggirnya, bagian belakangnya, penyekatnya—dan menggambarkan bagaimana bagian-bagian dari bingkai tersebut berhubungan satu sama lain—secara geometrik, oleh perekat, dan sebagainya. Strukturalisme fokus pada relasi-relasi dalam dirinya sendiri (relations themselves) dari pada sesuatu yang mendirikan relasi tersebut, yaitu relata.[7]

Definisi standar dari struktur sering menggunakan pembingkaian formal teori himpunan. Sebuah struktur S terdiri dari (a) sebuah himpunan non-kosong U dari objek, yang kadang disebut sebagai domain struktur, dan (b) sebuah himpunan non-kosong dari relasi (monadik dan/atau poliadik) yang didefinisikan pada U. Struktur ini sering ditulis sebagai sebuah sekuens teratur (ordered tuple): S=<UR>. Dua struktur, S1=<U1R1> dan S2=<U2R2>, adalah isomorpik jika dan hanya jika terdapat sebuah pemetaan satu-ke-satu (bijectivefU1→Usedemikian rupa mempertahan sistem relasi dari kedua struktur dalam artian berikut: untuk semua relasi r1 ∈ R1 ­dan r2 ∈  R2, elemen a1, . . ., an dari U1 memenuhi (satisfy) relasi r1 jika dan hanya jika berkorespondensi pada elemen b1=f(a1), . . ., bn=f(an) dalam U2 memenuhi r2, di mana r1 adalah relasi dalam R1 yang berkorespondensi pada r2 dalam R2 (yaitu memiliki indeks yang sama dalam himpunan terindeks R1 dan R2). Struktur yang didefinisikan ini juga mengacu pada ‘struktur abstrak’ untuk menekankan bahwa baik objek dalam domainnya maupun relasinya tidak memiliki konten material apapun. Berbeda dengan struktur abstrak, struktur konkret memiliki objek dan relasi yang diinterpretasi.[8] Contohnya struktur dengan domain U = {Ohang, Mokhsa} dan sebuah himpunan R yang hanya mengandung relasi = ‘menjadi ayah dari’.

Bagaimana struktur yang didefinisikan di atas bertalian dengan sains? Ingatlah bahwa dalam sains banyak pernyataan matematis yang menjadi sentral, misalnya fungsi, persamaan, hukum, simetri, asas-asas, pernyataan kararan bentuk, dan sebagainya. Pernyataan matematis ini dapat diekspresikan dalam struktur di atas. Ambillah hukum dan persamaan. Hukum ilmiah sering ditulis dalam persamaan matematis. Persamaan ini menentukan relasi dalam sebuah domain. Frigg dan Votsis memberikan contoh hukum Hooke.[9] Hukum Hooke adalah sebuah hukum fisika mengenai gaya yang terjadi karena sifat elastisitas dari sebuah pegas. Besarnya gaya Hooke secara proporsional akan berbanding lurus dengan jarak peregangannya (pergerakan pegas dari posisi normalnya). Persamaan matematis dari hukum Hooke ini dapat dirumuskan sebagai F= ks, di mana adalah gaya (force), adalah konstanta pegas, dan s adalah peregangan. Persamaan ini melibatkan dua kuantitas yang dapat memiliki nilai riil, jadi domain strukturnya adalah bidang riil R2. Relasi yang didefinisikan oleh persamaan tersebut adalah r={(xy): y= –kx}, yaitu himpunan semua sekuens (xy) ∈ R2  demikian rupa adalah sama dengan –kx. Jika R adalah himpunan yang (hanya) mengandung relasi r, maka S=<RR> adalah struktur yang didefinisikan oleh F= –ks.

Dalam struktur hukum Hooke di atas kita juga dapat menemukan ‘karakter material’ dari term asalnya dalam persamaan: peregangan s menjadi bilangan riil x dan gaya F menjadi bilangan riil y. Tapi di dalam struktur di atas tidak ada yang bergantung pada x menjadi peregangan dan tidak ada yang bergantung pada y menjadi gaya dari sebuah pegas; faktanya, kita dapat menginterpretasikan x dan y secara berbeda dan tidak ada yang berubah dalam strukturnya sendiri, sama halnya seperti tidak ada yang bergantung pada relasinya “menjadi ayah dari” dalam contoh struktur konkret di atas. Jika persamaannya menjadi semakin kompleks (banyak hukum fisika yang merupakan persamaan diferensial) maka struktur yang dispesifikasi oleh persamaan menjadi semakin kompleks pula. Tapi ide dasar dari koneksi di antara struktur dan persamaan tetap sama.

Setelah mengetahui bagaimana peran struktur dalam sains mari kita beralih ke pembahasan realisme struktural dalam disputasi realisme-antirealisme dalam filsafat sains kontemporer. Realisme struktural adalah sebuah pandangan dalam filsafat sains yang sejauh teori-teori ilmiah (yang sukses secara prediktif, dewasa, non-ad hoc, dan sebagainya) memberikan deskripsi yang benar secara aproksimatif tentang realitas yang independen, teori tersebut tidak memberitahu kita tentang naturnya, atau lebih spesifiknya natur dari bagian yang takteramati, melainkan strukturnya. Dengan menyokong klaim tentang struktur tertentu, realisme struktural secara umum skeptik tentang natur dari entitas yang diajukan oleh teori ilmiah. Meskipun demikian karena pandangan ini adalah realisme maka realisme struktural menyokong pengetahuan struktur yang takteramati.[10]

Dalam literatur kontemporer realisme struktural tergolong menjadi dua varian yaitu realisme struktural epistemik dan realisme struktural ontik, yang dapat diekspresikan secara singkat dalam bentuk slogan berikut:

  • Realisme struktural epistemik: semua yang kita ketahui adalah struktur.
  • Realisme struktural ontik: semua yang ada, adalah struktur.

Dalam artikel ini saya hanya akan membahas realisme struktural epistemik. Realisme struktural epistemikk memperkenankan eksistensi entitas ‘yang tersembunyi’ di balik strukturnya, yang natur ontik entitas tersebut tidak dapat kita ketahui.

Realisme struktural epistemik pertama kali diintrodusir oleh John Worrall (1989) meskipun dia mengakuinya sendiri bahwa realisme struktural epistemik pertama kali diformulasikan oleh Henri Poincaré. Introduksi realisme struktural ke dalam filsafat sains ini Worrall lakukan untuk mengatasi perdebatan argumen tanpa-keajaibannya realisme ilmiah dan induksi-meta pesimistik-nya antirealisme. Dari usahanya tersebut Worrall mengajukan yang terbaik dari dua dunia’ sebagai solusi atas kebuntuan dari disputasi realisme-antirealisme, yaitu realisme struktural. Maksud dari ‘yang terbaik dari kedua dunia’ adalah bahwa realisme struktural merupakan filsafat sains yang (a) mampu menghindari serangan induksi-meta pesimistik dengan tidak berkomitmen (commiting) pada entitas yang takteramati yang diajukan oleh teori-teori ilmiah, dan (b) tidak membuat kesuksesan sains (terutama prediksi baru dari teori-teori fisikal yang dewasa) menjadi seperti sebuah keajaiban dengan berkomitmen pada klaim bahwa struktur teori bertahan melalui pergantian teori.[11]

Untuk sampai pada kesimpulan ini Worrall menggunakan kasus transisi dalam teori optik abad ke-19 Fresnel tentang eter ke teori medan elektromagnetiknya Maxwell. Kasus ini juga sebelumnya dijadikan contoh oleh Poincaré sebagai reaksi terhadap induksi-meta pesimistik: teori T1 digantikan oleh teori T2, dan T2 digantikan oleh T3, dan seterusnya, entitas yang dipostulatkan oleh T1 digantikan oleh entitas yang berbeda yang dipostulatkan oleh teori yang selanjutnya (contohnya eter diganti oleh medan elektromagnetik); tapi persamaan dasarnya (yaitu persamaannya Maxwell), yang menangkap struktur yang mendasari sesuatu (things) bertahan dan benar secara aproksimatif.[12] Worrall meneliti transisi teori eter-elektromagnetik ini dengan detil sehingga mendapatkan struktur yang dimaksud.

Untuk mengilustrasikan penelitian Worrall kita akan memulainya dari abad ke-18, mengikuti Newton, bahwa cahaya adalah sesuatu yang sama dengan sebuah pancaran partikel yang takteramati. Pada awal abad berikutnya ontologi ini ditolak dengan beralih pada pemikiran bahwa cahaya adalah jenis tertentu dari gerak yang bergetar melalui eter bercahaya. Pandangan yang diajukan oleh Fresnel ini kemudian ditolak oleh Maxwell dan digantikan oleh pemikiran bahwa cahaya adalah sebuah rentetan perubahan mirip-gelombang (wave-like) dalam gelombang elektromagnetik; yaitu getaran elektrik dan vektor medan magnetik. Ontologi ini berbeda; sebuah getaran mekanik dan (pemindahan) elektrik yang beredar adalah jenis yang berbeda secara radikal.[13] Dan pada abad ke-20 terdapat beberapa yang memandang bahwa cahaya menunjukkan sebuah dualitas partikel-gelombang yang problematik, atau pandangan bahwa cahaya adalah sebuah berkas foton, yang dalam kasus keduanya mematuhi mekanika yang sangat berbeda dari pancaran ontologi partikel optik abad ke-18. Meskipun sering dikatakan terdapat perubahan revolusioner pada tingkat ontologi fundamental dari teori, tetapi juga terdapat akumulasi pada tingkat fenomenal yang mana adanya peningkatan hukum-yang-sama (law-like) yang menangkap fenomena cahaya dari mulai refleksi, refraksi, interferensi dan difraksi, polarisasi, efek elektrik dan magnetik, efek fotoelektrik, dan seterusnya. Meskipun tidak terdapat ontologi objek yang tetap karar dengan pergantian teori, tapi terdapat kararan persamaan: yaitu dengan dipertahankan sedemikian rupa atau diinkorporasikan ke dalam persamaan yang lebih umum.[14]

Peristiwa historis singkat ini diambil oleh Worrall sebagai kasus di mana persamaan matematisnya bertahan melalui pergantian teori. Pertimbangkan sebuah pancaran cahaya yang terefleksi dan terefraksi ketika melewati satu medium ke medium lainnya, katakanlah dari udara ke cermin. Tentang kasus ini Worrall mengatakan[15]:

Ordinary unpolarised light can be analysed into two components: one polarized in the plane of incidence [the plane containing the incident, reflected, and refracted beams], the other polarized at right angles to it. Let I, R and X be the intensities of the components polarised in the plane of incidence of the incident,  reflected and refracted beams respectively; while I’, R’, and X’ are components polarized at right angles to the plane of incidence. Finally, let i and r be the angles made by the incident and refracted beams with the normal to a plane, reflecting surface. Fresnel’s equations state:

  • R/I = tan (i-r)/tan (i+r)
  • R’/I’ = sin (i-r)/sin (i+r)
  • X/I = (2sin r.cos i)(sin (i+r)cos (i-r))
  • X’/I’ = 2sin r.cos i)/sin (i+r)

Mari kita sebut keempat persamaan Fresnel ini sebagai persamaan-F dan properti (kerapkali relasional) sudut refleksi dan refraksi, intensitas, dan seterusnya, sebagai properti-F. Secara lebih eksplisit, persamaan-F dan properti-F adalah fungsi dari 8 variabel berikut yang dapat ditulis sebagai ‘F(R, R’, I, I’, X, X’, i, r)’. Begitu juga intensitas I, R dan X adalah akar kuadrat dari besaran amplitudo dari gelombang yang mengonstitusi getaran. Meskipun besarannya terhubung dalam cara langsung, intensitas dan amplitudo adalah properti yang berbeda, dan harus diperlakukan secara demikian. Lebih besar getarannya (Fresnel berpikir bahwa yang bergetar tersebut adalah eter), maka lebih besar intensitas dari cahayanya.[16] Jadi persamaan di atas dapat dipahami untuk merepresentasikan rasio intensitas, atau rasio amplitudo dari ‘apapun-itu’ yang bergetar.

Worrall memberitahu kita perbedaan antara Fresnel dan Maxwell tentang apa yang bergetar[17]:

“Fresnel developed these equations on the basis of the following picture of light. Light concist of vibrations transmitted through a mechanical medium. These vibrations occur at right angles to the direction of transmission of light through the medium. . . . From the vintage point of Maxwell,s theory as eventually accepted this account, to repeat, is entirely wrong. How could it be anything else when there is no elastic ether to do any vibrating? Nonetheless from this vantage point, Fresnel’s theory has exactly the right structure—it’s ‘just’ that what vibrates according to Maxwell’s theory, are the electric and magnetic field strengths. And if we in fact interpret I, R, X, etc. as the amplitudes of the ‘vibration’ of relevant electric vectores, then Fresnel’s equations are directly and fully entailed by Maxwell’s theory.”

‘Sesuatu’ yang bergetar menurut Fresnel adalah medium mekanis, tapi ‘sesuatu’ yang bergetar menurut Maxwell adalah medan elektrik dan magnetik yang diekspresikan sebagai vektor. Tapi keduanya setuju bahwa terdapat intensitas, dan maka dari itu sebuah amplitudo, untuk ‘sesuatu’ yang bergetar tersebut. Tapi ‘sesuatu’ yang dikatakan oleh mereka berdua sangatlah berbeda. Dan pada permukaannya benar; medium mekanis yang elastis tidak mirip sebuah vektor medan yang bergetar.  Kedua ‘sesuatu’ yang sangat berbeda ini terletak pada inti model tentang cahaya yang berbeda. Jika ontologi kita berorientasi objek maka di sinilah, perbedaan ontologi muncul. Dan dapat dikatakan bahwa sekuensi teori cahaya tidak memiliki kontinuitas pada tingkatan ontologi ‘sesuatu’.

Tapi model Maxell mengandung properti-F dan persamaan Maxwell membawa persamaan-F. Apa yang kita hadapi di sini adalah sebuah sinar teramati dari cahaya (sesuatu) yang melwati satu medium ke medium lainnya, yang menimbulkan sinar yang terefleksi dan terefraksi; dan sama halnya untuk cahaya yang terpolarisasi pada sudut kiri. Tentang sinar cahaya ini dapat kita spesifikasi (1) sudut insidensi dan refraksi, (2) rasio intensitas (pada sebelah kiri persamaan), atau yang berjumlah sama, rasio amplitudo dari ‘sesuatu’ yang bergetar, (3) himpunan empat persamaan yang mengatur propertinya (yaitu (amplitudo) sudut dan intensitas) yang tidak dapat berubah secara independen dan dibatasi seturut dengan persamaannya.[18] Menurut Worrall kita dapat mengesampingkan pembicaraan tentang ‘sesuatu, yang tidak kita ketahui apa’ dan tidak perlu berkomitmen terhadap ontologi ‘sesuatu’ tersebut. Jika memang terdapat kontinuitas dalam sejarah sains maka bukan ontologi objek yang diposit oleh teori, tapi struktur matematis. Dalam kasus transisi dari persamaannya Fresnel ke persamaannya Maxwell terdapat kesamaan struktur matematis yang bertahan.

Worrall, dengan berangkat dari penelitian mendetail kasus transisi dalam sejarah sains, menyarankan bahwa kita tidak seharunya menerima realisme ilmiah secara keseluruhan, yang menegaskan bahwa natur sesuatu digambarkan dengan benar oleh konten metafisik dan fisik dari teori terbaik. Lebih baik kita mengadopsi realisme struktural yang menekankan pada konten matematis atau struktural dari teori. Alur penalaran Worrall ini dapat kita sebut sebagai jalan menurun, yaitu dengan mengambil titik berangkat dari teori-teori ilmiah aktual dan membuktikan bahwa ketika kita mengupas elemen non-strukturalnya kita dapat meraih pengetahuan ilmiah yang benar pada tingkat dasar. Titik berangkat Worrall tersebut disertai dengan premis realis, bahwa terdapat dunia yang independen dan dapat kita ketahui, untuk kemudian membangun posisi realis yang lebih lemah, bahwa yang dapat kita ketahui hanyalah struktur dunia.[19]

Argumen Worrall untuk realisme strukturalnya dapat dirumuskan sebagai berikut[20]:

  • (P1) Hanya dua elemen teori yang bertahan melalui pergantian teori: (a) formulasi matematis teori, bukan hanya teori yang secara eksplisit termatematisasi tapi juga teori yang dapat diberi formulasi matematis, dan (b) interpretasi empiris dari term yang diajukan teori.
  • (P2) Formulasi matematis sebuah teori mengkodekan struktur domain target teori.
  • (P3) Preservasi elemen adalah penunjuk reliabel pada (aproksimasi) kebenaran.
  • (P4) Non-preservasi elemen adalah penunjuk reliabel pada (aproksimasi) kesalahan.
  • (⸫) Preservasi elemen struktural melalui pergantian teori adalah sebuah penunjuk reliabel dari (aproksimasi) kebenaran. Non-preservasi elemen non-struktural adalah sebuah penunjuk reliabel pada (aproksimasi) kesalahan.

Kasus yang diangkat Worrall hanyalah salah-satu kasus dari beberapa kasus yang dapat kita temukan dalam sejarah sains. Saunders (1993) memberikan beberapa contoh untuk suplementasi kasus yang diangkat Worrall dan menunjukkan kesamaan struktur yang dimiliki oleh astronomi Ptolemic dan Copernican. Presentasi Friedman (1983) dari struktur teori ruang Newtonian dan teori ruang-waktu relativistik menunjukkan adanya kontinuitas dalam beberapa hal tertentu. Penggunaan asas korespondensi dalam pengembangan mekanika kuantum memberi kita contoh kontinuitas struktural. Contohnya operator Hamiltonian yang digunakan dalam mekanika kuantum untuk sistem seperti sebuah osilator selaras yang sederhana atau sebuah partikel yang tunduk pada potensi Coulumb merupakan dari bentuk yang sama seperti rekan klasiknya (perbedaannya terletak pada pengutamaan operator Hermitian yang tepat daripada variabelnya yang merepresentasikan nilai kuantitas dari posisi dan momentum secara klasik). Selain itu juga terdapat analogi yang signifikan antara relasi operator komutasi  kuantum dan akolade Poisson klasik yang dikembangkan oleh Paul Dirac. Lagi-lagi terdapat sebuah bentuk matematis bersama. Contoh lainnya adalah persamaan yang dikenal sebagai teorema Ehrenfest, yaitu F(〈r〉) = md2〈r〉/dt2. Persamaan ini menunjukkan kontinuitas antara mekanika klasik dan mekanika kuantum; persamaan ini memiliki bentuk yang mirip dengan persamaan F = ma. Tapi persamaan kuantum memiliki nilai ekspektasi dari operator Hermitian, sedangkan persamaan klasik mengutamakan variabel riil yang kontinu. Tentu saja kontinuitas ini adalah kontinuitas struktural, di mana relasinya bertahan tapi tidak dengan relata dan tipe logisnya. Kasus lainnya lagi adalah transisi dari mekanika klasik ke mekanika relativistik khusus di mana massa ditransformasi ke massa relativistik, dan maka dari itu berubah dari sebuah properti objek yang sederhana menjadi sebuah relasi di antara properti massa diam sederhana, relasi dua-tempat kecepatan cahaya, dan tiga-tempat relasi kecepatan relatif. Tapi, ekstensi dari teori klasik tidak sama dengan penggantinya.[21] Untuk menyebut lagi beberapa contoh kasus lainnya adalah korespondensi antara Relativitas Khusus dan mekanika klasik yang dijelaskan oleh Brown (1993), kontinuitas struktural dalam deskripsi elektron didiskusikan oleh Bain dan Norton (2001), dan hubungan antara elektrodinamik Maxwellian dan Elektrodinamika Kuantum dipertimbangkan oleh Holgar Lyre (2004) sebagai perluasan contohnya Worrall.

Catatan akhir

[1] Lih. Anjan Chakravartty, 2007, A Metaphysics for Scientific Realism, Cambridge University Press, Cambridge. Hal. 14.

[2] Lih. Timothy D. Lyons dan Steve Clarke, 2002, “Introduction: Scientific Realism and Commonsense” dalam Steve Clarke dan Timothy D. Lyons (ed.), 2002, Recent Themes in the Philosophy of Science, Springer Science+Business Media, Dordrecht. Hal. Xi.

[3] Lih. Steven French, 2014, The Structure of the World, Oxford University Press, Oxford, hal. 2.

[4] Lih. Ernan McMullin, 2007, “Taking an Empirical Stance” dalam Bradley Monton (ed.) Images of Empiricism, Oxford University Press, Oxford.

[5] Lih. Bradley Monton, 2007, Images of Empiricism, Oxford University Press, Oxford, hal. 2.

[6] Lih. Bas van Fraassen, 1980. The Scientific Image, Oxford University Press, Oxford, hal. 20-21.

[7] Loc.Cit. Anjan Chakravartty, Hal. 35.

[8] Lih. Roman Frigg dan Ioannis Votsis, 2011, “Everything You Always Wanted to Know About Structural Realism but were Afraid to Ask” dalam European Journal for Philosophy of Science, Vol. 1, Hal. 229. Bdk. juga Ioannis Votsis, 2012, “How Not to Be a Realist” dalam Eleanie M. Landry dan Dean P. Rickles (ed.), Structural Realism, Springer, London, Newyork.

[9] Lih. Ibid., Hal. 230.

[10] Loc.Cit. Anjan Chakravartty, hal. 34.

[11] Lij. James Ladyman, 1998, “What is Structural Realism?” dalam Study of History and Philosopohy of Science, vol. 29, no, 3, hal. 409-410

[12] Lih. Henry Poincaré, 1952, Science and Hypothesis, Dover Publication, New York, hal. 160-162

[13] Lih. John Worrall, 1989, “Structural Realism: the Best of Both Worlds?” dalam Dialectita, 43, hal. 108.

[14] Lih. Robert Nola, 2006, “The Metaphysics of Realism and Structural Realism” dalam C. Cheyne dan J. Worral (ed.), Rationality and Reality, Springer, Netherland, hal. 212.

[15] Op.Cit., hal. 119.

[16] Op.Cit., hal. 213.

[17] Op.Cit., hal. 119.

[18] Op.Cit., hal. 214.

[19] Loc.Cit. Roman Frigg dan Ioannis Votsis, hal. 240-241.

[20] Ibid., hal. 243.

[21] Loc.Cit., James Ladyman, hal. 414-415.

*Tulisan ini pertamakali dimuat di blog pribadi penulis 10 Maret 2020 dan dipublikasikan ulang atas seizin penulis.

Bacaan Lainnya