Tesis Pertama
1.1. Perjuangan yang hanya melihat masalah eksistensial (nonmaterial), telah menyeret feminisme menuju kemunduran yang tidak tanggung-tanggung. Gagasan tersebut akan bermuara pada distingsi antara masalah material dan nonmaterial. Kapitalisme dan patriarki dipandang sebagai dua masalah yang tidak bersilangan. Sedangkan, dalam relasi kepentingan antara kedua masalah tersebut, terdapat potensi stratifikasi: perjuangan pekerja ditempatkan pada tingkat yang lebih mendasar dari perjuangan perempuan. Bentuk paling rendah dalam segregasi tersebut adalah yang dapat kita temui dalam Feminisme Marxis, yakni asumsi bahwasannya perempuan yang menderita dalam borjuasi harus menunggu pembebasan—yang baru dapat dilakukan—setelah suksesnya penggulingan sistem kapitalistik.
Pengerdilan tersebut dapat terjadi akibat kegagalan dalam melihat (kebutaan) kapitalisme dan patriarki sebagai dimensi yang eksis bersamaan dan berdiferensiasi. Untuk menguraikannya, kapitalisme dan patriarki haruslah dipandang sebagai entitas yang berada dalam domain realitas, alih-alih sebatas fenomena atau ide, sehingga berlaku apa yang dimaktubkan oleh Baudrillard: dunia tidak memiliki cukup ruang bagi realitas yang ekuivalen, ganda, atau representatif (Baudrillard, 2012). Kedua kausal tersebut hanya berdiri dalam suatu bidang dua dimensi yang saling mengacu dan tidak dapat berdiri sendiri—karena tidak tercipta dari suatu acuan yang meta dan tunggal. Oleh sebab itu, dalam memproses keduanya, segala pernyataan bahwa opresi terhadap perempuan berada di bawah opresi terhadap pekerja, adalah suatu kemustahilan; realitas dalam lembaran dua dimensi tersebut tidak dapat bertumpuk.
Teori sistem ganda (dual system theory) adalah yang paling mampu mempertahankan tuntutan perempuan. Segala bentuk perjuangan yang bertujuan untuk mengubah cara produksi semata, tidak dapat dipandang sebagai gerakan Feminisme Sosialis.
1.2. Sebaliknya, perjuangan yang hanya melihat masalah sosial (material), juga menyeret feminisme dalam kemunduran yang tidak tanggung-tanggung.
Apa yang diperjuangkan oleh gerakan feminis tidak terbatas dalam melawan marginalisasi—yang dimanifestasikan—pada pembatasan akses perempuan terhadap sumber-sumber ekonomi yang krusial. Perlu disadari bahwa friksi antara laki-laki dan perempuan juga terjadi dalam lingkup kecil, patriarki juga dapat muncul di kamar-kamar paling intim yang terbungkus oleh kelambu tidur: pengerdilan dengan menghalangi kontrol perempuan pada seksualitas dan kapasitas reproduksinya.
Masalah terbesar bagi subtesis ini adalah segala bentuk pernyataan yang menegasikan status nonmaterial dari seksualitas dan peristiwa biososial lainnya. Menyamaratakan musuh-musuh feminisme sebagai hanya-material, berarti berkompromi dengan perjuangan yang tidak komprehensif. Oleh karena itu, seksualitas dalam diskursus feminisme sosialis tidak boleh dibatasi hanya pada konsep pour-soi (being-for-itself) dan en-soi (being-in-itself), karena berpotensi menurunkan derajatnya sebagai kajian yang nontologis; dengan demikian menjadi material, seperti yang dilakukan oleh Heidegger dengan label dasein-nya.
Merengkuh gagasan Sartre, seksualitas harus dikembalikan kepada strukturnya yang ada bagi orang lain, di luar dirinya yang eksis begitu saja, atau mit-sein (being-for-others), selayaknya biososial dipandang sebagai relasi antara seksualitas dengan yang lain—dalam hal ini, lingkungan sosial—serta pembuktian Sartre bahwasanya (1) hasrat dan kejijikan seksual selalu terarah (memiliki tujuan); dan (2) hasrat selalu berada dalam kondisi yang melampaui keberadaan organ seksual, sehingga anak-anak mampu merasakan dorongan hasrat sebelum matang secara fisiologis, sementara orang tua yang sudah tidak fertil tetap mampu memiliki hasrat (Sartre, 2003).
Tesis Kedua
2.1. Seksualitas, yang bersifat ontologis, harus dipandang sebagai suatu nilai yang tunggal dan tidak reflektif. Dikaitkannya seksualitas dengan tindakan seksual (tindakan dari subjek yang memiliki seks) mengakibatkan adisi nilai—dalam bentuk pengetahuan kognitif maupun kultural—di luar eksistensinya; sedang segala bentuk adisinilai pada seksualitas akan berdiri dengan mencurangi klaim utama eksistensialisme, bahwasanya eksistensi mendahului esensi (l’existence précède l’essence). Pengetahuan kognitif atas suatu subjek hanya dapat dilakukan setelah subjek tersebut eksis dan berkiprah, serta sama sekali tidak determinan.
Pada adisi tersebut, klaim Heidi Hartmann mengenai ketidaksetaraan dalam relasi antara feminisme dan marxisme adalah sepenuhnya benar (Hartmann, 1979). Dalam kondisi apa pun, pekerja perempuan yang telah mendapatkan adisi nilai berada dalam posisi yang tidak menguntungkan: tidak dipandang pantas untuk bekerja, sebab diimbuhi dengan nilai-nilai maternal—perempuan yang baik haruslah yang beroperasi pada wilayah kerja domestik, dengan mengurus anak—sementara, apabila bekerja akan dihargai rendah, karena dipandang lebih inkompeten dibanding pekerja laki-laki (adisi nilai negatif).
Konsep pembagian kerja hanyalah aksi memilih satu dari dua klaim Hartmann. Membagi pekerjaan dalam dikotomi kasar, yakni publik (untuk laki-laki) dan domestik (untuk perempuan) atau publik seluruhnya, tetapi dilakukan sembari mengerdilkan peran perempuan pekerja; menempatkan kelompok perempuan dalam jabatan dan upah kerja minor. Persetujuan atas konsep ini adalah bentuk pengabaian terhadap dominasi sistemis laki-laki di atas perempuan, yang dapat berdiri sebagai faktor diskriminatif di luar eksploitasi perempuan oleh kapitalisme.
2.2. Kesalahan terbesar feminisme sosialis Iris Young adalah mengglorifikasi realitas patriarki sebagai kapitalisme sepanjang masa (Sargent, 1981), sehingga feminisme sosialis menjadi teori tunggal yang sepenuhnya dapat menjelaskan patriarki yang bias gender. Dileburkannya patriarki dalam bingkai besar kapitalisme tersebut membawa dua konsekuensi yang merugikan.
Pertama, akan mereduksi perjuangan kelompok feminis dari perlawanan biososial dan nonmaterial, sebab segala bentuk diskriminasi terhadap perempuan—secara tidak langsung—hanya dapat dilihat dari kacamata pekerja. Kedua, mencerabut kembali kapitalisme dari tataran realitas menjadi sebatas ide, sehingga proses genealogisnya juga turut dipersempit, hanya dapat dilakukan dalam temporalitas sumbu maju dan mundur: masa prakapitalisme dan pascakapitalisme.
Kapitalisme dan patriarki tetap harus dipandang sebagai dua ancaman yang bertemu dalam titik kompromi, seperti yang dicetuskan oleh Hartmann, sehingga perjuangan dalam pertentangan kelas yang—ternyata—dijumpai tidak bias gender tidak lantas dipandang nirguna dan harus digantikan oleh pembagian kerja antara laki-laki dan perempuan. Toh, pembagian kerja juga sama terkutuknya. Oleh agenda kapitalistik, ia sarat akan eksploitasi perempuan dalam kerja domestik untuk mendapatkan tenaga kerja: anak-anak yang dibujuk rayu untuk memasuki dunia kerja dengan upah rendah.
Walaupun tidak serta-merta mendukung konsep pembagian kerja, menempatkan pembagian kerja sebagai analisis termutakhir, di atas pembagian kelas, tetap mencederai perjuangan dengan kompromi atas adisi nilai keluarga dan peran reproduksi seksual dari perempuan, yang menjadi perhitungan tambahan di luar esensi seksualnya (bandingkan dengan bagian pertama dari tesis kedua).
Tesis Ketiga
3.1. Pokok dari gerakan feminisme yang menekankan perempuan sebagai pelaku transformasi sosial—alih-alih berduka atas diskriminasi, sembari duduk menunggu pertolongan—hanya dapat dicapai melalui perjuangan individual: merengkuh kesadaran bagi setiap anggota gerakan perempuan untuk memanifestasikan eksistensi dirinya.
Dalam mewujudkan manifestasi individual, feminisme sosialis yang menggantungkan diri dalam agenda revolusi besar-besaran mungkin akan berkontradiksi dengan feminisme eksistensialis. Dalam mensintesiskan dua ketegangan tersebut, feminisme sosialis dapat ditempatkan sebagai antitesis dari feminisme eksistensialis, sehingga sintesis yang diperoleh adalah strategi penegasan eksistensi perempuan melalui aktualisasi diri sepenuhnya pada ranah publik.
Pada strategi tersebut, apa yang diusulkan oleh Simone de Beauvoir dalam atributnya mengenai kesetaraan antara perempuan dan laki-laki adalah benar sepenuhnya: (1) perempuan harus melakukan kerja, untuk mengembangkan diri; (2) perempuan harus menjadi seorang intelektual; serta (3) perempuan harus menolak subordinasi dan menjadi agen transformasi sosial (Beauvoir, 2011).
3.2. Aksi Beauvoir dalam membongkar kejahatan patriarki melalui pendefinisian perempuan sebagai Sang Liyan juga dapat dipandang benar, sejauh dipahami sebagai perjuangan gerakan perempuan untuk masuk ke dalam ranah publik. Selain itu, keyakinan bahwa bentuk penundukan atau subordinasi Sang Liyan, oleh Sang Diri (laki-laki), karena adanya sensasi ancaman haruslah dipandang sebagai warisan gerakan eksistensial dan psikoanalisa yang berarti—sejauh tidak dapat ditelaah lebih jauh secara materialistik.
Namun, bagaimana Beauvoir, dengan membabi-buta, memberi label subordinatif pada setiap relasi antara perempuan dan laki-laki, tidak dapat dipandang holistik—sekaligus benar. Kritik Beauvoir yang mengantagoniskan esensi kewanitaan secara terus-menerus akan membuat gerakan berada dalam stagnasi abadi: kerja domestik adalah suatu perbudakan, sementara perempuan dengan kerja publik tetap dianggap berada dalam kondisi terkutuk, karena harus melangsungkan tugas-tugas profesional di samping memberi ruang untuk memenuhi tuntutan masyarakat akan sifat feminin; misalnya, berpenampilan menarik dan menyenangkan.
Upaya untuk memaknai kritik Beauvoir dalam irisannya dengan feminisme sosialis, paling baik dilakukan melalui dekonstruksi makna, sehingga diperoleh pemahaman bahwa masalah terbesar pada esensi perempuan justru terletak dalam pendefinisian yang telah melewati proses konseptualisasi dan penambahan nilai; singkatnya adisi nilai (bandingkan dengan bagian pertama dari tesis kedua). Adisi nilai tersebut menyebabkan perempuan gagal memanifestasikan diri secara utuh, di mana pun ia berada. Esensi perempuan yang terikat dengan adisi nilai maternitas dan kekeluargaan akan berakhir dengan individu yang hanya bekerja dalam sektor domestik, sementara yang bekerja dalam sektor publik juga dipersulit oleh jeratan adisi nilai feminin.
3.3. Konsekuensi dari dimaktubkannya bagian pertama dari tesis ketiga adalah keharusan bagi gerakan perempuan untuk membentuk satuan budaya dengan rasa kepemilikan (sense of belonging) kolektif pada nilai-nilai feminisme. Tanpa adanya rasa kepemilikan tersebut, agenda pembebasan Sang Liyan hanya akan berhenti pada tahap imanensi: bilapun cara produksi berubah, cara biososial dan ideologis yang usang tidak akan goyah. Sebab, pembebasan selamanya akan bergantung pada nilai kolektif budaya lain, yang mungkin terpisah sepenuhnya dari budaya gerakan perempuan. Kemerosotan paling menyakitkan yang dapat terjadi dari fenomena tersebut sejatinya sudah dapat ditemui dalam realitas kontemporer: dilangsungkannya feminisme dalam fragmen-fragmen kecil yang dikontrol oleh budaya kelaki-lakian dan pemilik kapital, melalui buku, workshop, pembakuan ajaran, atau produk-produk populer lainnya.
Untuk mencapai cita-cita kebebasan transendental, gerakan perempuan juga harus mentransendensikan kolektivitasnya. Pertama-tama, dengan menjadi juru selamat bagi dirinya sendiri. Bahkan, bila harus membumihanguskan setiap dorongan menjadi perempuan-paripurna (alpha girls) yang justru berasal dari pendiktean laki-laki. Kemudian, mendefinisikan ulang dirinya, melalui kiprah dan eksistensi. Mengabaikan pendefinisian kodrat serta esensi yang dimaktubkan oleh pihak manapun.
Catatan Akhir
*Nama “Arini” diambil dari rekan penulis yang merupakan seorang penyintas opresi berbasis gender, serta penggiat gerakan perempuan, yang aktif menggaungkan pentingnya rasa kepemilikan dalam budaya feminis (menjadi bahasan dari tesis ketiga).
Referensi
Baudrillard, J. (2012). Impossible Exchange. Verso Books.
Beauvoir, S. d. (2011). The Second Sex (C. Borde & S. Malovany-Chevallier, Trans.). Knopf Doubleday Publishing Group.
Hartmann, H. (1979). The Unhappy Marriage of Marxism and Feminism: Towards a more Progressive Union. Capital & Class, 3(2), 1-33. https://doi.org/10.1177/030981687900800102
Sargent, L. (Ed.). (1981). Women and Revolution: A Discussion of the Unhappy Marriage of Marxism and Feminism. South End Press.
Sartre, J.-P. (2003). Being and Nothingness: An Essay on Phenomenological Ontology (H. E. Barnes, Trans.). Routledge.