Marx dan Hantunya
Suka tidak suka, mau tidak mau, Marx adalah sosok yang akan selalu hadir dalam diskursus mengenai kehidupan sosial manusia. Membicarakan politik, ekonomi, budaya, agama, gender, dan domain sosial lainnya, Marxisme dapat dipastikan memiliki lokusnya sendiri. Meminjam bahasa Derrida (1994) dan Wolf (1982), Marx sudah seperti hantu yang akan terus menghantui kehidupan sosial kita. Namun, Derrida dan Wolf memaknai hantu ini sebagai “peringatan” dalam artian bahwa ajaran-ajaran Marx terus mencerahkan kita mengenai realitas sosial yang sukar dalam kehidupan kapitalistis sekarang. Ajaran dan pemikirannya selalu memberikan kita alat untuk membongkar “kebohongan” kapitalis. Seakan-akan, meminjam analisis Mauss (2002), kita diberi hadiah oleh Marx untuk membongkar kapitalisme sehingga kita merasa bahwa terdapat utang budi tertentu kepadanya. Hadiah yang sangat dermawan; feminis, sosialis, komunis, bahkan anarkis—kelompok yang acap dikategorikan sebagai posisi antagonis terhadap Marxis—acap menggunakan pemikiran sembari terus menyempurnakan pemikiran Marx. Sebagai contoh, ambil saja analisis sejarah oleh Federici (2004) mengenai akumulasi primitif—atau, analisis historis mengenai bagaimana kapitalis dapat menguasai moda-moda produksi—yang menajamkan analisis Marx dengan menambah elemen gender; bagaimana diskriminasi terhadap perempuan menjadi aspek krusial sebelum dan saat akumulasi primitif berlangsung. Contoh lain dapat kita lihat dalam analisis Godelier (1975) mengenai asal-usul agama yang ia dasarkan pada gagasan mengenai penyerapan nilai-lebih; ia berargumen bahwa agama muncul ketika hasil kerja manusia mulai diserap oleh pihak lain, menjadikan manusia yang bekerja ini “bergantung” pada pihak yang menyerapnyasehingga muncullah ide-ide religius.
Ajaran dan pemikiran Marx ini sangat multifungsi. Ia dapat menjelaskan banyak hal mengenai situasi yang kita hidupi sekarang ini. Mengapa, misalnya, sebuah film dapat menggambarkan situasi atau fenomena radikal yang, jika diterapkan dalam kehidupan riil, justru menjadi hal yang sangat dikecam? Kita dapat meminjam analisis Debord (1983) mengenai society of the spectacle—bahwa kehidupan masyarakat dimediasi oleh gambar; bahwa yang dapat diterima dalam kehidupan kapitalistis ini adalah hal-hal yang dibuat dalam bentuk gambar. Mengapa sekolah tidak pernah mengemansipasi murid-muridnya, mengapa guru dan sistem sekolah itu sendiri, acap mendorong kita untuk menjadi pekerja, alih-alih menjadi pemikir, misalnya? Kita dapat beralih kepada tulisan Althusser (1970) dan Gramsci (1971) mengenai ideologi dan hegemoni; bahwa sekolah adalah perpanjangan kapitalisme untuk mereproduksi dirinya dari hari-ke-hari dan diisi oleh intelektual-intelektual yang memiliki hubungan “baik” dengan kapitalis. Mengapa negara seperti tidak pernah berpihak kepada para pekerja, misalnya? Kita dapat membaca analisis Poulantzas (2008) yang berargumen bahwa negara adalah struktur politik yang memiliki hubungan objektif dengan kapitalisme sehingga negara, sejatinya, ada untuk kapitalisme. Mengapa perempuan terus disulitkan untuk mencapai kemandirian yang mereka idamkan, misalnya? Kita dapat beralih ke Engels (2010) yang menuliskan bahwa kerja-kerja caring, seperti kepedulian seorang ibu, adalah hal yang krusial dalam melahirkan dan menjaga eksistensi kapitalisme.
Analisis-analisis yang saya kemukakan secara singkat di atas, saya kira, adalah analisis-analisis Marxis yang sering digunakan, baik dalam diskursus sehari-hari maupunakademik, ketika berbicara mengenai kehidupan sosial. Sebuah gambaran yang kelam, memang. Dan Marxis pun berbangga dengan hal itu; bahwa sudah menjadi tugas seorang Marxis untuk mengungkapkan kekerasan yang terjadi di dunia kapitalistis ini—mengungkapkan struktur-struktur apa saja yang menghalangi manusia, terutama para pekerja, dalam mencapai liberasi yang diidam-idamkan mulai dari beratus-ratus tahun yang lalu. Itulah hantu Marx; ia adalah hantu yang akan terus mengingatkan kita mengenai kebejatan kapitalisme serta kroni-kroninya. Sudah menjadi tugas dari “hantu Marx” ini untuk mengeradikasi dan mencegah lahirnya kembali, apa yang acap disebut oleh Marxis sebagai, false consciousness atau kesadaran palsu mengenai realitas yang ada; bahwa hidup tidak seindah yang kita kira, bahwa kita sebenarnya ditindas, dan kita perlu untuk merebut kembali kehidupan kita. Meminjam istilah dari salah satu video game favorit saya, tugas dari “hantu Marx” ini adalah “Steal your future back!”. Sungguh, tujuan yang sangat krusial. Saya sendiri banyak setuju dengan posisi ini—bahwa kita memang perlu melawan, bahwa kapitalisme perlu diserang, bahwa terdapat bentuk kehidupan yang lebih baik dari apa yang kita miliki sekarang dan itu adalah hal yang mungkin. Hanya saja, jika tujuan para Marxis ini adalah untuk “mencuri kembali” masa depan kita, saya merasa ada yang janggal.
Marxisme dan Obsesinya terhadap Struktur
Hal yang janggal itu dapat kita lihat melalui salah satu kutipan Marx yang terkenal. Marx (1852) pernah menulis:
Dalam paragraf yang sama, Marx menulis:
Marx berargumen bahwa manusia selalu memiliki batasnya; bahwa manusia selalu hidup dalam suatu gedung yang tidak dapat ia renovasi atau runtuhkan begitu saja. Gedung itu, dalam analisis dan diskusi Marxis, adalah kapitalisme—kita hidup dalam kapitalisme yang menjebak kita, tidak dapat kita renovasi atau runtuhkan dengan mudah. Ada benarnya dan itulah kehidupan kita sehari-hari.
Namun, jika kita pikirkan kembali, seberapa sering kita berpikir “kita sedang berada di bawah kapitalisme” dalam kehidupan sehari-hari? Apakah pemikiran tersebut menjadi suatu “konstanta” tersendiri yang selalu ada dalam otak kita? Saya pikir tidak; dalam kehidupan sehari-hari, kita lebih banyak mengejar dan berpikir mengenai apa yang ingin kita lakukan dan apa yang kita anggap bernilai. Sampai di sini, para Marxis mungkin berpikir: bukankah itu justru maksud dari false consciousness? Bahwa kita berpikir dalam keseharian kita hidup ini baik-baik saja sehingga kita tidak terus-menerus berpikir mengenai bagaimana kapitalisme menindas kita? Betul, anggapan tersebut tidak salah; Lefebvre (1987) menulis bahwa kehidupan sehari-hari adalah suatu produk—ia harus diproduksi agar kehidupan sehari-hari terkesan stabil. Kehidupan sehari-hari mengharuskan adanya imajinasi mengenai keseharian itu sendiri yang, bagi Marxis, dapat dikatakan sebagai false consciousness. Itulah mengapa otoritas menjadi perihal penting bagi Marxis; Marxis perlu memiliki kekuasaan sentral yang dapat menghapus false consciousness untuk kemudian diganti dengan kekuasaan bersama yang mengatur jalannya masyarakat (Engels, 1872) — membangun imajinasi sehari-hari yang baru; “mencuri kembali” masa depan.
Akan tetapi, mengapa Marxis justru memberi kesan bahwa manusia perlu terus diatur? Seakan-akan, jika tidak diatur, manusia akan terdegradasi menjadi makhluk barbar. Ironisnya, para Marxis justru membangkitkan imaji Hobbesian mengenai sifat dasar manusia. Mungkin saya agak memperlebar diskusi ini dan melebih-lebihkan apa yang sebetulnya disampaikan oleh Marxis. Namun demikian, jika misinya adalah “mencuri kembali” masa depan, masa depan seperti apa yang sebetulnya hendak “dicuri kembali”? Masa depan seperti apa yang sebetulnya ingin dibangun? Saya merasa bahwa Marxis terlampau obsesif dengan ide bahwa terdapat gedung yang menjebak manusia, sampai-sampai mereka lupa bertanya, siapa yang membangun gedung tersebut? Konsekuensinya, masa depan yang diiming-imingkan oleh para Marxis menjadi masa depan yang tidak jauh berbeda dengan kapitalisme—sebuah gedung yang menjebak manusia.
Mengembalikan Marx
Saya merasa bahwa Marxis acap melupakan bagian pertama dari kutipan yang saya kutip sebelumnya; bahwa men make their own history. Meskipun Marx menulis bagian ini “satu paket” dengan bagian selanjutnya, kita dapat melihat pemahaman yang berbeda dengan menengok apa yang Marx dan Engels (1998) tulis:
Kutipan di atas justru menunjukan bahwa Marx (dan Engels) menekankan pentingnya melihat manusia sebagai makhluk aktif yang membangun kehidupannya sendiri. Penekanannya bukan pada “gedung” yang menjebak, melainkan pada proses pembangunan gedung itu sendiri. Hal ini justru lebih dekat dengan pendekatan anarkis, seperti yang pernah ditulis oleh Bakunin (1970) mengenai otoritas; bahwa otoritas bukanlah perihal mengatur manusia agar memiliki kesadaran sebagaimana ia diharuskan, tetapi sebuah keputusan bebas yang diambil manusia untuk mengikuti pihak tertentu sehingga ia dapat lepas dari keputusan kapan pun ia mau. Marx, dalam konteks ini, alih-alih menekankan false consciousness, justru berargumen bahwa kesadaran dibentuk oleh manusia itu sendiri melalui praksis sehari-harinya. Ide mengenai kesadaran palsu, setidaknya sebagaimana yang dibayangkan oleh Marxis, menjadi hal yang aneh. Manusialah yang membangun kesadaran palsu itu sendiri, alih-alih dipasang oleh sistem kapitalisme pada manusia.
Saya ingin mengambil salah satu contoh yang cukup populer untuk menjelaskan hal ini. Beberapa Marxis berkata bahwa keluarga adalah perpanjangan tangan kapitalisme. Allison (1991) bahkan pernah melakukan analisis di Jepang yang menunjukkan bahwa kotak makan siang anak-anak kecil di Jepang—yang disiapkan dengan rapih dan estetik oleh ibu mereka—adalah bentuk ideologi kapitalis guna mempersiapkan anak kecil masuk ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi sehingga, nanti, diharapkan dapat menjadi pekerja yang baik. Dalam hal ini, terdapat kesadaran palsu sebagaimana Marxis acap membicarakannya; seorang ibu yang, alih-alih berfokus pada emansipasi dirinya sendiri dan anaknya, berfokus pada bagaimana menghias kotak makan seindah dan selucu mungkin. Contoh mudah lainnya ialah sekolah; bahwa mengajarkan bahasa di sekolah misalnya, adalah bentuk kesadaran palsu karena mempersiapkan murid untuk menavigasikan kapitalisme, alih-alih melawan kapitalisme (Bourdieu, 1991). Kapitalisme, dalam konteks ini, seperti sudah mengantisipasi berbagai macam hal yang berpotensi akan melawan dirinya. Namun, apakah manusia sebodoh itu? Apakah manusia betul-betul tidak sadar bahwa apa yang mereka lakukan adalah untuk kapitalisme? Saya pikir tidak. Menghabiskan waktu satu minggu di satu desa di Cianjur, satu minggu di Puncak Bogor, dan satu minggu di satu desa di Kuningan, serta banyak menghabiskan waktu dengan ibu-ibu, pekerja sirkuler, serta penjual makanan-minuman, saya melihat bahwa mereka sadar betul apa yang mereka lakukan untuk diri dan anak-anak mereka adalah upaya untuk mempersiapkan diri dan anak mereka bekerja di suatu industri yang tidak pernah menguntungkan diri mereka sendiri. Mereka tahu bahwa pun jika diri dan anak mereka bisa bekerja, belum tentu kondisi akan benar-benar membaik; nada kepasrahan dapat terdengar dalam ujaran-ujaran mereka. Tanpa perlu campur tangan “vanguard party” seperti yang dikenalkan oleh Lenin, mereka sudah sadar betul bahwa struktur ekonomi yang ada adalah satu kebejatan dan berpasrah adalah satu-satunya senjata yang mereka miliki untuk melawan (Scott, 1986). Hal-hal kecil inilah yang Marx dan Engels sebut sebagai memperhatikan manusia “in the flesh.” Manusia sejatinya tidak pernah “terdogma” oleh ideologi kapitalisme, ataupun ideologi lainnya (Mair, 2012; Hobsbawm, 1959). “Menerima” ideologi kapitalisme bukanlah setuju dengan ideologi kapitalisme, melainkan suatu strategi dalam menavigasi kehidupan sehari-hari; kita sejatinya sudah melawan (Malatesta, 2015).
Alhasil, alih-alih kritik ideologi seperti yang dilakukan oleh banyak Marxis, kritik nilai adalah hal yang lebih produktif dalam membongkar kapitalisme (Turner, 1984). Marx (1981) menulis bahwa nilai komoditas datang dari praksis kerja karena, jika perbedaan antar-komoditas semua dihilangkan, satu-satunya hal yang menyamakan komoditas sehingga dapat ditukarkan adalah praksis kerja yang memproduksi komoditas tersebut. Akan tetapi, apakah nilai selalu berkenaan dengan nilai objek atau benda? Tentu tidak, dalam berbagai macam masyarakat, apa yang dianggap berharga justru memiliki bentuk non-objek, seperti mitos, tindakan, dsb. Pertanyaannya, mengapa bentuk-bentuk non-objek ini dapat menjadi berharga? Graeber (2001) menulis bahwa mereka menjadi berharga juga karena adanya praksis kerja yang memproduksi bentuk-bentuk tersebut. Mengapa demikian? Graeber (2001) menekankan pentingnya untuk memahami apa yang dimaksud dengan “kerja” atau “labor” oleh Marx. Marx (1981) memang menulis dalam konteks komoditas, tetapi ia juga menekankan bahwa praksis kerja perlu dipahami secara umum:
Praksis kerja, dalam hal ini, adalah aktivitas manusia secara umum yang, seperti dijelaskan oleh Wolf (1982), tidak hanya aktivitas banal, melainkan upaya untuk membentuk kehidupan. Graeber (2005, 2006) menjelaskan bahwa imaji ideal merupakan ihwal yang penting—ia adalah apa yang membuat hidup kita sehari-hari menjadi masuk akal. Praksis kerja adalah upaya membentuk imaji ideal ini (Turner, 2008). Namun, Graeber (2006) juga menjelaskan bahwa imaji ideal ini tidak dibangun bersama-sama secara harmonis; tetap terdapat elemen kelas. Yang membedakan pendekatan nilai dengan pendekatan ideologis ialah, kapitalisme tidak menjadi sistem total—ia hanya menjadi imaji ideal yang dominan; memberi ruang analisis untuk imaji-imaji lain sehingga memberikan ruang untuk melakukan perlawanan terhadap kapitalisme, alih-alih perlawanan abstrak yang “datang dari langit.” Praksis kerja manusia sangat beragam sehingga melahirkan imaji ideal yang berbeda-beda; yang menjadi masalah adalah ketika satu imaji ideal menjadi “nilai” dalam artian mengalienasi imaji-imaji yang lain (Turner, 2008). Alih-alih kesadaran palsu atau hegemoni sebagaimana Marxis membayangkannya, kita semua tahu bahwa kita hidup dalam kebejatan kapitalisme—yang menjadi masalah adalah bagaimana mengguncang nilai dominan ini, bukan membangun kesadaran.
Eksperimen Sosial sebagai Alternatif
Pendekatan nilai, alih-alih kesadaran atau ideologis, juga memberi ruang baru untuk memikirkan alternatif dari kapitalisme. Marxis selalu mengurgensikanmodel komunisme atau sosialisme sebagai alternatif karena mendasarkan pemikirannya pada ideologi. Namun, jika kita bermula dari pendekatan nilai—pendekatan apa yang berharga dan hal tersebut meruapakan sesuatu yang beragam—urgensi model komunisme dan sosialisme menjadi kurang ideal. Ia justru berpotensi membangun “kesadaran palsu” sebagaimana Marxis membencinya; sebuah ironi. Oleh karena itu, seperti yang ditulis oleh Graeber (2004) dan Morris (2014) — jika kita mulai dari nilai yang beragam—eksperimen bentuk masyarakat justru menjadi hal yang lebih ideal. Hal ini dapat kita pahami sebagai suatu fleksibilitas untuk “mengubah-ubah” cara pengorganisasian masyarakat (Graeber dan Wengrow, 2021). Kreativitas justru menjadi perihal utama, alih-alih gedung seperti apa yang ingin dibangun. Dengan menekankan eksperimen, kita tidak perlu terjebak dalam satu mode masyarakat, ataupun terjebak dalam satu nilai dominan—manusia, dengan demikian, dapat “mencuri kembali” masa depannya; merealisasikan masa depan sebagaimana manusia yang beragam ini inginkan. Marx, dengan demikian, dapat dilihat sebagai sosok yang berpikir secara analitis dan terbuka, alih-alih secara dogmatis.
Referensi
Allison, A. (1991). Japanese Mothers and Obentos: The Lunch-Box as Ideological State Apparatuses. Anthropological Quarterly, 64(4), 195-208.
Althusser, L. (1970). On The Reproduction Of Capitalism: Ideology And Ideological State Apparatuses. Verso Books.
Bakunin, M. A. (1970). God and the state. Dover Publications.
Bourdieu, P. (1991). Language and Symbolic Power (J. B. Thompson, Ed.). Harvard University Press.
Debord, G. (1983). Society of the Spectacle. Black & Red.
Derrida, J. (2006). Specters of Marx: The State of the Debt, the Work of Mourning and the New International. Routledge.
Engels, F. (1872). On Authority. Marxists Internet Archive. Retrieved November 29, 2023, from https://www.marxists.org/archive/marx/works/1872/10/authority.htm
Engels, F. (2010). The Origin of the Family, Private Property and the State. Penguin Publishing Group.
Federici, S. (2004). Caliban and the Witch. Autonomedia.
Godelier, M. (1975). Towards a Marxist Anthropology of Religion. Dialectical Anthropology, 1(1), 81-85.
Graeber, D. (2001). Toward an Anthropological Theory of Value: The False Coin of Our Own Dreams. Palgrave.
Graeber, D. (2004). Fragments of an anarchist anthropology. Prickly Paradigm Press.
Graeber, D. (2005). Fetishism as Social Creativity: or, Fetishes are Gods in the Process of Construction. Anthropological Theory, 5(4), 407-438.
Graeber, D. (2006). Turning Modes of Production Inside Out: or, Why Capitalism is a Transformation of Slavery. Critique of Anthropology, 26(1), 61-85.
Graeber, D., & Wengrow, D. (2021). The Dawn of Everything: A New History of Humanity. Farrar, Straus and Giroux.
Gramsci, A. (1971). Selections from the Prison Notebooks of Antonio Gramsci (Q. Hoare & G. Nowell-Smith, Eds.; Q. Hoare & G. Nowell-Smith, Trans.). International Publishers.
Hobsbawm, E. J. (1959). Primitive Rebels. Little, Brown Book Group.
Lefebvre, H. (1987). The Everyday and Everydayness. Yale French Studies, (73), 7-11.
Mair, J. (2012). Cultures of Belief. Anthropological Theory, 12(4), 448-466.
Malatesta, E. (2015). Life and Ideas: The Anarchist Writings of Errico Malatesta (V. Richards, Ed.; V. Richards, Trans.). PM Press.
Marx, K. (1852). 18th Brumaire of Louis Bonaparte. Retrieved November 29, 2023, from https://www.marxists.org/archive/marx/works/1852/18th-brumaire/ch01.htm
Marx, K. (1981). Capital: A Critique of Political Economy. Penguin Classic.
Marx, K., & Engels, F. (1998). The German Ideology: Including Theses on Feuerbach and Introduction to The Critique of Political Economy. Prometheus Books.
Mauss, M. (2002). The Gift. Routledge.
Morris, B. (2014). Anthropology, Ecology, and Anarchism: A Brian Morris Reader. PM Press.
Poulantzas, N. (2008). The Poulantzas Reader: Marxism, Law and the State (J. Martin, Ed.). Verso Books.
Scott, J. (1986). Everyday Forms of Peasant Resistance. The Journal of Peasant Studies, 13(2), 5-35.
Turner, T. (1984). Production, Value, and Exploitation in Marx and in Non-Capitalist Systems of Social Production [Tidak Dipublikasikan].
Turner, T. (2008). Marxian Value Theory: An Anthropological Perspective. Anthropological Theory, 8(1), 43-56.
Wolf, E. R. (1982). Europe and the People Without History. University of California Press.