Beberapa Penyimpulan Bermasalah dalam Logika Klasik (1)

Apabila logika dituntut untuk netral sehingga dapat mengakomodasi setiap topik bahasan argumentasi, maka justru logika klasik tidak dapat menjadi salah satu kandidatnya.

Muhammad Qatrunnada Ahnaf and  Rachmanda Aquila Arkhano
Muhammad Qatrunnada Ahnaf and  Rachmanda Aquila Arkhano
Magister Filsafat yang memiliki minat riset dalam bidang logika, metafisika, dan filsafat ilmu. Selain filsafat, juga tertarik dengan ekonomi, investasi, dan trading: telah memantau pergerakan pasar secara otodidak dan kuantitatif-logis sejak 2018.

Artikel ini hendak menjelaskan secara singkat berbagai penyimpulan bermasalah dalam logika proposional klasik dengan menggunakan bahasa manusia, yakni dengan menggunakan simbol logika seminimal mungkin. Artikel ini dapat dijadikan sebagai pengantar awal problem logika proposisional klasik sekaligus menunjukkan bahwa logika proposisional klasik dipelajari untuk dikritisi dan bukan untuk dipuja maupun dijadikan sebagai logika utama dalam melakukan penalaran—kami memang berniat menyinggung classicist, yakni orang-orang yang die hard untuk logika klasik, terutama mereka yang berlindung di balik konsep “pemodelan” (modelling) meskipun terdapat contoh bahwa sistem logika klasik tidak dapat menjelaskan beberapa model penalaran dan apabila penalarannya dipaksa menggunakan sistem logika klasik maka model yang direpresentasikan menjadi absurd. Apabila logika dituntut untuk netral sehingga dapat mengakomodasi setiap topik bahasan argumentasi, maka justru logika klasik tidak dapat menjadi salah satu kandidatnya sebab logika klasik memaksa model tertentu untuk berlaku dalam topik bahasan apa pun: bukannya mencoba untuk mengakomodasi setiap topik bahasan namun malah memukul rata setiap topik bahasan dan menganggap modelnya sama saja meskipun tidak demikian adanya.

***

Upaya yang dilakukan logikawan dewasa ini tidak hanya mencoba mencari justifikasi kebenaran penalaran melalui logika, tetapi juga mencari kelemahan sebuah sistem logika dan kemudian mengajukan konsep baru berbasis aturan-aturan formal untuk menyusun sistem logika baru yang sesuai dengan intuisi logis serta realitas. Sistem logika baru yang dihasilkan tentu memiliki karakteristik tersendiri dan mempunyai kekuatannya masing-masing; hal ini yang lambat laun menyadarkan logikawan akan pluralitas logika. Di hadapan logika yang plural, kami menanggapinya seperti halnya memakai baju: kita menyesuaikan baju tersebut dengan tubuh kita dan sekaligus dengan situasi serta kondisi yang dihadapi.

Sebelum masuk ke pembahasan utama, berikut adalah makna simbol yang digunakan dalam artikel ini. Simbol “⊨” berarti “dapat disimpulkan”, sehingga “A ⊨ B” berarti “dari A (sebagai premis) dapat disimpulkan B”; apabila terdapat lebih dari satu premis, maka setiap premis ditulis dan dipisah dengan tanda koma seperti “A, C, D, … ⊨ B” yang berarti “dari A, C, D, dst. dapat disimpulkan B”. Penyimpulan dapat dilakukan tanpa premis, yakni “⊨ A” yang berarti “dari proposisi kosong dapat disimpulkan A”, atau, dengan kata lain, “A adalah teorema positif/kebenaran logis/bersifat tautologis”. Selain itu, penyimpulan juga dapat dilakukan tanpa kesimpulan, yakni “A ⊨” yang berarti “dari A dapat disimpulkan proposisi kosong”, atau, dengan kata lain, “A adalah teorema negatif/kesalahan logis/bersifat kontradiktif”. Tak lupa pula, simbol “⊭” berarti “tidak dapat disimpulkan”. Sementara itu, simbol yang lain memiliki makna standar klasik: “¬” berarti “negasi”, sehingga “¬A” berarti “negasi A”; “⊃” berarti implikasi material atau “jika … maka …” sehingga “A ⊃ B” berarti “jika A maka B”; “∧” berarti “dan”, sehingga “A ∧ B” berarti “A dan B”; dan “∨” berarti “atau”, sehingga “A ∨ B” berarti “A atau B”; untuk simbol lain akan dijelaskan secara langsung di dalam paragraf-paragraf berikutnya.

1. [B ⊨ A ⊃ B]

Penyimpulan tersebut berbunyi “dari B dapat disimpulkan jika A maka B.” Penyimpulan tersebut menyatakan bahwa setiap proposisi yg benar, B merupakan konsekuensi dari proposisi A, apa pun itu. Dengan kata lain, setiap kebenaran merupakan konsekuensi dari semua kebenaran lain. Hal tersebut tentu absurd, semisal dari “Jokowi adalah presiden Indonesia ketujuh” dapat disimpulkan bahwa “jika Yogyakarta hujan maka Jokowi adalah Presiden indonesia ketujuh.” Terlebih, kita dapat melakukan substitusi atas “Yogyakarta hujan” dengan proposisi apa pun. 

Problem paling mendasar secara teknis adalah adanya hukum adisi dan material implikasi. Adisi memperbolehkan kita menambah disjungsi lain sehingga, dengan adisi, dari B kita dapat menambahkan disjungsi menjadi ¬A ∨ B. Sementara itu, seperti yang ditunjukkan oleh Priest (2008), ¬A ∨ B ekuivalen dengan A ⊃ B melalui implikasi material yang menyatakan ekuivalensi antara disjungsi dengan implikasi.

2. [¬A ⊨ A ⊃ B]

Penyimpulan tersebut berbunyi “dari negasi A dapat disimpulkan jika A maka B.” Penyimpulan tersebut menyatakan bahwa setiap proposisi dengan negasi dapat menjadi anteseden dari proposisi apa pun. Dengan kata lain, setiap kesalahan merupakan anteseden dari semua kebenaran. 

Semisal, dari “saya tidak memiliki harta” dapat disimpulkan “jika saya memiliki harta maka ikan dapat bernafas di luar angkasa.” Penyimpulan tersebut valid dalam logika klasik dengan tahapan pembuktian yang sama dengan problem sebelumnya seperti yang telah ditunjukkan oleh Priest (2008). Dari ¬A, kita lakukan adisi sehingga ¬A ∨ B, dan kemudian ¬A ∨ B ekuivalen dengan A ⊃ B melalui implikasi material.

3. [(A ∧ B) ⊃ C ⊨ (A ⊃ C) ∨ (B ⊃ C)]

Penyimpulan di atas adalah teorema distribusi anteseden yang menyatakan jika A dan B mengimplikasikan C, dapat disimpulkan jika A maka C atau jika B maka C. Lantas apa yang membuatnya absurd? Dengan mengadaptasi Priest (2008), bayangkan rangkaian listrik berurutan yang menempatkan kondisi dua saklar berbeda berada pada posisi aktif secara bersamaan sebagai syarat cukup agar sebuah lampu menyala; rangkaian lampu seri ini dapat ditulis “(saklar A aktif ∧ saklar B aktif) ⊃ lampu C menyala”. Berdasarkan penyimpulan klasik ini, dari hal tersebut dapat disimpulkan bahwa “(saklar A aktif ⊃ lampu C menyala) ∨ (saklar B aktif ⊃ lampu C menyala)”. Meski premisnya dapat diterima, dan penyimpulannya valid secara klasik, akan tetapi kesimpulannya tidak dapat diterima secara intuitif.

Karena rangkaian listrik tersebut berurutan, maka premisnya dapat diterima, yakni lampu C menyala apabila kedua saklar A dan B aktif secara bersamaan. Namun, tentu bukan berarti jika aktifnya salah satu saklar saja lantas membuat lampu C menyala, itulah mengapa kesimpulannya tidak dapat diterima. Ingat, nilai kebenaran untuk konjungsi mengharuskan kebenaran kedua sisi, sementara nilai kebenaran untuk disjungsi tidak mengharuskan kebenaran kedua sisi. 

Penyimpulan ini dapat dinyatakan invalid dalam sistem logika kondisional. Logika kondisional adalah logika yang implikasinya mempunyai komitmen intensional pada anteseden, dengan simbol “□→”. Sehingga, dalam logika kondisional, anteseden pada “(A ∧ B) □→ C” tidak bisa didistribusikan menjadi “(A □→ C) ∨ (B □→ C).” Dalam logika kondisional, anteseden dilihat sebagai sebuah fungsi proposisional atas dunia w sementara konsekuen dilihat sebagai sebuah kelas kebenaran; sehingga, implikasi merupakan penegasan bahwa fungsi anteseden merupakan subhimpunan dari kelas kebenaran konsekuen. Dengan kata lain, implikasi kondisional “(A ∧ B) □→ C” dilihat sebagai fAB(w) ⊆ [C] yang tentu tidak serta merta dapat disimpulkan menjadi fA(w) ⊆ [C], yakni “A □→ C”, maupun fB(w) ⊆ [C], yakni “B □→ C”.

4. [(A ⊃ B) ∧ (C ⊃ D) ⊨ (A ⊃ D) ∨ (C ⊃ B)]

Penyimpulan ini secara gamblang menyatakan bahwa dari “jika A maka B dan jika C maka D” dapat disimpulkan dengan konsekuensi yang ditukar yaitu “jika A maka D atau jika C maka B”. Dengan mengadaptasi Priest (2008), coba bayangkan proposisi berikut: “jika Andi berada di Malang maka Andi berada di Jawa Timur dan jika Andi berada di Bandung maka Andi berada di Jawa Barat”. Jika kita menerima penyimpulan nomor empat maka kita harus menerima kesimpulan “jika Andi berada di Malang maka Andi berada di Jawa Barat atau jika Andi berada di Bandung maka Andi berada di Jawa Timur”; dan tentu kesimpulan ini tidak dapat diterima. 

Penyimpulan ini menunjukan logika klasik tidak memperhatikan korelasi antara anteseden dengan konsekuen. Salah satunya, hal ini disebabkan oleh nilai kebenaran dari implikasi klasik yang tidak ketat sehingga dibutuhkan implikasi dengan nilai kebenaran yang lebih ketat. Seorang filsuf-logikawan, C. I. Lewis (1918), mengajukan konsep implikasi ketat (strict), “⥽”, sehingga kedua implikasi pada premis di atas berada pada kondisi yang berbeda. Implikasi ketat menilai sebuah implikasi sebagai implikasi material yang niscaya, yakni benar di semua dunia mungkin, bersimbol “□”, dengan definisi (A ⥽ B) ≔ □(A ⊃ B). Maka dari itu, premis pada penyimpulan nomor empat ini dapat dipahami sebagai (A ⥽ B) ∧ (C ⥽ D) atau □(A ⊃ B) ∧ □(C ⊃ D) yang tidak dapat disimpulkan menjadi (A ⥽ D) ∨ (C ⥽ B) atau □(A ⊃ D) ∨□(C ⊃ B).

5. [¬(A ⊃ B) ⊨ A] dan [¬(A ⊃ B) ⊨ ¬B]

Kasus pertama penyimpulan di atas menyatakan bahwa dengan menegasikan sebuah implikasi, ¬(A ⊃ B), maka dapat disimpulkan bahwa antesedennya, A, benar; dan untuk kasus kedua, dapat disimpulkan bahwa negasi konsekuensinya, ¬B, benar. Semisal, dengan mengadaptasi Priest (2008), untuk kasus pertama: dari “tidaklah demikian bahwa jika Tuhan ada maka ada doa yang tidak dikabulkan” dapat disimpulkan “Tuhan ada”; sementara untuk kasus kedua, dapat disimpulkan “tidak ada doa yang tidak dikabulkan”, yakni “semua doa dikabulkan”.

Hal tersebut menunjukkan bahwa tidak ada ruang dalam logika klasik untuk sekadar menolak sebuah relasi implikasi: dalam logika klasik, dengan menolak sebuah implikasi, maka kita harus mengamini kebenaran anteseden dan negasi konsekuennya. Bayangkan seorang ateis yang menolak hubungan implikatif dari keberadaan Tuhan dengan dikabulkannya sebuah doa sebab bagi dia keterkabulan doa merupakan sebuah kebetulan, bukan karena keberadaan Tuhan; berarti, menurut logika klasik, dia harus menerima bahwa “Tuhan ada”.

Penyimpulan ini dapat dibuktikan dari implikasi material dan simplifikasi: berawal dari ¬(A ⊃ B), sebab ia ekuivalen dengan A ∧ ¬B, lalu simplifikasi menjadi A maupun ¬B. Bagaimanapun, dapat diperhatikan bahwa penyimpulan ini merupakan konsekuensi kontrapositif dari penyimpulan [B ⊨ A ⊃ B] dan [¬A ⊨ A ⊃ B] yang juga problematik seperti yang telah dijelaskan sebelumnya pada poin nomor satu dan dua.

6. [A ∧ ¬A ⊨ B]

Penyimpulan ini dikenal sebagai asas ledakan eksplosif yang berbunyi “dari kontradiksi dapat disimpulkan apapun”, yakni dari A dan negasi A dapat disimpulkan B. Secara intuitif hal ini jelas problematik, bagaimana B bisa muncul dari kontradiksi? Apa yang menjamin B adalah hasil dari kontradiksi A dan negasi A? Dengan mengadaptasi Priest (2008), kita bayangkan dalam sebuah parlemen terdapat dua kubu, satu kubu menyatakan bahwa “kita tidak boleh memutus hubungan diplomatik dengan Israel” dan kubu lain menyatakan “kita harus memutus hubungan diplomatik dengan Israel”. Apakah dengan dua premis tersebut lantas dapat disimpulkan “orang yang pernah menjabat walikota dapat menjadi wakil presiden”? Penyimpulan tersebut tidaklah intuitif. Inilah kekonyolan dari logika klasik jika kita coba menghubungkannya dengan realitas. 

Logika yang menolak asas ledakan adalah rumpun sistem logika parakonsisten. Salah satu strategi untuk menolak asas ledakan dalam rumpun sistem logika parakonsisten adalah dengan menerima konsep dialeteisme (dialetheism): terdapat kontradiksi yang benar (tidak bersifat kontradiktif). Seperti kasus perdebatan di dalam parlemen sebelumnya, dua pernyataan tersebut merupakan kontradiksi dan benar demikian adanya dalam cakupan parlemen tersebut. Karena terdapat kontradiksi yang benar, maka terdapat contoh kontra untuk asas ledakan yakni A ∧ ¬A bernilai benar namun B bernilai salah sehingga asas ledakan tidaklah valid. Bagaimanapun, posisi dialetheisme dapat dibilang cukup kontroversial sebab terdapat kontradiksi yang tidak bersifat kontradiktif yakni A ∧ ¬A.

Selanjutnya, apabila dari kontradiksi tidak dapat disimpulkan semua proposisi, pertanyaan yang perlu dipikirkan adalah: lantas apa yang dapat disimpulkan dari kontradiksi? Kami merumuskan setidaknya terdapat tiga posisi: (a) Dari kontradiksi dapat disimpulkan beberapa proposisi/kebenaran, namun bukan semua proposisi/kebenaran (Hegelian); (b) dari kontradiksi hanya dapat disimpulkan kontradiksi lain (minimalisme); dan (c) dari kontradiksi tidak dapat disimpulkan apa pun sehingga apabila terdapat kontradiksi, kita berhenti, yakni tidak menyimpulkan apapun atau menyimpulkan ketiadaan (terminalisme [posisi ini menggunakan konsep negasi sebagai pembatalan sehingga A dan negasi A saling meniadakan satu sama lain]).

7. [A ⊨ B ∨ ¬B] dan [A ⊨ B ⊃ B]

Penyimpulan ini dikenal sebagai penyimpulan takrelevan, yang berbunyi dari proposisi apa pun dapat disimpulkan tautologi. Perhatikan bahwa penyimpulan ini merupakan bentuk kontrapositif dari asas ledakan eksplosif sehingga dapat dikatakan penyimpulan ini merupakan asas ledakan implosif. Maka dari itu, dapat dipahami bahwa penyimpulan ini sama problematikanya dengan asas ledakan eksplosif: bayangkan dari pernyataan “si fulan menang lotre” lalu disimpulkan bahwa “antara kapitalisme akan hancur atau tidak”; atau disimpulkan “jika seseorang berperang, maka ia berperang”. Hubungan premis dengan kesimpulan tersebut tidaklah relevan, meski terkadang kesimpulannya ada benarnya.

Sumber utama permasalahan dalam penyimpulan ini adalah proposisi tautologis yang sudah valid tanpa memerlukan premis. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa dengan menambahkan premis apa pun, termasuk premis takrelevan, penyimpulan tersebut tetap valid. Seperti yang diungkapkan oleh Priest (2008), strategi yang dapat digunakan untuk memecahkan penyimpulan problematik ini adalah dengan menambahkan kriteria kesamaan parameter proposisional antara premis dengan kesimpulan layaknya sistem logika relevan; sehingga, tidak ada lagi penyimpulan takrelevan.

8. [A ⊃ B ⊨ (A ∧ C) ⊃ B]

 Penyimpulan diatas dikenal sebagai pelemahan anteseden yang menyatakan dari “jika A maka B” dapat disimpulkan “jika A dan C maka B”. Bagaimana C bisa ditambahkan? Lantas apa yang bermasalah dari penyimpulan tersebut? Bayangkan penyimpulan ini: dari “jika saya berangkat ke fX Sudirman maka saya menonton langsung JKT48” dapat disimpulkan “jika saya berangkat ke fX Sudirman dan saya kecelakaan fatal di perjalanan maka saya menonton langsung JKT48”. Pertanyaannya, apa jaminan logis bahwa saya masih bisa menonton langsung JKT48 apabila saya kecelakaan fatal di perjalanan?

Permasalahan dari penyimpulan di atas secara intuitif menunjukan bahwa implikasi dapat sensitif terhadap fakta yang terjadi. Lantas logika apa yang menolak pelemahan anteseden? Priest menunjukkan (2008) bahwa pelemahan anteseden ditolak David Lewis dalam logika kondisional bahkan dalam bentuk paling kuatnya, yakni logika C2. Logika kondisional meletakkan anteseden dalam posisi sentral penyimpulan sehingga penambahan atau perubahan anteseden akan memberikan kasus yang berbeda dan maka dari itu ditolak.

9. [A ⊃ B, B ⊃ C ⊨ A ⊃ C]

Penyimpulan di atas adalah hukum transitivitas (silogisme hipotetikal) yang menyatakan “dari jika A maka B dan jika B maka C, dapat disimpulkan jika A maka C”. Kenapa penyimpulan ini bermasalah? Bayangkan penyimpulan berikut, dari “jika saya sedang belajar di Oxford maka saya berada di Inggris, dan jika saya berada di Inggris maka saya sedang bertamasya” dapat disimpulkan “jika saya sedang belajar di Oxford maka saya sedang bertamasya”. Meski pola pikir tersebut mungkin seringkali digunakan oleh orang yang berkuliah di luar negeri, namun bagaimana komitmen logis bahwa Anda sedang belajar di Oxford sementara konsekuensi logisnya Anda sedang bertamasya? Secara intuitif kedua hal tersebut berada pada kondisi yang berbeda.

Seperti halnya pelemahan anteseden yang ditunjukkan oleh Priest (2008), hukum transitivitas ini ditolak di setiap tingkatan logika kondisional. Logika kondisional membedakan antara fungsi proposisional dunia sebagai anteseden dan kelas kebenaran sebagai konsekuen: “jika A maka B” berarti fungsi proposisional A atas dunia wfA(w), merupakan subhimpunan dari kelas kebenaran [B], sehingga fA(w) ⊆ [B]. Dengan demikian, meski fA(w) ⊆ [B] dan fB(w) ⊆ [C], tidaklah serta merta fA(w) ⊆ [C]—kecuali terbukti bahwa [B] = fB(w), atau setidaknya [B] ⊆ fB(w).

10. [A ⊃ B ⊨ ¬B ⊃ ¬A]

Penyimpulan di atas adalah hukum vital dalam logika klasik yaitu kontraposisi. Bagaimana tidak, hukum ini berkaitan erat dengan penyimpulan negatif yaitu modus tollens. Penyimpulan di atas menyatakan “dari jika A maka B dapat disimpulkan jika negasi B maka negasi A”, lantas apa yang bermasalah dalam hukum kontraposisi? Pertimbangkan proposisi berikut yang diadaptasi dari Priest (2008): dari “jika saya mengendarai mobil maka mobil yang saya kendarai tidak menerobos jalur Busway” dapat disimpulkan “jika mobil yang saya kendarai menerobos jalur Busway maka saya tidak mengendarai mobil”. Bagaimana saya menerobos jalur busway dengan mengendarai mobil padahal konsekuensinya saya tidak mengendarai mobil? 

Lagi-lagi hukum ini ditolak di setiap tingkatan logika kondisional. Logika kondisional tidak mengizinkan penukaran kontrapositif atas anteseden dan konsekuen. Dalam logika ini, proposisi implikatif memiliki komitmen terhadap anteseden dan konsekuen sehingga anteseden dianggap sebagai fungsi dunia yang memetakan dunia lain dan konsekuen dianggap sebagai kelas yang terdapat dunia di dalamnya. Dengan kata lain, negasi dari konsekuen tidak serta merta mengimplikasikan negasi dari anteseden; sehingga dari fA(w) ⊆ [B] tidak serta-merta f¬B(w) ⊆ [¬A].


Referensi

Priest, Graham, 2008, An Introduction to Non-Classical Logic: From If to Is, Edisi ke-2, Cambridge University Press: New York.

Lewis, C. I., 1918, A Survey of Symbolic Logic, University of California Press: Berkeley.

Bacaan Lainnya