Tanda dan Simbol Traktarian

Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah ketika memahami tanda sebagai sesuatu yang nirmakna, sedangkan simbol adalah tanda plus makna.

Andreas Sujana
Andreas Sujana
Mahasiswa Filsafat STF Driyarkara. Menyukai TWICE secara dogmatis.

Artikel sebelumnya telah membahas tentang objek dalam Tractatus berdasarkan pembacaan keseluruhan premis 1 dan 2. Telah diketauhi bahwa isomorfisme bahasa dengan dunia, dengan satuan unit terkecilnya masing-masing adalah nama dan objek. Objek merupakan substansi dunia karena objek bersifat atomik—paling kecil dan tak dapat dibagi lagi. Telah dijelaskan juga pengertian mengenai objek sebagai forma dan konten, dengan sedikit meminjam pemikiran Kant tentang ruang dan waktu.

Sekarang, setelah selesai membaca Tractatus Logico-Philosophicus hingga akhir premis 3.5, terdapat kebingungan lebih lanjut. Salah satunya mengenai apa itu tanda dan simbol. Tulisan ini hadir sebagai akibat dari kebingungan yang telah menemukan jalan keluarnya. Pemahaman mengenai tanda dan simbol merupakan fundamen demi memahami buku yang—meski ditulis serigor mungkin untuk menghindari segala ambiguitas—sulit dipahami ini.

Tanda dan Simbol

Pada premis 3, Wittgenstein memperkenalkan dua term baru yang memainkan peran sentral dalam bukunya: tanda dan simbol. Ia menjelaskan bahwa tanda adalah apa yang dicerap dari simbol (TLP 3.32). Dengan demikian, menjadi jelas bahwa tanda berbeda dari simbol—meski dalam bahasa sehari-hari, orang sering menggunakannya secara bergantian demi maksud yang sama. Penggunaan kata “dicerap” mengimplikasikan gagasan “indra” (sense). Pada premis selanjutnya, Wittgenstein pun memberi penegasan akan hal ini, bahwa tanda bisa eksis dalam bentuk lisan maupun tulisan (TLP 3.321). Tanda adalah aspek dari simbol yang dapat dicerap oleh indra.[1] Pertanyaannya selanjutnya adalah, apa itu simbol?

Wittgenstein menjelaskan dengan memberikan contoh “Green is green” (TLP 3.323). Proposisi tersebut memang tampak tautologis untuk menyatakan “hijau adalah hijau.” Akan tetapi, jika dijelaskan bahwa “Green” yang pertama merujuk pada seseorang, dan “green” yang kedua merujuk pada warna, dapat dipahami bahwa proposisi “Green is green” hendak mendeskripsikan bahwa seseorang yang bernama “Green” berwarna hijau (green). Apa yang hendak Wittgenstein terangkan adalah bahwa satu tanda (green) dapat memiliki dua simbol; dalam kasus ini nama seseorang dan warna. Bagi Wittgenstein, simbol bukan sekadar tanda—simbol adalah tanda dalam suatu penggunaan signifikasi.[2]

Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah pandangan yang mengontraskan bahwa tanda adalah sesuatu yang nirmakna, sedangkan simbol adalah tanda plus makna.[3] Padahal, ketika Wittgenstein sedang membicarakan simbol, ia tidak sedang membicarakan tanda plus makna; akan tetapi, tanda plus mode signifikasi (mode of signification/verschiedene Bezeichnungsweisen). Tanda “Green” tidak memiliki makna apa pun, tetapi ia merujuk (mensignifikasi) pada Tuan atau Nyonya Green—tergantung apakah ia menyatakan dirinya sebagai he/him, she/her, atau they/them.

Sederhananya, tanda, sebagai aspek yang dicerap oleh indra manusia, adalah ketika seseorang membaca tulisan “Green is green,” atau mendengar seseorang mengucapkan kalimat tersebut. Sedangkan simbol adalah tulisan atau lisan dengan disertai perujukan—bahwa “Green” yang pertama merujuk pada seseorang, dan “green” yang kedua merujuk pada warna. Jika mengingat kembali ringkasan Tractatus, terdapat penjelasan mengenai teori makna rujukan. X menjadi bermakna karena X merujuk (koresponden) dengan dunia empiris. Karena bagi kaum positivisme logis, apa yang nonsense (tidak bermakna) adalah yang non-sense (tidak bersifat indrawi). Kalimat “Green is green” digunakan Wittgenstein untuk menunjukkan kerancuan bahasa sehari-hari. Menggunakan tanda dan simbol, Wittgenstein bermaksud untuk menunjukkan bahasa ideal yang dapat menghindari segala kerancuan bahasa sehari-hari.

Sintaksis Logis

Green menjadi contoh bahwa sebuah tanda dapat memiliki dua simbol yang berbeda. Untuk menyadari simbol dari tanda, seseorang harus melihat penggunaannya (TLP 3.326). Yang dimaksud dengan penggunaan adalah penggunaan logico-syntactic.[4] Hal ini senada dengan apa yang dikatakan oleh Morris bahwa simbol adalah tanda dengan sintaks—bahwa sintaks menghadirkan sesuatu yang lebih dari sekadar tanda, sintaks menghadirkan rentang kombinasi.[5] Lebih jauh, Wittgenstein menyatakan bahwa tanda tidak menentukan bentuk logis kecuali dihadirkan bersamaan dengan pengerjaan logico-syntactic (TLP 3.327).

Sintaksis logis atau logical syntax adalah term yang cukup asing di telinga kebanyakan orang. Rudolf Carnap menulis sebuah buku yang berjudul The Logical Syntax of Language yang terbit pada tahun 1934—tak dapat dipungkiri bahwa Carnap mendapat banyak inspirasi dari Wittgenstein.[6] Menurut Carnap, sintaksis logis adalah teori formal yang menguraikan aturan-aturan untuk membuat kalimat dan transformasinya menjadi kalimat lain. Analisis struktur dari aturan-aturan ini disebut sebagai metode sintaksis logis, dan dikatakan sebagai satu-satunya metode yang benar dalam filsafat.[7] Sebagai metode, bagaimana cara kerja sintaksis logis? Jika pembaca dapat memahami apa saja yang disignifikasi oleh setiap tanda dalam artikel ini, maka cara kerja sintaksis logis tak lagi perlu dijelaskan (TLP 3.334).

Penutup

Sesuai judul artikel ini, telah dijelaskan apa itu tanda dan simbol dalam bangunan filsafat Wittgenstein. Tanda adalah aspek indrawi dari simbol, baik tulisan maupun lisan. Sedangkan simbol adalah tanda dengan mode signifikasi/rujukan. Wittgenstein menggunakan contoh “Green is green” untuk menjelaskan keduanya, sekaligus menunjukkan kerancuan bahasa sehari-hari.

Kesalahpahaman yang sering terjadi adalah ketika memahami tanda sebagai sesuatu yang nirmakna, sedangkan simbol adalah tanda plus makna. Terkait makna—sekaligus dengan rujukan—akan dijelaskan dalam artikel selanjutnya. Wittgenstein mendapat banyak inspirasi dari Frege. Salah satu karya monumental Frege adalah On Sense and Reference (Tentang Makna dan Rujukan). Dua konsep ini sangat krusial untuk dipahami agar benar-benar memahami isi dari Tractatus Logico-Philosophicus.


Catatan Akhir

[1] Anthony Kenny, Wittgenstein, (Hoboken: Blackwell Publishing Ltd, 2006), hlm126.

[2] Roderick T. Long, Wittgenstein on Rule-Following, dalam “Wittgenstein: Key Concepts”, (Oxon: Routledge, 2014), hlm.91.

[3] Colin Johnston, “Symbols in Wittgenstein’s Tractatus”, European Journal of Philosophy Vol.15 (3), 2007, hlm.367-8.

[4] G.E.M. Anscombe, An Introduction to Wittgenstein’s Tractatus, (New York: Harper and  Row Publishers Inc, 1965), hlm.91.

[5] Michael Morris, Routledge Philosophy Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus, (Abingdon: Routledge, 2008), hlm.161.

[6] Hannes Leitgeb dan André Carus, “Rudolf Carnap“, The Stanford Encyclopedia of Philosophy(Summer 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/carnap/>.

[7] Daniel J. Bronstein, “What is Logical Syntax?”, Analysis Vol.3 (4), 1936, hlm.49.


Daftar Pustaka

Anscombe, G.E.M. An Introduction to Wittgenstein’s Tractatus. New York, Amerika Serikat: Harper and Row Publishers Inc., 1965.

Bronstein, Daniel J. “What Is Logical Syntax?” Analysis 3, no. 4 (1936): 49–56.

Leitgeb, Hannes and André Carus, “Rudolf Carnap”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/carnap/>. 

Johnston, Colin. “Symbols in Wittgenstein’s Tractatus.” European Journal of Philosophy 15, no. 3 (2007): 367–94.

Kenny, Anthony. Wittgenstein. Hoboken, Amerika Serikat: Blackwell Publishing Ltd., 2006.

Long, Roderick T. “Wittgenstein on Rule-Following.” Essay. In Wittgenstein: Key Concepts, edited by Kelly Dean Jolley, 81–91. Oxon, Amerika Serikat: Routledge, 2014.

Morris, Michael. Routledge Philosophy Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus. Abingdon, Inggris: Routledge, 2008.

Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico-Philosophicus. Diterjemahkan Oleh D. F. Pears dan B. F. McGuinness. London, Inggris: Routledge, 2001. 

Bacaan Lainnya