Premis 4 dalam Tractatus dibuka dengan kalimat “Pikiran adalah proposisi dengan makna” (TLP 4). Berbicara mengenai “makna” dalam tradisi filsafat Analitik, terlebih ketika membahas Wittgenstein, mustahil untuk tidak menyinggung Gottlob Frege. Dalam esainya yang berjudul “On Sense and Reference”, Frege menjelaskan mengenai makna dan rujukan. Penulis tertarik untuk membandingkan makna dan rujukan dalam bangunan filsafat Frege dan Wittgenstein; baik dalam nama maupun kalimat. Makna dan rujukan a-la Wittgenstein memiliki kesamaan dan perbedaan dengan Frege. Akan tetapi, kedua konsep ini sudah pasti merupakan konsep penting dalam Tractatus.
Makna dan Rujukan Fregean
Pada tahun 1892, artikel yang ditulis oleh Frege dengan judul “On Sense and Reference” (Über Sinn und Bedeutung) diterbitkan. Meski dikenal sebagai seorang matematikawan, Frege juga memiliki kontribusi besar dalam bidang filsafat bahasa. Dalam artikel tersebut, Frege menjelaskan secara komprehensif bagaimana setiap nama dan juga kalimat memiliki makna dan rujukan. Frege membuka artikel tersebut dengan menyatakan bahwa a=a merupakan pernyataan yang sangat jelas, dan diberi label analitik oleh Kant—tetapi, memiliki nilai kognitif yang berbeda dari a=b.[1] Penulis ingin mengingatkan bahwa a=a dalam pemikiran Kant adalah tautologi—bukan putusan analitik—seperti proposisi “Manusia adalah manusia.” Frege juga menggunakan frasa a=b dalam konteks yang ketat untuk menyatakan bahwa “a sama dengan b” atau “a bersinggungan dengan b.”
(1) Hesperus adalah Hesperus.
(2) Hesperus adalah Phosphorus.
Hesperus adalah sebuah bintang yang tampak di langit pada pagi hari. Sedangkan Phosphorus adalah bintang yang tampak pada malam hari. Dua kalimat tersebut menggambarkan apa yang hendak dibahas oleh Frege; (1) menggambarkan proposisi a=a, dan (2) menggambarkan a=b. Pada proposisi (1), semua orang dapat mengetahui dengan pasti kebenarannya. Tidak diperlukan observasi untuk mengetahui bahwa Hesperus adalah Hesperus. Akan tetapi, pada proposisi (2), pernyataan tersebut bersifat informatif dan empiris—tidak seperti a=a.[2] Untuk mengetahui bahwa Hesperus adalah Phosphorus, seseorang perlu membaca sebuah artikel di internet terlebih dahulu, mengobservasi langit bersama Pythagoras, atau membaca artikel ini.
Apakah a=a memiliki ekspresi yang sama dengan a=b? Frege akan menjawab tidak. Kalimat a=a menyatakan bahwa “a identik dengan dirinya sendiri.” Akan tetapi, mustahil untuk berargumen bahwa “a=b” memberikan proposisi yang sama dengan “a=a.” Menurutnya, untuk mengetahui Hesperus adalah Phosphorus bukan sekadar mengetahui fakta linguistik, tetapi juga memahami sesuatu yang krusial mengenai realitas dan objek-objek di dunia—pernyataan tersebut telah mengungkapkan fakta empiris tentang dua objek kosmik.[3] Untuk menjelaskan ini, Frege mengatakan bahwa terdapat tiga elemen semantik untuk nama dan kalimat: tanda, makna dan referensi.
Tanda adalah elemen semantik yang tercerap oleh indra; bisa merupakan kata yang tertulis maupun terucap.[4] Makna (sense) adalah mode presentasi (mode of presentation), bagaimana sesuatu yang dirujuk tampak oleh tanda kepada seseorang.[5] Sedangkan referensi adalah objek yang dirujuk oleh nama; dalam konteks ini, yang menjadi referensi dari Hesperus adalah sebuah objek luar angkasa. Dengan demikian, deskripsi “Hesperus adalah Phosphorus” mau mengatakan bahwa Hesperus dan Phosphorus merujuk pada satu objek—planet Venus. Akan tetapi Hesperus dan Phosphorus memiliki mode presentasi yang berbeda. Orang-orang di Yunani zaman dahulu melihat Hesperus sebagai bintang fajar, sedangkan Phosphorus sebagai bintang malam.
Maka, pada kalimat “a=a” hanya terdapat satu mode presentasi, sedangkan pada “a=b” terdapat dua mode presentasi. Kalimat “a=b” mengandung pengetahuan aktual, yang merupakan pengetahuan dunia nonlinguistik.[6] Selain berlaku pada tanda, makna dan rujukan juga berlaku pada tingkat kalimat. Secara singkat, dapat dijelaskan bahwa makna dan referensi dari kalimat dideterminasi dari relasi makna dan referensi antar tanda dalam kalimat tersebut.[7]
(i) Soekarno adalah presiden pertama Indonesia.
(ii) Presiden pertama Indonesia adalah Soekarno.
Kedua kalimat tersebut merupakan dua kalimat berbeda dalam bahasa Indonesia. Akan tetapi, kalimat (i) dan (ii) menyatakan makna yang sama—dengan demikian memiliki makna yang sama. Makna dari kalimat ditentukan oleh makna-makna dari setiap tanda penyusun kalimat. Bagi Frege, makna dari kalimat adalah pikiran (thought), atau dalam bahasa kontemnporer dikenal sebagai proposisi. Kalimat berbeda dengan proposisi karena, meskipun (i) dan (ii) adalah dua kalimat berbeda, dalam bentuk proposisional, (i) dan (ii) sama. Kalimat bergantung pada bahasa, sedangkan proposisi tidak. Kemudian, rujukan dari kalimat adalah nilai kebenarannya (truth value)—disebut Yang Benar (The True) jika bernilai benar, dan disebut Yang Salah (The False) jika sebaliknya.
Makna dan Rujukan Tractarian
Dalam Tractatus, orang dapat mengerti makna/rujukan sebuah kalimat tanpa harus mengetahui nilai kebenarannya (TLP 4.024). Di sini penulis memahami kata “makna” (meaning) sebagai “rujukan” (reference), karena kata yang digunakan Wittgenstein sendiri adalah “Bedeutung”—sama seperti judul esai Frege “Über Sinn und Bedeutung.” Dalam level nama, Wittgenstein sepakat dengan Frege bahwa rujukan dari sebuah nama adalah objek yang eksis di dunia (TLP3.203). Akan tetapi, tidak terdapat makna dari sebuah nama—hanya kalimat yang memiliki makna (TLP 3.3). Lebih lanjut, Wittgenstein menyatakan bahwa substituen dari kalimat (nama) yang mencirikan makna adalah ekspresi atau simbol—nama memiliki makna hanya jika terdapat dalam kalimat (TLP 3.3-3.31).
Pertanyan selanjutnya adalah, apa makna dan rujukan dari kalimat? Terdapat kesepakatan pemahaman ketika membicarakan makna kalimat dalam bangunan filsafat Wittgenstein dan Frege. Makna dari sebuah kalimat adalah apa yang dipahami dari kalimat tersebut (thought/proposisi). Sedangkan rujukan dari kalimat bagi Wittgenstein bukanlah nilai kebenarannya. Jika bagi Frege makna nama-nama menentukan makna kalimat, bagi Wittgenstein, nama-nama yang berbeda namun merujuk pada objek yang sama—seperti Hesperus dan Phosphorus—membuat kontribusi yang sama pada makna sebuah kalimat.[8] Dengan kata lain, kalimat “Tully adalah orang Romawi” dan “Cicero adalah orang Romawi” memiliki makna yang sama bagi Wittgenstein.
Kalimat, layaknya semua gambar atau model, menjadi bermakna berdasarkan hubungan elemen-elemen dari kalimat tersebut yang berkorelasi dengan dengan objek-objek di dunia.[9] Dengan demikian, agar dapat memahami makna/rujukan dari sebuah kalimat, seseorang hanya perlu mengetahui objek apa yang berkorelasi dengan nama apa. Kembali ke proposisi 4.024, Wittgenstein menyatakan bahwa apa yang ada dan hubungannya dengan konstituen sebuah kalimat—tanpa perlu mengetahui nilai kebenaran kalimat tersebut—dapat membuat seseorang memahami makna/rujukan dari sebuah kalimat.
Membaca pengertian tersebut, pembaca mungkin akan terpikir mengenai komposisionalitas. Prinsip komposisionalitas juga dikenal sebagai prinsip Frege.[10] Prinsip ini mengatakan bahwa makna dari sebuah ekspresi kompleks sepenuhnya ditentukan oleh arti dari konstituen-konstituen ekspresi tersebut.[11] Dalam 4.025, Wittgenstein menyatakan bahwa kerja penerjemahan dari suatu bahasa ke bahasa lainnya tidak dilakukan dengan menerjemahkan satu kalimat ke kalimat lainnya, tetapi hanya dengan menerjemahkan konstituen-konstituen dari kalimat tersebut. Selain itu, Wittgenstein juga menyatakan bahwa komposisionalitas adalah prasyarat mutlak suatu bahasa untuk mampu mengekspresikan pikiran-pikiran (thoughts) baru.[12]
Penutup
Wittgenstein sepakat dengan Frege perihal rujukan dari sebuah nama. Namun, bagi Wittgenstein, tidak ada makna bagi sebuah nama. Nama memiliki makna hanya jika terdapat dalam kalimat. Dalam tingkat kalimat, terdapat kesepakatan antara Wittgenstein dengan sosok yang cukup banyak mempengaruhinya tersebut. Meski sepakat mengenai makna kalimat, terdapat perbedaan pengertian dalam rujukan kalimat. Jika bagi Frege makna (mode of presentation) nama-nama menentukan makna kalimat, bagi Wittgenstein, nama-nama yang berbeda namun merujuk pada objek yang sama—seperti Hesperus dan Phosphorus—membuat kontribusi yang sama pada makna sebuah kalimat. Kemudian, nilai kebenaran adalah rujukan kalimat bagi Frege. Sedangkan bagi Wittgenstein, rujukan kalimat adalah faktanya itu sendiri yang membuat kalimat tersebut benar atau salah. Perlu dicatat juga bahwa Frege dan Wittgenstein—setidaknya dalam Tractatus—adalah penganut prinsip komposisionalitas. Meski terdapat kesamaan dan perbedaan dalam banyak hal, satu hal yang dapat disepakati bersama adalah bahwa makna dan rujukan merupakan dua konsep penting dalam bangunan filsafat Frege dan Wittgenstein.
Catatan Akhir
[1] Gottlob Frege, “On Sense and Reference”, The Philosophical Review Vol 57 (3), 1948, hlm. 209.
[2] Colin McGinn, Philosophy of Language: The Classics Explained, (Massachusetts: MIT Press, 2015), hlm. 6.
[3] Colin McGinn, Ibid., hlm. 9.
[4] E. Rajeevan, “On the Liar Sentence: A Fregean Analysis”, Journal of the Indian Council of Philosophical Research Vol.35 (1), 2018, hlm. 80.
[5] Edward N. Zalta, “Gottlob Frege”, Plato Stanford Encyclopedia, 2023, <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/frege/>. (Diakses pada 9 Oktober 2023, pukul 21.52).
[6] Colin McGinn, Op.Cit., hlm. 10-12.
[7] Edward N. Zalta, Op.Cit..
[8] Michael Potter, Wittgenstein’s Notes on Logic, (New York: Oxford University Press, 2008), hlm. 153.
[9] Michael Morris, Michael Morris, Routledge Philosophy Guideboook to Wittgenstein and the Tractatus, (Abingdon: Routledge, 2003), hlm. 149.
[10] Francis Jeffry Pelletier, “Did Frege Believe Frege’s Principle”, Journal of Logic, Language, and Information Vol.10, 2001, hlm. 88.
[11]Zoltán Gendler Szabó, “Compositionality“, The Stanford Encyclopedia of Philosophy, 2022, <https://plato.stanford.edu/archives/fall2022/entries/compositionality/>. (Diakses pada 30 Oktober 2023, pukul 03.52).
[12] Roger M. White, Wittgenstein’s Tractatus Logico-Philosophicus, (Wiltshire: Cromwell Press Ltd, 2006), hlm. 71.
Daftar Pustaka
Frege, Gottlob. “Letter to Russel.” Esai. Dalam From Frege to Godel: A Source Book in Mathematical Logic, 1879–1931,diedit oleh Jean van Heijenoort, 127–28. Cambridge, Amerika Serikat: Harvard University Press, 1967.
Morris, Michael. Routledge Philosophy Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus. Abingdon, Inggris: Routledge, 2008.
McGinn, Colin. Philosophy of Language: The Classics Explained. Cambridge, Amerika Serikat: The MIT Press, 2016.
Pelletier, Francis Jeffry. “Did Frege Believe Frege’s Principle.” Journal of Logic, Language, and Information 10 (2001): 87–114.
Potter, Michael. Wittgenstein’s Notes on Logic. New York, Amerika Serikat: Oxford University Press, 2008.
Rajeevan, E. “On the Liar Sentence: A Fregean Analysis.” Journal of Indian Council of Philosophical Research 35, no. 1 (2018): 77–87.
Szabó, Zoltán Gendler, “Compositionality”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2022 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2022/entries/compositionality/>.
White, Roger M. Wittgenstein’s Tractatus Logico-Philosophicus. Wiltshire, Inggris: Cromwell Press Ltd, 2006.
Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico-Philosophicus. Diterjemahkan Oleh D. F. Pears dan B. F. McGuinness. London, Inggris: Routledge, 2001.
Zalta, Edward N., “Gottlob Frege”, The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Summer 2023 Edition), Edward N. Zalta & Uri Nodelman (eds.), URL = <https://plato.stanford.edu/archives/sum2023/entries/frege/>.