Objek sebagai Forma dan Konten dalam “Tractatus Logico-Philosophicus”

Dunia bukan sekadar kumpulan objek-objek belaka, melainkan bagaimana objek-objek tersebut saling terhubung satu dengan yang lainnya. Konfigurasi objek-objek inilah yang membentuk keadaan.

Andreas Sujana
Andreas Sujana
Mahasiswa Filsafat STF Driyarkara. Menyukai TWICE secara dogmatis.

“Objek” adalah salah satu gagasan yang paling vital dalam buku Tractatus Logico-Philosophicus milik Wittgenstein. Akan tetapi, tak dapat dipungkiri bahwa membaca tulisan yang merupakan salah satu esai paling penting dalam tradisi filsafat analitik tersebut bukan perkara mudah. Salah satu kalimat yang paling terkenal dari seorang positivis logis ini adalah urgensinya yg meminta agar seseorang diam jika sesuatu tidak dapat dipikirkan. Akan tetapi, kesulitan untuk memahami apa yang Wittgenstein pikirkan dalam bukunya tersebut tidak menjadi larangan untuk terus mempelajarinya—dan membicarakannya.

Penulis akan berusaha untuk menjelaskan secara singkat apa isi dari Tractatus Logico-Philosophicus terlebih dahulu, agar pembaca memiliki sedikit gambaran mengenai bangunan filsafat Wittgenstein. Kemudian, akan dijelaskan juga mengenai apa itu objek bagi Wittgenstein dalam Tractatus. Meski demikian, fokus utama dari tulisan ini adalah untuk melihat secara lebih dekat mengenai forma dan konten sebagai substansi dunia Tractarian.

Sekilas tentang Tractatus Logico-Philosophicus

Buku ini berbicara tentang teori makna rujukan. Sederhananya, yang bermakna adalah yang merujuk pada dunia (empiris). Namanya terinspirasi dari Tractatus Theologico-Politicus karya Spinoza yang berupaya membebaskan manusia dari perbudakan takhayul dan otoritas Gerejawi, Tractatus Logico-Philosophicus karya Wittgenstein berupaya membebaskan manusia dari Metafisika. Buku ini berangkat dari kegelisahan Wittgenstein terhadap filsafat yang selama ini dianggapnya palsu. Palsu karena semata-mata membahas Metafisika—yang melampaui fisik. Untuk pertama kalinya, Wittgenstein memecah filsafat bahasa menjadi dua: bahasa biasa dan bahasa ideal. Filsafat selama ini dianggap keliru dalam hal penggunaan bahasa. Dengan demikian, Tractatus berusaha untuk menciptakan bahasa yang ideal—bertujuan memahami logika bahasa, dan menunjukan bagaimana bahasa bekerja.

Menurutnya, bahasa isomorfis dengan dunia. Struktur dari bahasa adalah: proposisi, proposisi elementer, dan di level paling bawah terdapat nama. Sedangkan struktur dunia terdiri dari: kenyataan (facts), keadaan (state of affairs), dan objek. Bahasa paralel dengan dunia, proposisi dengan kenyataan, proposisi elementer dengan keadaan, dan nama dengan objek. Jika seseorang berbicara bukan tentang dunia—misalnya tentang Tuhan, moral, etika, dan estetika—sesungguhnya lebih baik orang tersebut diam. Karena apa yang ada di luar dunia (bahasa), sesungguhnya tidak dapat dikatakan. Persis inilah yang dilakukan filsafat selama ini, berbicara bukan tentang dunia. Bagi Wittgenstein, yang benar adalah yang berkorespondensi dengan dunia.

Bahasa dan dunia memiliki struktur logisnya masing-masing, dan keduanya saling berkorespondensi. Yang dimaksud dengan kenyataan adalah realitas, baik yang eksis maupun tidak eksis. Kemudian, yang dimakud keadaan adalah susunan/konfigurasi dari objek-objek. Sebuah objek hanyalah sebuah objek, hingga akhirnya disusun dengan objek lain sedemikian rupa dan akhirnya membentuk keadaan. Proposisi, seperti yang diketahui bersama, adalah satuan makna dari kalimat. Sifat kalimat relatif tergantung pada bahasa, sedangkan proposisi tidak. Misalnya, kalimat “Budaknya Gajah Mada” memiliki pengertian yang berbeda dalam bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Dalam bahasa Indonesia, “Budaknya Gajah Mada” dipahami sebagai orang belian properti dari Gajah Mada. Sedangkan dalam bahasa Sunda, “Budaknya Gajah Mada” dipahami sebagai anaknya Gajah Mada. Proposisi tersusun dari subjek dan predikat. Sedangkan proposisi elementer adalah apa yang hendak ditekankan dari proposisi.

Dengan demikian, yang dimaksud dengan makna rujukan adalah: sesuatu bermakna jika merujuk pada dunia. Wittgenstein paham bahwa bahasa sehari-hari memiliki kekurangan dalam menggambarkan dunia secara jelas. Ia memberikan contoh dengan kalimat “Green is green.” Orang pasti akan kebingungan apa yang dimaksud dengan kalimat tersebut. Apakah maksudnya “Hijau adalah hijau,” atau “Green (sebagai nama seseorang) berwarna hijau?” Melalui Tractatus, Wittgenstein berusaha melampaui ketidakjelasan bahasa sehari-hari, dengan memahami logika bahasa dan menunjukan bagaimana bahasa bekerja.

Objek dalam Tractatus

Pada pembacaan seluruh premis 1-2.225, Wittgenstein banyak membicarakan tentang objek. Menurutnya, dunia adalah apa yang ada (TLP 1), dan apa yang ada adalah konfigurasi objek-objek (TLP 2-2.01). Di sini, ia mengatakan bahwa dunia bukan sekadar objek-objek, melainkan bagaimana objek-objek tersebut saling terhubung satu dengan yang lainnya (Morris, 2008: 31). Konfigurasi objek-objek tersebut merupakan keadaan. Atau, jika menggunakan kosakata Bertrand Russel, fakta atomik. Seperti namanya, fakta atomik adalah proposisi yang tidak dapat diperkecil lagi selain menjadi sekadar objek-objek (Wittgenstein, 2001: xiv).

Wittgenstein menyatakan bahwa objek merupakan substansi dunia (TLP 2.021), dan karenanya, objek tidak mungkin merupakan sebuah gabungan. Dengan demikian, objek bersifat sederhana (TLP 2.01) dalam arti tidak mungkin dibagi lagi. Substansi, yang merupakan objek, adalah forma dan konten (TLP 2.024-5). Pertanyaan yang kemudian munculadalah, apa itu forma dan konten?

Forma dan Konten

Forma adalah ruang, waktu, dan warna (TLP 2.0251). Gagasan ini bersinggungan dengan gagasan Kant yang menyatakan bahwa agar sebuah objek dapat eksis, ruang-waktu merupakan prasyarat utama. Sedangkan warna juga adalah keniscayaan bagi objek spasial, karena tidak mungkin membayangkan sebuah objek spasial secara visual tanpa memiliki warna (TLP 2.0131). Akan tetapi, dalam lisan, objek tidak perlu memiliki warna. Terdapat dimensi-dimensi lain bagi orang yang sama sekali tidak mengenal konsepsi tentang warna, seperti orang yang buta sejak lahir, untuk menggambarkan objek seperti nada dalam suara, dan tingkat kekerasan dalam sentuhan (TLP 2.0131). Forma bersifat tetap (unalterable) (TLP 2.026). Namun sayangnya, hingga premis 2.225 Wittgenstein tidak mengelaborasi lebih jauh mengenai konten—apa itu konten, dan apakah konten juga bersifat tetap atau tidak.

Menurut Ian Proops, Wittgenstein menyatakan bahwa forma tidak berubah karena objek, substansi dunia, merupakan sebuah eksistensi yang niscaya (necessary existent) bagi adanya dunia (Proops, 2004: 110). Proops memparalelkan gagasan ketetapan (unalterable) milik Wittgenstein dengan gagasan Kant. Kant membedakan antara perubahan (alteration/Veranderung) dengan pergantian (existence change/Wechsel). Sesuatu dikatakan mengalami perubahan jika ia mengalami determinasi baru (A.187/B.230), sedangkan pergantian ketika suatu objek atau sifat (property) menghilang atau muncul ke eksistensi (A.185/B.228) (Proops, 2004: 108). Contohnya adalah buah apel yang awalnya berwarna hijau, kemudian menjadi merah karena masak. Apel tersebut mengalami perubahan (Veranderung), sedangkan kayu yang terbakar habis menjadi abu mengalami pergantian (Wechsel). Akan tetapi, dalam kasus apel masak, kehijauan sebagai sifat dari apel mengalami pergantian menjadi kemerahan.

Substansi, bagi Kant, adalah apa yang bertahan—sekadar berubah—dari berbagai pergantian. Ini disebut juga sebagai prinsip persistensi Kant (Proops, 2004: 109). Namun, apa jelasnya substansi bagi Kant masih sebuah perdebatan panjang dengan banyak disensus di antara para cendekia. Weizsacker berpendapat bahwa substansi Kantian adalah bagian dari kategori transendental, Proops menolak gagasan tersebut, dan Strawson menyatakan bahwa substansi Kant adalah aksi yang merupakan penyebab segala perubahan (Weizsacker, 1971: 78; Proops, 2004: 109; Strawson, 1997: 278-279). Satu yang disepakati oleh mereka semua adalah substansi Kantian berdiri dalam kaitannya dengan waktu. Sedangkan substansi dalam Tractatus berkaitan dengan eksistensi dalam dunia mungkin (Proops, 2004: 109). Dalam Kant, objek mengalami perubahan fisik, sedangkan dalam Tractatus objek mengalami perubahan dalam konfigurasinya dengan objek lain.

Hal ini memberi sedikit titik terang untuk menjawab apakah konten sebuah objek bersifat tetap atau tidak. Menurut Spinney, objek adalah konten karena proposisi selalu berbicara mengenai objek (Spinney, 2022: 18). Klaim ini senada dengan pernyataan Proops bahwa objek-objek adalah sesuatu yang konfigurasinya menjadi bahan bagi keadaan atau fakta atomik (Proops, 2004: 112-113). Kemungkinan konfigurasi objek-objek dideterminasi oleh bentuk logisnya—sifat internalnya (Biletzki dan Matar, 2023). Demikian juga terjawab pertanyaan “Apa itu konten.” Objek merupakan konten karena proposisi, fakta atomik, selalu berisikan objek. Objek adalah isi dari proposisi.

Penutup

Demikian telah dijabarkan perihal objek, dan pengertiannya sebagai forma dan konten. Dunia bukan sekadar kumpulan objek-objek belaka, melainkan bagaimana objek-objek tersebut saling terhubung satu dengan yang lainnya. Konfigurasi objek-objek ini membentuk keadaan. Atau, menggunakan kosakata Russel, sebagai fakta atomik. Objek merupakan substansi dunia karena objek merupakan yang terkecil yang tak dapat dibagi lagi, dan merupakan necessary existent bagi adanya dunia.

Wittgenstein juga menyatakan bahwa objek merupakan forma dan konten. Dalam 2.0251, forma adalah ruang, waktu, dan warna. Meminjam pengertian Kant, agar objek dapat eksis, objek harus berada dalam ruang dan waktu. Lebih lanjut, objek spasial yang meruang pasti memiliki warna. Sedangkan arti dari objek sebagai konten adalah karena proposisi selalu berisikan konfigurasi objek-objek. Objek merupakan konten (isi) dari proposisi.

Daftar Pustaka

Biletzki, Anat dan Anat Matar. “Ludwig Wittgenstein”. The Stanford Encyclopedia of Philosophy (Fall 2023 Edition). Disunting Oleh Edward N. Zalta & Uri Nodelman. forthcoming URL = <https://plato.stanford.edu/archives/fall2023/entries/wittgenstein/>.

Morris, Michael. Routledge Philosophy Guidebook to Wittgenstein and the Tractatus. Abingdon, Inggris: Routledge, 2008.

Proops, Ian. “Wittgenstein on the Substance of the World.” European Journal of Philosophy 12, no. 1 (2004): 106–26.

Spinney, Oliver Thomas. “Logical Form and Logical Space in Wittgenstein’s Tractatus.” Synthese 200, no. 1 (2022): 1–23.

Strawson, Peter Frederick. Entity and Identity and Other Essays. Oxford, Amerika Serikat: Oxford University Press, 1997.

Weizsacker, Carl Friedrich. “Kant’s ‘First Analogy of Experience’ and Conservation Principles of Physics.” Synthese 23, no. 1 (1971): 75–95.

Wittgenstein, Ludwig. Tractatus Logico-Philosophicus. Diterjemahkan Oleh D. F. Pears dan B. F. McGuinness. London, Inggris: Routledge, 2001.

Bacaan Lainnya