Seni Sedang Kehilangan Arah, Politik Harus Menangkapnya: Wawancara dengan Jacques Ranciere

Jangkauan refleksi filsuf Perancis Jacques Rancière melingkupi sastra, film, pedagogi, historiografi, sejarah proletar dan filsafat. Dia menjadi kesohor ketika ikut nimbrung dalam Lire le capital (1965) bersama Althusser, tak lama setelah itu, ia menerbitkan kritik keras terhadap Althusser dalam La Leçon d’Althusser (1974). Rancière adalah Profesor Emeritus Filsafat di Universitas Paris VIII (St. Denis), hingga kini ia masih terus mengajar, sebagai profesor tamu di sejumlah universitas, termasuk Rutgers, Harvard, Johns Hopkins, dan Berkeley. Tema yang terus disampaikan dalam karya Rancière adalah menangkap hubungan antara politik dan estetika, dan berbagai maknanya dalam konteks yang berbeda. Banyak dari karyanya dapat dicirikan sebagai upaya untuk memikirkan kembali dan menumbangkan kategori-kategori, disiplin dan wacana politik/filsafat. Pada 30 Oktober 2007, terjemahan bahasa Belanda dari Le partage du sensible dan L’inconscient esthétique dipublikasikan di Amsterdam.[1] Pada kesempatan ini Sudeep Dasgupta* mewawancarai Rancière tentang pengalaman sensori, intrik antara seni dan politik, dan perannya sebagai suatu bentuk pengacauan tatanan (disturbance).

Momen pertama dalam karier intelektual Anda adalah perjumpaan Anda dengan Louis Althusser dan Marxisme, khususnya terkait gagasan bahwa filsafat memiliki fungsi yang kuat dalam mendefinisikan atau membedakan posisi sains dari ideologi; filsafat terkait erat dengan definisi sains yang ketat, definisi yang menghasilkan konsep. Anda membuat pengaruh besar dengan esai penting Anda tentang kritik pada Marx. Setelah itu, Anda berpaling dari cara berpikir khusus filsafat dan menekuni arsip sejarah, terutama untuk meneliti gerakan buruh abad ke-19 di Prancis. Apa yang memotivasi peralihan dari filsafat lalu menekuni arsip, yang mana bukanlah pilihan umum yang diambil para filsuf? Apa yang Anda harap temukan di sana? Bisakah Anda menghubungkannya dengan bagaimana karya Anda dikembangkan selanjutnya?

Saya bukan filsuf pertama yang memutuskan untuk menekuni arsip. Tentu saja sudah ada yang melakukan itu, contohnya Foucault. Dia melakukan sesuatu yang sangat mengejutkan untuk generasi saya; berkat dia pertama kalinya sejarah kegilaan muncul. Karya macam apa itu? Sebuah buku seorang filsuf dan semua pertanyaannya terkait kaum miskin, obat-obatan, dan rumah sakit jiwa. Sudah ada model semacam ini dan saya pikir bukanlah acuan yang buruk. Kedua, berkaitan dengan gerakan kiri ’68; adanya gerakan ini menjadi jelas bahwa ada yang salah dengan gagasan bahwa orang-orang dieksploitasi dan dikuasai karena mereka tidak tahu hukum eksploitasi dan dominasi; jadi sains ada di sana untuk memberi mereka pengetahuan akan apa yang ingin mereka ketahui. Ada semacam lingkaran setan: rakyat tidak dapat memahami tempat di mana mereka berada dalam sistem akibat hukum sistem yang menyembunyikan dirinya sendiri. Lingkaran itu semacam tautologi. Sains seharusnya membebaskan rakyat biasa dan memberi mereka pengetahuan untuk membebaskan diri mereka, tetapi sains malah menjelaskan soal apa yang seharusnya rakyat abaikan, yaitu, bahwa sains mampu menjelaskan kenyataan posisi mereka. Rakyat didominasi karena mereka bodoh dan mereka bodoh karena mereka didominasi (sistem, sains).

Jadi yang saya coba lakukan adalah mendapatkan ide berbeda tentang lingkaran setan itu. Pertama, tentu saja, saya memiliki semacam ide: mari kita pergi ke arsip untuk melihat realitas gerakan sosial, gerakan pekerja; mari kita cari sosiologi pekerja, gerakan pekerja, pemikiran pekerja dan emansipasi pekerja.

Tetapi yang tampak pada saya dalam penelitian ini adalah bahwa tidak mungkin membandingkan sesuatu seperti pemikiran ‘autentik’ pekerja dengan pemikiran Marxis. Mustahil untuk menyimpulkan gerakan buruh, sosialisme dan revolusi dari pengalaman hidup yang bersumber dalam budaya populer dan sebagainya. Kenapa tepatnya? Karena lingkaran setan itu tadi. Belum lama ini, Ruth Sonderegger menjelaskan mirip dengan cara Plato menguraikan segala sesuatu tentang kondisi pekerja.[2] Menurut Plato, pekerja harus mengurusi urusannya sendiri. Mereka tidak mampu melakukan hal lain selain urusan mereka sendiri karena dua alasan. Alasan pertama karena mereka tidak punya waktu. Kedua, mereka hanya memiliki kecakapan (aptitude) yang sesuai dengan apa yang mereka kerjakan saja, maka sama halnya dengan mengatakan bahwa mereka tidak memiliki kecakapan apapun di bidang lain. Mereka memiliki kecakapan untuk melakukan ini, berada di tempat ini, dan berada dalam ruang-waktu ini –yang tentu saja merupakan kebalikan dari pengucilan mereka. Yang menarik bagi saya, dan apa yang saya temukan, bahwa kemungkinan emansipasi pekerja adalah mengubah lingkaran setan menjadi semacam spiral dengan keluar dari identitas pekerja yang bukan hanya suatu kondisi tetapi dunia seluruhnya yang bisa dicerap (sensible), dunia yang penuh dominasi dan eksploitasi. Kemungkinan Itu adalah soal apa yang bisa dilihat, apa yang bisa dicerap. Lalu, apa arti dari distribusi dunia yang dapat dicerap itu? Dunia macam apa yang diberikan kepada Anda, dan bagaimana Anda memahami dunia indra (sensory) yang terberi itu? Apa yang saya coba lakukan adalah membangun suatu jenis subjektivitas baru dari kolektivitas mereka. Artinya berarti bahwa kaum proletar memiliki kemungkinan untuk melepaskan diri dari apa yang disebut identitas pekerja, budaya pekerja, dan tubuh pekerja itu. Emansipasi adalah tentang menciptakan tubuh baru bagi diri mereka sendiri, dunia baru yang hidup. Dan sudah jelas bahwa masalahnya bukan karena mereka menyangkal kondisi mereka, tetapi mereka menyangkal kondisinya karena mereka mampu melakukannya. Membayangkan melakukan seolah-olah mereka tidak dalam posisi itu.

Ada teks terkenal dari Kant, Critique of Judgment, yang mengatakan bahwa penilaian estetika meminta kita hanya untuk memahami bentuk. Ketika berdiri di depan sebuah istana, tidak masalah jika istana tersebut dibangun dari keringat orang-orang miskin; kita harus mengabaikan itu, kata Kant. Saya pikir Kant benar. Pada saat yang sama saya menemukan sebuah teks yang ditulis oleh seorang tukang, seorang pelapis lantai,[3] dan dia menjelaskan dengan tepat apa yang dia lihat ketika dia meletakkan lantai di sebuah rumah orang kaya. Dia memutuskan untuk memperoleh persepsi estetika tentang ruangan, atau tentang sebuah taman, dari berbagai perspektif. Jadi dia memutuskan untuk melakukan seolah-olah dia memiliki pandangan yang tidak syarat kepentingan, dan bisa mendapatkan penilaian estetika, terlepas dari kenyataan bahwa dia dibayar rendah, bahwa dia bekerja untuk bos, dan bahwa dia bekerja untuk orang kaya.

Bagi saya ini penting. Posisi itu mengingatkan saya pada pandangan saya tentang estetika –estetika yang tidak terlanjur menjadi sosiologi seni tetapi sebagai bentuk pengalaman. Artinya, pengalaman keterputusan. Seperti yang telah dikonsepsikan oleh Kant dan Schiller: ada sesuatu yang selalu lolos dari kondisi normal pengalaman sensorik. Itulah yang seharusnya dipertaruhkan dalam emansipasi: keluar dari cara-cara biasa yang disajikan pengalaman indrawi. Pemikiran ini penting bagi gagasan saya tentang politik, bukan tentang relasi kuasa tetapi tentang kerangka dunia sensorik itu sendiri.

Di mana Anda memosisikan karya Anda? Pertanyaan ini telah menjadi masalah bagi banyak orang selama ini: Siapa itu Rancière? Apakah dia seorang filsuf? Apakah dia seorang kritikus sastra? Buku Anda mencakup bidang dari pedagogi, penulisan sejarah, filsafat, sinema dan sastra. Anda telah menempati posisi dalam filsafat dan estetika. Namun Anda telah dengan sangat kuat menyatakan bahwa Anda bukan seorang filsuf politik, juga bukan sejarawan seni. Apakah Anda akan mengatakan bahwa, selama  dekade berselang, telah condong atau lebih dekat ke disiplin ilmu tertentu, bisakah Anda katakan intinya karya Anda justru mengkritik disiplin tersebut dan jika demikian, bagaimana itu bisa dijelaskan? Tema sentral seperti apa yang sedang diusung?

Anda tertarik pada suatu objek dan mencoba memahaminya. Misalnya, Anda mencoba memahami bagaimana orang dapat mengubah kerangka keberadaan yang terindra –seperti yang terjadi dalam proses emansipasi. Lalu Anda pergi ke arsip, untuk melihat dokumen tentang kondisi pekerja, pemikiran pekerja, dan sebagainya. Pada titik itu Anda seharusnya berada di bidangnya sejarawan. Sejarawan bertanya kepada Anda: apa metode sejarah yang Anda gunakan? Anda harus menerapkan metode sejarah. Pertanyaan saya menjadi: apa itu metode sejarah? Anda hanya mencoba memahami sesuatu; oleh karena itu Anda pergi ke materi (arsip) yang dapat membantu Anda memahami. Kemudian Anda mencoba memahaminya / membuatnya masuk akal. Metode macam apa ini? Anda menggunakan otak Anda. Anda mencoba menemukan sesuatu dan menggunakan otak Anda untuk memahaminya. Metode sejarah memang berarti; Saya tidak mengatakan itu tidak berarti apa-apa. Artinya Anda harus berada di bidang ini, karena objeknya adalah sejarah sosial.

Pikiran pekerja adalah bagian dari kehidupan pekerja, pengalaman pekerja, ekspresi dari pengalaman itu. Ada seorang sejarawan sosial terkemuka yang membahas kelas pekerja di Prancis, ia membuat daftar pustaka tentang literatur terkait pekerja. Dan kebetulan buku saya dimasukkan ke dalam sub kategori ‘kesadaran budaya dan agama pekerja’. Metode yang tepat dari para filsuf, sosiolog, kritikus sastra, sama dengan ajaran Platonis: Anda harus mengurus urusan Anda sendiri. Tetapi, tentu saja, jika saya melakukan urusan saya sendiri, itu berarti saya harus melepaskan objek saya. Objek saya adalah orang yang tidak ingin mempertahankan urusan mereka sendiri.

Dari sudut pandang saya, tidak ada yang benar-benar bidang disiplin. Batas-batas disiplin hanya berarti: Anda tidak seharusnya keluar dari bidang ini. Untuk memahami pertanyaan, saya hanya harus melangkah ke luar. Saya harus mengumpulkan hal-hal yang tidak berjalan bersamaan. Yaitu teks Plato tentang kurangnya waktu pekerja, dan teks pekerja pada abad ke-19 –ribuan tahun setelah Plato- yang membahas dengan tepat apa artinya tidak punya waktu. Jadi jika saya ingin mengerti, saya harus melewati batas disiplin ilmu. Penggambaran batas-batas semacam ini adalah wajah lain dari prosedur dalam / rekomendasi otoritatif (inner prescription).

Ada dua jalan berpikir. Ada jalan berpikirnya orang miskin, yang merupakan ekspresi dari kondisinya. Dan ada berpikirnya seorang pemikir, yang membuat daftar pustaka dan yang mengatur kategori. Dan pemikir ini tahu dia dapat mencakup totalitas dan memahami bahwa dalam totalitas ini terdapat beberapa manifestasi pemikiran. Tetapi pikiran hanyalah ekspresi dari suatu kondisi. Jadi pada dasarnya ketika karya saya tidak masuk suatu disiplin, maka ia masuk upaya untuk melanggar batas-batas disiplin. Karena batas hanya ada di sana untuk mengatakan Anda tidak boleh melintasi batas itu, dan untuk mengatakan: ada dua jenis pemikiran, dua jenis makhluk yang berpikir. Apa yang saya coba tunjukkan adalah hanya ada satu jenis pemikiran dan bahwa setiap orang menggunakan otaknya sendiri untuk mencoba memahami sesuatu.

Jadi disiplin adalah fiksi, dan fiksi tidak berarti hanya khayalan. Fiksi berarti semacam konstruksi suatu wilayah dengan populasi, dengan bentuk-bentuk representasi indra, dengan cara-cara yang dibuat masuk akal. Fiksi juga politik, atau meta-politik. Jika Anda berpikir tentang sosiologi, misalnya, dan cara Bourdieu ‘menemukan’ habitus dan sebagainya, mengingatkan kita pada fakta bahwa sosiologi bukanlah sejenis sains yang jatuh dari langit pada waktu tertentu. Sosiologi adalah politik. Ia muncul pada abad ke-19, yaitu, setelah revolusi, karena ada kekhawatiran besar pada saat itu bahwa orang tidak lagi berada di tempat mereka, bahwa tidak ada lagi representasi umum yang menyatukan orang, tidak ada monarki, tidak ada agama, tidak ada feodalitas . Karena itu kita harus menemukan bentuk baru agregasi masyarakat dan bentuk-bentuk baru pemikiran kolektif. Dan dalam kasus ini, tentu saja, bentuk-bentuk baru anomi dan klenik, suatu bentuk pemikiran modern tentang emansipasi, tentang menjadi berbeda dari diri sendiri, harus disingkirkan.

Bagian dari semakin pentingnya karya Anda dan sambutannya yang hangat dari dunia seni, telah menjadi kritik yang sangat kuat terhadap jenis teleologi tertentu, semacam narasi sejarah tertentu, yang berjalan dengan sangat cepat, misalnya: realisme, modernisme, postmodernisme. Anda juga sangat kritis terhadap seni kontemporer yang mengaku politis, sampai-sampai sangat kritis terhadap kapitalisme, misalnya, dan fakta lain bahwa kita semua terperangkap dalam budaya konsumsi, dan Anda berpendapat bahwa ketika seni terus melakukan penolakan terhadap kapitalisme dengan cara seperti ini ia akan menjadi saksi ketidakberdayaannya sendiri. Anda menolak narasi realisme / modernisme / postmodernisme ini, dan Anda telah mengangkat tiga rezim: rezim etis, representatif, dan estetis. Rezim estetika sangat penting bagi banyak argumen Anda di berbagai bidang. Jika ada masalah dengan realisme / modernisme / narasi postmodernisme, dapatkah kita melihat rezim etis, representatif dan estetis sebagai semacam narasi sejarah paralel? Singkatnya, apakah Anda menolak satu narasi dan digantikan yang lain, atau adakah sesuatu yang spesifik tentang ketiga rezim ini yang membuat kita memikirkan kembali bagaimana cara berpikir tentang hubungan kita dengan sejarah? Apa yang saya maksud khususnya terkait kategori ‘rezim estetis’.

Masalah pertama saya dengan narasi realisme / modernisme / postmodernisme adalah bahwa mereka tidak membantu kita untuk memahami apa yang terjadi dalam seni dan dalam pengalaman estetik selama dua abad terakhir. Ambil contoh kasus realisme –dan dalam pembicaraan Bram Ieven tentang sastra[4]– apa signifikansi dari novel realistik di abad ke-19? Pembicaraan ini sama sekali bukan semacam puncak representasi karena akan mewakili segalanya dalam berbagai macam cara. Pemikiran semacam ini adalah perpecahan dengan sebuah rezim di mana hanya beberapa hal yang bisa dan harus direpresentasikan dengan cara tertentu. Jadi arti realisme bukanlah semacam imitasi fanatik terhadap kenyataan. Sebaliknya, yang dimaksud dengan novel realistik adalah gangguan terhadap cara dominan di mana realitas direpresentasikan. Jika kita berpikir dengan cara realisme bahwa setiap subjek itu baik, berarti pada akhirnya tidak ada subjek –yang sangat dipahami oleh Flaubert- bahwa semua subjek adalah setara dan pada akhirnya tidak ada subjek sama sekali. Persoalan ini penting bagi para novelis realis, maupun untuk seni abstrak. Tidak ada subjek yang penting sama sekali. Jadi pertentangan antara realisme, modernisme, dan postmodernisme adalah imajinasi palsu. Kita benar-benar harus menyingkirkannya. Ambil contoh misalnya, ide modernisme sebagai otonomi seni. Secara historis modernisme adalah sebaliknya: modernisme adalah gagasan bahwa seni harus berkomitmen untuk kehidupan modern, gagasan bahwa seni harus menciptakan bentuk-bentuk kehidupan –tidak ada lagi lukisan dan simfoni, dan sebagainya.

Bukan berarti saya ingin mengganti konsep dengan konsep yang lebih baik. Apa yang buruk tentang kategori-kategori itu bagi saya adalah mereka bersandar pada gagasan tentang keharusan historis. Terkait tiga rezim, saya mencoba mendefinisikan tiga bentuk fungsi. Tetapi ini tidak berarti: tiga tahapan sejarah. Rezim estetika adalah rezim di mana semua bentuk-bentuk itu dapat koeksis. Pada saat yang sama, rezim estetika ditentukan oleh bentuk pengalaman estetika tertentu. Tetapi pada dasarnya, rezim ini koeksis satu sama lain. Mari kita tengok gagasan tentang yang klasik. Gagasan ini adalah penemuan modern; sebuah penemuan rezim estetik. Sebelumnya, kita memiliki perbedaan antara yang kuno dan modern. Gagasan ‘klasik’ adalah untuk kualifikasi ulang dan penulisan ulang sastra kuno di masa sekarang. Pada abad ketujuh belas atau kedelapan belas tidak ada yang pernah bermain Sophocles, atau Aeschylus. Mereka dipuji, tapi tidak dipentaskan. Dan sekarang keduanya dipentaskan.

Intinya adalah bahwa rezim estetika memungkinkan bentuk-bentuk lama untuk hidup berdampingan dengan bentuk-bentuk baru. Sangat menarik jika Anda berpikir tentang sinema. Apa yang dilakukan sinema di tahun 1920-an dan 1930-an, dan khususnya di Hollywood, adalah untuk menemukan kembali definisi genre, dan pemisahan-pemisahan kategori lama menghilang. Misalnya, lihat pengarahan dari produser Hollywood yang hebat: gagasan bahwa sebuah plot harus seperti ini. Gagasan tentang aksi dan plot adalah sama dengan ide di abad kedelapan belas tentang teater. Gagasan ini juga berarti bahwa rezim estetik adalah rezim ambivalensi. Pengalaman estetik adalah pengalaman yang ambivalen. Pengalaman estetika diatur sebagai semacam gangguan. Dalam Kant dan Schiller, misalnya, ada semacam pengalaman yang dibedakan dari koneksi pengalaman biasa. Pada saat yang sama, kita tahu, terputus dari susunan hierarkis indrawi, keterputusan ini menjadi dasar dari ide revolusi baru dan ide komunitas baru di mana orang-orang sama sebagai makhluk yang indrawi dan tidak hanya sebagai warga negara. Jadi rezim estetik memberi bentuk baru pada pemikiran etis. Jelas bahwa seni revolusioner adalah semacam keraguan antara gagasan pengalaman estetika dan seni yang seharusnya menciptakan bentuk kehidupan baru dan menekan dirinya sendiri. Jadi yang saya coba lakukan adalah mengganti konsep teleologis dan keharusan historis, dengan kategori yang membantu kita untuk memahami keterjeratan logika yang berbeda-beda.

Mari kita beralih ke masalah seni yang politis atau yang dipolitisir. Adakah kriteria atau dasar yang valid yang dapat kita gunakan untuk menilai apakah sebuah karya seni bersifat politis atau tidak? Atau apa  yang politik dari karya seni tertentu? Tanggapan Anda adalah: tidak ada kriteria, hanya pilihan. Tetapi dalam pembacaan Anda terkait sinema (dalam “The General Line” karya Eisenstein misalnya) Anda berbicara tentang narasi yang ingin menghasilkan makna tertentu tetapi selalu terganggu atau dengan cara tertentu digagalkan oleh elemen dalam karya seni yang tidak-menandakan, yang tidak bisa dengan cepat dianggap berasal dari suatu makna. Jadi ada semacam permainan antara makna dan materialitas dalam sebuah karya seni. Menghubungkan argumen Anda itu, yang telah Anda tunjukkan dalam literatur dan juga di sinema, dapatkah Anda mengatakan apakah itu akan, jika bukan sebuah fondasi, menjadi cara untuk menilai apakah karya seni itu politis atau tidak? Apakah itu akan mengarah ke sana dengan menyoroti aspek makna dan interupsi ini? Apakah itu terkait dengan politik dan estetika?

Pertama-tama, kita tidak bisa menyertakan pertanyaan dalam konsep politik seni. Apa yang efisien bukanlah seni dalam dirinya atau seni untuk seni; seni adalah bagian dari distribusi yang indrawi –bagian dari konfigurasi ulang pengalaman tertentu. Apa yang penting dalam kasus emansipasi pekerja adalah kemungkinan waktu luang dan kemampuan untuk melihat lukisan, lebih dari sekadar kata atau lukisan tertentu. Orang-orang tidak terbebaskan oleh lukisan revolusioner. Tetapi mereka dapat memperoleh jenis tubuh baru, pandangan baru di luar kemampuan berbagai jenis lukisan. Ada sesuatu yang salah dengan gagasan bahwa efek politik harus ditempatkan dalam karya seni itu sendiri atau, khususnya, ditempatkan dalam niat seniman. Apa yang terjadi dalam rezim estetik seni adalah bahwa seniman menciptakan objek yang lepas dari kehendak mereka. Terkadang itu menyangkal kehendak mereka. Ada karya demokratis yang dibuat justru oleh seniman yang sama sekali bukan seorang demokrat.

Kedua, ada potensi politik di mana ada gangguan pada organisasi tertentu dari hubungan antara presentasi yang indrawi dan bentuk makna. Kita tahu bahwa ide ini diterapkan oleh seniman politik – seperti Eisenstein. Eisenstein memainkan permainan ganda: di satu sisi, Eisenstein bermain di kerasnya pengeditan dan pemotongan, pengorganisasian pengambilan gambar sebagai produksi makna. Dan pada saat yang sama, ia bermain pada sesuatu yang sangat berbeda. Ada semacam lirik dalam urutan The General Line yang jelas dipinjam dari tradisi lukisan Rusia. Mari kita melihat berulang kali pada seniman politik, yang bermain pada elemen yang mengganggu; Saya membayangkan tentang keterasingan di Brecht, tentu saja. Saya akan mengatakan keterasingan juga semacam permainan ganda, karena ada garis lurus semacam ini, Anda sebenarnya memilih sesuatu yang aneh; tetapi ketika Anda memilihnya, itu mengganggu pandangan yang indrawi.

Elemen yang mengganggu ini harus mengarah pada kesadaran bahwa ada sesuatu yang salah dengan tatanan sosial. Tetapi jelas tidak ada alasan untuk percaya bahwa gangguan sipil, sebagai akibatnya, akan mengarah pada kesadaran akan situasi politik dunia dan mobilisasi. Di satu sisi, pandangan Brecht tentang keterasingan bergantung pada teori alienasi Marxis; di sisi lain ia bergantung pada praktik surealis dan Dadais dengan unsur-unsur yang mengganggu. Tetapi dalam hal ini elemen yang mengganggu tidak mengarah pada bentuk khusus kesadaran atau mobilisasi. Politik unsur-unsur aneh ini selalu ambivalen karena makna dan penarikan makna. Ketika Anda melihat permainan ini, Anda dapat mendefinisikan politik estetika –menggunakan beberapa bentuk gangguan atau keanehan. Tetapi yang penting: Anda tidak dapat menentukan efeknya. Politik sastra, atau politik seni, tidak berorientasi pada konstitusi subjek-subjek politik. Politik seni jauh lebih berorientasi pada pembingkaian bidang subjektivitas sebagai ranah impersonal. Dengan cara tertentu, penafsiran politik dari ‘yang aneh’ dalam hal efek selalu semacam negosiasi. Seni sedang kehilangan arah. Dan politik harus menangkapnya. Masalahnya bukan apa yang harus dilakukan seniman untuk menjadi politis; pertanyaannya harus dibalik: apa yang subyek politik harus lakukan dengan seni?

Anda telah berbicara tentang konstitusi subjek sebagai bidang yang impersonal. Dalam buku-buku Anda, Anda telah membuat sangat jelas bahwa seseorang tidak dapat menempelkan sekumpulan kualitas tertentu kepada sekelompok orang, lebih tepatnya merupakan ‘rezim polis’. Tidak ada subjek revolusi yang ditentukan seperti saat dulu kala kita berbicara tentang kelas pekerja, dan sebagainya. Maka, dalam arti tertentu, teori Anda tentang subjek, yang akan terkait dengan praktik disensus, selalu dalam formasi dan hibrid. Hibriditas subjek menjadi sangat jelas dalam “The Nights of Labor”.[5] Pekerja-pekerja ini adalah pekerja, tetapi masalahnya mereka adalah sesuatu yang lain. Jadi, Anda telah mengembangkan teori tentang subjek sebagai yang hibrid, yang berubah-ubah, dan dengan cara mengembara- berkeliaran di tempat yang tidak boleh mereka jelajahi. Bagaimana Anda menghubungkan teori subjek ini dengan kebangkitan politik identitas, teori tentang identitas kita baik di dalam maupun di luar akademi? Salah satu bidangnya adalah studi postkolonial, di mana telah ada kritik yang sedang berlangsung tentang subjek terpadu dengan esensi tetap. Bagaimana perkembangan teori Anda tentang subjek di seluruh karya Anda berhubungan dengan beberapa cara-cara berpikir seperti ini?

Seperti yang mungkin Anda tahu, saya orang Prancis [tertawa]. Di Prancis tidak ada politik identitas, tidak ada studi postkolonial. Berarti saya tidak pernah harus menangani masalah-masalah sejenis yang sangat penting di negara lain. Topik itu diabaikan secara sistematis di Prancis. Jadi saya berurusan dengan pertanyaan tentang subjek tidak pernah merupakan upaya untuk mengatasi masalah politik identitas atau hibriditas, identitas pascakolonial dan sebagainya. Pada dasarnya saya tidak tertarik membuat teori tentang subjek. Ketika saya masih muda, pada masa Althusserianisme, ada pernyataan kuat tentang subjek yang terjerat atau terperangkap dalam tatanan simbolis dan kita akan tahu apa yang terjadi ketika subjek ingin keluar dari jebakan itu. Ketertarikan saya adalah mendefinisikan subjek dalam hal kapasitas dan bukan dalam hal ketidakmampuan. Dan juga saya tidak ingin mendefinisikan sifat subjek, tetapi proses subjektivitas. Ini tiga puluh tahun yang lalu; Saya ingin keluar dari deskripsi tertentu tentang identitas sosial seperti, misalnya, ide budaya populer, pemikiran pekerja, dan sebagainya. Apa yang saya coba definisikan adalah cara di mana setiap bentuk subjektivitas adalah bentuk dis-identifikasi. Tentu saja di sana Anda dapat melihat beberapa hubungan antara saya dengan identitas dan subjektivitas, dan masalah dalam studi postkolonial. Saya hanya mengambil perspektif yang berbeda. Tetapi saya tidak terlalu menyukai gagasan tentang hibriditas ini, karena tampaknya lebih merujuk pada konstitusi subjek daripada pada proses subjektivisasi.

Anda telah sangat kritis dalam banyak buku Anda tentang peralihan ke semacam politik yang direduksi menjadi negara, dan khususnya, tentang cara-cara di mana para ahli, filsuf, sosiolog, intelektual dan administrator lainnya menarik diri ke dalam sesuatu seperti aparatus negara yang kemudian mengklaim berfungsi sebagai demokrasi. Di sini, di Belanda, kami juga memiliki sejarah tertentu dari ‘partage du sensible’, yang merupakan ‘zuilensysteem’ atau yang disebut sistem pilar. Semua jenis kelompok mendapatkan ruang institusinya sendiri dan masyarakat terbagi rapi di antara semua komunitas ini. Sekitar akhir 1990-an yang mulai berantakan ketika diskusi seputar imigran mengemuka – khususnya imigran yang “tidak berpendidikan, lebih ke Muslim”. Ada serangan terhadap struktur masyarakat Belanda; serangan terhadap apa yang disebut elit di Den Haag. Hampir ada semacam upaya partisi ulang tentang apa arti masyarakat di sini. Sistem pilar buruk, elit salah; dan harus ada politik atas nama rakyat. Ada hal yang kabur dan tidak berbentuk yang disebut ‘rakyat’ tanpa subjek tetap. Mungkinkah perkembangan di Belanda ini dilihat sebagai contoh disensus? Dan apakah disensus memiliki kecenderungan politik? Bisakah Anda memikirkan ‘partage du sensible’ yang sayap kanan, atau yang tidak emansipatoris?

Saya sedang tidak berargumentasi untuk rakyat atau melawan elit. Saya berdebat tentang dua bentuk penataan komunitas. Logika polis versus logika politik tidak berarti elit adalah yang jahat dan rakyatnya baik. Apa yang saya coba bedakan bukanlah dua kategori populasi, tetapi dua fungsi logika. Logika polis adalah logika yang memisahkan kompetensi; bahwa ada kompetensi khusus untuk memerintah rakyat. Logika politik adalah logika kompetensi yang setara dari siapa pun. Jarang terjadi bahwa orang setuju dengan ide ini karena mereka berpikir bahwa ada bagian dari populasi yang jelas tidak kompeten dan harus dikesampingkan. Kita berada dalam situasi di mana ada semacam upaya oligarkis untuk menghapus panggung politik. Ketika tahap ini cenderung menghilang, Anda dapat melihat bentuk-bentuk organisasi baru yang aneh, atau restrukturisasi, dari komunitas dan hubungan antara yang sama dan yang lain, dan seterusnya. Bentuk ini terjadi di Prancis dengan berdirinya Le Pen. Apa dasar dari kesuksesan Le Pen? Justru kekosongan panggung politik: kemungkinan menghadirkan semacam karikatur atau penyimpangan politik atas nama rakyat. Tetapi pertanyaannya adalah: atas nama rakyat yang mana?

*Sudeep Dasgupta adalah Associate Professor di Department of Media and Culture, University of Amsterdam. Dia adalah editor buku Constellations of the Transnational: Modernity, Culture, Critique (Amsterdam / New York: Rodopi, 2007).

*Wawancara dalam Bahasa Inggris ditranskrip oleh Dirk Haen


[1] Rancière, J. (2007). Het esthetische denken. Amsterdam: Valiz

[2] Wawancara ini didahului oleh kuliah Ruth Sonderegger (University of Amsterdam).

[3]  Rancière, J. (1983) Louis-Gabriel Gauny. Le philosophe plébéien. (ed.) Paris / St. Denis, La Découverte/Presses universitaires de Vincennes.

[4] Wawancara ini juga didahuli oleh kuliah Bram Ieven (University of Leiden).

[5] Rancière, J. (1989) The Nights of Labor: The Workers’ Dream in Nineteenth-century France. Philadelphia: Temple University Press

Sumber gambar: autonomies.org

Bacaan Lainnya