Ada hantu yang bergentayangan di dalam diskursus filsafat Indonesia. Hantu-hantu filosof leluhur Indonesia. Filsafat Indonesia dapat dibebaskan hanya setelah mumifikasi pemikiran leluhur yang totemik berhasil dibunuh. Ada hantu lain yang bergentayangan di dalam filsafat Indonesia. Hantu-hantu filsafat modern (Barat).
Di dalam On The Struggle for Recognition of Southeast Asian and Regional Philosophy (2015), Ferry Hidayat menulis, “filsafat berarti cinta kebijaksanaan, tetapi bagaimana jika pecinta kebijaksanaan tidak menghormati, mengabaikan, atau meremehkan tradisi selain miliknya sendiri? Bisakah filsuf seperti itu tetap menjadi pecinta kebijaksanaan?” Ferry berbicara dalam fakta bahwa memang banyak dari filsuf Barat mengadopsi sikap rasis terhadap tradisi filsafat non-Barat, yang sikap itu kemudian menjadi akar dari hegemoni filsafat di dunia.
Kemajuan Filsafat Barat
“Kemajuan” filsafat Barat memang bisa dipandang sebagai sesuatu yang linear, seperti satu garis lurus dengan gerak dialektis, yang setiap titiknya dalam sejarah merepresentasikan suatu pemikiran filosofis, yang pemikiran itu kemudian dinegasikan oleh pemikiran yang lebih baru dan maju, begitu seterusnya dan terus progresif, terus berkembang secara eksponensial layaknya yang diasumsikan terjadi pada perkembangan disiplin ilmu sains. Dari situ, perkembangan filsafat diharapkan dapat menemukan sebuah formulasi filosofis yang semakin memahami Kebenaran sehingga mampu menjawab pertanyaan berusia ribuan tahun yang lalu dari para filsuf-filsuf yunani kuno seperti darimanakah asal usul alam semesta, apa unsur-unsur pembentuk realitas, dst. Akan tetapi, kecenderungan untuk berpikir demikian berpotensi untuk membuat filsafat non-barat, diantaranya Indonesia, jatuh pada kolonialisasi pemikiran Barat.
Dalam Philosophy of History (1753) Hegel menulis,
Dalam kehidupan Negro, karakteristiknya tercermin pada fakta bahwa kesadaran belum mencapai realisasi dari eksistensi objektif apapun yang substansial, seperti misalnya Tuhan atau Hukum, dimana urusan kehendak manusia dilibatkan (di dalamnya) dan manusia pun merealisasikan dirinya. Perbedaan antara dirinya sebagai individual dan sebagai universalitas dari esensi Being nya, orang Afrika di dalam keseragaman, kesatuan eksistensinya yang tak-berkembang belumlah tercapai; sehingga Pengetahuan dari Being Absolut, Liyan, dan Yang Lebih Tinggi dari diri individualnya, sepenuhnya kurang. Orang Negro, sebagaimana yang telah diobservasi, memperlihatkan natural man dalam keadaan yang sepenuhnya buas dan liar. Kita harus menyingkirkan semua pemikiran tentang penghormatan dan moralitas, segala hal yang bisa disebut perasaan, bila kita hendak memahaminya (manusia Negro) dengan jujur, tak ada hal apapun yang selaras dengan kemanusiaan yang bisa ditemukan dari tipe karakter semacam ini.
Di dalam teks tersebut, Hegel merendahkan sekelompok masyarakat yang disebutnya “Negro” dengan mengatakan bahwa kehidupan mereka secara umum, meminjam interpretasi antropologis Kojeve, seperti sekedar binatang. Tidak merefleksikankemajuan kesadaran. Tidak ada pengejawantahan diri di dalam Tuhan dan Hukum. Mereka masih dalam keadaan natural man, manusia yang kesadarannya masih di tingkatan buas dan liar. Dengan cara yang demikian itu Hegel menyimpulkan bahwasannya filsafat, atau kesadaran, haruslah dipahami sebagai suatu perkembangan yang bergerak maju, suatu progress, dan bahwa jika dilihat dari parameter progress itu, peradaban orang Afrika masih dalam tahapan kesadaran yang minim dan jauh tertinggal.
Selaras dengan Hegel, Rasisme pemikir Barat dapat pula ditemukan dalam karya David Hume berjudul Of National Character tahun 1753. Hume mengatakan,
Saya cenderung mencurigai orang-orang negro, dan secara umum semua spesies manusia lainnya (karena ada empat atau lima spesies yang berbeda jenis) secara alami lebih rendah daripada kulit putih. Hampir tidak pernah ada yang menjadi bangsa yang beradab dari warna kulit lain selain bangsa kulit putih, atau bahkan keunggulan individu apapun baik dalam tindakan atau spekulasi. Tidak ada pekerja manufaktur yang cerdik di antara mereka, tidak ada seni, tidak ada ilmu pengetahuan. Di sisi lain, yang paling kasar dan biadab dari orang kulit putih seperti orang Jerman kuno, atau bangsa Tartar saat ini, masih memiliki sesuatu yang istimewa di dalam mereka, dalam keberanian mereka, dalam bentuk pemerintahan, atau dalam hal lainnya. Perbedaan yang seragam dan konstan seperti itu tidak akan mungkin terjadi, di begitu banyak negara dan zaman, jika alam tidak membuat perbedaan asli dalam perkembangbiakan antar jenis-jenis manusia ini.
Bertrand Russell juga berkontribusi terhadap pemikiran rasisme Barat dengan mengatakan bahwa “filsafat itu dimulai oleh Thales” serta Martin Heidegger dengan arogan menolak menyebut Filsafat Cina dan India sebagai sebuah “Filsafat” sebab gagasannya mengenai ‘das Seiende in seinem Sein’ (‘the being in its being’) tidak ditemukan di dalam kedua sistem Filsafat itu, melainkan hanya pada filsafat-filsafat di Eropa. Pemikiran-pemikiran rasis para filsuf besar ini, orang-orang paling brillian pada zamannya, merupakan jiwa dari peradaban Barat dalam berinteraksi dengan peradaban non-Barat. Melalui kolonialisme dan imperialisme, mereka kemudian mengekspor dan menanamkan pemikiran superioritas Barat sekaligus menegaskan dominasi bangsa mereka ke seluruh dunia. Yang jadi pertanyaan kita selanjutnya, lantas, bagaimana kita harus menyikapi rasisme filsafat Barat ini, perlukah kita melihat konstelasi filsafat dunia sebagai suatu perlombaan universal dari progress? dan jika tidak, bagaimanakah cara untuk keluar dari jebakan perlombaan itu?
Saya akan merespon permasalahan-permasalahan di atas dengan berangkat dari satu asumsi dasar bahwa kuriositas kolektif suatu peradaban sifatnya beragam dan bergantung pada kondisi historis masyarakatnya. Maksudnya ialah bahwa tidak semua keingintahuan bersifat universal. Apa yang menjadi keingintahuan manusia hari ini mungkin berbeda dari apa yang menjadi keingintahuan manusia 4000 tahun lalu. Keingintahuan manusia didasarkan pada pengalaman langsung-nya berinteraksi dengan dunia. Keingintahuan kolektif, dengan demikian, merupakan irisan keingintahuan yang timbul atas kesamaan pengalaman individual dalam kondisi masyarakat dan periode sejarah tertentu. Sebagai eksperimen pikiran, mari kita andaikan bila ada seseorang yang terlahir sendirian dalam ruang kosong monokromatik. Mengenakan pakaian dan makan dengan peralatan yang monokromatik, tanpa pernah sedikitpun mengenal dunia luar. Kita mungkin tidak akan mampu menebak apa yang akan jadi keingintahuannya, dan yang jadi pertanyaan-pertanyaan dalam benaknya. Tetapi kita dapat memastikan bahwa ia tentu tidak ingin tahu soal bagaimana caranya meruntuhkan kapitalisme. Atau sebagai contoh lain, bagaimana cara mengatasi ketimpangan gender, dan apa akar penyebab penindasan patriarki terhadap kaum perempuan. Hal ini karena seumur hidup ia tidak pernah punya pengalaman langsung apapun mengenai kapitalisme maupun relasi kuasa gender. Malahan, dia tidak punya pengalaman apa-apa tentang gender-lain, selain yang ia miliki.
Sebaliknya, kelahiran filsafat feminisme yang menuntut pembebasan perempuan sebagai gender yang teropresi, dipicu kuat oleh adanya pengalaman langsung kaum perempuan atas penindasan patriarki. Filsafat feminisme, tidak bisa tidak, akan lahir sebagai reaksi otomatis atas pengalaman itu. Dengan cara yang sama pula rasisme dan triumpalisme Barat muncul, sebagai reaksi dari pengalaman dan interaksi langsungnya dengan bangsa selain bangsanya, dengan dunia di sekelilingnya.
Contoh lain dari perbedaan kuriositas kolektif misalnya begini. Jika jiwa dari peradaban Barat dapat diintisarikan sebagai sebuah pergolakan untuk meraih kebebasan dan kemerdekaan bagi setiap orang (struggle for freedom), maka di peradaban Timur, seperti Jepang, tidak dikenal konsep kebebasan individual sekuler dalam kamus peradaban kuno mereka. Orang Jepang pra-Restorasi Meiji lebih tertarik untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan seputar bagaimana membentuk harmoni sosial, apa unsur-unsur dari keteraturan publik, apa hakikat manusia diposisikan dalam masyarakatnya, dan seterusnya. Dengan demikian, apa yang penting bagi suatu peradaban bisa menjadi tidak sama sekali penting bagi peradaban lain.
Sehingga bisa jadi, maksud saya, pertanyaan-pertanyaan filsafat kontemporer di dunia barat saat ini adalah pertanyaan filosofis kosong bagi peradaban kita yang tidak perlu dijawab dan tidak bernilai dari segi kuriositas. Peradaban kita lebih ingin tahu soal ketimpangan kelas dan opresi gender ketimbang apakah itu unsur-unsur pembentuk kesadaran. Peradaban kita lebih ingin menjawab pertanyaan tentang rasisme dan diskriminasi berkedok agama ketimbang problem pikiran – tubuh (mind-body problem).
Maka dari sana hendaklah Filsafat Barat diposisikan dan dibaca sebagai sekedar khazanah filosofis dari negeri seberang atau untuk kemudian digunakan sebagai referensi berpikir dalam menjawab kuriositas-kuriositas yang kita punya dan yang hidup di dalam masyarakat kita hari ini, namun bukan sebagai ujung tombak apalagi haluan dalam berfilsafat sepenuhnya.
Jika kita mengasumsikan bahwa Indonesia gagal berkecimpung di kancah internasional dalam diskursus filsafat kontemporer karena tidak berusaha menjawab pertanyaan yang sama, bisa jadi, selain disebabkan oleh faktor-faktor lain, hal itu karena saat ini topik-topik filsafat di negara lain tidak begitu penting dan menggelitik untuk kita jawab ketimbang permasalahan lain yang hadir langsung di depan mata kita. Ini yang perlu ditekankan terlebih dahulu untuk pembebasan Filsafat Indonesia dari hegemoni luar. Sebelum mendekolonisasi buku-buku dan pemikiran Barat untuk merumuskan Filsafat Indonesia, pertama-tama perlu mendekolonisasi pemikiran kita sendiri dari kemelekatan dan kekaguman yang berlebihan terhadap filsafat Barat. Itu yang sebaiknya menjadi langkah awal dari pembangunan Filsafat Indonesia.
Saya akan akhiri tulisan ini dengan mengatakan bahwa apabila seluruh peradaban umat manusia akan hancur jadi debu, dan filsafat hanyalah sebuah permainan untuk mengisi waktu luang, maka seharusnya dipahami bahwa orang Barat, orang Timur, dan orang Indonesia hanya memainkan permainannya masing-masing, yang perbedaannya harus dimengerti dari mainan apa yang sedang ada di depan matanya, dan yang sesuai dengan minat maupun kebutuhan akan keingintahuannya. Dengan cara itulah filsafat Indonesia dapat berfokus pada problem-problem yang ada pada masyarakatnya sendiri, tanpa harus galau dengan inferioritasnya, juga terlalu memedulikan ketertinggalannya dari negara lain. Dengan cara itu, Filsafat Indonesia dapat dibebaskan.