Berbicara tentang esensi, tentu hal yang dimaksud adalah sifat esensial dari sesuatu. Secara sederhana, sifat esensial merupakan sebuah acuan identitatif atas sesuatu yang dirujuk. Sifat esensial sebuah segitiga pada bidang datar, misalnya, adalah jumlah dari semua sudutnya yang bernilai konstan 180°. Jika sesuatu yang jumlah semua sudutnya tidak bernilai 180°, maka sesuatu tersebut bukanlah segitiga.
Contoh di atas dapat kita formalisasi sebagai berikut: apabila sifat E adalah esensi dari A, maka jika X tidak memiliki properti E maka X bukanlah A; dan ini berlaku sebaliknya. Agar pembahasan ini jernih, berikut adalah formula dari formalisasi tersebut: E esensi A → (¬(X memiliki E) → ¬(X = A)). Formula tersebut dapat kita terapkan untuk contoh lain seperti: apabila berkumis tebal adalah sifat esensial dari Pak Sakera, maka jika seseorang tidak berkumis tebal dia bukanlah Pak Sakera. Selanjutnya, kita akan menganalisis satu persatu perihal esensi Filsafat Indonesia dan esensi problem filsafat kontemporer.
Esensi Filsafat Indonesia
Syarif Maulana berpendapat bahwa:
“Saras Dewi kelihatannya meyakini bahwa secara esensial ada yang dinamakan ‘Filsafat Indonesia’, yang kehadirannya disuling dari beraneka ekspresi kesenian yang berangkat dari tradisi.”
Pendapat tersebut merujuk pada pernyataan Saras Dewi berikut:
‘Gagasan Filsafat Indonesia mengendap di dalam ekspresi-ekspresi berkesenian: tarian, kidung, pahatan, yang brilian dan tidak saja indah, tapi juga memiliki kemanjuran sosial.’
Dengan demikian, bagi Saras Dewi, untuk memahami gagasan Filsafat Indonesia kita perlu meneliti ekspresi-ekspresi berkesenian sekaligus menyaripatikan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya.
Kita buat sebuah pengandaian bahwa terdapat penelitian P1 yang meneliti sebuah tarian T1 di Indonesia. Tarian T1 mengisahkan seorang penguasa yang menyejahterakan rakyatnya dan menjunjung tinggi kesetaraan dalam masyarakat. Dari tarian T1, ditemukan bahwa terdapat nilai keadilan yang terkandung di dalamnya. Berdasar pada tarian T1, gagasan Filsafat Indonesia adalah keadilan. Dengan memakai interpretasi Syarif Maulana, keadilan adalah esensi dari Filsafat Indonesia.
Namun, ternyata ada juga penelitian P2 yang memiliki kesamaan metode dengan P1 tetapi P2 meneliti tentang tarian T2. Tarian T2 tersebut mengisahkan penindasan seorang penguasa kepada rakyatnya dan menunjukkan betapa sengasaranya rakyat tersebut. Dari tarian T2 tersebut ditemukan nilai ketidakadilan. Berdasarkan pada tarian T2, gagasan Filsafat Indonesia adalah ketidakadilan sehingga ketidakadilan merupakan esensi dari Filsafat Indonesia.
Dari andaian dua penelitian tersebut, P1 dan P2, dapat disimpulkan bahwa: keadilan dan ketidakadilan adalah esensi dari Filsafat Indonesia. Kesimpulan tersebut memang cukup aneh, tetapi secara logis dapat disimpulkan dari dua andaian kita sebelumnya. Secara sederhana, terdapat tiga reaksi atas kesimpulan tersebut: menerima, menolak, atau menunda.
Reaksi pertama, menerima, merupakan reaksi tidak kritis dan merupakan salah satu bentuk pengultusan atas kekacauan berpikir. Reaksi kedua, menolak, merupakan reaksi yang cukup kritis, tetapi muncul masalah dari posisi ini. Penolakan terhadap kesimpulan tersebut berujung pada sikap skeptis terhadap setidaknya salah satu dari dua penelitian sebelumnya, yakni P1 atau P2. Sayangnya, skeptisisme tersebut tidaklah berdasar karena keduanya memiliki justifikasinya masing-masing, yakni P1 tentang T1 dan P2 tentang T2.
Apabila kita tengarai, sikap skeptis muncul jika dan hanya jika penolakan yang dilakukan adalah penolakan naif. Penolakan naif merupakan penolakan yang dilakukan hanya karena kesimpulannya aneh dan tidak intuitif. Dengan ini, kita dapat menghindari sikap skeptis dengan jalan tidak melakukan penolakan naif. Secara sederhana, terdapat penolakan lain selain penolakan naif, yakni penolakan teoretik-filosofis dan penolakan ideologis. Kedua penolakan tersebut memberikan dasar untuk menolak setidaknya salah satu dari P1 atau P2.
Penolakan teoretik-filosofis merupakan penolakan yang didasarkan pada konstruksi teoretik-filosofis tertentu. Penolakan ini mensyaratkan sebuah pandangan filosofis yang mapan terlebih dahulu. Sayangnya, kita masih pada proses ‘mencari’ atau ‘membangun’ FI, sehingga penolakan teoretik-filosofis belum dapat dilakukan. Usaha ‘menjalin’ dengan cara mengadopsi pandangan yang mapan di luar Indonesia justru mengontradiksikan semangat ‘mencari’ dan ‘membangun’ Filsafat Indonesia, yakni dekolonisasi. Mengapa? Karena hasil penelitiannya bukan lagi Filsafat Indonesia melainkan filsafat di luar Indonesia yang terinternalisasi di Indonesia. Dengan demikian, cukup jelas bahwa penolakan teoretik-filosofis memang belum dapat dilakukan di Indonesia.
Penolakan ideologis merupakan penolakan yang didasarkan pada konstruksi ideologis tertentu. Konstruksi Ideologis ini didasarkan pada kepercayaan atas dogma politis tertentu. Jika, misalnya, dogma yang dianut adalah ‘keadilan’, maka P1 akan diterima dan P2 akan ditolak. Sayangnya, sekali lagi, penolakan ini didasarkan pada kepercayaan atas dogma. Bisa jadi dogma yang dianut adalah dogma kosong takberdasar atau cita-cita utopis takteraih. Secara tidak langsung, penolakan ideologis dibangun berdasarkan pandangan bahwa dogma ideologis itu identik dengan filsafat. Apakah dogma ideologis itu identik dengan filsafat? Saya pikir tidak.
Perlu adanya analisis tersendiri terhadap klaim yang menegaskan bahwa sebuah dogma politis tertentu itu memiliki dasar historis-filosofis. Namun, apabila secara historis ternyata pendahulu kita itu terpecah-belah, dan ternyata banyak juga pemimpin terdahulu kita yang lalim, terang sudah bahwa kepercayaan kita terhadap dogma persatuan dan keadilan adalah kepercayaan kosong sehingga nilai dogmatis tersebut tidaklah esensial. Kepercayaan kosong di sini analogis dengan sebuah kondisi di mana sekelompok orang memiliki fetish atas kondisi atau perilaku tertentu di dalam pikiran mereka, namun mereka buta akan kenyataan bahwa mereka sendiri melakukan sebaliknya dan lantas menjauhinya. Saya pikir ini absurd.
Sejauh ini, reaksi yang tersisa adalah reaksi ketiga: menunda. Maksud dari ‘menunda’ adalah menganggap kesimpulan aneh tersebut sebagai sebuah bentuk inkonslusivitas. Dengan kata lain, dengan menunda, kita menegaskan ketidaktahuan kita atas esensi Filsafat Indonesia karena kesimpulan yang diraih tersebut aneh atau inkonklusif. Reaksi ‘menunda’ sekilas merupakan reaksi yang bijak. Meski demikian, perlu disadari bahwa reaksi ‘menunda’ menyeret kita pada penundaan-penundaan yang lebih besar. Apabila terdapat keanehan pada kajian lain, semisal sejarah, relief, atau serat maupun babad, kita juga harus menundanya, sehingga pada suatu titik kita akan menunda secara total keberadaaan esensi Filsafat Indonesia. Lantas, apa bedanya menunda secara total esensi Filsafat Indonesia dengan menganggapnya tidak ada sama sekali? Saya pikir tidak ada bedanya.
Saya berada pada posisi ketiga, dan saya membawanya pada posisi yang radikal. Kita harus menunda esensi Filsafat Indonesia, sehingga kita menganggap esensi Filsafat Indonesia itu tidak ada atau belum ada sama sekali, setidaknya untuk saat ini. Dengan kata lain, pertanyaan mengenai esensi Filsafat Indonesia tidaklah relevan, toh esensi Filsafat Indonesia belum ada. Dengan demikian, hal yang harus dilakukan adalah membangun sebuah konstruksi teoretik-filosofis yang mapan untuk Filsafat Indonesia dengan tetap membawa semangat dekolonisasi—hal ini telah saya bahas pada artikel saya sebelumnya: konstruksinya dapat diraih dengan menemukan signifikansi historis untuk konstruksi teoretik-filosofis tersebut.
Esensi Problem Filsafat Kontemporer
Syarif Maulana melakukan serangan demotivatif pada Banin Diar Sukmono dengan menyatakan:
‘Jangan-jangan tidak ada yang dinamakan “problem filsafat kontemporer” karena yang berubah hanyalah fenomen-fenomennya saja.’
Serangan ini di dasarkan pada penjelasan Syarif Maulana sendiri:
‘Sebagai contoh, apakah problem pikiran-tubuh merupakan persoalan filsafat klasik atau kontemporer? Mungkin bisa dua-duanya: persoalan tersebut sudah dibicarakan sejak masa Yunani Kuno, tetapi kita masih mempersoalkannya, mungkin bukan karena ada persoalan metafisika yang “baru”, tetapi lebih karena ada usaha mengartikulasikannya dengan cara-cara “baru”, yang bisa jadi berangkat dari fenomena-fenomena yang juga “baru”. Artinya, apa yang disebut kontemporer dan bukan kontemporer tidak sesederhana dikategorikan berdasarkan apakah kemunculannya terjadi di masa kini atau di masa sebelumnya.’
Pada titik ini, saya melihat bahwa Syarif Maulana terjebak pada pandangan esensialis: hal yg ‘kontemporer’ itu harus ‘kini’ dan ‘baru’.
Pandangan Syarif Maulana tidaklah akurat, menimbang pernyataan dari Banin Diar Sukmono sendiri berikut ini:
‘Lebih spesifik, saya ingin menegaskan bahwa kecenderungan mendefinisikan filsafat secara geografis dan esensialis itu cukup destruktif.’
Sedari awal, Banin Diar Sukmono memang sudah menolak posisi-posisi esensialis. Dengan demikian, ‘problem baru’ bukanlah sebuah hal yang esensial dalam problem filsafat kontemporer.
Berdasar pada analisis di atas, bagi saya, serangan demotivatif yang dilakukan oleh Syarif Maulana tidaklah relevan. Problem filsafat kontemporer itu ada dan ia adalah fenomena tersebut beserta dinamikanya dalam alur historis. Jelas bahwa Banin Diar Sukmono, dan juga saya, tidak peduli dengan problem filsafat kontemporer in itself. Upaya mencari problem filsafat kontemporer in itself merupakan usaha yang sia-sia, bahkan destruktif—ini konsisten dengan apa yang telah dijelaskan oleh Banin Diar Sukmono dalam artikelnya. Untuk memperjelas, bagi saya upaya mencari esensi Filsafat Indonesia dan esensi problem filsafat kontemporer adalah usaha yang tidak produktif, sehingga sia-sia dan bahkan destruktif: menghancurkan upaya untuk membangun konstruksi teoretis-filosofis dari Filsafat Indonesia itu sendiri.
Lantas, apa itu problem filsafat kontemporer? Pragmatis saja, problem filsafat kontemporer adalah berbagai problem yang hadir di saat ini: entah problemnya bertahan (belum terpecahkan) dari masa lalu hingga sekarang ataupun memang problemnya ‘baru’ muncul sekarang. Oleh karena itu, pertanyaan penutup Syarif Maulana tidaklah relevan:
‘Jangan-jangan yang dimaksud Banin Diar Sukmono sebagai “problem filsafat kontemporer” adalah sama dengan apa yang dimaksud Saras Dewi sebagai “problem lama yang dipecahkan dengan artikulasi kontemporer”?’
Perlu saya perjelas bahwa sejak awal memang hal tersebut tidak dibedakan, dan saya pikir memang tidak perlu dibedakan. Kita tidak perlu mempersulit permasalahan yang pada dasarnya sudah sulit untuk dipecahkan.
Saya pribadi hendak menambahkan konstruksi problem filsafat kontemporer. Terdapat masalah lain yang belum terjamah pada kontruksi problem filsafat kontemporer yang dibangun oleh Banin Diar Sukmono. Sejauh ini dapat dilihat terdapat dua bentuk problem: problem yang bertahan hingga sekarang dan problem yang baru muncul sekarang. Kedua hal ini merupakan formulasi yang wajib (necessary) tetapi, bagi saya, ini tidaklah cukup (not sufficient).
Ada satu hal yang perlu ditambahkan: problem yang mungkin akan muncul sejauh ia relevan dengan kondisi sekarang. Dengan ini, filsafat (begitu juga Filsafat Indonesia) juga bersifat spekulatif dan antisipatif. Dengan demikian, filsafat mencakup problem-problem masa lalu, masa kini, dan masa depan.
Oleh karena itu, sejauh ini ada tiga hal dalam problem filsafat kontemporer:
1. Problem yang bertahan hingga sekarang;
2. Problem yang baru muncul sekarang; dan
3. Problem yang mungkin akan muncul sejauh ia relevan dengan kondisi sekarang.
Tiga hal tersebut juga hadir untuk melihat dinamika fenomena dari berbagai problem dalam arus waktu. Dengan demikian, tidak relevan lagi mempertanyakan soal esensi dari problem filsafat kontemporer.
Terakhir, sejauh ini, waktu memang linier dan tidak ada masalah dengannya. Bagaimanapun, sekarang adalah waktu yang tepat untuk membangun Filsafat Indonesia. Bukan nanti, bukan besok, bukan kemarin: namun sekarang.