Sains Tak Sama dengan Saintisme: Itu Masalahnya

Tanggapan terhadap tanggapan balik Hukmi yang berjudul Masalahnya di Sini

Tulisan pertama Hukmi berisi dua poin utama: (1) pertentangan sains dan agama dalam isu wabah Covid-19 dan (2) isu kehendak bebas. Setengah dari isi tulisannya membahas yang pertama. Hukmi berpandangan isu korona adalah kasus pertentangan agama dan sains. Saya berkata tidak ada pertentangan di situ. Jadi, kritik saya tepat pada salah satu poin utama; tidak salah sasaran. Tentu saya tak usah mengulang lagi argumen dari tanggapan pertama. Melihat Hukmi tak mempersoalkan argumen saya (kecuali hanya menyebutnya sebagai argumen ‘pasaran’, padahal yang praktis itulah justru yang riil, sementara yang teoretis baru merupakan potensi), saya anggap Hukmi tak memandang argumen saya keliru, mungkin hanya kurang memuaskan dahaga dia saja yang lagi excited mendapat bahan baru buat menyerang agama.

Baiklah, langsung saja: dari tanggapannya terhadap tanggapan saya, tampak bahwa Hukmi mengira kritik saya salah sasaran karena paradigma yang dia pakai bukanlah sains an sich, melainkan saintisme (scientism), yakni paham yang menganggap sains bukan sekadar pembacaan terhadap data dari alam, melainkan juga bahwa sains adalah satu-satunya pandangan dunia yang valid. Syahadat saintisme adalah tidak ada realitas di luar alam fisik—tentu saja termasuk Tuhan. Persis inilah ideologi orang-orang seperti Dawkins dan para neo-ateis kontemporer.

Bagi Dawkins dan para pengikutnya (seperti Hukmi), evolusi kudu berkonsekuensi logis terhadap eliminasi (konsep) Tuhan. Karena saya bukan pengikut Dawkins, saya berpandangan, sebagaimana pandangan para evolusionis yang juga beragama, bahwa evolusi tidak niscaya menegasikan adanya Tuhan. Ketika Darwin menulis The Origins, tidak serta merta semua umat beragama menolaknya. Kreasionisme (dalam pengertian spesifik sebagai anti-evolusi) muncul awal-awal dari kelompok Protestan di Amerika, dan baru belakangan kemudian diimpor ke dunia Islam (dengan oknum utamanya Harun Yahya), dengan inti argumen yang serupa tapi tentu ayat-ayat yang membalutinya berbeda.

Ketika Copernicus (yang religius) menyatakan bumi mengelilingi matahari (yang datanya sama dengan yang dipakai Ptolemy, hanya paradigmanya berganti—Hukmi pernah dapat kuliah ini di CRCS), gereja Katolik tidak serta merta satu suara. Paus pada saat itu, yang kepadanya karya Copernicus didedikasikan, menyambutnya dengan baik. Malah, yang pertama keras menolak teori Copernicus adalah gereja Lutheran. [FYI, Luther termasuk yang diberi ucapan terima kasih di laman ‘About’-nya Antinomi, lho. Wekaweka.]

Kembali lagi: jadi yang bertentangan (atau, khusus dalam isu korona, lebih tepatnya: dipertentangkan Hukmi) adalah antara agama dan saintisme sebagai sesama worldview. Yang bertentangan bukan antara agama dan sains; yang pertama mengandung nilai etis, sementara yang kedua tidak niscaya demikian. Sains memberikan informasi tentang cara kerja alam. Etika (termasuk di dalamnya etika yang diinspirasi ajaran agama) menyampaikan apa yang seharusnya dilakukan menyikapi informasi dari sains itu.

Agama dan saintisme bersebarangan dalam soal pengakuan akan adanya Realitas yang melampaui realitas fisik. Iman akan adanya Yang Transenden itulah yang, meski melahirkan sikap etis yang boleh jadi serupa secara lahiriah, paradigma yang mendasarinya berbeda. Walakin, apa masalahnya dari menyikapi isu korona dengan menyertakan paradigma akan adanya Yang Transenden? Seperti yang saya sebut di tangggapan saya sebelumnya, sejauh menyangkut korona, yang riil dan praktis terjadi dan bermasalah adalah sebagian kecil pemimpin agama yang pasrah tanpa ikhtiar. Itu saja.

Di ranah teoretis, itu masalah Hukmi sendiri. Dia gelisah karena tak suka melihat ada ketegangan di level paradigmatis antara agama dan saintisme dalam menyikapi isu korona. Saya ingin menambahi ketegangan teoretis ini: ketika menyatakan bahwa kerumunan orang harus dijauhi karena potensi menyebarkan virus yang membahayakan kesehatan atau bahkan nyawa manusia, tentu butuh landasan etis. Umumnya Muslim yang paham fikih akan segera menyebut bahwa di antara tujuan agama ialah hifzhun-nafs, menjaga jiwa. Jadi jelas landasan etisnya. Nah, apa landasan etis Hukmi ketika menyatakan itu? Bukankah moralitas itu konstruksi sosial saja, Gus Hukmi? (Dia beneran gus lho, sementara saya… ah, siapalah hamba yang daif ini.)

Letak perbedaan saya dengan Gus Hukmi dalam saling tanggap tulisan ini ialah bahwa ‘sains’ dalam pikiran saya beda dengan yang dipikirkan dia. Gus Hukmi  mengangap sains dan saintisme bermakna sama belaka. Saya tidak demikian.

Maka dengan ini saya menantang Hukmi untuk menyebut seberapa banyak dari para saintis besar dunia yang berpaham saintisme itu, yakni yang dengan hakulyakin menyatakan bahwa alam fisik inilah satu-satunya alam yang ada dan menyangkal kemungkinan adanya Realitas Yang Transenden, Yang Supernatural, atau apapun istilahnya, yang melampui dunia materi. Kalau sebagian besar mereka demikian, saya tarik semua kritik saya, dan anggaplah invalid semua. Tentu saja ini tugas Hukmi, bukan saya dong. Kan dia direktur institut yang memang fokus utamanya adalah filsafat, sains, dan agama. Hehe.

Di sini filsafat sains adalah kunci. Apakah sains itu identik belaka dengan realitas yang ia deskripsikan atau ia pada hakikatnya adalah tafsir yang bertujuan menstrukturkan realitas? Semoga saya tak tampak terlalu bodoh ketika menyebut ironis kenyataan bahwa sebagian pengikut filsuf anti-fundasionalis yang menentang klaim bahwa bahasa adalah cermin realitas ternyata bisa berganti haluan begitu urusan tiba menyoal sains dan agama.

Demikian. Soal agama dan sains sementara sampai sini dulu. Sori ya, Hukmi, saya bukan pembeli argumen God of the Gap dan integrasi (atau ayatisasi) temuan sains dengan kitab suci. Jadi, kalau kamu pakai itu buat mengkritik saya, itu namanya falasi orang-orangan jerami.

Hal-hal lain

Sekarang soal kehendak bebas. Isu ini tidak saya sentuh di tanggapan pertama karena saya malas saja masuk ke dalam debat teknis teologis—persisnya malas kalau nanti malah menyeret diskusi agama dan sains ini ke debat akidah. Tidak menanggapi semua poinnya bukan kemudian berarti kritik salah sasaran. Info untuk Hukmi: posisinya bukan dua, tapi tiga—Jabbariyah, Qadariyah (di dalamnya ada Mu’tazilah), dan Asy’ariyyah. Dalam Asy’ariyah pun ada detail-detail yang berbeda antara pengikutnya, karena posisi pertengahan yang diambilnya, dalam tafsir Asya’irah (para pengikut al-Asy’ari), kadang bisa cenderung dekat ke Jabbariyah (menolak kehendak bebas), kadang ke Qadariyah (menyatakan ada kehendak bebas). Posisi yang biasanya dijelaskan dalam buku daras teologi Asy’ariyah adalah konsep kasb (lit. akuisisi)yakni Tuhan melimpahkan potensi untuk berbuat kepada manusia; manusia punya pilihan untuk menggunakan atau tidak menggunakan potensi itu, dan kuasa dan kehendak Tuhan bekerja simultan dengan ketika manusia menggunakan atau tidak menggunakan potensi untuk berbuat itu.

Bahasan kehendak bebas ini butuh tulisan tersendiri yang panjang, lebih-lebih kalau spesifik menyangkut akidah Islam. Cukuplah saya ulang yang sebut di tanggapan pertama, sebagaimana umumnya Asy’ariyah akan mengatakan: tawakal adalah perintah Tuhan, ikhtiar juga demikian.

Soal kehendak bebas, yang lebih cocok untuk Antinomi, agar berbeda dari kajian UIN, adalah apakah para saintis (lebih khusus lagi, neurologis, boleh juga memasukkan di dalamnya neo-ateis seperti Sam Harris) saat ini sepakat bahwa manusia benar-benar punya kehendak bebas? Ini sekali lagi tugas Hukmi, ya. Sudah baligh, kok!

Terakhir, mengikuti saran di pungkasan tanggapan Hukmi mengenai manusia yang mengendalikan kematian—ini maksudnya transhumanisme? Tenang, nanti agama akan meresponsnya. Sekarang ini saja sudah muncul beberapa organisasi keagamaan yang fokus menyambut era Manusia 2.0. Hukmi mungkin akan membayangkan agama akan punah di era itu. Saya membayangkan, sepanjang Manusia 2.0 itu masih memiliki karakter kesadaran yang sama persis dengan manusia saat ini, bukan hanya kognisi tapi juga afeksi (termasuk mencintai perempuan), kegelisahan untuk mencari makna hidup dan pikiran tentang apa sejatinya realitas dunia ini akan akan terus membayangi. Di sana agama-agama tradisional akan beradaptasi. Tentu saja ini prediksi. Hukmi boleh memprediksi, saya juga. Kebenarannya akan ditentukan nanti di masa depan.

Sambil menunggu era itu, saya sekarang mau tidur dulu ya. Semalam begadang.

*Artikel ini dimuat atas seizin dari penulis. Sumber asli: contingentbeing.wordpress.com

*Sumber gambar: exploringmormonthought.com

Bacaan Lainnya