Problem Moralitas dalam Analisis Komodifikasi Agama

Komodifikasi agama itu buruk bukan karena tidak sesuai dengan kaidah moral atau sakralitas agama, tetapi karena eksploitatif dan ilusif.

Karunia Haganta
Karunia Haganta
Penulis adalah seorang peneliti independen. Lulus dari Sarjana Antropologi Universitas Indonesia.

Pembicaraan mengenai agama dan politik pada Pilpres kali ini lebih “sepi” dibanding Pilpres sebelumnya. Namun, bukan berarti hal itu sama sekali tidak ada. Salah satu topik pembahasan yang cukup konsisten muncul adalah komodifikasi agama. Pembahasan ini jamak ditemukan baik di artikel jurnal maupun daring. Dalam konteks Pilpres 2024, salah satu yang masih membicarakannya adalah artikel yang ditulis Abd. Rasyid di Islami.co yang berjudul “Ketika Tokoh Agama Terjebak dalam Kubangan Praktik ‘Komodifikasi Agama’” pada 2 Maret 2024. Artikel tersebut sebenarnya lebih banyak mengulang analisis komodifikasi agama yang sudah banyak dilontarkan dalam karya-karya lain. Namun, masih bertahannya analisis serupa mengingatkan saya bahwa terdapat masalah besar dalam analisis komodifikasi agama tersebut, khususnya dalam konteks Indonesia.

Analisis komodifikasi memang sedang marak-maraknya. Hall (2023) berargumentasi bahwa ilmu sosial menganalisis karena semuanya telah dikomodifikasi. Saking banyaknya analisis mengenai komodifikasi ini, analisis tersebut justru menjadi makin buram karena tidak lagi jelas sasarannya. Keburaman yang cukup fatal yang terlihat pada banyak analisis mengenai komodifikasi agama di Indonesia adalah tidak jelasnya relasi antara agama, negara, dan pasar yang dimaksud dalam analisis-analisis tersebut. Komodifikasi sendiri, jika didefinisikan secara sederhana, adalah menjadikan sesuatu sebagai komoditas. Dalam konteks agama, ini menjadi titik berangkat yang menarik. Pasalnya, agama dianggap sebagai sesuatu yang sakral, tetapi justru diperlakukan selayaknya komoditas.

Sayangnya, hal tersebut justru merupakan masalah. Kebanyakan analisis mengenai komodifikasi agama berhenti pada kontroversi agama yang dijadikan komoditas, atau lebih tepatnya sebagai branding untuk mengeruk keuntungan. Selain itu, komodifikasi kerap dirancukan dengan politisasi, yaitu melihat agama yang diperlakukan sebagai “komoditas” politik belaka. Meski menggunakan istilah berbeda, baik komodifikasi agama maupun politisasi agama berpangkal pada asumsi yang sama bahwa agama telah mengalami pelunturan kesakralan karena menjadi sarana mengeruk keuntungan, terlebih dalam konteks politik yang dianggap “kotor”. Namun, permasalahannya tidak berhenti di situ.

Sebelum membahas lebih lanjut, ada baiknya dilakukan peninjauan terlebih dahulu terhadap kajian-kajian mengenai komodifikasi agama di Indonesia. Saya mengkhususkan pada artikel ilmiah di jurnal dalam peninjauan ini karena lebih jelas kerangka teorinya. Peninjauan ini penting untuk mengetahui seperti apa definisi mengenai komodifikasi agama yang menjadi kerangka teoretis agar dapat memahami letak permasalahannya. Terdapat analisis kajian mengenai komodifikasi yang memahaminya sebagai branding produk tertentu, seperti perumahan (Elanda, 2019; Umam, 2021; Suprapto & Huda, 2023), produk halal (Makiah, dkk., 2022; Hasyim, 2022; Suhadi & Muslim, 2022), mode (Santoso, 2015; Rahim, 2022), perjalanan spiritual (Kristiantoro, 2021; Nurohman, 2022; Raihani, dkk., 2023), bisnis (Baharun & Niswa, 2019), bahkan bantuan kemanusiaan (Darnela, 2021). Tipe lainnya menganalisis komodifikasi agama dalam bentuk gaya hidup atau kelompok keagamaan tertentu, khususnya kelas menengah Muslim dan kelompok Islam radikal atau konservatif (Pamungkas, 2018; Amna, 2019; Pribadi & Ghufron, 2019; Hidayah, 2021; Ahmadi, dkk., 2022; Wadi & Bagaskara, 2022; Juliansyahzen, 2023; Darmawan, 2023). Kemudian terdapat tipe lain yang menyamakan komodifikasi dengan politisasi atau menjadikan agama sebagai “komoditas” politik (Effendi & Darma, 2022; Handoko & Suryana, 2023).

Peninjauan ini menunjukkan banyaknya kajian mengenai komodifikasi agama meski dengan ragam fokus yang berbeda. Dari peninjauan artikel-artikel tersebut, setidaknya terdapat tiga sumber dominan untuk mendefinisikan komodifikasi agama, yakni Kitiarsa (2008), Fealy (2008), dan Hasan (2009). Ketiga artikel tersebut sepakat bahwa komodifikasi agama adalah relasi antara agama dengan pasar dalam bentuk pengadaptasian logika pasar yang transaksional ke dalam agama. Ketimbang fokus pada implikasi terhadap sakralitas agama, komodifikasi agama justru membentuk dinamika agama itu sendiri. Namun, dalam konteks yang dilakukan oleh sarjana-sarjana di Indonesia, komodifikasi agama ini justru mengalami kebuntuan sebagai pengadilan moral. Komodifikasi agama dipandang buruk karena tidak sesuai dengan moralitas dan menodai sakralitas agama.

Anggapan ini juga terlihat dari banyaknya kajian yang diarahkan pada kelompok yang umumnya digolongkan konservatif, khususnya kelas menengah konservatif. Alih-alih mengkritisi relasi agama dan pasar, komodifikasi agama sebagai kritik justru sebatas kegagapan sarjana dalam melihat keluwesan kelompok kelas menengah konservatif dalam kehidupan keagamaannya. Akhirnya, komodifikasi agama menjadi paradoks karena menuntut kelompok kelas menengah konservatif—yang kerap juga dianggap puritan—untuk menjadi lebih puritan lagi dengan mempertahankan sakralitas agama. Komodifikasi akhirnya buntu pada penilaian moralitas.

Faktor pembentuk dangkalnya analisis komodifikasi agama adalah tidak adanya pendefinisian yang jelas mengenai pasar yang dimaksud. Dalam analisis komodifikasi agama, komodifikasi ini dianggap marak karena konsumerisme yang bertujuan membentuk kesalehan sesuai dengan logika pasar. Namun, tidak ada penjelasan mengenai bagaimana logika pasar dan kesalehan yang dimaksud. Berbagai kajian mendefinisikan pasar dengan menyamakannya dengan kapitalisme. Kapitalisme di sini juga tidak jelas maknanya karena sebatas bentuk keserakahan untuk menjadikan semua hal, termasuk agama, sebagai sarana mencari untung. Inilah sebabnya komodifikasi kerap disamakan dengan politisasi karena keduanya dianggap keserakahan dan tindakan tidak bermoral. Namun, hal ini tidak mengherankan karena ketiga artikel sumber utama (Kitiarsa, Fealy, dan Hasan) juga tidak mendefinisikan pasar dengan jelas, melainkan sekadar wadah transaksional. Perbedaan ketiga sumber ini dengan kajian komodifikasi agama di Indonesia adalah ketiga sumber tersebut tidak mempermasalahkan moralitas komodifikasi agama.

Pendefinisian pasar dan kesalehan yang dimaksud secara jelas, historis, dan kontekstual penting untuk memahami fenomena komodifikasi agama secara utuh. Salah satu akar historis komodifikasi agama, yakni kebangkitan kelas menengah, juga disebabkan konteks pasar atau perekonomian di Indonesia yang mengalami kemajuan di masa Oil Boom pada sekitar tahun 1970 (Dick, 1985). Namun, dalam konteks terkini, khususnya Indonesia pasca-reformasi, neoliberalisme mewakili bentuk pasar dalam relasi agama dan pasar di Indonesia. Komodifikasi agama, seperti banyak juga disebutkan oleh kajian-kajian di atas, terjadi seiring dengan kebangkitan agama, atau oleh Hefner (2010) disebut sebagai religious resurgence. Kebangkitan agama ini bukan hanya terbentuk dari relasi agama dan pasar, tetapi juga dengan negara. Di masa Reformasi, demokratisasi memberi ruang kemunculan kelompok-kelompok religius. Dalam analisis Hadiz (2022), proses demokratisasi tersebut berupaya mewujudkan pemerintahan yang baik (good governance) dengan tujuan “menciptakan dan mempertahankan kerangka politik dan diskursif untuk berpikir dan bertindak, kerangka yang sangat dipengaruhi pendekatan teknokratis dan apolitis yang berakar pada institusi global yang paling kuat dari semuanya—pasar” (Harriss, Stoke, dan Tornquist, 2004: 2-3, dalam Hadiz, 2022: 9). Kondisi sosio-politik yang mengarahkan pada populernya bentuk kesalehan yang menonjolkan kesalehan pribadi terutama melalui penggunaan simbol-simbol keagamaan. Kepopuleran ini tentu disebabkan karena sifatnya yang apolitis dan fleksibel. Di sisi lain, keresahan terhadap perkembangan zaman, khususnya sekularisme global, juga mendorong pencarian agama yang really real (Hefner, 2010: 1042).

Dengan kata lain, logika pasar yang pertama kali diterapkan melalui komodifikasi agama bukanlah agama sebagai komoditas, melainkan agama yang menonjolkan kesalehan pribadi. Kondisi ini, selain ditunjang dengan demokratisasi ala liberal, juga amat dimungkinkan karena depolitisasi yang dilakukan Orde Baru melalui kebijakan massa mengambangnya (Bourchier, 2015: 167). Kebijakan tersebut tidak hanya memisahkan masyarakat dari politik, tetapi juga mencap buruk politik sebagai kekacauan yang merusak tatanan harmonis negara. Lagi-lagi, ini bersesuaian dengan adopsi logika neoliberalisme yang mengutamakan kesalehan pribadi dengan tujuan mencari ketenangan dan membentuk harmoni. Harmoni dalam leksikon Orde Baru bukanlah kesatuan dalam keberagaman, melainkan keteraturan (order) (Costa, 2020) yang justru membungkam perbedaan dan hanya menampilkan pluralisme terbatas. Walaupun diklaim untuk ketenangan dan mencegah konflik, kenyataannya yang dilakukan Orde Baru adalah memerangi setiap pihak yang dianggap berbeda pandangan dengan rezim. Watak ini juga yang muncul pada kelompok keagamaan radikal yang kerap dianalisis melakukan komodifikasi agama.

Neoliberalisasi merupakan mata rantai yang hilang dalam analisis komodifikasi agama selama ini. Proses neoliberalisasi tersebut menunjukkan bahwa komodifikasi agama terlahir dari adanya proses subjektifikasi terhadap individu-individu beragama. Namun, neoliberalisme ini bukanlah sesuatu yang diadopsi mentah-mentah dalam agama (Hoesterey, 2017). Justru di sini pentingnya analisis komodifikasi agama yang juga memperhitungkan neoliberalisasi seperti yang dilakukan Rudnyckyj (2009). Dalam analisisnya terhadap ESQ pada pekerja Krakatau Steel, Rudnyckyj melihat neoliberalisasi sebagai praktik subjektifikasi yang disesuaikan dengan neoliberalisme tetapi didasarkan pada pengajaran akidah agama dan pengembangan diri. Analisis pada praktik ini yang justru menunjukkan bahwa komodifikasi agama terjadi tidak hanya pada kelompok agama yang radikal, tetapi juga yang mengklaim kelompoknya moderat. Pasalnya, kelompok moderat juga kerap menggunakan agama sebagai subjektifikasi, baik pada masyarakat secara umum, maupun pekerja, untuk menghindari kesadaran akan permasalahan struktural. Di hadapan pasar dan neoliberalisme, dikotomi ini menjadi tidak berlaku. Tujuan dari Islam moderat dan konservatif adalah akumulasi kapital (Fitriyah, 2019). Banyak dari Islam moderat yang justru menerima modernisasi begitu saja dan mengikuti standar muslim yang baik berlandaskan imperialisme.

Implikasi kesalahan komodifikasi agama yang berhenti pada standar moralitas justru mengarahkan pada depolitisasi. Dengan pemberian label buruk pada politik, komodifikasi—dan politisasi—justru dapat menghambat agama yang memperjuangkan kepentingannya melalui jalur politik. Padahal menjauhkan agama dari politik ini justru menguntungkan neoliberalisme itu sendiri yang memang bertujuan membentuk umat yang apolitis. Di sisi lain, agama terus digunakan untuk membendung kelas pekerja melalui ajakan untuk “bersyukur”, “nerimo”, atau membentuk “keluarga sakinah” (Hadiz, 2024). Hal-hal seperti ini justru perlu dilawan oleh agama melalui jalur politik. Pasalnya, kondisi ini dapat mengarah pada dehumanisasi agama. Sebagai manusia, pemeluk agama juga perlu memenuhi kebutuhan dasar. Namun, dengan kesalehan pribadi apolitis yang didorong oleh neoliberalisme, setiap kekurangan justru diromantisasi sebagai keberagamaan asketik yang penuh kemuliaan dan upaya untuk menuntut kesejahteraan sebagai “tidak bersyukur”. Analisis komodifikasi agama pada akhirnya bukannya membongkar kapitalisme, tetapi justru menjadi bagian dari bangunan kapitalisme itu sendiri.

Bukan berarti bahwa komodifikasi agama harus dilupakan sepenuhnya dalam analisis mengenai agama. Sebaliknya, analisis komodifikasi agama penting untuk membongkar praktik-praktik seperti di atas. Namun, analisis komodifikasi agama perlu belajar dari dua kesalahan selama ini: (1) berhenti pada standar moralitas bahwa komodifikasi agama buruk karena menodai sakralitas agama dan (2) tidak menjelaskan pasar yang dimaksud secara kontekstual—yang dalam konteks Indonesia kini adalah neoliberalisme. Dari artikel-artikel yang ditinjau di atas, hanya artikel Hidayah (2021) yang telah terhindar dari dua kesalahan ini, meski neoliberalisme dalam artikel tersebut masih dipersamakan dengan kapitalisme serakah. Jika keduanya telah dipertimbangkan, maka analisis tersebut juga dapat menjawab mengapa komodifikasi agama adalah sesuatu yang buruk. Komodifikasi agama itu buruk bukan karena tidak sesuai dengan kaidah moral atau sakralitas agama, tetapi karena eksploitatif dan ilusif.

Referensi

Ahmadi, R., dkk. (2022). Brands of Piety? Islamic Commodification of Polygamous Community in Indonesia. Journal of Indonesian Islam, 16(1), 153-174.

Amna, A. (2019). Hijrah Artis sebagai Komodifikasi Agama. Sosiologi Reflektif, 13(2), 331-350.

Baharun, H. & H. Niswa. (2019). Syariah Branding; Komodifikasi Agama Dalam Bisnis Waralaba di Era Revolusi Industri 4.0. Inferensi, 13(1), 75-98.

Bourchier, D. (2015). Illiberal Democracy in Indonesia: The ideology of the family state. London: Routledge.

Costa, R. (2020). Harmony Is Beautiful: A Reappraisal of the Aestheticisation of Politics in ‘Beautiful Indonesia’ Miniature Park. The Asia Pacific Journal of Anthropology, 21(4), 352-370.

Darmawan, D. (2023). Marketing the Miracles: Studies on the Commodification of the Quran, Prayer, and Sadaqa. Religious, 7(1), 27-40.

Darnela, L. (2021). Islam and Humanity: Commodification of Aid for Rohingya in Aceh. Al-Jāmi‘ah, 59(1), 57-96.

Dick, H.W. (1985). The Rise of a Middle Class and the Changing Concept of Equity in Indonesia: An Interpretation. Indonesia, 39, 71-92.

Effendi, M.R. & S.H. Darma. (2022). The Commodification of Religion in The 2012 Regional Election of Purwakarta Regency. Hayula, 6(1), 123-150.

Elanda, Y. (2019). Komodifikasi Agama Pada Perumahan Syariah di Surabaya. Al-Hikmah, 17(1), 41-61.

Fealy, G. (2008). Consuming Islam: Commodified Religion and Aspirational Piety in Indonesia. Dalam G. Fealy & S. White (ed.). Expressing Islam: Religious Life and Politics in Indonesia. Singapura: ISEAS.

Fitriyah, L. (2019). Kata Pengantar. Dalam R.I. Rahayu, dkk. Tuhan, Perempuan dan Pasar. IndoProgress.

Hadiz, V.R. (2022). Lokalisasi Kekuasaan di Indonesia Pascaotoritarianisme (terj. A.M. Mudhoffir). Jakarta: KPG.

Hadiz, V.R. (2024). Still the “Opium of the Masses”? Religion and Labour Struggles in Indonesia. Journal of Contemporary Asia.

Hall, D. (2023). ‘Commodification of everything’ arguments in the social sciences: Variants, specification, evaluation, critique. Environment and Planning A: Economy and Space, 55(3), 544-561.

Handoko, T. & D. Suryana. (2023). Islamic Commodification in Representation of Political Development in Indonesia (A Systematic Literature Review). Hayula, 7(1), 51-75.

Hasan, N. (2009). The making of public Islam: piety, agency, and commodification on the landscape of the Indonesian public sphere. Contemporary Islam, 3, 229-250.

Hasyim, S. (2022). The halal project in Indonesia: shariatization, minority rights and commodification. Singapura: ISEAS.

Hefner, R.W. (2010). Religious Resurgence in Contemporary Asia: Southeast Asian Perspectives on Capitalism, the State, and the New Piety. The Journal of Asian Studies, 69, 1031-1047.

Hidayah, S.N. (2021). Pesantren for Middle-class Muslims in Indonesia (Between Religious Commodification and Pious Neoliberalism). QIJIS, 9(1), 209-244.

Hoesterey, J.B. (2017). Marketing Islam: Entrepreneurial Ethics and the Spirit of Capitalism in Indonesia. Practical Matters Journal, 10.

Juliansyahzen, M.I. (2023). Ideologization of Hijrah in Social Media: Digital Activism, Religious Commodification, and Conservative Domination. Millah, 22(1), 155-180.

Kitiarsa, P. (2008). Introduction: Asia’s commodified sacred canopies. Dalam P. Kitiarsa (ed.) Religious Commodifications in Asia: Marketing Gods. London: Routledge.

Kristiantoro, S. (2021). Komodifikasi Agama dalam Holy Land Tour: Sebuah Tinjauan Sosiologi Agama. Dunamis, 6(1), 16-30.

Makiah, Z., dkk. (2022). A Convergence in a Religion Commodification and an Expression of Piety in Halal Sertification. Khazanah, 20(2), 153-170.

Nurohman, D. (2022). Selling Religious Rituals in Indonesia: Commodification of Umrah Pilgrimage by Travel Agents. Journal of Indonesian Islam, 16(2), 399-425.

Pamungkas, A.S. (2018). Mediatisasi Dakwah, Moralitas Publik dan Komodifikasi Islam di Era Neoliberalisme. Maarif, 13(1), 55-75.

Pribadi, Y. & Z. Ghufron. (2019). Komodifikasi Islam dalam Ekonomi Pasar: Studi Tentang Muslim Perkotaan di Banten. Afkaruna, 15(1), 82-112.

Rahim, A. (2022). Between Piety and Lifestyle: Hijab Shar’i on the Commodification Practices of the Islamic Culture Industry. Ulumuna, 26(1), 88-118.

Raihani, dkk. (2023). Commodification of Hajj Rituals amongst Banjarese Pilgrims. Studia Islamika, 30(1), 129-156.

Rudnyckyj, D. (2009). Spiritual Economies: Islam and Neoliberalism in Contemporary Indonesia. Cultural Anthropology, 24(1), 104-141.

Santoso, W.M. (2015). Komodifikasi Mode Muslimah Melalui Media Sosial. Jurnal Masyarakat & Budaya, 17(3), 299-315.

Suhadi, M. & A. Muslim. (2022). Islam dan Produk Halal: Muslimah, Komodifikasi Agama dan Konsolidasi Identitas Keagamaan di Indonesia. Profetika, 23(1), 153-163.

Suprapto & M. Huda. (2023). Religious Commodification: Muslim Housing and Identity Formation in Lombok, Indonesia. Studia Islamika, 30(1), 97-127.

Umam, F. (2021). Sharia Housing: Religious Commodification and the Urban Muslims’ Politics of Space. Tashwirul Afkar, 40(1), 23-47.

Wadi, H. & R. Bagaskara. (2022). Perjumpaan Pasar dan Dakwah: Ekspresi Kesalehan Anak Muda dan Komodifikasi Agama di Muslim United Yogyakarta. Al Izzah, 17(1), 51-60.

Bacaan Lainnya