Problem Bahasa dalam Membangun Filsafat Indonesia

Pada kalimat yang diapresiasi muncul masalah bahasa yang menyebabkan kita terjebak dalam pencarian, bukan pembangunan.

Al Nino Utomo
Al Nino Utomo
Alumni Fakultas Filsafat Universitas Katolik Parahyangan

Tulisan ini akan mengomentari artikel “Menjalin Filsafat Indonesia” oleh Saras Dewi dan “Membangun Filsafat Indonesia” oleh Banin D. Sukmono. Keduanya kurang lebih membicarakan tegangan antara pengetahuan masyarakat tentang filsafat yang sudah dikenali selama ini dan kecenderungan untuk “memfilsafatkan” pemikiran yang muncul dari wilayah yang disebut sebagai Indonesia.

Secara khusus, saya ingin memberikan apresiasi pada tulisan Banin, terutama pada kalimat terakhir paragraf ke-7 yang mengatakan, “Daripada mencari filsafat Indonesia, sudah saatnya kita membangun filsafat Indonesia dengan cara berkontribusi di perdebatan filsafat kontemporer dan menyelesaikan masalah filsafat di dalamnya”. Kalimat tersebut memiliki tendensi untuk mengatakan bahwa sudah saatnya kita keluar dari hegemoni pemikiran Barat dan membangun apa yang disebut sebagai “pemikiran Indonesia”. Namun, pada kalimat yang sama muncul masalah bahasa yang menyebabkan kita terjebak dalam pencarian, bukan pembangunan. Selanjutnya, tulisan ini akan mengomentari kedua tulisan tersebut secara bersamaan.

Masalah bahasa yang ingin saya utarakan adalah mengenai kata “filsafat” itu sendiri. “Filsafat” atau dalam bahasa Inggris disebut “philosophy” sebagai sebuah kata cukup dikenal oleh berbagai kalangan, baik oleh akademisi maupun masyarakat umum. Namun, kata tersebut seringkali hanya dilihat sebagai sebuah kata yang berdiri sendiri sehingga orang bisa secara arbitrer menyematkan kata “filsafat” pada kata lain yang sama sekali tidak memiliki keterkaitan khusus dengannya. Di satu sisi, sebuah kata memang selalu terbuka untuk pemaknaan, bahkan kombinasi-kombinasi arbitrer dengan kata lain, tetapi keterbukaan tersebut perlu dipertanyakan, apakah kata “filsafat” hanya dilihat sebagai sebuah kata yang mampu memperlihatkan atribut kedalaman dari sesuatu, atau kata “filsafat” dilihat sebagai sebuah elemen kultural yang sebetulnya sangat terikat dengan satu tradisi tertentu dan tidak bisa dilepaskan begitu saja dari sistem yang melingkupi kata tersebut.

Melihat kata “filsafat” secara kultural tentu akan menemui banyak masalah, terutama masalah epistemologi dalam menentukan apa yang disebut “filsafat” dan “non-filsafat”. Pada titik ini, saya ingin memperlihatkan bahwa secara kontekstual, kata “filsafat” tidak selalu terbuka seperti apa yang dibayangkan. Kata “filsafat” memiliki realitasnya sendiri dan berada dalam satu sistematika berpikir yang dikembangkan ribuan tahun oleh kelompok masyarakat yang disebut “Barat”. Sistematika berpikir itu tercermin dari tradisi tekstual yang saling berdialektika antara satu dan yang lain. Akademisi di bidang filsafat sudah bisa dipastikan mengetahui bahwa satu karya filosofis memiliki tujuan untuk mengafirmasi atau mengkritik karya sebelumnya. Secara kultural, bisa dibilang bahwa filsafat adalah sebuah tradisi yang sangat ketat.

Oleh sebab itu, sebelum membangun apa yang disebut sebagai “filsafat Indonesia”, diperlukan sebuah interogasi terhadap kata “filsafat” sehingga masalah yang terdapat pada kata tersebut dapat dimunculkan ke permukaan. Terdapat dua aspek yang melekat pada kata “filsafat”, yaitu aspek diakronik dan aspek sinkronik. Aspek diakronik berkaitan dengan genealogi dari kata itu sendiri. Sebagaimana telah dijabarkan bahwa kata “filsafat” sendiri mengalami pergeseran makna yang sangat bergantung pada situasi dan kondisi yang memengaruhi kehidupan seorang filsuf. Makna kata “filsafat” di Abad Pertengahan tentu berbeda dari makna kata “filsafat” di zaman Yunani Kuno; demikian juga pemaknaan yang dibentuk di Jerman era Renaissance berbeda dari pemaknaan yang dibentuk di Perancis di era pascamodern.

Aspek kedua, yaitu aspek sinkronik, mengarah pada kata lain yang tersembunyi tapi sangat dibutuhkan untuk menciptakan makna. Kata yang melekat itu adalah: apa, siapa, kapan, dan di mana. Dengan begitu, kata “filsafat” tidak pernah mencapai satu pemaknaan final, karena akan selalu berkaitan dengan konteks yang hadir di belakangnya. Kata “filsafat” tidak pernah bisa lepas dari aliran-aliran yang ada di dalamnya. Saat kita hanya menyebut kata “filsafat”, tentu kita akan sulit untuk memunculkan definisi bahkan makna bagi kata tersebut. Sedangkan saat kata lain yang mengiringi secara sinkronik disebutkan, misalnya “filsafat eksistensialisme”, barulah muncul pemaknaan yang lebih jelas dan tidak menutup kemungkinan bahwa kombinasi kata “filsafat” dan “eksistensialisme” bisa memunculkan makna yang berbeda dengan saat kata “filsafat” dan “eksistensialisme” berdiri sendiri secara terpisah. Seperti telah dijelaskan sebelumnya bahwa kata “filsafat” sangat erat kaitannya dengan individu yang mencetuskan sebuah pemikiran. Oleh sebab itu, “siapa” menjadi sangat penting dalam pembentukan makna bagi “filsafat” itu sendiri. Masih menggunakan filsafat eksistensialisme sebagai contoh, saat membicarakan filsafat hanya melalui relasinya dengan “apa”, masih ada ketidakjelasan makna dalam kata tersebut, tetapi saat “apa” dan “siapa” diletakkan di belakang kata “filsafat”, seperti “filsafat eksistensialisme Jean-Paul Sartre” atau “filsafat eksistensialisme Emmanuel Levinas”, maka akan terbentuk sebuah kejelasan makna sekaligus peluang untuk terbukanya pemaknaan baru, terutama bagi kata “filsafat” itu sendiri.

Selain masalah yang secara kultural terdapat pada kata “filsafat”, kombinasi kata “filsafat Indonesia” juga bermasalah. Masalah pertama: apa yang disebut sebagai “filsafat Indonesia”, apakah pemikiran yang muncul dari wilayah dan manusia-manusia yang hidup di Indonesia, baik di masa lalu maupun di era kontemporer? Bisakah kita melihat istilah “filsafat Indonesia” sebagai ilmu filsafat yang diajarkan di fakultas-fakultas filsafat di beberapa universitas di Indonesia? Bila demikian, berkaitan dengan aspek diakronik dan sinkronik yang sudah dijelaskan, maka kita akan selamanya mencari relevansi, atau dalam arti lain mem-filsafat-kan pemikiran yang hadir di Indonesia karena kemelekatan kata “filsafat” terhadap tradisi berpikir sekaligus orang-orang yang kita sebut sebagai filsuf. Oleh sebab itu, menurut saya, kita harus melepaskan diri dari kata “filsafat” untuk menyebut “pemikiran Indonesia”.

Sebagai sebuah usaha untuk keluar dari kata “filsafat”, pada konteks ini, saya menawarkan sebuah kata lain, yaitu “worldview” atau bisa diartikan sebagai “pandangan dunia”. Pertanyaannya adalah bagaimana kita bisa melihat kata “worldview” secara setara dengan kata “filsafat”. “Worldview” seolah-olah memiliki kesamaan dengan kata “filsafat” karena keduanya memiliki analisis sinkronik dan diakronik yang serupa, tetapi “worldview” bisa berfungsi sebagai pembanding sekaligus penunda bagi kata “filsafat” karena worldview bukan hanya seperangkat berpikir akan realitas, tetapi juga mengarah pada laku atau tindakan dan bahkan sistematisasi sebuah kultur atau kebudayaan yang tercermin dari pemikiran seorang individu atau kelompok.

Di samping itu, worldview juga bisa dilihat sebagai sebuah pandangan kolektif jika dibandingkan dengan filsafat. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, kata “filsafat” erat kaitannya dengan individuasi pengetahuan, sehingga maknanya yang sangat ditentukan oleh “siapa” selalu mengarah pada individu tertentu. Sebuah teks filosofis memang memiliki kemungkinan untuk menjadi referensi kolektif dalam menilai realitas, tetapi hal tersebut berbeda dengan kolektivitas yang terdapat dalam istilah woldview. Worldview tidak harus berangkat dari seorang individu yang memikirkan atau mengalami realitas secara mendalam, worldview bisa muncul dari sebuah kesadaran kolektif yang membentuk cara pandang terhadap realitas.

Penggunaan kata worldview tentu tidak hanya berfungsi sebagai kata tandingan bagi “filsafat”, tetapi juga bisa berfungsi sebagai pembandingyang mampu memunculkan pemaknaan bagi keduanya melalui sebuah komparasi yang bersifat afirmatif. Komparasi antara “worldview” dan “filsafat” tentu bukan untuk memberi nilai pada masing-masing kata, melainkan untuk melihat relasi dan menyingkapkan makna di balik kedua kata tersebut, karena melalui komparasi afirmatif-lah makna dari kata “filsafat” dapat dimunculkan. Seperti telah dijelaskan sebelumnya, genealogi filsafat yang sangat mementingkan peran subjek sebagai pemikir dan “kehadiran” tulisan menjadi sangat penting untuk menentukan makna dari kata “filsafat”. Sedangkan kata “worldview” lebih mengarah pada kolektivitas dan menjadi bagian dari identitas sebuah kebudayaan yang berbentuk ekspresi fisik.

Sebelum menjelaskan tentang komparasi afirmatif, perlu diketahui bahwa komparasi pada umumnya bekerja dengan cara membandingkan satu poin positif dengan satu poin negatif untuk kemudian diketahui poin mana yang memiliki nilai lebih. Sederhananya, sistem komparasi ini menggunakan prinsip kontradiksi yang melihat bahwa A ≠ -A.  Dengan begitu, sesuatu yang positif hanya akan lengkap saat bertemu dengan yang positif, sedangkan yang negatif akan menjadi sebuah ketidaklengkapan saat bertemu dengan yang negatif. Dalam komparasi afirmatif, sistem logika yang diterapkan adalah positif dan negatif saling melengkapi satu sama lain. Dengan begitu, baik A dan -A adalah sebuah keniscayaan yang saling melengkapi dan membuat kebenaran makna dapat diungkapkan.

Oleh karena itu, dalam prinsip logika dan komparasi afirmatif ini, kedua hal yang dianggap berbeda justru memiliki ekuivalensi dan bahkan memiliki nilai kebenaran yang sama meskipun memiliki kualitas atau atribut yang berbeda. Perbedaan atribut ini membentuk koherensi yang mengarah pada kemungkinan untuk penyembulan makna sebuah kata saat dikomparasi dengan kata lain. Dalam kasus ini, “filsafat” dan “worldview”.

Filsafat pada dirinya sendiri dianggap sebagai sebuah sistem yang sudah lengkap dengan tradisi sinkronik dan diakronik yang telah berlangsung selama berabad-abad. Namun, anggapan seperti itulah yang menyebabkan makna kata “filsafat” dianggap mapan dan tidak perlu dipertanyakan ulang. Alasannya persis seperti yang sudah disebutkan sebelumnya. Di satu sisi, filsafat berawal dari proses individuasi dan mengarah pada teks. Oleh sebab itu, kata “filsafat” bisa dibayangkan sebagai “+1”. Di sisi lain, worldview, yang memiliki genealogi yang berbanding terbalik dengan “filsafat”, yaitu berasal dari kolektivitas dan mengarah pada cara hidup, dianggap tidak memiliki kepastian makna yang bisa digali secara tekstual. Oleh sebab itu, “worldview” bisa dibayangkan sebagai “-1”.

Dalam prinsip kontradiksi, +1 selalu dibayangkan sebagai +1 pada dirinya sendiri dan hanya dengan dirinya-lah +1 menjadi sesuatu yang lengkap. Begitu pula sebaliknya, -1 adalah -1 itu sendiri dan tidak memiliki relasi dengan yang lain. Begitu pula dengan semiotika yang melihat bahwa relasi antara penanda dan petanda selalu bersifat tetap dan stabil. Karena keduanya tidak melihat kemungkinan relasi yang bersifat paradoks dalam makna.

Logika afirmatif justru melihat bahwa +1 tidak akan pernah bisa mencapai dirinya sendiri secara penuh tanpa adanya -1, dan begitu pula sebaliknya. Oleh karena itu, -1 dibutuhkan oleh +1, dan +1 dibutuhkan oleh -1. Dengan begitu, keutuhan makna baik dari +1 maupun -1 tidak akan pernah bisa dicapai tanpa adanya komparasi afirmatif yang mengarah pada pembedaan yang setara dan menerima bahwa kebenaran sebuah makna sangat ditentukan oleh kehadiran yang lain. Maka, dalam kasus ini, makna kata “filsafat” sebetulnya tidak pernah tetap karena, baik pada dirinya sendiri maupun saat disandingkan dengan kata lain seperti “worldview” pun, ia selalu mengandung pembedaan yang mengarah pada interogasi sinkronik dan diakronik.

Dengan begitu, penggunaan kata “worldview” sebetulnya tidak hanya sebatas mengakomodasi kepentingan identitas dari “pemikiran Indonesia”, tetapi juga sebagai pembanding sekaligus penunda bagi kata “filsafat” yang selama ini mendominasi dunia pemikiran, terutama berkaitan dengan kemampuan berpikir abstrak manusia. Namun, perlu diingat bahwa “worldview” tidak ditujukan untuk menggeser kata “filsafat”. Justru dengan menggunakan kata “worldview” akan terbuka kemungkinan makna bagi kata “filsafat”, “worldview” dan bahkan “Indonesia” itu sendiri.

Bacaan Lainnya