Menyetarakan kata ‘filsafat’ dengan ‘worldview’ itu berarti menggeser topik bahasan awal tentang ‘Filsafat Indonesia’ sehingga ia mencakup ranah yang lebih luas dari ‘filsafat’. Saya dengan tegas menolak solusi seperti ini. Filsafat, pada beberapa aspek, memang dapat kita sebut sebagai bagian dari ‘worldview’. Namun, hal ini tidak serta-merta berlaku sebaliknya.
Worldview mencakup aspek yg lebih luas: tidak hanya mencakup aspek kritis-filosofis, tetapi juga mencakup aspek dogmatis-religius, ideologis, maupun sikap-sikap kebudayaan. Memang, terdapat interseksi di antara mereka: ada filsafat dalam religiusitas, ada filsafat dalam ideologi, dan ada pula filsafat dalam sikap-sikap kebudayaan. Namun, saya tekankan, bukan berarti semua aspek tersebut adalah filsafat.
Lalu, apa itu filsafat? Agar tidak terperangkap pada problem-problem esensialis, saya cukup menunjukkan signifikansi historis dari filsafat saja. Hal yang signifikan secara historis dari munculnya filsafat adalah ‘keomongkosongan’. Filsafat muncul sebagai perlawanan atas ‘keomongkosongan’. Filsafat hadir melawan untaian kata-kata indah yang hanya bermakna kosong. Kosong, atau null ‘∅’, adalah awal dari filsafat dan filsafat adalah perlawanan terdahapnya. Efeknya, filsafat juga hadir melawan ‘pengkultusan atas personalitas penuh jargon’—saya meminjam frasa yang digunakan oleh Sosiawan Permadi.
Filsafat hadir melawan kebijaksanaan kosong, karena filsafat mencintai kebijaksanaan. Namun, perlawanan di sini bukanlah perlawanan yang sekadar reaksioner, bukan pula perlawanan yang sekadar ‘anti-anti’-an, apalagi destruktif. Perlawanan filsafat adalah perlawanan yang konstruktif—dan pada titik lain, dekonstruktif. Filsafat melawan dengan memberikan argumentasi tandingan, filsafat juga melawan dengan menunjukkan kekeliruan dan kelemahan dalam sebuah argumentasi atau pandangan.
Kembali ke Filsafat Indonesia. Bagi saya, Filsafat Indonesia bukan sekadar wadah untuk menampung worldview orang-orang Indonesia. Namun, Filsafat Indonesia masuk lebih dalam mengenai worldview tersebut. Filsafat Indonesia hadir melawan keomongkosongan di dalam dogma-religius, ideologi, maupun sikap-sikap kebudayaan yang ada di Indonesia. Saya tidak berkata bahwa ketiga aspek tersebut sepenuhnya omong kosong. Namun, poin saya adalah bahwa ada hal-hal di dalam ketiga aspek tersebut yang omong kosong.
Omong kosong beberapa politisi, omong kosong beberapa pemuka, omong kosong beberapa pendahulu, bahkan omong kosong di beberapa kepercayaan umum, itu semua adalah beberapa hal yang hendak dibongkar dan dilawan oleh filsafat—dan juga dibongkar dan dilawan oleh Filsafat Indonesia apabila konteksnya di Indonesia. Saya akan membawanya secara radikal: Filsafat Indonesia juga hadir melawan keomongkosongan di dalam tubuh Filsafat Indonesia sendiri. Filsafat Indonesia hadir melawan omong kosong filosofis penuh jargon, melawan omong kosong filosofis berkedok penelitian akademis, dan juga melawan omong kosong filosofis yang diperalat untuk mendapatkan keuntungan pribadi seperti kepuasan seksual.
Problem yang tersisa adalah perihal metode: bagaimana Filsafat Indonesia melawan berbagai hal tersebut? Bagi saya, metode dihadirkan bergantung pada masalah, situasi, dan kondisi spesifik yang dihadapi. Mencanangkan “ini lho metode Filsafat Indonesia” merupakan pengakuan atas kemandekan pemikiran Filsafat di Indonesia. Oleh karena itu, pembahasan tentang metode hanya relevan sejauh problem-problemnya telah dianalisis dengan baik.
Pada titik ini, cukup jelas bahwa hal yang harus kita lakukan adalah menemukan signifikansi historis dalam Filsafat Indonesia terlebih dahulu. Apa saja omong kosong yang ada, yang pernah ada, dan yang mungkin akan ada, terutama di Indonesia? Untuk menjawab ini, jelas kerja yang dilakukan bukan hanya dengan kerja-kerja individu. Namun, perlu adanya kerja-kerja kolektif, baik dengan jalan kolaborasi maupun dengan jalan saling mengkritik.
Apabila problem-problemnya telah dianalisis dengan jelas dan baik, biarkan metode dan solusi muncul dengan sendirinya dari akumulasi proses analisis yang telah kita lakukan sebelumnya. Pada titik itulah kita semua dapat melihat skema pemikiran Filsafat Indonesia. Apa itu Filsafat Indonesia? Kita belum tahu dan kita tidak akan pernah tahu sebelum kita melawan berbagai keomongkosongan di sekitar kita.
Last but not least: from Nullity ‘∅’, let there be (Indonesian) Philosophy ‘Φ’!