Bangunnya aliran filsafat abadi (perennial) dari lelap tidur panjangnya, seolah memberi harapan baru bagi kebangkitan agama di penghujung abad ini. Agama yang sebelumnya mengalami ketertenggelaman seusai renaisans, dengan demikian tampak memiliki semangat yang berbeda demi memperoleh kejayaannya kembali. Tetapi apakah kebangkitan tersebut memberi jaminan bahwa agama benar-benar dapat diterima kembali sebagai jalan untuk mewujudkan tatanan hidup yang lebih baik?
Kebangkitan agama yang diusung oleh para perennialis pada dasarnya berangkat dari kekecewaan atas modernisme yang gagal mengantarkan peradaban manusia menjadi lebih baik. Demikian sebaliknya, modernisme telah menciptakan berbagai krisis; kemanusiaan sampai ekologis. Para perennialis memberi klaim mereka bahwa modernisme telah salah dalam segala metode berpikirnya. Dengan metode berpikir analitis yang diinspirasi dari Descartes, mengantarkan gaya berpikir manusia modern yang cenderung memecah-mecah realitas. Dengan asumsi tersebut, perennialisme beranggapan bahwa manusia modern hidup hanya di pinggir lingkaran eksistensi (Hidayat, 1995:xvi).
Titik berangkat lain perennialisme juga dapat dijelaskan melalui persoalan intrik dalam agama itu sendiri. Perennialisme beranggapan bahwa seluruh persoalan tersebut pada prinsipnya muncul dari problem pemahaman atas agama yang parsial. Dengan demikian, perennialisme mencoba memberi perspektif baru dalam memahami agama dengan membedakan agama secara esoterik dan eksoterik. Apa yang dilihat sebagai perbedaan dari setiap agama menurut perennialisme merupakan dimensi eksoterik agama. Sedangkan secara esensial atau dalam dimensi esoteriknya, semua agama memiliki kebenaran yang sama. Para perennialis yang menawarkan keberagamaan semacam ini, barangkali kita dapat menyebutkan di antaranya yang paling besar, adalah Aldous Huxley, Hossein Nasr, Frithjof Schuon, dan Huston Smith.
Selain beberapa nama tersebut, saya melihat Karen Armstrong, meski tidak pernah masuk ke dalam lingkaran diskursus filsafat perennial secara langsung, juga membawa semangat yang sama. Armstrong dengan sangat berani memberikan sebuah penawaran mengenai penempatan agama yang disamakan dengan posisi seni. Sebagaimana seni, agama seharusnya dipahami sebagai tempat berekspresi secara kreatif. Penjelasan tentang kosmologi dan berbagai persoalan tentang kebenaran tidak seharusnya diletakkan tanggungjawabnya pada agama, karena bagi Armstrong persoalan tersebut adalah persoalan logos. Agama hanyalah cara manusia berkreasi dan memaknai kehidupan yang kadang sangat menyedihkan (Armstrong, 2013:505).
Namun kenyataannya, pemahaman semacam ini pun menuai banyak kritik dari para umat beragama itu sendiri, mulai dari sangkaan murtad, sampai vonis sesat (heresy) atas tuduhan penistaan melalui pluralisme agama. Hal tersebut mengartikan bahwa agama yang diyakini oleh banyak orang tidaklah sesederhana itu; bukan hanya perkara etis ataupun tuntunan moral dalam memaknai hidup. Agama bagi sebagian besar pengikutnya lebih dari sekadar pemberi makna atas kehidupan manusia saat ini, melainkan juga kepastian atas kehidupan setelahnya. Dan mau tidak mau, hal itu berkait erat dengan persoalan teologi dan eskatologi.
Dalam hal lain, para perennialis memang mengakui bahwa setiap agama secara teologis berpotensi melahirkan bentuk-bentuk keberagamaan yang bersifat fundamentalis, yang mengarah pada kultisme, yang bentuk terparahnya dapat membawa kepada rusaknya tatanan. Menurut perennialisme, hal ini terjadi ketika seseorang yang beragama berhenti pada agama itu sendiri, yang menurut para perennialis ini tidak lebih adalah sebuah kemusyrikan. Bentuk keberagaman yang fundamentalis hanya mengarahkan kepada intoleransi antar umat beragama, karena dengan mudahnya akan mengkafirkan orang yang iman teologisnya berbeda. Bagi mereka yang memiliki sikap beragama semacam ini, agama menjadi segalanya, mereka dapat berperang dan membunuh banyak manusia demi agama (Hidayat, 1995:95).
Tampak ada penalaran yang cacat ketika perennialis menawarkan sebuah toleransi mutlak dalam sikap beragama. Apa yang para perennialis sebut dengan toleransi ketika mereka mengatakan bahwa para fundamentalis adalah salah dalam beragama, bahkan mereka menyebut sebagai bentuk kemusyrikan? Sialnya, kesalahan penalaran ini masih dalam intrik umat beragama, belum lagi di luar agama itu sendiri. Lantas bagaimana kemudian perennialisme menempatkan toleransi mereka terhadap orang atheis yang tidak meyakini Tuhan, atau bahkan membunuh-Nya demi menyelamatkan manusia?
Seruan perennialisme untuk kembali pada hakikat agama yang toleran, sampai pada titik ini tidak memberi jaminan apapun. Karena jika dilihat kembali dalam alur sejarahnya, sikap toleransi atau pluralisme agama adalah hal yang baru dalam kajian para agamawan modern. Agama dalam sejarahnya memanglah bersifat eksklusif. Dengan tidak memungkiri banyaknya persoalan politis di dalamnya, agama selalu diwarnai oleh perang kebenaran antar agama. Musa, dengan agamanya mengantarkannya pada peperangan melawan Fir’aun, Isa dengan agama yang dibawanya, mengantarkannya pada tiang salib, Muhammad dengan agamanya mengantarkan perang berkepanjangan dengan orang-orang kafir Quraisy.
Sejauh perennialisme sendiri meyakini bahwa salah satu tugas agama adalah membebaskan umat manusia dari ketertindasan dan penderitaan sosial (Hidayat, 1995:96), maka dalam artian apa agama secara hakikatnya dapat dikatakan memiliki toleransi mutlak? Agama merupakan bentuk perlawanan atas hal yang tidak diinginkan oleh sekelompok penganut agama tersebut. Dengan begitu, boleh jadi bentuk fundamentalisme dalam agama adalah sah ketika mengatasnamakan agama dalam perjuangan mereka untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang mereka idealkan. Karena paham perennialisme sendiri dalam perjuangan wacana keagamaannya tidak lain hanyalah perjuangan untuk mewujudkan tatanan kehidupan sosial yang mereka idealkan pula. Lalu dalam hal mana idealitas tatanan yang berbeda tersebut dapat dipertemukan dengan toleransi mutlak?
Disposisi agama: melihat kembali retakan-retakan
Dalam banyak hal, kesalahan atas pemahaman agama sebagai jalan keselamatan adalah bermula dari penempatan agama sebagai satu-satunya jalan yang memberi jaminan akan sampainya pada tujuan yang diandaikan oleh para penganut agama tersebut. Pemahaman semacam itu dengan demikian menutup jalan-jalan lain yang ada. Penutupan jalan inilah yang kadang memicu kompleksnya persoalan yang tak kunjung selesai.
Pemahaman yang final mengenai agama secara tidak langsung memberi dampak buruk terhadap kecenderungan psikologis seorang penganut agama. Kecenderungan psikologis tersebut menjadikan seseorang selalu membela mati-matian apa yang ia yakini benar. Karena dengan mengakui bahwa dirinya salah, hal itu sama saja menjatuhkan harga dirinya ke jurang paling dalam.
Hal inilah yang terjadi pada kaum agamawan saat ini. Mereka cenderung selalu mencari pembelaan-pembelaan atas keyakinan mereka, yang dalam perkembangannya mulai mengalami ketersempalan pada ranting-rantingnya, atau bahkan ketercerabutan pada akar-akarnya. Para agamawan bukannya tidak menyadari hal tersebut, tetapi mereka lebih memilih untuk melakukan ‘tambal-sulam’ dengan berbagai macam upaya yang dapat menyelamatkan apa yang diyakini oleh mereka.
Ambil saja contoh tentang kritik para feminis kepada beberapa agama yang dalam banyak teks-teks sucinya cenderung bernada misoginis. Dalam rangka untuk bertahan dari banyak kritik tersebut, para intelektual-religius mulai beramai-ramai mengkaji ulang tentang teks-teks suci mereka, dan menawarkan sebuah cara pembacaan baru, yang lain dari sebelumnya. Tentu pembacaan yang semacam itu adalah sah menurut kaum feminis yang religius, tetapi tidak demikian bagi mereka yang masih meyakini cara pembacaan lama yang menurut mereka merupakan kebenaran final.
Kasus lain adalah mengenai kebenaran iman yang menjadi dasar pokok dalam setiap agama. Klaim kebenaran yang memicu banyak konflik antar maupun dalam agama itu sendiri, memaksa para intelektual-religius berusaha merumuskan cara pandang yang baru dalam beragama, yakni tentang kebenaran yang absolut-relatif dan relatif-absolut. Dengan pembacaan semacam ini, mereka berharap dapat menyelesaikan konflik berkepanjangan tentang klaim kebenaran antar agama maupun dalam intrik agama itu sendiri. Akan tetapi, banyak dari upaya semacam ini justru menuai banyak kecaman dari para penganut agama yang lain. Karena menyalahi keyakinan ortodoks tentang keselamatan yang diyakini hanya terdapat dalam agama atau bahkan aliran dalam agama yang mereka anut.
Dari banyak pertentangan wacana dalam agama itu sendiri menandakan bahwa apa yang diupayakan oleh banyak intelektual-religius demi menyelamatkan agama mereka dari gerus arus zaman hanyalah bentuk kecenderungan psikologis yang cacat. Tidak ada dasar yang kuat tentang mengapa agama tetap harus diperjuangkan keberadaannya, selain hanya dengan argumen keyakinan final, yang kadang boleh jadi merupakan bentuk fundamentalisme lain dalam menjalani kehidupan.
Penutup
Pada akhirnya, pertanyaan tentang apakah kebangkitan agama benar-benar memberi jaminan bahwa agama dapat diterima kembali sebagai jalan untuk mewujudkan tatanan hidup yang lebih baik, jawabannya adalah sama sekali belum. Karena apa yang ditawarkan oleh kebangkitan agama dalam pendekatan perennialisme lebih bersifat filosofis. Dan pendekatan tersebut tidak bisa tidak, harus dirundingkan kembali dengan seluruh doktrin dalam agama itu sendiri. Namun dapat dipastikan, persesuaian ini hanya akan menuai kegagalan karena perbedaan iman ontologis, dan konsekuensinya dapat memicu konflik-konflik yang tidak jauh berbeda dari konflik-konflik dalam intrik agama seperti sebelum-sebelumnya.
Referensi
Armstrong, Karen. Masa Depan Tuhan: Sanggahan Terhadap Fundamentalisme dan Ateisme. Bandung: Mizan, 2013.
Hidayat, Komaruddin, dan M. Wahyuni Nafis. Agama Masa Depan: Perspektif Filsafat Perennial. Jakarta: Paramadina, 1995.