Pernahkah Anda memikirkan seperti apa akhir dari perjalanan umat manusia? Pertanyaan ini seringkali muncul sebagai momen perjumpaan saat umat manusia sudah di ambang batasnya. Seketika kenangan tentang kemungkinan krisis kesehatan global yang disebabkan oleh wabah takterkendali terlintas, tepatnya setelah perayaan tahun baru 2020. Di situlah watak asli manusia diuji. Kepanikan massal terjadi selaras dengan harga alat perlindungan diri yang melambung tinggi. Alhasil, kecurigaan terhadap sesama sebagai pembawa virus pun takterelakkan. Kecurigaan terhadap sesama menjadi hal yang lumrah, dengan alasan antisipasi.
Tentu saja, artikel ini tidak akan menilik pandemi dari sudut pandang Antroposen. Tulisan ini merupakan ulasan lanjutan terhadap ‘Menghidupi Hidup Sepenuhnya dengan Misantropi’ sebuah artikel yang ditulis oleh Moh. Gema (19 November 2021) yang sempat tertunda. Gema memberikan pengantar singkat tentang misantropi (misanthropy) sebagai kritik filosofis perihal pengingkaran progres idealitas kemanusiaan. Alih-alih membawa optimisme moral terhadap humanisme, misantropi justru menghilangkan aspek ‘manusia’ dengan dalih bahwa penegasian kemanusiaan mampu menangkap fenomena moralitas yang lebih akurat daripada berkubang pada moralitas universal semu.
Ada beberapa catatan kritis yang diajukan oleh Gema termasuk usahanya untuk membuat daftar kegagalan umat manusia, mulai dari ketidakdewasaan, sentimental moral dan ketidaktahuan sebagai proyeksi individu sampai menjadi tatanan institusional yang terus-menerus melanggengkan penindasan, perang, penghancuran lingkungan hidup dan sebagainya. Entah apa yang membuat tulisan Gema menarik untuk dibaca ulang, justru usahanya merangkai daftar-daftar kebodohan umat manusia baik secara psikologis, moral, dan intelektual ini dapat membantu apa yang dia kritisi sebelumnya, yaitu mereka yang bekerja membangun optimisme universalitas moral umat manusia dengan basis janji-janji humanisme dan liberalisme.
Saya hendak menindaklanjuti usulan misantropi yang memiliki doktrin ‘melampaui’ dimensi kemanusiaan, antropos. Pelampauan ini bukan tanpa alasan. Misantropi terbentuk karena hasrat pelarian yang sangat kuat dari korupnya dunia. Pelarian ini bertujuan untuk menghindari kontak dengan keabsurdan dunia; ada semacam spiritualitas (non-religius) yang merupakan semangat untuk menyendiri dari segala kekecewaan moralitas masyarakat yang tidak mengubah apapun. Untuk itu, saya coba mengeksplorasi konsep misantroposen (misanthropocene) secara singkat dengan cara memperluas objek pembahasan misantropi yang telah dimulai dengan baik oleh Gema.
Pendekatan reflektif eksistensial, seperti halnya cermin, memproyeksikan objek dengan begitu sempurna. Objek ini merupakan manusia serta sifat-sifat abstrak yang melekat padanya, termasuk apa yang selama ini diperjuangkan sebagai nilai ‘sakral’ kemanusiaan. Puncak emas peradaban manusia digadang-gadang lahir setelah era revolusi industri, ketika sains dan teknologi bekerja dengan penuh suka cita membangun apa yang disebut dengan masyarakat yang beradab di kemudian hari. Revolusi Prancis dianggap sebagai awal dari kebebasan individu. Globalisasi menjadi jembatan bagi perkawinan lintas kebudayaan dan identitas politik setiap kawasan. Semua itu terakumulasi pada satu titik waktu geologis yang disebut dengan Antroposen.
Berbeda dengan Antroposen, pendekatan misantroposen justru berusaha mengingkarinya sebagai ‘zaman manusia’. Misantroposen menggugat heroisme ekologis yang berusaha meromantisasi masa lalu manusia yang dianggap pernah seimbang dengan alam. Upaya-upaya restorasi, preservasi, revitalisasi, dan penyelamatan bumi dengan segala jargon keberlanjutan ini dianggap hanya sekadar pengalihan isu utama dari masalah-masalah kemanusiaan, seperti kemiskinan yang disebabkan oleh krisis iklim. Menurut saya, misantroposen lebih dari sekadar gugatan misantropi soal moralitas dan kultural semata, misantropi juga menyinggung dimensi kosmologis tetapi belum secara spesifik terkait relasinya dengan kondisi keplanetan bumi.
Misantroposen mulai dikenal sebagai bentuk provokasi tentang dominasi pengetahuan Antroposen yang digaungkan oleh negara maju yang ‘beradab’. Provokasi misantroposen umumnya secara implisit dapat ditemukan di pameran-pameran seni dengan tema kerusakan alam, seni kontemporer geo-grafi/logi, atau sampah limbah; sebagiannya dapat kita identifikasi melalui karya puisi atau sastra yang bertemakan ‘akhir dunia’.
Beberapa film layar lebar sains-fiksi juga acapkali memberikan nuansa misantroposen ketika berhadapan dengan narasi megah moralistik kemanusiaan di tengah-tengah kekacauan dunia sebelum, saat, atau setelah kiamat besar. Sayangnya, hanya ras manusia tertentu yang menjadi karakter utama, tentunya dengan syarat memiliki kecukupan sumber ekonomi atau kemampuan saintek yang mapan, yang pada akhirnya mampu bertahan hidup lebih lama selama malapetaka besar terjadi. Tidak heran bila beberapa film sains-fiksi dengan tema kiamat luar biasa (apocalyptic) memiliki narasi kuat tentang heroisme, dengan tujuan perjuangan atas nama masa depan bumi dan kemanusiaan. Atau, hasrat kapitalistik brutal yang disertai kecerobohan sekelompok politisi selalu dijadikan biangkeladi di balik setiap permulaan adegan bencana, entah mutasi virus, perekayasaan geologis, atau gempuran meteor super raksasa.
Ada kalanya kita mungkin saja cenderung muak dengan tema narasi film atau jalan cerita novel yang terkesan itu-itu saja, tetapi bagaimana seandainya saat kita mematikan layar kaca lalu beranjak menuju beranda rumah dan seketika melihat ‘kiamat kecil’ sedang bekerja? Entahlah. Jika Anda tidak merasa cemas mungkin saja sudah menjadi bagian dari misantroposen, kesan pesimistik-fatalis-ambigu, tetapi begitulah yang seharusnya terjadi, kausalitas kegagalan umat manusia untuk menjaga kehidupannya. Toh saya masih terus mencari siapakah aktivis paling representatif untuk misantroposen ini.
Pelacakan misantroposen sebagai gerakan agaknya sangat sulit dan tidak mungkin terjadi. The Ahuman Manifesto: Activism for the End of the Anthropocene karya Patricia MacCormack (2020) hanya berusaha melampaui nihilisme dan pos/trans-humanisme untuk melampaui dunia (tanpa) manusia yang lebih optimis. Sedangkan, Joshua Clover dan Juliana Spahr (2014) pernah membacakan puisi tentang #Misantropocene (dua puluh empat tesis); tesis pertama diawali dengan: “First of all. F*ck all y’all,” lalu dilanjutkan dengan sumpah serapah puitis tentang pengabaian massal, perayaan absurd kapital-antroposen, juga tak luput menyinggung melankolia Barat menyangkut tanggung jawabnya perihal kerusakan alam. Kyle Bladow dan Jennifer Ladino (2018) menjelaskan bahwa daya imajinatif seni, sastra dan puisi mampu menempatkan dimensi afektif, tentang perasaan ekologis, yang sesungguhnya dalam menjalani kehidupan Antroposen. Meskipun paradigma ini kontroversial dan cenderung ditolak pada level formal Antroposen, sebab sangatlah subjektif, tetapi membaca Antroposen dengan keyakinan yang berbeda ini justru jadi bagian implisit dari provokasi Misantroposen.
Sekali lagi, misantroposen bukanlah gerakan. Karena gerakan seperti apapun tidak memperjuangkan apa-apa, sifat fatalis ini dapat ditelusuri melalui puisi-puisi Richard-Yves Sitoski ‘Brownfields’ dan Liz Howard ‘Infinite Citizen of the Shaking Tent’ bersamaan dengan analisis sastra Phil Henderson. Intinya, Henderson (2019), melalui puisi, membaca Antroposen mendorong hilangnya batas-batas kawasan semenjak menjamurnya kolonialisasi pemukiman. Kolonialisasi pemukiman ini tidak hanya tentang dunia barat yang mengekspansi masyarakat pribumi tetapi siapapun/apapun itu, sebagai spesies/sumber daya, pastilah memiliki hasrat untuk mendominasi satu wilayah tertentu apalagi di saat seluruh sumber daya semakin terbatas, termasuk lahan untuk hidup. Selain itu, kebodohan delusional untuk kembali ke masa pra-antropos biosfer, cita-cita kesimbangan alam-manusia, hanya berujung sebagai buzzwords para moralis-ekologi atau politisi untuk meredam dan menunda kecemasan publik.
Misantroposen tidak lagi membicarakan tentang dirinya sebagai individu yang paling baik, justru malu atas apa yang pernah terjadi di masa lalu. Upaya penghapusan sejarah masa lalu (The Obliteration of the Past) adalah cara misantroposen melakukan pelarian (escaping) sama seperti halnya misantropi. Letak perbedaanya hanya pada sudut pandangnya saja. Masa lalu adalah tentang kematian—tentang mayat, tentang fosil, tentang akumulasi polusi antropogenik. Mereka yang sudah mati saja mampu mempengaruhi putusan-putusan etis-politis saat ini, leluhur yang menghabiskan sumber daya alam tetapi generasi masa depan yang harus bersusah payah mencari energi terbarukan untuk tetap bertahan hidup. Itupun kalau manusia masih memiliki harapan dan fondasi nilai.
Bagaimanapun, Peter Y. Paik (2019) tetap menggugat Antroposen melalui perspektif misantropi sebagai fondasi tentang kepunahan dan penghakiman. Wajah misantropi massal terjadi sejak superioritas atas nama liberalisme Barat yang cenderung mengasingkan yang-asli (pribumi) multi-spesies. Misantropi di sini dimaksudkan sebagai pengingkaran prinsip-prinsip kemanusiaan yang paradoksal, alih-alih membebaskan justru melanggengkan diskriminasi kelas sosial/alam dan manusia/non-manusia. Perang menjadi hal yang lumrah selama proses kolonialisme dan imperialisme. Penghakiman atas sifat narsistik kemanusiaan masa lalu berbuah petaka dikemudian hari sebagai kepunahan keenam teruntuk umat manusia. Misantroposen menjadi dilema usaha rasionalisasi sains dan teknologi dalam wujud industrialisasi maju, di satu sisi berharap memajukan peradaban dan kesejahteraan umat manusia tetapi di sisi lain dihadapkan dengan tapal batas krisis keplanetan (planetary boundaries).
Terakhir, sebagaimana perspektif quietist misantropis yang menekankan sikap kehati-hatian dan cenderung menahan diri dari kebisingan dunia manusia yang selalu sibuk, maka misantroposen juga memiliki sikap diam (silence) untuk menolak dunia Antroposen. Bersikap diam menjadi laku praksis tapi tidak sekedar pasif melainkan memiliki kapasitas tertentu sebagai cara melampaui batas-batas warisan biner yang sangat kaku (tuan/budak, alam/kultur, dsb). Kanngieser dan Beuret (2017) menambahkan bahwa bentuk keheningan misantroposen menjadi semacam ketidakhadiran dari jerat kapitalisme kognitif, neo-kolonialisme, dan sikap destruktif terhadap alam. Ketiganya telah mendominasi cara bertindak masyarakat selama ini, dengan berbagai kelumrahan yang terus menerus dijustifikasi secara antroposentrisme, bahkan terkesan mengulang sejarah (misalnya peperangan, korupsi, deforestasi, dsb). Meskipun terkesan ambivalensi, praksis ini menjadi bentuk resistensi terhadap segala bentuk kebiasaan sosial atas perayaan ‘tahunan’ atas sikap heroisme ekologis semu.
Itulah ulasan lanjutan dari misantropi yang dikembangkan ke ranah Antroposen. Jika Gema berterus terang menawarkan menghidupi hidup dengan misantropi, menjalani kehidupan yang tidak indah dan tidak hanya itu yang kita semua punya, maka misantroposen menawarkan ketakcukupan kapasitas manusia untuk mendaku telah malampaui struktur geologis. Tidak semua hal dapat diatur oleh manusia, tetapi mengapa manusia selalu berusaha keras untuk memprediksi ancaman akan bahaya yang selalu mengancam di masa depan dalam bentuk laporan tahunan. Pada saat krisis terjadi, nilai-nilai ‘kemanusiaan’ lantas dianggap perlu diperjuangkan, tetapi mungkin tidak berlaku apabila masih berkubang di zona nyaman, yang baik dan indah.
Tentunya untuk menjalani laku hidup seperti individu misantropi dengan sudut pandang dunia misantroposen tidaklah mudah, terlebih bagi generasi masa depan yang cenderung ketar-ketir dengan bertambahnya beban kerja, risiko kesehatan mental, kesejahteraan hidup-layak, tak luput pula keamanan finansial. Sayangnya, ada masa ketika upah minimum tak kunjung naik tetapi harga tanah-pemukiman kian meroket, padahal, toh kualitas tanah Antroposen semakin memburuk.
Referensi:
Bladow, K., & Ladino, J. (Eds.). (2018). Affective ecocriticism: Emotion, embodiment, environment. University of Nebraska Press.
Henderson, P. (2019). The Poetics of Settler Fatalism: Responses to Ecocide from within the Anthropocene. Pivot: A Journal of Interdisciplinary Studies and Thought, 7(1). 5-32.
Kanngieser, A., & Beuret, N. (2017). Refusing the world: Silence, commoning, and the Anthropocene. South Atlantic Quarterly, 116(2), 363-380.
Paik, P.Y. (2019). Extinction and Judgment: Misanthropy in the Anthropocene. Korean Society of English Language and Literature, 65(2), 203-222.