Meme adalah sebuah term yang sangat populer di era digital ini. Mayoritas masyarakat mengasosiasikan “meme” dengan sesuatu yang lucu, simpel, dan ringan yang berseliweran di internet atau gawai masing-masing. Sebelum mewujud dalam dimensi digital meme lahir dari tradisi keilmuan biologi evolusioner.
Kata meme pertama kali muncul pada buku The Selfish Gene karya ilmuwan biologi evolusioner Richard Dawkins. Pemikiran Dawkins tentang biologi sangat dipengaruhi oleh teori evolusi Charles Darwin. Dalam bukunya yang terbit pertama pada tahun 1976 itu Dawkins menerangkan bahwa dalam teori evolusi tak hanya melulu diisi oleh replikasi gen. Ada beberapa variabel lain yang juga bereplikasi seiring berjalannya evolusi, salah satunya adalah meme.
Dawkins menggunakan kata meme sebagai kata benda yang berfungsi sebagai alat transmisi budaya, atau unit imitasi. Meme berasal dari kata Yunani mimeme yang berarti tiruan. Dawkins menyingkat kata mimeme menjadi meme agar menjadi satu suku kata yang mudah diucapkan layaknya kata gen. Dawkins ingin menganalogikan sistem kerja meme dengan gen. Jika gen merupakan alat replikasi bagi DNA yang membentuk jasmani manusia maka meme merupakan alat replikasi bagi akal budi manusia yang membentuk kebudayaan manusia. Lebih lanjut Dawkins (2019) menjelaskan bahwa sama seperti gen yang berkembang biak dan mempertahankan eksistensinya dalam lumbung gen (gene pool) dengan meloncat dari tubuh ke tubuh melalui sperma atau telur, meme pun membiakkan diri di dalam lumbung meme (meme pool) dengan meloncat dari otak ke otak melalui suatu proses yang dalam arti luas bisa disebut imitasi.
Meme menyebar pada saat terjadi komunikasi antara satu orang dengan lainnya secara langsung ataupun tidak langsung. Brodie (dalam Rahmadi, 2010) mengartikan meme sebagai unsur utama informasi di dalam akal budi yang eksistensinya mempengaruhi berbagai peristiwa sedemikian rupa sehingga tercipta lebih banyak salinan meme di dalam akal budi orang lain.
Meme akan terus melipatgandakan dirinya selama ia hidup karena jika tidak maka meme itu akan punah, seperti halnya gen. Dawkins (dalam Marwick, 2013) mengidentifikasi tiga elemen kunci dari varian genetik yang sukses: copy-fidelity, fecundity, dan longevity. Dalam kaitannya dengan meme, copy-fidelity adalah kemampuan untuk mereplikasi secara akurat; fekunditas adalah kecepatan replikasi; dan longevity adalah stabilitasnya dari waktu ke waktu. Meme tertentu, dia bilang, akan lebih sukses daripada yang lain karena mereka memenuhi kebutuhan budaya atau secara unik sesuai dengan keadaan tertentu. Maka akan sangat bervariasi perkembangan meme seiring berjalannya waktu. Ada yang sangat cepat mereplikasi/berkembang biak namun hilang dengan cepat, namun ada juga yang menggandakan diri dengan lambat tapi awet dalam jangka waktu yang lama.
Meme merupakan unsur pembentuk budaya. Hofstede (dalam Kruchten, 2007) mendefinisikan budaya sebagai pemrograman kolektif pikiran yang membedakan anggota dari satu kelompok atau kategori orang dari yang lain. Meme, seperti halnya gen, bisa bergabung dengan meme lainnya dan membentuk satu kesatuan unit baru yang hidup dalam pikiran manusia. Dawkins (dalam Gal et al., 2016) menggambarkan unit budaya kecil penularan yang mengalir dari manusia satu ke manusia lainnya melalui proses penyalinan dan peniruan. Dengan mekanisme itu suatu unit pemikiran diteruskan dari satu generasi dan ke generasi lainnya dan membentuk satu kecenderungan konsep pemikiran manusia. Unit budaya-unit budaya kecil di suatu geografis tertentu kemudian saling terkait dan bergabung membentuk budaya yang unik dan berbeda antara satu daerah dengan daerah lainnya. Unit meme yang bergabung menjadi satu disebut memeplex. Young (2006) mendefinisikan memeplex sebagai sekelompok unit budaya yang terkait dan saling berhubungan yang ditransmisikan dengan imitasi (meme).
Contoh dari meme sangatlah banyak dan bervariasi. Meme internet hanyalah salah satu varian meme . Bisa dibilang semua unsur dan produk budaya manusia adalah meme. Dawkins (2019) menyatakan bahwa contoh meme adalah lagu, gagasan, kalimat, gaya busana, cara membuat pot, atau struktur lengkung bangunan. Tentunya contoh meme masih banyak lagi. Apa yang disebutkan Dawkins hanya untuk mempermudah pemahaman bahwa meme itu bukan suatu bentuk tertentu saja tapi bisa bermacam-macam. Bisa dibilang semua unsur budaya adalah meme yang terus berkembang, bereplikasi, dan bergabung antara satu dengan lainnya.
Meme tidak selalu dalam keadaan utuh dalam proses replikasinya. Bisa juga hanya sebagian kecil yang menarik dan mudah diingat tentunya yang direplikasi. Seperti contoh ringtone ponsel yang diambil dari bagian dari lagu Fur Elise-nya Beethoven. Atau dalam beberapa lagu, kita biasanya hanya mengingat beberapa rangkaian melodi pada bagian lagu untuk disenandungkan, tanpa harus menyanyikan lagu itu secara utuh. Dalam analogi genetikanya adalah dalam proses perkembangbiakannya sifat-sifat gen yang bergabung tidak akan muncul semuanya pada keturunan berikutnya.
Dalam mereplikasi meme, manusia hanya membutuhkan kemampuan otak untuk meniru. Dalam proses peniruan itu seringkali ada ketidakakuratan. Meme tidak selalu mirip dalam peniruannya, kadangkala ada modifikasi entah itu disengaja ataupun tidak disengaja. Jika dianalogikan dalam ilmu genetika, hal itu seperti mutasi gen. Dengan demikian maka variasi meme akan semakin bertambah di samping adanya kombinasi-kombinasi dengan meme lainnya.
Meme Internet
Meme internet adalah meme yang mempunyai ekosistem di internet. Mereka diproduksi dan mereplikasi dirinya pada jaringan internet. Mick-Evans (2019) berpendapat bahwa istilah “meme” pertama kali diaplikasikan mengacu pada internet dalam sebuah artikel tahun 1994 di Wired yang ditulis oleh Mike Godwin, perumus “Godwin’s Law,” sebuah pepatah internet yang menjadi meme. Di dalamnya, ia menjelaskan bagaimana pengantar adagiumnya pada tahun 1990 adalah eksperimen sosial dalam memetika.
Meme internet tentunya mempunyai sifat atau ciri-ciri yang hampir sama dengan meme yang didefinisikan oleh Dawkins. Shifman (dalam Shifman, 2014) mendefinisikan meme internet sebagai item-item digital yang: (a) berbagi karakteristik umum tentang konten, bentuk, dan/atau pendirian; (b) diciptakan dengan kesadaran satu sama lain; dan (c) diedarkan, ditiru, dan diubah melalui internet oleh banyak pengguna.
Seiring perkembangan waktu dan perkembangan teknologi di mana tidak sulit bagi orang awam membuat meme dengan tersedianya berbagai aplikasi editing gambar atau video yang ada, meme internet semakin berkembang pesat. Tiktok dan Musical.ly adalah beberapa contohnya. Namun ada kecenderungan yang unik dalam perkembangannya. Kebanyakan orang menganggap sesuatu itu meme hanya yang mengandung unsur kelucuan, di luar itu tidak dianggap sebagai meme.
Meme di Antara Kesadaran dan Ketidaksadaran Manusia
Mungkin kita seringkali tidak terlalu peduli dengan viralnya suatu meme. Atau tidak mempertanyakan lebih lanjut mengapa setiap orang meniru atau menyebarkan satu meme pada satu waktu itu sedangkan meme lainnya tetap tidak viral walaupun tak kalah lucu. Atau mungkin kita tidak tahu bagaimana meme yang awalnya kita tidak begitu suka, biasa-biasa saja tapi karena lingkungan kita mereplikasi meme itu, kita jadi suka dan ikut menirukan, mereproduksi, atau bahkan menyebarkan meme tersebut. Bagaimana peran kesadaran kita dalam mempersepsikan meme? Atau bagaimana meme membentuk kesadaran kita?
Untuk menjawab pertanyaan itu ada dua perspektif. Yang pertama adalah memandang kesadaran dari sudut pandang meme. Dari perspektif ini penulis berusaha menganalisa kesadaran manusia dalam perspektif memetika. Sedangkan yang kedua adalah memandang dari sudut pandang kesadaran. Untuk perspektif yang kedua ini penulis menggunakan teori psikoanalisis.
Untuk mengetahui bagaimana meme membentuk kesadaran manusia adalah melalui memetika. Blackmore (2003) mengatakan bahwa kesadaran manusia biasa adalah ilusi yang diciptakan oleh meme untuk propagasi mereka sendiri. Teori ini menerangkan bahwa kesadaran manusia dibentuk dari meme-meme dalam pengalaman hidup manusia yang bergabung menjadi satu dan membentuk memeplex kesadaran seperti yang didefinisikan secara konvensional. Kesadaran bergantung pada meme apa saja yang terkumpul dalam pikiran manusia sehingga manusia memahami kumpulan itu sebagai suatu kesadaran.
Meme yang diterima manusia akan menjadi elemen penyusun kesadaran yang ada pada manusia. Dennet (dalam Blackmore, 2003) menerangkan bahwa ribuan meme, sebagian besar ditanggung oleh bahasa, tetapi juga oleh “gambar” tanpa kata dan struktur data lainnya, mengambil tempat di otak individu, membentuk kecenderungannya dan dengan demikian mengubahnya menjadi mind. Hal ini dimulai manusia sejak usia di mana ia sudah bisa mengaktifkan kemampuan bahasanya. Blackmore (2003) menerangkan bahwa begitu seorang anak dapat berbicara tentang dirinya sendiri maka banyak meme lain dapat memperoleh keunggulan replikasi dengan menempelkannya pada memeplex yang sedang tumbuh ini.
Sebaliknya, yang kedua, penulis akan membahas meme dari sudut pandang kesadaran dalam definisi konvensionalnya. Dalam hal ini penulis mengambil sudut pandang psikoanalisis. Hal demikian penulis pilih karena dalam teori psikoanalisis menggambarkan secara jelas wilayah kesadaran dan ketidaksadaran pada manusia.
Dalam beberapa waktu ini beberapa meme berhasil memviralkan dirinya. Untuk meme gambar contohnya adalah meme ‘tuman‛. Meme ini terdiri dari dua orang yang satu menampar lainnya sambil berteriak “tuman!” setelah ada percakapan sebelumnya yang dapat diedit. Meme itu viral dan hampir semua pengguna gadget mengetahui kedua karakter itu. Meme berupa video dan lagu yang unik juga seringkali viral seiring antara lain “Goyang Spongebob”, “Goyang ubur-ubur”, “Salah Apa Aku (Entah apa yang merasukimu)”, “Any Song”, dan ‘Culametan metmet‛. Meme jenis ini semakin sering viral akhir-akhir ini seiring suksesnya aplikasi Tiktok. Dengan aplikasi ini masyarakat bisa dengan mudah memproduksi dan mereplikasi meme berupa musik dan lipsync atau gerakan/ tarian. Yang menjadi unik dari meme internet jenis ini adalah bisa viral di luar internet atau ke dunia nyata. Biasanya mereka mereplikasi lagunya dengan mulut sembari mengikuti gerakannya. Atau jika tiba-tiba mendengarkan melodi lagu itu di jalan, mereka membuat gerakan atau mereplikasi gerakan pada lagu tersebut sesuai meme di internet.
Namun ada sisi ironis dari viralnya beberapa meme yang ada di internet. Sifat meme yang lucu dan sederhana membuat kesadaran manusia dalam menyaring meme menjadi lemah. Drakett et al., (2018) menyatakan bahwa penelitian feminis telah menemukan bahwa contoh-contoh seksisme dan pelecehan online sering dibingkai ulang sebagai ‘dapat diterima’ dengan membangunnya sebagai bentuk humor. Dalam hal ini media meme bisa menjadi salah satu media tersebut. Selain itu meme juga mengandung unsur rasial. Daniels (dalam Williams et al., 2016) menyatakan bahwa diskriminasi rasial juga dapat dialami dalam konteks online, di berbagai domain termasuk game, fandom, berita, utas olahraga dan komentar, situs jejaring sosial, dan blog. Kien (2013) menegaskan bahwa meme memunculkan implikasi etis yang unik, melanggengkan isu-isu seperti rasisme, hipster dan slactivism.
Kita tidak sadar bagaimana kita ikut terpapar oleh viral meme tersebut. Kita hanya menganggap itu sebagai sebuah kewajaran ketika melihat meme, terlepas itu menarik atau tidak bagi kita. Jika meme itu tidak menarik, maka kita akan melewatkannya begitu saja. Tapi konsep meme itu tetap tersimpan pada memori kita.
Sebaliknya jika meme itu menarik namun terlalu konyol dan memalukan untuk ditiru, melalui defense mechanism kita merepresi ingatan itu ke dalam alam bawah sadar. Konsep meme tersebut sudah tersimpan di dalam pikiran kita.
Ketika kita menyimpan konsep itu dalam alam bawah sadar, maka dalam kesempatan tertentu ingatan itu akan muncul secara spontan. Hal itu bisa terjadi ketika orang-orang di sekitar kita melakukan gerakan atau menyanyikan meme tersebut. Dalam contoh lain ketika kita melihat orang yang kita kagumi mereplikasi meme tersebut maka kitapun akan mempunyai dorongan untuk menirukan gerakan pada meme tersebut. Seperti gen resesif, sifat gen itu akan mengekspresikan diri saat menemukan pasangan yang cocok atau ketika lingkungan sekitar mendukung munculnya sifat tersebut.
Referensi
Blackmore, S. (2003). Consciousness in meme machines. Journal of Consciousness Studies, 10(4–5), 19–30.
Dawkins, R. (2019). The selfish gene. KPG (Kepustakaan Populer Gramedia).
Drakett, J., Rickett, B., Day, K., & Milnes, K. (2018). Old jokes, new media – Online sexism and constructions of gender in Internet memes. Feminism & Psychology, 28(1), 109–127. https://doi.org/10.1177/0959353517727560
Gal, N., Shifman, L., & Kampf, Z. (2016). “It gets better”: Internet memes and the construction of collective identity. New Media & Society, 18(8), 1698–1714. https://doi.org/10.1177/1461444814568784
Kien, G. (2013). Media memes and prosumerist ethics: Notes toward a theoretical examination of memetic audience behavior. Cultural Studies ↔ Critical Methodologies, 13(6), 554–561. https://doi.org/10.1177/1532708613503785
Kruchten, P. (2007). Voyage in the agile memeplex: In the world of agile development, context is key. Queue, 5(5), 38–44. https://doi.org/10.1145/1281881.1281893
Marwick, A. (2013). Memes. Contexts, 12(4), 12–13. https://doi.org/10.1177/1536504213511210
Mick-Evans, K. (2019). One does not simply preserve internet memes: Preserving internet memes via participatory community-based approaches. https://doi.org/10.13140/RG.2.2.18093.54240
Rahmadi, E. A. (2010). Filsafat manusia dalam memetika Richard Brodie (Pengaruh iklan komersial terhadap kesadaran dan kebebasan manusia). Jurnal Filsafat, 20, 25. https://doi.org/10.22146/jf.3434
Shifman, L. (2014). The cultural logic of photo-based meme genres. Journal of Visual Culture, 13(3), 340–358. https://doi.org/10.1177/1470412914546577
Williams, A., Oliver, C., Aumer, K., & Meyers, C. (2016). Racial microaggressions and perceptions of Internet memes. Computers in Human Behavior, 63, 424–432. https://doi.org/10.1016/j.chb.2016.05.067
Young, H. (2006). Circumcision as a memeplex. In G. C. Denniston, P. G. Gallo, F. M. Hodges, M. F. Milos, & F. Viviani (Eds.), Bodily Integrity and the Politics of Circumcision: Culture, Controversy, and Change (pp. 1–16). Springer Netherlands. https://doi.org/10.1007/978-1-4020-4916-3_1