Dari Epicurus ke Ayala: Benarkah Evolusi dapat Menjawab Problem Teodisi?

Kontribusi Darwin tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan tapi juga para teolog yang melihat evolusi sebagai teman, alih-alih rival, bagi teologi keagamaan.

Salah satu tantangan laten bagi teori penciptaan adalah problem teodisi. Secara sederhana problem ini terangkum dalam empat pertanyaan dilematis mengenai kejahatan (evil) yang umum diatribusikan kepada Epicurus;

1) Apakah Tuhan mau, tapi tidak mampu melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti Dia tidak Maha-Kuasa;

2) Apakah Tuhan mampu, tapi tidak mau melenyapkan kejahatan? Kalau ya, berarti Dia tidakMaha-Pengasih;

3) Jika Tuhan mampu dan mau melenyapkan kejahatan, mengapa masih ada kejahatan sampai sekarang? Dan;

4) Jika Tuhan tidak mampu dan tidak mau melenyapkan kejahatan, kenapa masih disebut Tuhan?

Sudah banyak penjelasan yang mencoba menjawab pertanyaan ini. Mulai dari penjelasan bernada filosofis, teologis, hingga saintis pasca-Darwin. Paley ketika menulis Natural Theology-nya misalnya sadar betul bahwa dia akan menghadapi persoalan mengenai bagian-bagian dari organ tubuh manusia yang entah berlebihan dan karenanya tidak dibutuhkan atau mengandung ketidaksempurnaan yang disfungsional.

Menyangkut yang pertama, Paley mengajukan kemungkinan ketidak(belum)tahuan kita terhadap sistem operasi ataupun kegunaan organ yang dimaksud. Sistem getah bening menurutnya penting untuk manusia bertahan hidup meskipun fungsinya belum diketahui – setidaknya saat Paley menulis buku itu. Yang menarik adalah sang teolog tidak menutup kemungkinan bagi ilmu pengetahuan untuk membongkar misteri-misteri yang saat itu menyelimuti sebagian besar isi bukunya. “Every improvement of knowledge diminishes their number,” tulisnya.

Sampai di sini dia masih fair. Dia menjadi tidak fair ketika mencoba menjawab persoalan yang kedua, yaitu mengenai ketidaksempurnaan organ. Dia tidak fair karena baginya ketidaksempurnaan itu jumlahnya jauh lebih sedikit jika dibandingkan dengan kebaikan dalam kesempurnaan yang tercipta. Dengan kata lain, banyaknya kesempurnaan dapat memaklumi ketidaksempurnaan yang tidak seberapa. Pernyataan ini jelas tidak fair dan problematis karena konon katanya nila setitik dapat merusak susu sebelanga. Anda tidak dapat menilai saya baik hanya karena memenuhi apapun yang anda inginkan sementara pada saat yang sama membiarkan orang lain mati kelaparan.

Selain itu, pernyataan ini juga tidak selaras dengan sifat-sifat yang dia atribusikan kepada si pencipta; maha kuasa, maha tahu, ada di mana-mana, abadi, ada dengan sendirinya, wajib ada, dan spiritual – sejumlah sifat yang konon dia rangkum sendiri dari hasil pengamatannya terhadap proses alamiah semesta. Mengingat segala ketidaksempurnaan tersebut dan kerendahan hati sang teolog untuk mengakuinya, kesimpulan yang begitu sempurna dan meyakinkan tentang atribut pencipta ini jelas merupakan lompatan logika yang besar dan beresiko.

Di sinilah teori evolusi, setidaknya menurut Francisco Ayala, seorang ahli biologi evolusioner cum filusuf Amerika kelahiran Spanyol, mengambil peran, beberapa tahun setelah Paley meninggal. Ketidaksempurnaan, menurut Ayala, adalah konsekuesi logis dari proses alamiah yang berlangsung secara acak dan bertahap. Proses ini memungkinkan adanya anomali pada setiap organisme sebagai konsekuensi dari aktivitas genetik yang terus beradaptasi. Dia selanjutnya mendaftar sejumlah defisiensi pada berbagai macam organisme untuk mendukung argumentasinya.

Untuk menyebut salah satu contoh sederhana yang berkaitan dengan anatomi manusia adalah lubang vagina pada perempuan yang dianggap terlalu sempit untuk mengeluarkan kepala bayi dengan mudah. Akibatnya, ribuan atau bahkan jutaan orok mati selama proses persalinan. Menurut Ayala, kita tidak harus menyalahkan Tuhan atas fenemona ketidaksempurnaan rancangan yang sebenarnya mudah dipahami jika dilihat dari kacamata sains; otak manusia terus berkembang melebihi ukuran kanal sang ibu.

Apa yang Ayala lakukan pada dasarnya hanya mangalihkan problem ‘kejahatan’ dari yang semula dibebankan kepada agensi supranatual menjadi sepenuhnya kerja alam  — dan ini tidak sepenuhnya menjawab problem teodisi karena alasan yang nanti akan saya jelaskan di akhir. Revolusi sains pasca-Darwin menurutnya berhasil memberikan jawaban yang memuaskan bagi persoalan yang selama ini membingungkan kaum teolog. Alhasil, masih menurut Ayala, kontribusi Darwin tidak hanya dapat dinikmati oleh kalangan ilmuwan tapi juga para teolog yang melihat evolusi sebagai teman, alih-alih rival, bagi teologi keagamaan. Ini menarik mengingat pada saat yang sama evolusi juga melahirkan figur-figur anti-agama seperti Richard Dawkins, Daniel Dennett, Lawrence Krauss, Christopher Hitchens dan semacamnya.

Sayangnya, ada satu karakter penting lain dari teori ini yang tidak banyak medapat perhatian Ayala. Kalaupun dia membahasnya, dia tidak (mau) melihat adanya implikasi teoritas dari apa yang dia bahas terhadap apa yang menjadi salah satu tesisnya mengenai fungsi agama dan Tuhan. Karakter yang saya maksud adalah tanpa tujuan (purposeless). Saya paham jika dia sengaja mengabaikannya, sebab mempertimbangkannya akan merusak hipotesis yang dia bangun sejak awal; evolusi dapat membantu agama menjawab problem kejahatan. Bagaimana karakter ini bisa bertentangan dengan fungsi agama akan saya bahas secara khusus dalam tulisan lain.

Di sini saya hanya ingin menambahkan satu saja dari sekian banyak kontradiksi lain yang dihasilkan dari upaya mengakomodasi evolusi ke dalam teologi keagamaan untuk mengatasi problem teodisi sebagaimana yang Ayala dan beberapa pakar sains lain yang merangkap jadi pemimpin agama belakangan lakukan. Sebagaimana kontradiksi yang dihadapi Paley, teori ini, meskipun dianggap mampu memberikan jawaban alternatif yang lebih ilmiah terhadap problem kejahatan, juga harus berhadapan dengan postulat raksasa mengenai adanya pencipta yang serba maha.

Dari sekian maha yang dilekatkan kepadanya, maha kuasa adalah yang paling problematis, kaitannya dengan evolusi. Sebab di hadapan seleksi alam, pencipta literally tidak memiliki daya apa-apa. Dia tidak mampu menggagalkan terjadinya anomali yang menyebabkan ketidaksempurnaan atau bahkan cacat, yang karenanya manusia terkadang menolak mempercayainya. Tafsir apologetik boleh bermain di sini, tapi jika anda perinci tafsir itu satu per satu, pada akhirnya tafsir-tafsir itu akan membentur satu sama lain dan, alih-alih menjawab masalah, justru melahirkan masalah baru – bayangkan, misalnya, isu klasik dalam filsafat ketuhanan mengenai kontradiksi sifat-sifat Tuhan.

Alhasil, evolusi mungkin berhasil menghadirkan jawaban yang lebih memuaskan terhadap problem kejahatan tanpa harus membuang ide ketuhanan, tapi sebagai konsekuensi logis ia menuntut adanya penafsiran ulang terhadap sejumlah sifat Tuhan serta beberapa narasi apokaliptik anti-sains yang menyertainya. Dan belakangan ini sebenarnya sudah banyak dilakukan oleh sejumlah tokoh dan aliran di dalam agama-agama, baik dalam rangka survival ataupun revival. Yang jelas di hadapan sains, agama dituntut untuk terus berbenah, apapun motifnya.

Bacaan Lainnya