Membangun Filsafat Indonesia II: Tanggapan untuk Ahnaf, Maulana, dan Pamungkas

Ekspresi “filsafat harus memecahkan masalah kontemporer” berguna secara pragmatis sebagai slogan agar kita tidak puas dan berhenti dengan jawaban puluhan, ratusan, dan ribuan tahun yang lalu.

Banin D. Sukmono
Banin D. Sukmonohttp://zenocentre.org
Direktur dan Head of Metaphysics of Science di Ze-No Centre for Logic and Metaphysics

Membangun filsafat Indonesia yang saya usulkan di artikel sebelumnya (Sukmono, 2021) adalah ajakan agar peneliti filsafat di Indonesia berfokus menyelesaikan masalah kontemporer. Beberapa artikel memberikan komentar atas klaim tersebut. Pada artikel ini saya akan mencoba membalas komentar-komentar yang masuk dengan memperdalam apa yang saya sebut dengan menyelesaikan filsafat kontemporer. 

Apa itu dan mengapa harus problem filsafat kontemporer?

Ahnaf (2021) dengan apik telah memberikan definisi atas filsafat kontemporer. Menurutnya, problem filsafat kontemporer adalah:

1) Filsafat yang bertahan hingga sekarang,

2) Problem yang baru muncul sekarang, dan

3) Problem yang akan mungkin muncul yang relevan dengan kondisi sekarang.

Tiga hal tersebut cukup merepresentasikan filsafat kontemporer. Saya setuju dengan poin pertama dan kedua, meskipun saya belum teryakinkan mengapa kita membutuhkan poin ketiga. Kita dapat tidak tahu-menahu (antisipatif) tentang problem yang akan mungkin muncul dan tetap menjawab masalah kontemporer.

Mengambil contoh belum lama ini, kita bisa mengatakan bahwa reduksonisme teori Ernest Nagel telah berkontribusi menjawab masalah kontemporer filsafat ilmu di zamanya (tahun 60an) tentang hubungan teori-teori dalam ilmu, meskipun sekarang proyeknya sudah hampir buntu. Problem realisasi dan determinasi jamak (multiple realization & determination) (Tahko, 2020) untuk menjatuhkan reduksionisme teori oleh anti-reduksionis di tahun-tahun berikutnya bukanlah problem kontemporer saat ia menulis The Structure of Science (1961).

Dengan menjadikan poin ketiga sebagai syarat, kita akan mengatakan bahwa Nagel belum cukup untuk disebut menyelesaikan masalah filsafat kontemporer. Saya ragu jika Nagel tidak cukup, berapa filsuf yang akan bertahan. Karenanya, standar Ahnaf tentang filsafat kontemporer, menurut saya, terlalu tinggi.

Saya juga sepakat dengan respon Ahnaf atas komentar Maulana (2021) bahwa “problem filsafat kontemporer” tidak perlu dibedakan dengan “problem lama yang dipecahkan dengan artikulasi kontemporer.” Namun, saya tidak sepakat dengan gesturnya saat membuang distingsi ini sebagai “mempersulit permasalahan yang pada dasarnya sulit dipecahkan.” Hal ini memungkinkan Maulana berani mempertanyakan penggunaan “kontemporer”. “Justru saya yang heran mengapa harus ada istilah ‘problem filsafat kontemporer’seolah-olah ada problem filsafat yang baru dan usang,” tulis Maulana.

Persamaan di atas justru menunjukan signifikansi kata kontemporer dalam menyelesaikan masalah filsafat, dan sebenarnya dalam disiplin apa pun. Alasannya sederhana dan cukup wajar: karena kita harus selalu mempertimbangkan badan teori yang sudah dibangun oleh semua pemikir yang berkontribusi di masalah yang sedang kita kerjakan.

Persoalan utama penggunaan kata masalah kontemporer, karenanya, bukanlah lama tidaknya pertanyaan tersebut telah dicetuskan, seperti “apakah esensi jiwa dan badan?” itu dicetuskan di zaman Romawi atau Pencerahan, ia juga bukan merujuk pada satu topik filsafat tertentu, seperti metafisika atau etika, tetapi sudah sejauh mana jawaban kita tentang satu topik, misal, esensi jiwa dan badan, bisa bertahan melawan semua argumentasi, model, dan paradigma tandingan yang telah dibangun hingga sekarang. Saya kira hal tersebut adalah pandangan umum.

Kata kontemporer karenanya memiliki fungsi pragmatis. Ia memisahkan jawaban usang dan baru. Di sini, tidak seperti yang dibayangkan Maulana, yang-usang dan yang-mutakhir eksis dalam filsafat sebagaimana yang-usang dan yang-mutakhir juga eksis di disiplin lain. Yang-usang dalam filsafat adalah pertanyaan dan jawaban yang direproduksi tanpa melihat perkembangan teoretis terbaru masalah yang ingin dijawab.

Sebagai contoh, di filsafat biologi, argumen bahwa gen itu selfish yang dikemukakan di tahun 2021 untuk menyelesaikan paradoks altruisme dalam seleksi alam tanpa mendiskusikan semua kritik atas jawaban tersebut dari tahun 1960-70an (terbitnya Adaptation and Natural Selection oleh G.C. Williams dan Selfish Gene oleh R. Dawkins) hingga sekarang adalah jawaban usang terhadap masalah usang. Argumentasi tersebut seakan-akan menjawab pertanyaaan:

(I) “Bagaimana menyelesaikan paradoks altruisme dalam seleksi alam?”

Namun, tanpa disadari, struktur pertanyaan yang lebih merepresentasikan jawabannya adalah:

(II) “Bagaimana menyelesaikan paradoks altruisme dalam seleksi alam meskipun 1) terjebak ke sesat pikir rata-rata,[1] 2) mencampurkan seleksi gen sebagai proses dan perspektif,[2] 3) tidak menghiraukan kemungkinan daya interaksi grup ke individu,[3] dan …n)?”

Daftar setelah “meskipun” adalah kritik terhadap gen selfish yang dilontarkan setelah kelahirannya. Ia adalah representasi masalah kontemporer. Ia bisa memanjang tergantung kemajuan perdebatan di masalah tersebut. Agar daftar tersebut hilang dan argumentasi di atas bernilai, maka ia juga harus menyelesaikan masalah kontemporernya. Menggunakan contoh gen selfish di atas, versi kontemporer dari (I) adalah:

(III) “Bagaimana menyelesaikan paradoks altruisme dalam seleksi alam tanpa 1) terjebak ke sesat pikir rata-rata, 2) mencampurkan seleksi gen sebagai proses dan perspektif, 3) tidak menghiraukan kemungkinan daya interaksi grup ke individu, dan …n)?”

Struktur masalah kontemporer lebih spesifik. Namun, tentu saja hal tersebut merepotkan untuk kebutuhan komunikasi. Solusinya, kita bisa membuang kata “tanpa” dan “setelahnya” atau modifikasi lainnya yang setara untuk kebutuhan fokus penelitian, dengan mengandaikan bahwa kita menyelesaikan persoalan tersebut “secara kontemporer”. Dengan pengandaian tersebut, pertanyaan simpel (I) tetap sah dan kontekstual sebagai pertanyaan kontemporer.

Hal di atas juga berlaku untuk pertanyaan yang telah lama didiskusikan. Ambil contoh pertanyaan filsafat Parmenides:

(IV) “Apa esensi ketiadaan?”

Pertanyaan sederhana ini jelas adalah pertanyaan klasik. Menggunakan definisi Ahnaf, ia masuk poin (1). Ia sudah digaungkan sejak ribuan tahun yang lalu. Namun, apa yang perlu kita pecahkan bukan versi originalnya saja (sebagaimana tidak ada kredit yang kita dapatkan di tahun 2021 jika kita menyelesaikan masalah fisika Newton dan menemukan persamaan F=ma). Apa yang perlu kita pecahkan adalah versi kontemporernya di mana Frege, Heidegger, dan Mumford, dan juga ilmu fisika telah berkontribusi mengembangkan pemahaman kita tentang ketiadaan.[4]

Oleh karena itu, tidak dapat dibedakannya “problem filsafat kontemporer” dan “problem lama yang dipecahkan dengan artikulasi kontemporer” bukan berarti kita dapat membuang kata kontemporer. Ekspresi “filsafat harus memecahkan masalah kontemporer” berguna secara pragmatis sebagai slogan agar kita tidak puas dan berhenti dengan jawaban puluhan, ratusan, dan ribuan tahun yang lalu.

Dengan bahasa yang lebih panjang, ia adalah ajakan rendah hati untuk selalu mendiskusikan semua kontribusi yang relevan hingga saat ini atas permasalahan filsafat yang kita kerjakan. Tujuanya adalah agar kita dapat 1) menutup atau membuka lubang pemikir sebelumnya dan/atau 2) mengeksplorasi daerah baru.

Namun, di saat yang sama, ia adalah ajakan untuk membuang segala batas-batas geografis dan berfokus pada problem. Dalam kerangka menyelesaikan masalah filsafat kontemporer, tidak penting dari mana sumber inspirasi kita berasal. Ia bisa dari Eropa Kontinental atau Timur Tengah. Asalkan kita merasa ia berguna dalam menyelesaikan masalah kontemporer, ia harus kita adopsi. Sebaliknya, jika kita ingin membuat filsafat geografi tertentu relevan, kita harus membuatnya relevan di debat kontemporer.

Membangun atau membebaskan filsafat Indonesia?

Konteks di atas adalah dasar kritik saya terhadap praktik filsafat di Indonesia. Hal tersebut memperjelas bahwa respons Pamungkas (2021) terhadap tulisan saya sebelumnya tidak akurat. Pertama, saya tidak pernah mengatakan bahwa praktik filsafat Indonesia cocoklogi. Saya merasa tidak ada yang salah dengan cocoklogi asalkan ia dilakukan dengan ketat dan berguna untuk membongkar atau menjawab masalah filsafat kontemporer.

Sebaliknya, jika memperhatikan artikel saya secara cermat, masalah saya dengan praktik filsafat Indonesia mengarah ke tiga hal lain. Pertama, banyaknya praktik filsafat di Indonesia yang berhenti di usaha pencarian tanpa merelevansikannya ke debat kontemporer (paragraf 3). Kedua, anggapan bahwa hal tersebut adalah satu-satunya cara menyebut filsafat Indonesia (paragraf 1). Ketiga, simplifikasi empiris hubugan ide-realitas dengan nama “relevansi praktis,” seperti “apakah feminisme eksistensial relevan untuk mengurangi tingkat kecemasan pemuda urban” tanpa eksperimen atau simulasi sosial yang ketat (paragraf 4). Tidak ada cocoklogi muncul sebagai kritik.

Kedua, Pamungkas menempatkan posisi saya seakan-akan bagian dari usaha mendefiniskan secara definitif apa itu filsafat Indonesia. “Filsafat Indonesia bisa jadi apa yang hendak dikatakan M. Nasroen dkk, bisa pula apa yang dikatakan Banin,” tulisanya. Beliau kemudian berpendapat bahwa yang penting adalah “ke mana gerak filsafat Indonesia.”

Justru jika ada satu poin dari artikel saya sebelumnya, ia adalah rekomendasi tentang apa yang harus dilakukan oleh peneliti filsafat di Indonesia, yakni melihat filsafat geografis sebagai masalah sampingan, hanya pedagogis, dan ajakan berfokus menyelesaikan masalah kontemporer (paragraf 8 dan 9). Sejak awal, posisi saya tentang filsafat Indonesia adalah pragmatis. Ia hanya efek samping, by-product, dari orang-orang di dalamnya yang menyelesaikan masalah filsafat kontemporer.

Dengan pemahaman di atas, saya melihat rekomendasi Pamungkas untuk membuang hantu filsafat barat dan filsafat Indonesia tradisional (atau lebih tapatnya filsafat etno Indonesia) dengan membebaskannya secara harmonis sebagai usaha mencari jati diri adalah rekomendasi yang masih nasionalis. Ia masih melihat filsafat etno Indonesia sebagai hal yang harus kita “gali” agar filsafat Indonesia kita sah, agar kita tidak kehilangan identitas, “arogan, penuh kebencian, dan sinistik terhadap masa lalunya.” Tentu semuanya akan indah jika itu terjadi, saya juga tertarik melihat akan seperti apa dunia akademis yang dibangun dengan andaian tersebut, tetapi ia tidak menentukan kemajuan atau kebernilaian filsafat Indonesia.

Kita bisa tidak tahu menahu tentang filsafat yang disarikan dari orang-orang sekitar dan leluhur kita, tidak menyitasinya, dan tidak membuatnya sebagai perspektif, dan tetap menyelesaikan masalah kontemporer. Pada posisi tersebut, filsafat Indonesia akan eksis dan diperhitungkan. Sebaliknya, kita juga bisa sangat paham filsafat yang disarikan dari orang-orang sekitar dan leluhur kita, menyitasinya, dan membuatnya sebagai perspektif, tetapi tidak menyelesaikan masalah apa pun karena, mungkin, ia berpijak pada premis yang salah.

Berfilsafat sambil mencari jati diri geografis, atau menggunakan istilah Pamungkas, “hasrat untuk menggali identitas,” adalah urusan pinggiran (periphery). Ia hanya perlu digunakan sebagai alat agar tujuan kita menyelesaikan masalah filsafat tercapai. Kita bisa membuang hasrat (alat) tersebut jika ia memang tidak berguna secara filsafati.[5] Oleh karena itu, jika niat kita adalah membangun filsafat etno Indonesia, daripada memikirkan dunia ideal filsafat di Indonesia yang harmonis, yang bebas dari hegemoni, dan mengajak orang yang tidak merasa filsafat etno relevan dengan embel-embel identitas, ilustrasi yang tepat justru adalah sebaliknya.

Kita perlu membayangkan arena filsafat di Indonesia sebagai arena pertarungan hegemoni untuk menjawab masalah filsafat. Setiap fraksi perlu sinis, tidak percaya, dan saling menjatuhkan jawaban masing-masing. Pegiat filsafat Islam harus berusaha menghegemoni pegiat filsafat Tionghoa bahwa pegiat filsafat Tionghoa dapat mendapatkan jawaban lebih baik di filsafat Islam. Mereka juga tidak harus dipisahkan secara geografis. Pendukung reduksionisme ilmiah harus mendebat jawaban dari pendukung pluralisme ilmiah bahwa pluralisme, misal, tidak mungkin. Semua fraksi perlu membangun menaranya masing-masing, memperkuat amunisi, dan menjatuhkan yang lain. Kemenangan temporer, kemudian, ditentukan saat posisi lawan menghadapi kebuntuan, sebagaimana reduksionisme teori yang sekarang hampir buntu, dengan argumen kita,[6] dan hanya bisa bertahan dengan mengadopsi pilihan premis yang lain. 

Jika itu terjadi, cara satu-satunya untuk menang selain menggunakan segala cara agar tesis yang mereka bangun kuat adalah membaca argumen lawan, menelitinya, dengan usaha menjatuhkan. Pada titik ini, jika kita ingin agar filsafat etno Indonesia bernilai, pemikirnya harus bisa beradu dengan kemajuan filsafat saat ini. Pendukung filsafat Jawa, misalnya, perlu bisa mengadu filsafat “narimo ing pandum” lebih baik dari tidak hanya lawan filsafatnya, seperti utilitarian, tetapi juga filsafat deontologi sejenis yang mungkin memiliki premis dan detail yang berbeda.

Hanya dengan cara itu filsafat etno Indonesia bisa disegani. Ia akan bernilai dan diteliti secara sungguh-sungguh oleh banyak orang sebagaimana kita menghabiskan ratusan jam, mungkin ribuan, untuk membaca Plato. Itu terjadi bukan karena kita mengatakan ia “agung” atau berguna untuk melerai konflik di dunia nyata, misalnya, tetapi karena memang ia adalah salah satu alternatif yang paling kokoh, alat yang tajam, di hadapan filsafat-filsafat lain. Hal tersebut tidak akan bisa dilakukan tanpa ikut masuk dalam perdebatan filsafat kontemporer. Tanpanya, filsafat etno Indonesia, atau segala macam filsafat lain, tidak peduli ia di Barat atau di Timur, yang tidak berkompetisi di arena kontemporer, hanya akan menjadi artefak. Ia hanya kita pelajari untuk mendapatkan pemahaman historis.[7]

Itulah api dari membangun filsafat Indonesia. Ia adalah ajakan praktis untuk berfokus pada masalah dan perdebatan filsafat kontemporer. Ia juga adalah ajakan pragmatis untuk tidak melabeli yang Indonesia hanya sebagai yang-etno. Sudah saatnya kita, pegiat filsafat di Indonesia, berfokus pada penguatan argumen dan menganggap label-label geografis tidak lebih dari sekadar alat. Dengan itu, kita akan berhenti membuat simplifikasi empiris ide-realitas atas nama relevansi praktis yang harusnya adalah ranah penelitian sosial. Dengan itu, bangunan filsafat Indonesia, yang terdiri dari karya-karya filsafat orang di dalamnya, akan kokoh dan signifikan. Ia tidak hanya dibangun oleh artefak filsafat, tetapi juga detail jawaban yang berguna untuk menginvestigasi problem filsafat lebih jauh.


[1] Sesat pikir rata-rata dapat dilihat di (Sober & Wilson, 1994)

[2] Seleksi gen sebagai proses atau perspektif dapat dilihat di (Okasha, 2004)

[3] Struktur grup ke individu dapat dilihat di (Godfrey-Smith, 2008)

[4] Lihat debat kontemporer tentang ketiadaan di (Sorensen, 2017)

[5] Saya ingin menekankan sekali lagi bahwa ini tidak berarti filsafat geografi tidak memiliki nilai sama sekali. Ia tetap berguna secara pedagogis atau juga berguna secara praktis sebagai pandangan hidup. Fokus tulisan ini ada pada kebernilaian teoretis dari ide-ide filsafat, sebagaimana saya mulai di Sukmono (2021).

[6] Pandangan pluralis konfliktual (non-integratif) ini tidak baru. Lihat ide lengkapnya di Chang (2012) atau Waters (2006).

[7] Kita bisa melihat kekhawatiran Saras Dewi (2021) dan sarasehan hari filsafat Indonesia di sini. Mereka melihat filsafat nusantara jarang masuk teks utama, jarang dipelajari, dan tidak didiskusikan. Bahkan untuk menjadi artefak yang dipertimbangkan secara historis, banyak hal berpengaruh. Tentu saja, sebagian besar adalah masalah politik. Di sini, saya merasa rekomendasi Pamungkas masuk akal. Namun, saya yakin hal ini juga terjadi karena kita jarang membuat filsafat nusantara relevan di debat kontemporer. Penelitian lebih lanjut karenanya dibutuhkan tentang sejauh apa masalah politik dan sejauh apa masalah kemampuan kita sendiri berpengaruh di masalah perebutan tempat dalam buku teks, jurnal, dan diseminasi ide.

Referensi

Ahnaf, M. Q. (2021). Analisis atas Esensi Filsafat Indonesia dan Esensi Problem Filsafat Kontemporer. Antinomi, https://antinomi.org/analisis-atas-esensi-filsafat-indonesia-dan-esensi-problem-filsafat-kontemporer/.

Chang, H. (2012). Is Water H2O? Evidence, Realism and Pluralism. Springer Netherlands.

Godfrey-Smith, P. (2008). Varieties of Population Structure and the levels of Selection. British Journal of Philosophy of Science, 59, 22–50.

Maulana, S. (2021). Posisi Penafsiran dalam Konstruksi “Esensi” Filsafat Indonesia. Antinomi, https://antinomi.org/posisi-penafsiran-dalam-konstruksi-esensi-filsafat-indonesia/.

Okasha, S. (2004). The “Averaging Fallacy” and the Levels of Selection. Biology & Philosophy, 19, 167–184.

Pamungkas, B. A. (2021). Pembebasan Filsafat Indonesia Hari Ini. Antinomi, https://antinomi.org/pembebasan-filsafat-indonesia/.

Sarasdewi. (2021). Menjalin Filsafat Indonesia. Kompas, https://www.kompas.id/baca/opini/2021/10/02/menjalin-filsafat-indonesia/.

Sober, E., & Wilson, D. S. (1994). A Critical Review of Philosophical Work on the Units of Selection Problem. Philosophy of Science, 61(4), 534–555.

Sorensen, R. (2017). Nothingness. Stanford Encyclopedia of Philosophy, https://plato.stanford.edu/entries/nothingness/.

Sukmono, B. D. (2021). Membangun Filsafat Indonesia. Antinomi, https://antinomi.org/membangun-filsafat-indonesia/.

Tahko, T. E. (2020). Where Do You Get Your Protein? Or: Biochemical Realization. The British Journal for the Philosophy of Science, 71(3), 799–825.

Waters, C. K. (2006). A Pluralist Interpretation of Gene-Centered Biology. In S. H. Kellert, H. E. Longino, & C. K. Waters (Eds.), Scientific Pluralism (pp. 190–214). University of Minnesota Press.

Bacaan Lainnya