Filsuf di Tengah Teror Kedamaian Bersama

Perdebatan filsafat Indonesia adalah perdebatan filsafat yang begitu sangat aman dan malu-malu.

Merah Naga
Merah Nagahttp://antinomi.org
Seorang nihilis yang kini tinggal di antara Bali dan Jogja.

Di masa hidupku ini, kalau boleh jujur, kegagalan terbesar filsafat Indonesia mewujud dalam diri Martin Suryajaya. Yang berhenti sekedar pada menulis filsafat, membahas gagasan-gagasan filsafat, mengomentari dan mengenalkan masalah-masalah filosofis orang lain. Dan perdebatan filsafat pun tak lebih dari pada perpanjangan dari hal-hal semacam itu.

Sebagai seorang filsuf, yang mengakui dirinya sendiri sebagai filsuf, karena orang lain mungkin tak akan mengakuinya. Filsafat Indonesia bagiku adalah filsafat-filsafat aturan dan hukum. Mereka yang memperbincangkan filsafat dan mengaku dirinya filsuf adalah orang-orang yang sekedar memperbincangkan perilah-perihal filsafat yang sangat aman dan filsafat perlindungan diri.

Dan itu sangat diperjelas dengan perdebatan filsafat akhir-akhir ini, di ruang yang diberikan oleh Antinomi. Yang nyaris seperti kepanjangan orang-orang dari Majalah Basis, Driyarkara dan Filsafat UGM.

Anak-anak muda yang hanya sekedar meneruskan perbincangan orang-orang tua terdahulu yang begitu pandai dan bangga menjelaskan filsafat-filsafat Barat dan nyaris tak kemana-mana itu. Dan tentunya, tak pernah berani seumur hidup untuk tenggelam di dalamnya dan berani menanggung beban dari penemuan-penemuannya.

Dalam suasana Indonesia saat ini, filsafat nyaris tak akan berani maju terlalu jauh. Bahkan perdebatan sastra kadang jauh lebih hidup dan ganas dari pada para filsuf yang entah kenapa, sangat terlihat malu-malu dan sangat cari aman.

Dan ironisnya, hal-hal yang berkaitan dengan acara filsafat dan perdebatan-perdebatan filsafat, nyaris lebih mirip sebagai perpanjangan Sastra Indonesia dan Sosiologi. Dan tentunya, filsafat sebagai nilai guna. Fungsionalisme. Sastra yang dibahas oleh para dosen dan akademisi.

Filsafat yang akan setia atau atau lebih tepatnya sangat takut keluar dari aturan negara, masyarakat, nilai moral bersama, dan tentunya, filsafat yang dihalangi dan disensor oleh orang-orang yang membicarakan filsafat itu sendiri.

Kenapa filsafat Indonesia tidak berkembang bahkan nyaris mati? Karena filsafat menjadi sebuah komunitas bersama layaknya sastra yang mencari aman bersama. Filsafat yang dijinakkan dalam bentuk kumpulan orang yang secara psikologis menyensor diri sendiri agar tidak diciduk oleh aparat, dipenggal oleh orang-orang beragama, dan diusir oleh keluarga sendiri.

Filsafat dalam taraf kasarnya saja, sudah sangat terjinakkan oleh mereka yang tengah membicarakan dan memperdebatkannya.

Anehnya, mereka seolah tidak tahu masalah ini dan berceloteh mengenai filsafat Indonesia yang tak kemana-mana. Seperti kebiasaan yang sudah menjadi biasa. Orang yang membicarakan filsafat di Indonesia bukanlah filsuf. Hanya sosok lain dari Martin Suryajaya saja.

Dan mereka memperdebatkannya dengan begitu bergembira dari tahun ke tahun. Diikuti perasaan cemas dan marah karena ketiadaannya pengakuan masyarakat luas.

Siapa pun, yang benar-benar mengakui dirinya filsuf, yang jumlahnya tak banyak, akan sangat tahu dengan jelas sekali bahwa musuh terbesar bagi matinya dunia filsafat dan kemajuan para filsuf adalah para penerbit. Bahkan para penerbit yang selama ini mendiskusikan dan menerbitkan buku-buku filsafat itu sendiri.

Sensor terbesar dan terburuk, selain agama, nilai dan norma bersama, dan juga hukum negara.

Para penerbitlah, yang secara sadar, sejak bertahun-tahun lamanya, membunuhi para calon filsuf dengan berusaha tidak menerbitkan tulisan-tulisan dan buku-buku dari mereka yang dianggap filsuf atau yang mengakui dirinya sendiri filsuf karena alasan keamanan dan menghindari terlibat dalam kekacauan-kekacauan yang mungkin timbul dari diberi tempatnya para filsuf itu.

Berapa banyak penerbit di negara ini benar-benar memberi ruang kepada para filsuf dengan kebebasan tingkat tinggi dalam berpikir dan mempertanyakan segala sesuatunya?

Jawabannya, hanya ada satu dua, yang pada akhirnya kalah oleh tekanan masyarakat dan negara. Dan yang terjadi, para penerbit pun semakin mundur dan tak lagi banyak punya keinginan untuk memberi ruang berekspresi bagi para filsuf-filsuf yang ada.

Dan yang tersisa adalah para filsuf yang nasionalis. Membatasi diri. Dan tentunya, para filsuf yang tidak melanggar aturan negara, agama, dan moral bersama. Filsuf yang begitu membatasi diri dan secara sadar mengurung diri ke dalam aturan-aturan.

Dan mereka ini diwakili oleh orang-orang seperti Martin Suryajaya. Sekedar memperbincangkan filsafat, menulis masalah-masalah filsafat, dan sibuk mencari sisi guna filsafat bagi masyarakat. Walau sejujurnya, Martin sendiri tak sampai sejauh itu. Tapi banyak dari mereka yang mirip dengannya, tenggelam dalam perdebatan filsafat yang begitu aman dan tanpa keberanian sama sekali.

Perdebatan filsafat Indonesia adalah perdebatan filsafat yang begitu sangat aman dan malu-malu. Menyensor diri sendir di ruang publik dan sangat ketakutan dengan ruang publik Indonesia yang mereka sendiri lihat di depan mata: sangat begitu kejam layaknya monster yang siap sedia melahap apa pun.

Filsuf, yang harusnya jauh lebih berani dan tak takut mati oleh siapa pun. Mendadak jauh lebih pengecut dari pada seorang maling kelas teri.

Itulah yang terjadi di Indonesia. Dilembagakan bersama. Disepakati bersama. Dan diperbincangkan dalam keadaan melupa.

Setelah adanya kesepakatan bersama dalam diam itu. Sambil sesekali sibuk memperbincangkan dan mempertanyakan persoalan filsafat. Mereka memilih menerbitkan buku-buku orang yang sudah mati. Filsuf-filsuf Barat yang sudah tak bernyawa. Yang keberadaannya tak bisa lagi digugat oleh lingkungan sekitar. Atau, para filsuf yang keberadaan jauh dari negara ini. Sehingga para penerbit, bisa bernapas lega jika ada salah satu terbitan mereka dipermasalahkan. Setidaknya, mereka yang bekerja di penerbitan, tidak mengalami masalah-masalah yang berlipat-lipat. Seperti halnya ketika mereka menerbitkan buku dari orang hidup yang ada di sekitar mereka sendiri. Yang bisa dipermasalahkan secara hukum, yang bisa diseret ke penjara, dan yang rumahnya bisa dihancurkan dan dibakar.

Terlibat langsung dengan keadaan-keadaan yang semacam itu, jelas dijauhi oleh penerbit mana pun. Dijauhi oleh komunitas filsafat. Dan orang-orang yang tengah asyik membahas filsafat itu sendiri.

Orang-orang yang terlibat dalam perdebatan filsafat ini sebenarnya sudah tahu dan saling menahu. Masalah terbesar kemandegan filsafat ada pada diri mereka sendiri. Ketakutan-ketakutan mereka sendiri. Dan sensor sadar terhadap diri sendiri.

Karena penjara itu menakutkan. Dan mayoritas orang Indonesia di masa internet ini, jauh lebih menakutkan lagi.

Dalam kondisi semacam itu, dicarilah titik aman bagi kejiwaan dan pikiran bersama. Yaitu perbincangan mengenai filsafat Indonesia atau Nusantara. Filsafat nilai guna atau fungsional.

Dan akhirnya, perkembangan filsafat yang cukup dalam pun berhenti, entah sampai kapan.

Bagi kita, yang menganggap diri filsuf, keadaan semacam ini akan sangat lama sekali. Tak akan ada satu pun ruang yang bakal disedikan oleh pikiran-pikiran kita. Karena di sini, filsuf yang diberi tempat adalah filsuf milik negara. Filsuf pegawai negeri sipil. Atau filsuf politikus dan aktivis. Dan filsuf yang tak akan berani mempertanyakan dan mempermasalahkan banyak hal.

Bisa dibilang, rumah bagi filsuf yang memihak.

Indonesia nyaris semacam kuburan para filsuf individual yang nyaris berdiri sendiri dan harus merelakan gagasan-gagasannya dikubur dan dimatikan bahkan sebelum sempat ditulis. Dan yang masih berani mencoba sendirian, kesempatan untuk bisa tampil di publik mendekati nol. Kecuali salah satu dari kita, kelak masih sempat hidup, dan menyaksikan dunia yang berubah begitu banyak. Sehingga segala jenis gagasan yang aneh dan merusak pun diterima dan dibaca dengan sangat biasa.

Tapi bayangan semacam itu, sulit untuk bisa diwujudkan saat ini. Maka, jalan terbaik bagi kita yang benar-benar menapaki jalan sebagai filsuf adalah dengan menulis seluruh gagasan kita, menyimpannya, dan menunggu waktu yang tepat. Waktu yang entah kapan, kita tak tahu.

Jalan lainnya, menjadi kaya raya, membeli penerbitan atau mendirikan penerbitan sendiri dan secara besar-besaran membiaya gagasan-gagasan kita sendiri dan para filsuf yang kita tahu ada.

Cara terdekat bagi kita para filsuf individual adalah dengan menjadi pengusaha, pedagang, dan orang yang sangat sukses secara finansial dan memiliki pengaruh cukup besar dalam masyarakat atau pemerintahan. Di saat berada dalam puncak masyarakat itu. Kita bisa bersuka cita dan cukup bebas menerbitkan gagasan-gagasan kita.

Dan kita siap untuk bertaruh terhadap nyawa kita sendiri sewaktu hal itu terjadi.

Atau, mungkin, kita perlu menunggu saat negara ini menjadi sangat berkuasa secara ekonomi, atau malah hancur oleh perang saudara dan semacamnya lebih dulu.

Yang dilupakan dari banyak orang yang hari ini membahas filsafat adalah bahwa gagasan-gagasan filsafat yang ada, beberapa di antaranya seringkali sangat kejam, brutal, individualis, horor, sangat ateistik, anti manusia, tidak empatik, begitu rasis, dan nyaris tak bermoral. Bahkan sebagian besarnya mempertanyakan nilai masyarakat dengan sangat kejam dan brutal.

Gagasan-gagasan dan pembedahan-pembedahan yang sangat tak nyaman bagi masyarakat yang menginginkan kedamaian dan rasa aman.

Saat sisi lain dari filsafat semacam itu ditolak hadir, maka gesekan gagasan akan sulit terjadi. Sudut pandang baru pun sangat jarang terjadi. Perbincangan filsafat pun hanya terhenti dari satu sisi aman dan menolak pandangan lainnya. Para filsuf pada akhirnya lebih mirip sebagai pendeta agama atau tokoh nasional yang tengah membela negara. Atau sebagai penjaga gerbang keutuhan keamanan bersama sebagai warga negara.

Filsafat di negara ini, berhenti di seputar itu. Dan tak akan maju kemana pun. Terlebih, jika para penerbit menolak untuk mempelopori kebangkitan para filsuf walau dengan taruhan nyawa mereka. Dan komunitas filsafat juga tak berani melakukannya.

Apa yang bisa kita harapkan, kecuali sekedar melihat perdebatan-perdebatan yang akan terus semacam itu? Perdebatan yang begitu aman dan menyensor diri. Dan kita, yang nyaris seorang diri membangun gagasan-gagasan dan cara berpikir baru, telah ditolak dan tak diberi tempat, tepat di depan mata mereka sendiri.

Dan lucunya, mereka hari ini seolah sibuk memperdebatkan kemandegan filsafat, yang padahal mereka sendirilah, salah satu yang menjadi bagian penting dalam proses kemandegan perkembangan filsafat itu sendiri.

Bacaan Lainnya