Kesalahpahaman Kedokteran atas Filsafat Mengancam Kesehatan Kita

Sudah waktunya bagi kedokteran untuk berhenti bekerja tanpa pemahaman filosofis yang memadai. Untuk meningkatkan diagnosis sehari-hari, dan ini memang merupakan dasar bagi bioetika dan psikiatri, kini saatnya memperbaiki hubungan yang tidak baik itu dan memanggil para filsuf.

Diane O'Leary
Diane O'Leary
Peneliti independen dan profesor penuh dalam filsafat di University of Maryland. Beliau adalah penulis buku yang akan segera terbit, yaitu "Gaslight: How Bad Philosophy Corrupts Good Medicine".

Kedokteran dan filsafat memiliki hubungan yang tidak baik. Kedokteran adalah usaha praktis, dengan tujuan pada hasil konkret. Filsafat, di sisi lain, telah dipahami sebagai sesuatu yang tidak masuk akal sejak zaman kuno. Hari ini, di luar etika medis (yang telah memiliki tempat yang tepat dalam profesi kedokteran), sulit untuk melihat bagaimana abstraksi filsafat dapat berkontribusi pada seluk-beluk praktik diagnosis dan pengobatan.

Jika kedokteran hanyalah ilmu terapan tentang tubuh, semua ini akan masuk akal. Tetapi pada akhir abad kedua puluh, kedokteran barat meninjau ulang fokus eksklusifnya pada tubuh dan dengan tegas menolaknya. Pasien ternyata bukan hanya tubuh, kita juga manusia. Dan manusia, selain memiliki tubuh, juga memiliki pikiran. Pergeseran ini mengangkat satu masalah filsafat modern yang paling sulit dipecahkan, yaitu masalah tubuh-pikiran: Bagaimana pengalaman subjektif dan mental kita berhubungan dengan tubuh fisikal objektif kita?

Dunia akan menjadi tempat yang sangat berbeda jika tepat pada saat itu – pada tahun 1977, ketika George Engel menulis “The need for a new medical model: A challenge for biomedicine” – beberapa filsuf telah dipanggil. Fokus baru pada manusia sebagai tubuh-dan-pikiran banyak diperdebatkan dalam pembicaraan tentang dualisme, Descartes, dan reduksionisme. Ide-ide ini digunakan untuk mengarakterisasi bentuk baru praktik medis, yang mengakui peran pikiran dalam penyakit, yang memahami pengalaman subjektif dengan cukup baik untuk dapat menarik data paling objektif dari laporan subjektif pasien.

Tetapi para filsuf tidak dipanggil, dan kesalahan mendasar dilakukan. George Engel dan rekan-rekannya salah mendefinisikan dualisme dengan cara yang akan membuatnya tidak lulus dalam ujian pengantar filsafat. Lebih dari itu, atas dasar kesalahpahaman ini, mereka menarik kesimpulan sesat tentang apa yang dituntut oleh filsafat pada kedokteran ketika menyangkut pikiran dan tubuh. Semua ini diterima tanpa tinjauan atau tantangan oleh para filsuf sendiri. Lima puluh tahun kemudian kesalahpahaman ini telah dijalin ke dalam dunia kedokteran. Yang terpenting, dalam pengobatan klinis sehari-hari, kebingungan Engel tentang dualisme terus memainkan peran penting dalam diagnosis dan pengobatan pasien.

Sementara dalam filsafat kesalahpahaman ini tidak lebih dari nilai yang buruk atau makalah yang ditolak, kedokteran malah menggunakannya sebagai dasar untuk praktik klinis, yaitu sebagai alat untuk mengatasi penderitaan tubuh manusia-manusia nyata. Ketika mereka gagal – dan bukti menunjukkan bahwa mereka memang sering gagal – orang-orang itu dirugikan. Kita semua terancam oleh masalah ini.

Sejak Engel, kedokteran telah memahami dualisme sebagai sesuatu yang kita lakukan, atau pilih untuk tidak kita lakukan. Ketika kita memisahkan pikiran dan tubuh dalam pemikiran, bahasa, atau praktik medis kita, kita menghidupkan dualisme, dan ketika kita berhenti memisahkannya, dualisme menghilang. Jika kita ingin mengenali manusia seutuhnya daripada hanya berfokus pada tubuh, dualisme dalam pengertian ini harus ditolak. Padahal, berdasarkan definisi ini, kedokteran memahami upayanya untuk mengenali pikiran sebagai kampanye untuk memberantas dualisme.

Tetapi dualisme bukanlah pemisahan pikiran dan tubuh dalam bahasa atau praktik kita. Ia bukan sesuatu yang kita lakukan, dan ia bukan sesuatu yang dapat dihindari hanya dengan mengubah kata-kata yang kita gunakan. Dualisme adalah pandangan bahwa dunia terdiri dari hal-hal fisik dan hal-hal mental, atau setidaknya sifat mental dalam bentuk pengalaman. Setelah Anda memahami apa arti dualisme, Anda memahami bahwa ketika kita bersikeras bahwa kedokteran harus mengakui pikiran, kita sebenarnya mendukung dualisme. Sangat tidak masuk akal untuk bersikeras bahwa profesional medis harus mengakui pikiran, atau pengalaman, serta tubuh, dan pada saat yang sama mencoba untuk menghapus dualisme.

Kampanye yang membingungkan ini benar-benar merusak praktik diagnostik. Salah satu perubahan klinis paling kuat yang muncul dari perspektif baru adalah gagasan bahwa sama seperti halnya tubuh memengaruhi pengalaman mental kita, demikian juga pikiran memengaruhi tubuh. Sebagian besar dari kita tahu bagaimana rasanya sedikit rasa nyeri pada tubuh diperkuat dalam pengalaman kita ketika sesuatu yang membuat stres sedang terjadi, dan sensasi nyeri itu kemudian menghilang ketika keadaan menjadi tenang. Keterbukaan baru kedokteran terhadap peran yang dapat dimainkan oleh pikiran itu memungkinkannya untuk memasukkan penyebab psikologis bagi gejala tubuh ke dalam diagnosis dan perawatan sehari-hari. Istilah untuk gejala yang disebabkan oleh pikiran, tetapi termanifestasi dalam tubuh, adalah psikosomatis.

Mengingat banyak dari kita memiliki pengalaman langsung tentang bagaimana pikiran kita dapat membuat tubuh kita terasa dengan cara tertentu, apa masalahnya dengan kedokteran yang mengakui ini sebagai fenomena asli? Masalah muncul ketika dokter dipaksa untuk memutuskan apakah masalahnya ada di pikiran atau di tubuh. Dalam kasus tes diagnostik gagal untuk menjelaskan gejala, muncul pertanyaan: apakah penyebabnya adalah masalah psikologis atau masalah biologis murni yang belum terdiagnosis? Sayangnya, dokter tidak memiliki kriteria yang ketat untuk menjawab pertanyaan itu karena terhalangi oleh definisi dualisme yang membingungkan. Karena kedokteran memahami dualisme sebagai pemisahan pikiran dan tubuh, dan ia berkomitmen pada kampanye untuk memberantas dualisme, kedokteran harus mencegah upaya diagnostik apa pun yang memisahkan masalah dalam pikiran dari masalah dalam tubuh.

Karena alasan itu, dalam kasus ketidakpastian diagnostik, dokter disarankan untuk melepaskan komitmen mereka yang biasa untuk memastikan bahwa setiap kasus penyakit didiagnosis dan diobati. Sebaliknya, karena takut menganut dualisme, mereka disarankan untuk berhenti menyelidiki dan hanya menyebut gejalanya sebagai campuran masalah pikiran-tubuh – kondisi psikosomatik. Berdasarkan kecemasan filosofis yang membingungkan ini, maka seorang dokter yang mengikuti pelatihannya secara otomatis akan menafsirkan gejala medis yang tidak dapat dijelaskan sebagai masalah kejiwaan.

Pendekatan terhadap ketidakpastian ini bermasalah baik secara filosofis maupun klinis. Pada tingkat filosofis, filsafat akal-budi tidak mendukung gagasan bahwa kita harus menghindari pemisahan pikiran dan tubuh dalam bahasa dan praktik kita. Faktanya, jika para filsuf akal-budi dapat dikatakan telah mencapai konsensus saat ini, maka konsensus itu adalah bahwa penting untuk memisahkan pembicaraan tentang keadaan mental dan keadaan fisik: untuk mengakui bahwa, meskipun pengalaman mental subjektif selalu berkorelasi dengan kondisi otak yang bersifat fisikal, keduanya sebenarnya berbeda.

Dalam pengertian ini, dualisme bukan lagi kata kotor – ia tidak berarti apa yang dimaksudkan Descartes, bahwa kita terbuat dari dua jenis entitas yang terpisah, yaitu tubuh dan jiwa. Dualisme sifat menunjukkan bahwa meskipun manusia adalah substansi fisik, kita memiliki sifat fisik dan sifat eksperiensial. Ini memungkinkan dualisme sifat untuk mengakomodasi dua hal sekaligus, yaitu menerima bahwa manusia memiliki pengalaman subjektif tanpa melepaskan komitmen kita pada sains. Pada akhirnya, benar-benar tidak ada cara untuk memahami perspektif kedokteran tentang manusia seutuhnya kecuali melalui beberapa bentuk dualisme sifat.

Pada tingkat klinis, masalah pendekatan kedokteran terhadap ketidakpastian tampak jelas – dan cukup mengancam. Bahkan jika hanya ada beberapa pasien yang gejalanya tetap tidak terdiagnosis setelah uji klinis, penyakit itu tetap mungkin bagi semua pasien tersebut, sehingga melatih dokter untuk menganggap masalahnya adalah psikosomatik merupakan tindakan yang bertanggung jawab. Faktanya adalah, menurut NHS (The National Health Service), 50% gejala pasien rawat jalan yang menakjubkan itu tidak dapat dijelaskan secara medis. Murni atas dasar kesalahpahaman filosofis, NHS keliru membuat klasifikasi, dan memperlakukan semua gejala ini seolah-olah merupakan masalah kejiwaan. Meskipun separuh dari waktu kondisi pasien tidak terdiagnosis, NHS menegaskan bahwa, alih-alih penyelidikan medis lebih lanjut, semua pasien ini membutuhkan dukungan kesehatan mental.

Karena masalah ini menuntut dua bidang keahlian yang biasanya tidak kita satukan, maka hampir tidak mungkin masalah itu terlihat. Di satu sisi, pada tingkat abstraksi filsafat, kedokteran telah mengacaukan filsafat akal-budi dasar sedemikian rupa sehingga diyakini upayanya untuk mengakui pikiran adalah upaya untuk memberantas dualisme. Itu fakta, dan amat sangat mengejutkan bagi filsafat. Di sisi lain, pada tingkat seluk-beluk praktik medis, pengacauan terhadap filsafat ini adalah pengacauan terhadap kehidupan masyarakat. Bagi banyak orang yang menderita penyakit yang tidak segera terdiagnosis, filsafat yang buruk merupakan hambatan bagi kesehatan, keselamatan, penghilang rasa sakit, dan partisipasi penuh dalam kehidupan.

Sudah waktunya bagi kedokteran untuk berhenti bekerja tanpa pemahaman filosofis yang memadai. Untuk meningkatkan diagnosis sehari-hari, dan ini memang merupakan dasar bagi bioetika dan psikiatri, kini saatnya memperbaiki hubungan yang tidak baik itu dan memanggil para filsuf.


Diterjemahkan oleh Taufiqurrahman dari artikel Diane O’Leary berjudul “Medicine’s bad philosophy treatens your health” yang terbit di IAI TV pada 24 Agustus 2022.

Bacaan Lainnya