Nama-diri, Fiksi, dan Eksistensi

Dari sudut pandang teori deskripsi Russell, kecuali berupa pernyataan negatif, semua pernyataan mengenai entitas fiktif akan bernasib salah, sebab tak satu halpun akan cocok dengan deskripsi mengenai entitas fiktif.

Mohammad Imanudin
Mohammad Imanudin
Alumnus Filsafat UGM

Pada Suatu Sore

Pepohonan rindang, angin sepoi-sepoi, bau lumut dan apek gedung tua, batu-batu semen kotak, dan bahu selasar yang dingin saat diduduki.

Seorang kawan kampus filsafat UGM pernah berkata bahwa Louis O. Kattsoff itu tidak ada. Saya anggap perkataannya sebagai gurauan lucu belaka. Tapi jika dianggap serius—meski tetap lucu—perkataannya tersebut kira-kira punya dua kemungkinan maksud.Pertama, Louis O. Kattsoff tidak lagi ada. Apa yang dimaksud adalah Louis O. Kattsoff sudah meninggal dunia. Tapi seseorang yang tidak ada seharusnya tidak bisa meninggal dunia karena juga tidak dilahirkan.

Jadi mungkin yang dimaksud adalah, kedua, Louis O. Kattsoff tidak pernah ada. Ini kelihatannya tafsir yang paling mungkin, mengingat Louis O. Kattsoff dan buku Pengantar Filsafat-nya serupa legenda bagi sebagian mahasiswa Filsafat UGM. Meski Pengantar Filsafat ada dalam hampir setiap tas mahasiswa baru, eksistensi Louis O. Kattsoff mirip ingatan buram dari orang-orang terhadap peristiwa yang tidak pernah terjadi. Barangkali atas dasar inilah kawan kita tidak percaya Louis O. Kattsoff itu ada.

Namun jika Louis O. Kattsoff tidak (pernah) ada, bagaimana kawan kita menangani pertanyaan (1) siapa yang menulis Pengantar Filsafat?

Faktanya Pengantar Filsafat beredar di toko-toko buku dengan nama-diri (proper name–selanjutnya ditulis “nama” saja) “Louis O. Kattsoff”. Dengan kata lain, ada orang yang menuliskannya sehingga buku tersebut dicetak dan diterbitkan. Orang tersebut, dengan demikian, adalah yang dirujuk oleh nama “Louis O. Kattsoff”. Jika Louis O. Kattsoff tidak ada, jelas bukan Louis O. Kattsoff yang menuliskannya. Tentu orang selain Louis O. Kattsoff yang menuliskannya. Tapi jika demikian, (2) kepada siapa nama “Louis O. Kattsoff” merujuk? Kepada orang selain Louis O. Kattsoff itu? Tentu tidak masuk akal mengatakan nama “Louis O. Kattsoff” merujuk tetapi kepada orang selain Louis O. Kattsoff—kepada bukan Louis O. Kattsoff itu sendiri.

Kawan kita berdalih: nama “Louis O. Kattsoff” hanyalah nama samaran (pseudonym) dari seseorang. Di balik nama “Louis O. Kattsoff”, misalnya, adalah seorang dosen Filsafat UGM. Kita tidak tahu mengapa dia harus memakai nama samaran dan nama “Louis O. Kattsoff” yang dipilih, tapi dialah orang yang menulis Pengantar Filsafat.

Namun jika demikian, Louis O. Kattsoff tidak benar-benar tidak ada. Semisal penyandang nama samaran “Louis O. Kattsoff” adalah Imam Wahyudi (salah satu dosen Filsafat UGM), maka nama “Louis O. Kattsoff” dan nama “Imam Wahyudi” merujuk kepada orang yang identik dan dia ada. Dalam hal ini, sekalipun Imam Wahyudi bukan penyandang nama samaran “Louis O. Kattsoff”, orang lain akan menyandangnya dan dia ada.

Dihadapkan pada hal tersebut, kawan kita bersikeras dan mengatakan bahwa Louis O. Kattsoff adalah entitas fiktif. Pertanyaannya kemudian bagaimana entitas fiktif bisa menulis dan menerbitkan sebuah buku?

Misalnya saja Louis O. Kattsoff adalah seorang profesor filsafat dalam sebuah novel berjudul Filosofi Bajigur karangan Ramdani. Dalam novel tersebut, Louis O. Kattsoff terkenal karena menciptakan pernyataan “jika tidak ada perubahan, maka tidak ada perubahan”. Di sini nama “Louis O. Kattsoff” dipakai oleh Imam Wahyudi dalam arti allonym, yaitu nama milik orang lain dicatut sebagai nama penulis. Di sini nama “Louis O. Kattsoff” dan nama “Imam Wahyudi” merujuk kepada orang yang berlainan: nama “Imam Wahyudi” merujuk kepada Imam Wahyudi, sedangkan nama “Louis O. Kattsoff” merujuk kepada Louis O. Kattsoff dalam novel Filosofi Bajigur.

Dengan demikian, terkait (1) terang bahwa yang menulis buku Pengantar Filsafat adalah Imam Wahyudi, meski ia mencatut nama “Louis O. Kattsoff” sebagai nama penulisnya, dan terkait (2) meski merupakan rujukan bagi nama “Louis O. Kattsoff”, Louis O. Kattsoff bukanlah penulis Pengantar Filsafat karena dia adalah entitas fiktif.

Apakah ini yang dimaksud perkataan kawan kita bahwa Louis O. Kattsoff itu tidak ada? Apakah menjadi fiktif (being fictitious) sama artinya dengan tidak (pernah) ada?

Barangkali pendapat kawan kita ada benarnya. Perihal Louis O. Kattsoff adalah entitas fiktif seperti halnya Robert Langdon, John Keating, profesor Abe Lucas, Arturo Belano, Minke, dan Dilan, (3) bisakah kita menolak bahwa mereka tidak ada?

Saat seseorang mengatakan bahwa dirinya bertemu Dilan di jalan Pajajaran kota Bandung, kemungkinan besar kita menyangsikan perkataannya; sama halnya saat seorang diaspora Indonesia di Amerika Serikat mengatakan dia sudah menghadiri kuliah profesor Robert Langdon di Universitas Harvard sebanyak dua kali. Dalam sanubari, kita mungkin membatin “kamu tidak bisa bertemu Dilan, baik di jalan Pajajaran atau di mana pun” dan “tidak barang satu kali pun kamu bisa menghadiri kuliah Robert Langdon.” Mengapa begitu? Coba tanya ke diri sendiri apa alasannya.

Kemudian akibat daripada itu kita tergerak untuk mengatakan bahwa nama-nama dalam cerita fiksi sebenarnya tidak merujuk kepada apa pun. Dikatakan secara terbalik: tidak ada suatu hal yang dirujuk oleh nama-nama dalam cerita fiksi.

Tapi faktanya dengan menggunakan nama-nama seperti “Dilan”, “Minke”, “Robert Langdon”, “John Keating”, dan lainnya, kita merujuk kepada seseorang, seperti halnya kita merujuk kepada seseorang saat menggunakan nama “Joko Widodo”.

Dalam hal ini, terkait (3) tentu kita bisa menolak bahwa mereka tidak ada. Semenjak menggunakan nama mereka kita merujuk kepadanya, itu cukup menunjukkan bahwa mereka bagaimanapun ada. Mereka adalah entitas fiktif sebagaimana hal lainnya adalah entitas nyata. Kemudian semua jadi sederhana dan masuk akal. Kita memang tidak bisa bertemu Dilan di mana pun atau menghadiri kuliah Robert Langdon berapa kalipun karena mereka adalah entitas fiktif. Dari semua hal yang ada, kita hanya perlu memisahkan mana yang nyata dan mana yang fiktif.

Tapi sepertinya kawan kita cukup cerdik untuk sekadar bicara asal-asalan. Ia berargumen: sebagaimana manusia fiktif bukanlah manusia sama sekali, binatang fiktif bukanlah binatang sama sekali, buah-buahan fiktif bukanlah buah-buahan sama sekali, atau diri fiktif kita bukanlah diri kita sama sekali, maka entitas fiktif bukanlah entitas sama sekali. Bukan apa pun sebab tidak ada apa pun. Menjadi fiktif (being fictitious) dengan demikian sama dengan menjadi bukan apa pun (being nothing).

Di titik ini, sekalipun argumen kawan kita benar, ia akan menghadapi masalah yang timbul akibat perkataannya sendiri (semacam kualat), yaitu mengatakan bahwa sesuatu tidak ada. Dalam hal ini, kodrat nama adalah selalu merujuk. Inilah mengapa kita secara intuitif merasa Dilan, Minke, Robert Langdon, dan Joko Widodo itu ada, karena kepada mereka itulah nama-namanya merujuk. Tapi jika Dilan itu tidak ada, maka saat kita menggunakan nama “Dilan” dalam kalimat “Dilan itu tidak ada” itu sama seperti mengatakan bahwa “… tidak ada”. Apa yang tidak ada? Kita didesak untuk mengakui ada seseorang yang kita katakan bahwa dia tidak ada. Inilah kualat bahasa.

Sebuah nama, dengan demikian, mesti selalu merupakan nama dari sesuatu, atau nama tersebut bukanlah nama sama sekali, melainkan bunyi kosong (empty sound)—atau objek bahasawi non-perujuk lainnya. “Kangkakangkung” bukanlah nama, karenanya tidak merujuk kepada apa pun. Tapi dari pangkal sebaliknya juga berlaku: karena tidak ada apa pun, maka tidak ada penamaan—tidak ada perujukan. Dalam hal ini, jika Dilan itu tidak ada, “Dilan” semestinya bunyi kosong dan “Dilan itu tidak ada” adalah omong kosong. Namun dunia sehari-hari secara gamblang menunjukkan sebaliknya: nama “Dilan” merujuk kepada sesuatu, dan kalimat “Dilan itu tidak ada” bukan omong kosong. Dengan kata lain, problem filsafat.

Kawan kita kemudian masuk ke perpustakaan filsafat dan membaca buku sejarah filsafat analitik. Dengan belajar teori deskripsi Bertrand Rusell ia merasa akan berhasil mengentaskan problem tersebut.

Tiga Cara Merujuk

Sambil menunggu kawan kita keluar dari perpustakaan filsafat, mari kita kenali problem yang kita hadapi. Sebut saja problem di atas sebagai problem nama kosong (empty name). Problemnya adalah bagaimana nama kosong tidak batal menjadi nama dan kehilangan kodratnya untuk selalu merujuk.

Dalam aktivitas bahasa kita, setidaknya ada tiga cara untuk merujuk ke suatu hal: menggunakan nama, frasa perujuk (denoting phrase), dan penunjukkan langsung (ostensive definition).

Saat kita menunjuk langsung ke sesuatu dan mengatakan bahwa “itu besar dan mengkilap” atau “ini besar dan keras” kita sedang menggunakan penunjukkan langsung untuk merujuk ke sesuatu—ke ini dan itu. Kita tidak bisa menggunakan penunjukkan langsung apabila sesuatu tersebut tidak hadir secara langsung di hadapan atau sekitaran kita. Saat sesuatu tidak hadir secara langsung di hadapan atau sekitaran kita, kita menggunakan nama dan frasa perujuk untuk merujuk kepadanya.

Frasa perujuk terbagi menjadi dua bentuk: deskripsi tentu (definite description) dan deskripsi taktunggal (indefinite description). Deskripsi taktentu adalah frasa-frasa yang diawali oleh kata sandang “sebuah/seorang/seekor (a/an)”, “beberapa (some/few)”, dan “semua/setiap (all/every). Misalnya adalah frasa “sebuah benda besar dan keras” (“a big and hard thing”), “beberapa benda besar dan keras” (“some big and hard thing”), dan “semua benda besar dan keras” (“every big and hard thing”). Dengan menggunakan deskripsi-deskripsi ini, kita bisa paham apa yang hendak dirujuk olehnya meskipun sesuatu itu tidak hadir secara langsung di hadapan atau di sekitar kita. Kita tentu paham—meski bukan pemahaman sejati—apa itu benda, sifat besar dan keras, sekalipun hal-halnya itu sendiri, hal-hal yang hendak dirujuk atau dimaksud oleh deskripsi-deskripsi tersebut, belum pernah kita indra atau kenali. Tentu kita paham apa itu orang, Bumi, dan sifat bahagia, meski kita belum pernah mengindra atau mengenali seseorang yang bahagia di muka Bumi (a happy person on the Earth).

Deskripsi tentu punya karakter yang serupa dengan deskripsi taktentu, dan hanya berbeda dalam hal ketunggalan (uniqueness) suatu hal yang hendak dirujuk olehnya. Deskripsi tentu adalah frasa-frasa yang diawali oleh kata sandang “si/sang (the)”. Menggunakan contoh-contoh barusan, deskripsi tentu dengan demikian berbentuk seperti ini: “benda paling besar dan keras” (“the biggest and hardest thing”) dan “orang paling bahagia di muka Bumi” (“the happiest person on the Earth”). Dengan demikian, berbeda dengan deskripsi taktentu, deskripsi tentu hendak merujuk ke hanya dan hanya satu hal itu—si paling besar dan keras di antara benda besar dan keras lainnya serta si paling bahagia di antara orang bahagia  di muka Bumi lainnya.

Nama, dalam hal ini mirip dengan deskripsi tentu. Keduanya hendak merujuk ke hanya dan hanya satu hal. Tetapi nama, dalam hal ini berbeda dengan deskripsi karena kita tidak bisa paham apa yang hendak dirujuk olehnya kecuali kita telah mengenali atau mengindrai satu hal tersebut. Hanya bermodalkan nama “Ramdani” atau “Grobogan” misalnya, apakah kita paham apa yang hendak dirujuk olehnya? Tentu tidak. Karenanya selalu ada kemungkinan kita bakal dipukul seandainya menjawab pertanyaan “siapakah Ramdani?” dengan jawaban “Ramdani adalah Ramdani” atau “Grobogan adalah Grobogan” saat menjawab pertanyaan “apa itu Grobogan?”. Nama hanya merujuk tetapi tidak mendeskripsikan.

Kendati begitu, ketiganya berbagi fungsi utama, yaitu untuk merujuk. Dengan demikian, ketiganya juga berbagi problem yang mirip dengan problem nama kosong saat tidak adanya rujukan bagi mereka semua. Kita sebut saja hal tersebut sebagai problem kekosongan rujukan. Mengatakan “sebuah benda besar dan keras itu tidak ada” atau “benda paling besar dan keras itu tidak ada” atau “itu/ini tidak ada” sama kontradiktifnya seperti saat kita mengatakan “Dilan itu tidak ada”. Ada sesuatu yang tentangnya kita katakan bahwa itu tidak ada.

Teori Deskripsi

Kawan kita belum juga kembali. Kita coba atasi sendiri saja problem tersebut dengan menggunakan kasus yang darinya julukan “teori deskripsi” milik Bertrand Russell didapat, yaitu deskripsi.

Problem kekosongan rujukan teratasi bukan hanya saat kontradiksi dari pernyataan-pernyataan seperti “Dilan itu tidak ada” atau—meminjam contoh dari Russell—”Raja Prancis saat ini tidak ada” (“the present King of France doesn’t exist“) itu dihindari, tetapi juga saat pernyataan-pernyataan itu bernilai benar.

“Raja Prancis saat ini” (“the present King of France”) adalah sebuah deskripsi tentu. Deskripsi ini hendak merujuk hanya dan hanya ke orang itu—si raja Prancis saat ini. Tapi jelas bahwa sekarang dan semasa Russell hidup, Prancis adalah sebuah republik. Dengan demikian Prancis tidak punya raja. Karenanya, pernyataan bahwa “raja Prancis saat ini tidak ada” harus benar.

Tapi dengan mengatakan seperti itu, kita kembali didesak untuk mengakui ada sesuatu yang tentangnya kita katakan bahwa itu tidak ada. Jika si raja itu tidak ada, pernyataan tersebut benar, tapi dengan begitu ada raja yang kita katakan dia tidak ada, jadi pernyataan tersebut benar tapi salah.

Coba kita ubah sedikit pernyataannya dengan menggunakan contoh milik Russell: “raja Prancis saat ini botak” (“the present King of France is bald“). Terkait hal ini Russell mengatakan: “Berdasarkan hukum penyisihan jalan tengah (the law of excluded middle), entah ‘A adalah B’ atau ‘A bukan B’—salah satunya—mestilah benar. Karenanya, baik ‘raja Prancis saat ini botak’ atau ‘raja Prancis saat ini tidak botak’—salah satunya—mestilah benar. Tapi jika kita mendaftar seluruh hal yang botak dan hal yang tidak botak, kita seharusnya tidak akan temukan raja Prancis saat ini di dalam dua daftar tersebut. Para Hegelian, yang menyukai (metode) sintesis, mungkin akan menyimpulkan raja Prancis saat ini memakai wig.”

Kelihatannya pernyataan “Raja Prancis saat ini botak” itu salah. Tapi jika itu salah—berdasarkan hukum penyisihan jalan tengah—maka negasinya bahwa “Raja Prancis saat ini tidak botak” itu benar. Namun negasinya juga seharusnya salah karena saat ini Prancis tidak punya raja. Mirip sebelumnya, pernyataan ini salah sekaligus tak salah.

Tanpa kita sadari kawan kita telah keluar dari perpustakaan filsafat. Setelah mendapat pencerahan dia buka suara dan menyebut problem kita muncul karena kita masih terkecoh oleh gramatika kalimat di mana frasa perujuk terletak sebagai subjek dari suatu kalimat, sehingga kita mengira suatu frasa perujuk mengandaikan (presuppose) suatu rujukan: bahwa “Raja Prancis saat ini” dalam kalimat “Raja Prancis saat ini botak” mengandaikan keberadaan Raja Prancis saat ini, bahwa “orang paling bahagia di muka Bumi” dalam kalimat “orang paling bahagia di muka Bumi tinggal di Palembang” mengandaikan keberadaan orang paling bahagia di muka Bumi.

Kenyataannya frasa perujuk—baik berbentuk deskripsi tentu maupun taktentu—tidak mengandaikan suatu rujukan. Pengandaian atas suatu rujukan adalah satu hal, dan keberadaan suatu rujukan itu sendiri adalah hal lain. Meski deskripsi tentu “orang paling bahagia di muka Bumi” tidak mengandaikan suatu rujukan, tapi orang paling bahagia di muka Bumi bisa jadi ada (entah di Palembang atau di manapun) atau tidak ada (tidak di manapun di muka Bumi).

Jadi karena suatu frasa perujuk tidak mengandaikan suatu rujukan, itu membuatnya kehilangan fungsi untuk merujuk. Tapi tidak serta merta menjadikannya suatu bunyi kosong atau objek bahasawi non-perujuk lainnya seperti kata benda, kata sifat, atau kata kerja. Frasa perujuk adalah suatu simbol rumpang (incomplete symbol). Simbol rumpang ini tidak sama dengan “Kangkakangkung” yang merupakan simbol dari bunyi kosong, yang pada dirinya maupun saat bergabung ke dalam suatu kalimat tetap tak bermakna apa pun. Pada dirinya “Kangkakangkung” tidak bermakna apa pun, begitu pula saat coba dibentuk sebagai kalimat, misalnya, “Kangkakangkung itu menyehatkan”. Simbol rumpang juga berbeda dengan kata benda, misalnya, “kangkung” yang pada dirinya maupun saat bergabung ke dalam suatu kalimat, misalnya “kangkung itu menyehatkan”, itu selalu bermakna. Dalam hal ini, simbol rumpang menjadi satu regu bersama kata-kata syncategoremata seperti “dan”, “atau”, “tidak”, “jika dan hanya jika”, “lebih besar dari”, dan sejenisnya, yang pada dirinya tidak bermakna apa pun kecuali saat bergabung ke dalam suatu kalimat. Kata seperti “dan” pada dirinya, jika berdiri sendiri, tidak bermakna atau bukan merupakan simbol dari apa pun. Kata itu rumpang dalam arti bahwa sebenarnya berbentuk seperti ini “… dan …”. Hanya dengan mengisi bagian-bagian rumpang itu, dan membentuk suatu kalimat, kata “dan” memperoleh maknanya.

Kata-kata seperti “dan”, “atau”, “tidak”, “jika dan hanya jika”, “lebih besar dari” dikenal sebagai perakit atau perangkai (operator) logis suatu kalimat. Bagaimana dengan frasa perujuk? Frasa perujuk dalam hal ini merupakan suatu pembilang (quantifier). Frasa perujuk berbentuk deskripsi tentu membilang (quantifying) satu dan hanya satu hal, sementara yang berbentuk deskripsi taktentu membilang suatu hal atau semua hal.

“Raja Prancis saat ini botak”, dengan demikian, merupakan suatu pembilangan yang berbentuk seperti ini “suatu hal adalah Raja Prancis saat ini sedemikian rupa sehingga tak satu hal pun selain hal itu adalah Raja Prancis saat ini, dan hal itu botak”.

“Orang paling bahagia di muka Bumi tinggal di Palembang” dengan demikian berbentuk “suatu hal adalah orang paling bahagia di muka Bumi sedemikian rupa sehingga tak satu hal pun selain hal itu adalah orang paling bahagia di muka Bumi, dan dia tinggal di Palembang”. Frasa “tak satu hal pun selain hal itu” merupakan ekspresi ketunggalan, bahwa hanya dan hanya hal itulah yang begitu. Inilah ciri khas deskripsi tentu.

Sementara itu kalimat yang memuat deskripsi taktentu, misalnya, “sebuah benda besar dan keras itu bergerak lambat” itu berbentuk seperti ini “suatu hal adalah benda besar dan keras, dan hal itu bergerak lambat”.  

“Semua benda besar dan keras itu bergerak lambat” itu berbentuk seperti ini “untuk semua hal, jika hal itu benda besar dan keras, maka hal itu bergerak lambat”.

Adapun kalimat-kalimat seperti “Raja Prancis saat ini tidak ada” dan “sebuah benda besar dan keras itu tidak ada” sebenarnya berbentuk seperti ini “tak satu hal pun adalah Raja Prancis saat ini” serta “tak satu hal pun adalah benda besar dan keras”. Kalimat-kalimat tersebut juga dapat dilihat dengan bentuk seperti ini “semua hal bukanlah Raja Prancis saat ini” serta “semua hal bukanlah benda besar dan keras”.

Perhatikan bahwa beban rujukan yang semula kita kira dipikul oleh frasa-frasa seperti “Raja Prancis saat ini”, “orang paling bahagia di muka bumi”, “sebuah benda besar dan keras”, “semua benda besar dan keras” kini diambil alih oleh apa yang disebut peubah (variable) pembilangan, yaitu satu hal (something), semua hal (everything), dan tak satu hal (nothing). Sementara perujuk selalu merujuk ke hal-hal tertentu, peubah membilang ihwal secara umum dan tak ajeg, yaitu bukan terhadap hal-hal tertentu. Karenanya tidak ada perujukan di sini. Selain itu, perhatikan juga bahwa deskripsi-deskripsi tersebut kini berubah menjadi suatu predikat. Hanya pada saat terdapat atau tidaknya suatu hal yang cocok dengan deskripsi-deskripsi atau merupakan suatu anggota dari predikat-predikat tersebut, maka kalimat yang memuat deskripsi tentu atau taktentu itu dapat dinilai benar atau salah.

“Suatu hal adalah Raja Prancis saat ini sedemikian rupa sehingga tak satu hal pun selain hal itu adalah Raja Prancis saat ini, dan hal itu botak”, tentu bernilai salah karena tidak ada satu hal pun yang cocok dengan deskripsi atau merupakan anggota dari predikat “Raja Prancis saat ini dan botak” (karena Prancis tidak punya raja). Dengan alasan yang sama, negasinya yang berbentuk “tidak demikian bahwa suatu hal adalah Raja Prancis saat ini sedemikian rupa sehingga tak satu hal pun selain hal itu adalah Raja Prancis saat ini, dan hal itu botak”, dengan demikian bernilai benar. Jadi hukum penyisihan jalan tengah berhasil diselamatkan dan tak seorang pun perlu memakai wig.

Bagaimana dengan sebuah nama? Kita masih punya “Dilan”, “Ramdani” atau “Grobogan”. Dalam hal ini, nama tidak lain adalah kependekan (abbreviation) dari deskripsi tentu. Nama “Ramdani” adalah kependekan dari deskripsi tentu, misalnya, “si penulis novel Filosofi Bajigur”. Nama “Grobogan” adalah kependekan dari deskripsi tentu, misalnya, “kabupaten yang diapit dua gunung kapur di Jawa Tengah”. Deskripsi-deskripsi tentu tersebut tentu lebih informatif untuk menjawab pertanyaan “siapakah Ramdani?” dan “apa itu Grobogan?” dan dengannya menghindarkan kita dari pukulan. Sementara itu, kita punya deskripsi tentu untuk nama “Dilan”, misalnya “si remaja tanggung pacar dari Milea yang menjadi ketua geng motor di Bandung”. Saat kita mengatakan “Dilan itu tidak ada” kita bisa mengubahnya menjadi “si remaja tanggung pacar dari Milea yang menjadi ketua geng motor di Bandung itu tidak ada” dan dengan itu apa yang sebenarnya kita katakan adalah “tak satu hal pun/tak seorang pun adalah remaja tanggung pacar dari Milea yang menjadi ketua geng motor di Bandung” atau “semua hal bukanlah remaja tanggung dan pacar dari Milea dan ketua geng motor di Bandung”.

Kawan kita mengatakan problem nama kosong, problem kekosongan rujukan, tidak lain adalah problem semu apabila kita berhasil melihat bahwa frasa perujuk dan nama hanya membilang, tidak mengandaikan keberadaan, dan karenanya tidak melakukan perujukan kepada, suatu ihwal. Dengan kata lain, kita tidak menyelesaikan problemnya melainkan membubarkannya. Beberapa problem filsafat ada bukan untuk kita selesaikan, melainkan kita bubarkan.

Dengan demikian, saat kawan kita mengatakan “Louis O. Kattsoff itu tidak ada” sebenarnya dia mengatakan “tak satu hal pun/tak seorang pun adalah (apa pun deskripsi yang kita punya mengenai Louis. O Kattsoff)” atau “semua hal bukanlah (apa pun deskripsi yang kita punya mengenai Louis. O Kattsoff)”. Itulah yang hendak dimaksudkan oleh perkataannya. Urusan itu bernilai benar atau salah tergantung apakah terdapat atau tidaknya suatu hal yang cocok dengan deskripsi atau merupakan anggota dari predikat tersebut.

Semakin Sore

Langit semakin menguning, cat tembok gedung rontok berterbangan, orang-orang lalu lalang di selasar membawa minuman kopi yang air tawarnya lebih banyak karena esnya sudah mencair. Sebelum cerita ini berakhir, perlu dinyatakan bahwa Louis O. Kattsoff sebenarnya eksis (silakan googling). Dengan demikian “tak satu hal pun/tak seorang pun adalah (apa pun deskripsi yang kita punya mengenai Louis. O Kattsoff)” itu bernilai salah karena terdapat satu hal/individu yang cocok dengan deskripsi mengenai atau merupakan anggota dari predikat-predikat yang mendeskripsikan Louis O. Kattsoff. Dengan kata lain, perkataan kawan kita di muka salah.

Namun dari sudut pandang teori deskripsi Russell, kecuali berupa pernyataan negatif, semua pernyataan mengenai entitas fiktif akan bernasib salah, sebab tak satu halpun akan cocok dengan deskripsi-deskripsi mengenai entitas-entitas fiktif itu. Mengatakan “Dilan tinggal di Bandung”, dari sudut pandang ini akan bernilai salah sebab tak seorang pun adalah Dilan dan tinggal di Bandung.

Tapi seandainya cerita Dilan diujikan dalam ujian Bahasa Indonesia di sekolah, jawaban apa yang akan kita berikan kepada soal “benarkah Dilan tinggal di Bandung?”. Apakah “benar” atau “salah”? Apabila semua guru Bahasa Indonesia adalah seorang Russellian, mungkin tidak akan ada satu murid pun yang mendapat nilai 100 dalam ujian Bahasa Indonesia.

Tentu jawaban dari soal tersebut adalah “benar”, dan alasannya sederhana: karena diceritakan demikian dalam novel. Kita dapat mengasumsikan guru Bahasa Indonesia yang Russellian itu telah membaca novel-novel tentang Dilan dan tetap menyalahkan kalimat tersebut. Apa yang tidak dilihat oleh guru Bahasa Indonesia yang Rusellian dan yang dilihat oleh murid-murid yang waras terhadap kalimat “Dilan tinggal di Bandung” menunjukkan bukan hanya ketidakmemadaian teori deskripsi Russell, tetapi juga menunjukkan bahwa tidak ada fitur semantik dan sintaksis yang intrinsik dalam sebuah kalimat sehingga kita dapat membedakan mana kalimat faktual dan mana kalimat fiksional.

Persoalan ini menarik, tapi karena pegawai perpustakaan filsafat harus pulang ke rumah. Pembahasan akan dilakukan pada kesempatan mendatang.

Bacaan Lainnya