Whole-brain Emulation: Upaya Melampaui Kematian dan Pertimbangan-pertimbangan Terhadapnya

Emulasi keseluruhan otak adalah salah satu rancangan manusia dalam memenangkan pertarungan panjang melawan kematian, yakni dengan menjanjikan ketiadaan kematian di sana.

Fajar N.
Fajar N.
Tertarik pada isu-isu etika lingkungan, etika kesehatan, serta perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi secara umum.

Kematian adalah hal yang luar biar biasa dalam kehidupan. Tidak dapat dipungkiri, kematian memiliki makna dan daya dorong yang tidak terbatas. Menyadari kematian berarti menciptakan kegelisahan-kegelisahan. Kegelisahan inilah yang berperan besar dalam menciptakan berbagai strategi dalam kehidupan, seperti bagaimana manusia merancang dan menjalani kehidupannya agar menjadi lebih bermakna dan bahkan mungkin untuk melampaui usianya (Linssen & Lemmens, 2016). Contoh ketika manusia memutuskan untuk menjaga pola makannya dan mulai rutin berolahraga, yang ditujukan untuk menjaga kesehatannya, atau ketika manusia memutuskan untuk mengonsumsi obat-obatan tertentu seperti vitamin dan herbal, yang ditujukan bukan lagi untuk menjaga kesehatan namun justru melampauinya, yakni agar dapat lebih fit dan lainnya.

Perlu disadari bahwa tidak hanya manusia, namun setiap spesies memiliki kemampuan untuk memandang di luar dari waktunya atau rencana kedepannya sebagai bagian dari strategi kehidupan. Contoh keinginan untuk tetap meneruskan kehidupannya melalui keturunannya atau sebuah legasi. Tidak dapat dipungkiri bahwa kegelisahan akan kematian tersebut terus mendorong setiap spesies untuk melawannya, dan sekurang-kurangnya adalah untuk mempersiapkannya, seperti ketika berbicara mengenai mempersiapkan kehidupan yang layak bagi legasi berikutnya.

Akan tetapi, manusia adalah satu-satunya spesies yang memiliki cara lain dalam merespon kegelisahan tersebut⸺setidaknya sejauh yang diketahui saat ini. Manusia melawan kegelisahan tersebut dalam bentuk simbolik (Linssen & Lemmens, 2016), yakni dengan cara menciptakan karya-karya (lukisan ataupun teori), agama, kisah heroik, dan hal lainnya. Kematian walau memiliki potensi besar dalam kehidupan khususnya dalam menciptakan bentuk-bentuk perlawanan seperti ragam hal sebelumnya, bahkan dalam suatu kondisi tertentu justru dapat mendorong suatu peradaban atau masyarakat menjadi berkembang, namun tetap lah dianggap sebagai ancaman. Ancaman nyata sebagai penghalang terhadap kemaksimalan atas terwujudnya cita-cita dalam diri manusia. Meskipun satu sisi perlawanan itu dapat menjadi pelipur lara bagi manusia, namun di sisi lainnya, kematian benar-benar mengungkapkan kebesarannya di hadapan manusia, yang pada akhirnya segala perlawanan itu tidaklah berarti karena manusia tetap tidak dapat mengelak dari kematian itu sendiri.

Tidak ada hal lain yang dapat menyaingi kegelisahan manusia atas kematian, karena hanya kematianlah yang benar-benar dapat memperlihatkan ketidakberdayaan manusia dari ketakutan atas ketidakpastian dan sesuatu yang tidak diketahui pasti olehnya, atau bahkan sesederhana ketakutan akan busuk dan rusaknya tubuh yang mereka miliki. Kita sebagai manusia masih terpenjara dalam tubuh fana yang renta, yang bahkan tidak berdaya diterpa oleh penyakit serta penuaan. Pertanyaan menariknya adalah, bagaimana kalau semua kegelisahan itu bisa manusia lawan sepenuhnya? Atau bahkan menuntun manusia benar-benar meraih kemerdekaan atas kehidupannya dari bayang-bayang kematian?

Whole-brain emulation (WBE) atau emulasi keseluruhan otak adalah salah satu rancangan manusia dalam memenangkan pertarungan panjang melawan kematian, yakni dengan menjanjikan ketiadaan kematian di sana. WBE tercipta dari banyak perpaduan kajian keilmuan yang berusaha mempelajari tentang otak dan bagian-bagiannya (Linssen & Lemmens, 2016). Connectomics salah satunya, dalam ranah medis pemahaman yang lebih baik atas otak dapat membantu manusia dalam menyusun strategi serta melawan berbagai penyakit fisik dan mental, seperti epilepsi, permasalahan adiksi, dan sebagainya

WBE berasal dari pandangan non-dualistik atas permasalahan akal dan tubuh, sehingga tesis yang dibawa oleh WBE adalah identitas serta individualitas manusia terletak pada kongnitifnya, yakni berada di otak. Berdasarkan tesis tersebut, diandaikan apabila otak manusia dapat dipindai maka akan menghasilkan satu banding satu (1:1) hasil yang sama, dan tesis tersebut membuka manusia pada adanya potensi atas konsep pengunggahan akal atau mind uploading (Linssen & Lemmens, 2016). Walau begitu, dengan segala upaya rasionalitas dan keilmuan manusia dalam merealisasikannya, tetap teknologi kita saat ini masih dirasa lemah, sehingga sejauh yang kita pahami untuk dapat mengunggah satu individu diperlukan proses pindai dan pembedahan secara invasif dan destruktif pada otak biologis, yakni dengan mencacahnya dan merekonstruksi ulang ke dalam data. Bayangan skenario lainnya, WBE dapat dicapai dengan rekonstruksi data melalui tembakan resonansi magnetik yang ditujukan untuk memindai keseluruhan otak tanpa langkah yang invasif, atau cara lainnya dapat melalui bantuan software ontogenetik yang dapat mengemulasikan tumbuh kembang sel tunggal manusia menjadi satu sistem syaraf yang kompleks sehingga dapat melahirkan individu lain sebagai emulan (Linssen & Lemmens, 2016).

Terlepas dari langkah apapun yang ditempuh, upaya memetakan serta merekonstruksi di mana data berasal, dan menganalisanya serta mengubahnya ke dalam format yang lebih mudah untuk dimanipulasi oleh komputer adalah syarat utama yang diperlukan oleh WBE. Adapun pertanyaan mengapa oleh komputer, dapat dijawab karena melalui alat bantu komputer kita dapat memodelkan proses fisikal yang terjadi secara nyata seperti halnya cara kerja ataupun proses dari otak manusia, serta menemulasikannya dalam bangunan atau lingkungan tertentu. Sementara data yang telah berhasil diunggah sepenuhnya, hasil individu tersebut menjadi substrat yang independen dengan segala pengalaman subjektifnya serta indentitas eksternal yang dimiliki (Linssen & Lemmens, 2016)⸺setidaknya ketika berbicara dalam ranah data.

Sementara dalam WBE karena konsep dasarnya bahwa yang menggerakkan dari seluruh kehidupan adalah kognisinya, kemudian yang menjadikan ‘kita’ sebagai kita (individu) adalah pengalaman, dan pengalaman adalah kumpulan dari informasi, serta letak informasi ada dalam kognisi kita, maka memunculkan gagasan pernyataan ‘bagaimana bila dipindahkan saja kognisi ini dari tubuh organik (otak) dan mentransfernya ke tempat lain’ (Linssen & Lemmens, 2016). Contoh robot, tubuh sintetis, dunia simulasi atau virtual, dan lainnya. Adapun cara yang ditawarkan adalah dengan mengunduh seluruh isi kognisi dan direkonstruksi ulang di dalam suatu tatanan komputer, yang kemudian diemulasikan atau dipasang di tempat lainnya (contoh tubuh nonorganik atau dunia virtual).

Berdasarkan acuan narasi serta tawaran yang diberikan oleh WBE (Linssen & Lemmens, 2016) dalam salah satu upaya untuk melampaui kematian yang saat ini masih tidak terhindarkan, penulis setidaknya berupaya mengajukan beberapa tanggapan secara khusus terhadap permasalahan yang mungkin ditimbulkan dalam realisasinya sebagai bentuk pertanggungjawaban atas pengembangan keilmuan serta teknologi terkait. Adapun permasalahan utama yang dieksplorasi adalah terkait kebertubuhan individu atau avatar. Tidak dapat dipungkiri bahwa kebertubuhan dengan keilmuan serta penjelasannya yang berkembang saat ini masih menjadi hal yang penting bagi diri individu, oleh sebab asumsi bahwa otak hanyalah titik pengolah (contoh perencanaan, penilaian, pemberian keputusan, dan lainnya) dari sejumlah motor sensorik yang berkenaan dengan dunia aktual. Sementara melalui tanpa adanya kebertubuhan yang dapat menjadi alat atau perpanjangan dari otak dalam mengidenfitikasi serta berinteraksi menjadi hal yang mustahil, sehingga dapat dipahami secara sederhana sejauh keilmuan yang manusia pahami saat ini otak atau kognisi masih bergantung terhadap tubuh untuk dapat merasakan dan melanjutkannya dalam olahan yang lain (Linssen & Lemmens, 2016).

Transfer Kognisi dan Dunia Virtual yang Mungkin

Ketika kognisi ini berhasil ditransfer atau disalin maka hanya ada dua konsekuensi, apakah ia akan ditaruh ke dalam dunia simulasi atau tetap dalam dunia riil (fisikal) namun dengan tubuh yang lain. Baik keduanya tetap membutuhkan kebertubuhan sebagai penunjang atas kognisi, pada dunia simulasi kebertubuhan dapat diatasi melalui perwujudan avatar, sedangkan pada dunia riil kebertubuhan dapat diatasi melalui perwujudan robot atau tubuh sintetis lainnya (Linssen & Lemmens, 2016).

Akan tetapi kedua konsekuensi tersebut setidaknya penulis menemukan tiga permasalahan, pertama, saat kognisi ditaruh dalam dunia simulasi, siapakah yang dapat menjamin tidak adanya input dari luar yang dapat mengintervensi, mengalterisasi, ataupun mengeksploitasi diri individu? Tidak dapat dipungkiri bahwa ranah dunia riil dan dunia simulasi berbeda, bila individu pada dunia riil masih dapat berkuasa atas dirinya sendiri namun pada dunia simulasi individu sangat mungkin untuk tidak berkuasa atas dirinya sendiri (contoh relasi administrator dengan user). Berdasarkan perandaian tersebut menegaskan bahwa saat kognisi disimulasikan, ia menjadi rentan dan sangat bergantung pada sistem di mana kognisi tersebut disimpan dan tidak memiliki kuasa langsung terhadapnya. Pada eksplorasi lebih jauh sangat mungkin bahwa individu hasil emulasi menjadi subjek atas kehidupan tatanan distopis sistem, di mana kebertubuhan mereka tidaklah mandiri dan keberlangsungan hidup virtual mereka sangat bergantung kepada sistem dan administrator yang berkuasa terhapnya, serta kemungkinan tidak adanya privasi pada diri individu oleh karena perilaku dan preferensi yang dapat terekam dengan baik di dalam sistem dan dapat membuka peluang pada kemungkinan-kemungkinan lanjutan atas intervensi serta eksploitasi, sehingga pada ranah virtual posisi keamanan atas sistem menjadi sama halnya dengan keamanan atas diri individu (Sandberg, 2014).

Permasalahan kedua, ketika yang terjadi adalah bentuk pemindaian atas yang fisikal (dunia riil) menjadi virtual (dunia simulasi), apakah salinan yang terbuat menjadi individu yang sama atau bukan? Walaupun secara teori dapat dijelaskan bahwa pikiran dan memori kita adalah data, sehingga apa yang tercipta melalui proses menyalin adalah tetap kita. Akan tetapi hal itu masih menyisakan pertanyaan, kita yang seperti apa salinan tersebut? Permasalahan ini tentu mengingatkan kembali pada permasalahan tentang ‘kapal Theseus’ (Keogh, 2019), sebuah kapal yang berlayar pulang ke Athena dan selama perjalanan tersebut kayu kapal yang usang diganti dengan kayu-kayu baru. Kemudian sampai di titik tertentu kayu-kayu di kapal tersebut telah berganti sepenuhnya, dan menyisakan pertanyaan apakah kapal tersebut masih kapal Theseus yang sama ketika berlayar pulang ataukah ia menjadi tiruan atasnya? Atau dalam perandaian lain dapat dipahami dalam permasalahan ‘teletransportation’, yakni ketika tubuh fisikal hancur kemudian salinan yang identik diemulasikan pada lingkungan tertentu, yang bukan hanya satu namun dapat mengemulasikan beberapa salinan dalam lingkungan yang berbeda-beda. Walaupun salinan identik tersebut berasal dari sumber yang sama, namun ketika diemulasikan pada lingkungan yang berbeda dengan input yang berbeda⸺dalam konteks properti seperti relasi, status, harta dan lainnya⸺dapat menyebabkan permasalahan identitas legasi (successor identities) (Sandberg, 2014). Contoh seperti sejauh apa hak-hak serta properti lainnya yang dapat disalin dan harus tersedia pada hasil salinan diri individu, dan sejauh mana individu masih dianggap sebagai individu yang sama apabila ditemukan perbedaan⸺yang bukan lagi trivial⸺pada beberapa salinan hasil individu kedepannya. Tidak dapat dipungkiri bahwa adanya WBE justru berkontribusi pada penguatan serta elaborasi atas permasalahan identitas lebih jauh.

Permasalahan ketiga berkaitan dengan tegangan kebertubuhan, asumsinya apabila tubuh adalah sesuatu yang dapat terganti⸺baik sitentis maupun virtual atau avatar⸺dan tidak adanya ancaman kematian selain daripada hancurnya, hilangnya, dan/atau terhapusnya data kognisi dalam sistem, maka apakah tindakan pembunuhan serta penghancuran tubuh merupakan sesuatu yang tidak memiliki tegangan etika? Pada konteks WBE (Linssen & Lemmens, 2016) ini nyatanya diasumsikan bahwa tubuh dapat terganti, individu bebas untuk memilih kebertubuhan yang ditawarkan melalui avatar, dan avatar-avatar tersebut yang menjadi perpanjangan atas keterbatasan kebertubuhan manusia sebelumnya⸺bersifat subjektif. Pertanyaan lainnya, apakah ada etika khusus nantinya yang terlahir secara khusus mengatasi permasalahan tubuh sintetis maupun virtual atau avatar, seperti halnya etika khusus yang baru-baru ini terlahir membicarakan tentang kecerdasan buatan (AI)?

Transfer Kognisi dan Dunia Riil yang Mungkin

Berbeda halnya dengan permasalahan atas konsekuensi yang ditimbulkan dari tegangan dunia virual, maka pada dunia riil ketika kebertubuhan dipertahankan secara fisikal (dalam dunia riil), hasil kognisi membutuhkan kebertubuhan lainnya, oleh sebab tubuh adalah kendaraan (vessel) bagi kognisi dan pada prosesnya kognisi menerima rangsangan ataupun motor sensorik dari luar yang ditangkap dan kemudian diolah menjadi informasi. Tanpa adanya kendaraan atau tubuh, kognisi tidak mampu untuk merasakan ataupun berinteraksi (Linssen & Lemmens, 2016). Sementara pada permasalahan atas konsekuensi tersebut adalah bagaimana bila tubuh yang lain ini rentan dieksploitasi? Contoh golongan tertentu saja yang dapat mengakses serta menikmati tubuh sintetis yang bagus atau menarik, sedangkan golongan lainnya hanya dapat mengakses serta menikmati tubuh yang cacat atau bahkan tidak layak.

Pada permasalahan lainnya, individu-individu dimungkinkan untuk melakukan peningkatan diri (upgrade) dengan manipulasi terhadap ukuran, bentuk, penampilan, serta fungsional dari kebertubuhan yang diinginkan, menganggap bahwa adanya WBE justru memerdekakan mereka dari keterbatasan subjektif yang dirasakan, dan sementara pada individu-individu yang tidak dimungkinkan terhadapnya⸺dapat berupa permasalahan finansial atau kuasa⸺menganggap bahwa adanya WBE justru mempenjara mereka dalam keterbatasan subjektif yang dirasakan (Linssen & Lemmens, 2016). Pada contoh lainnya, peningkatan diri atas fungsional⸺di luar dari konteks fisikal⸺dapat dipahami dalam alteralisasi data dalam kognisi yang telah tervirtualisasi (melalui WBE), seperti peningkatan-peningkatan atas kemampuan serta eleminasi terhadap keterbatasan yang dimiliki (Eth, Foust, & Whale, 2013). Contoh sederhana, eleminasi terhadap kesadaran atas rasa takut, yang dianggap bentuk dari peningkatan pada dunia baru yang dapat ditawarkan oleh WBE. Hal tersebut dapat dipahami lebih jauh dalam perandaian, bahwa selama ini manusia hidup dibayangi oleh ketakutan atas kematian yang disebabkan rusaknya dan hancurnya tubuh, dan apabila melalui WBE memungkinkan adanya eleminasi terhadap rasa takut serta dengan tersedianya tubuh sintetis pengganti setiap saat, maka tidak ada alasan yang adekuat untuk manusia merasakan takut kembali.

Konsekuensi lanjutan pada eleminasi terhadap rasa takut tersebut adalah, manusia menjadi sangat rentan untuk dieksploitasi guna menunjang produktivitas yang lebih efisien, khususnya pada aktivitas ataupun pekerjaan tertentu yang memiliki risiko tinggi atas rusaknya dan hancurnya tubuh, karena nyatanya tubuh dapat terganti dan tersedia untuk diakses⸺contoh terkait hal militer yang dimungkinkan untuk membuat serangkaian individu ‘zombie sintetis’ hasil dari WBE. Oleh sebab itu, tidak dapat dipungkiri bahwa dalam konteks WBE ini, meskipun individu dapat melawan kematian dengan menyalin kognisinya pada tubuh sintetis dengan segala tawaran peningkatan diri atas keterbatasan subjektifnya, namun dependensi kuat terhadapnya tersebut jusrtu melahirkan keterbatasan dalam bentuk yang lain dalam kehidupan manusia dan permasalahan-permasalahan lanjutan terhadapnya.


Daftar Pustaka

Eth, D., Foust, J.-C., & Whale, B. (2013). The prospects of whole brain emulation within the next half- century. Journal of Artificial General Intelligence, 4(3), 130–152. https://doi.org/10.2478/jagi-2013-0008

Keogh, Raymond M. (2019). DNA & The Identity Crisis. Philosophy Now. Retrieved from https://philosophynow.org/issues/133/DNA_and_The_Identity_Crisis

Linssen, C., & Lemmens, P. (2016). Embodiment in whole-brain emulation and its implications for death anxiety. Journal of Ethics and Emerging Technologies, 26(2), 1–15. https://doi.org/10.55613/jeet.v26i2.56

Sandberg, A. (2014). Ethics of brain emulations. Journal of Experimental & Theoretical Artificial Intelligence, 26(3), 439–457. https://doi.org/10.1080/0952813x.2014.895113

Bacaan Lainnya