Waktu: Jejaring Peristiwa dan Relasinya (Bagian 2)

Waktu tidak pernah ajeg, universal dan tak gayut. Ia tidak terukur dengan jam, atau parameter dalam persamaan Newton maupun Einstein.

Lalu Zam
Lalu Zamhttp://antinomi.org
Physics Alumnus of RWTH Aachen University Germany. Theorist and thinker in Philosophy of Science.

Penjelasan bagian pertama sedikit banyak telah “meruntuhkan” konsepsi waktu awam yang biasa kita kenal. Mulai dari keumuman, ketakgayutan, serta kesetangkupan (simetris) waktu satu persatu dibongkar oleh para fisikawan abad ke 19 dan abad ke 20. Pertanyaannya, apakah ada hal yang tersisa dari pembongkaran itu semua? Ternyata ada. Dalam bagian kedua ini, kita akan bersama-sama melihat bagaimana penafsiran ulang waktu dari sisa-sisa puing yang ada dalam bingkai Fisika modern khususnya teori gravitasi kuantum lintasan tertutup (loop quantum gravity)

Yang ada adalah peristiwa (events) bukan benda (things)

Hal yang ada (exist) secara keseluruhan menurut gagasan Rovelli adalah peristiwa. Peristiwa memiliki dimensi/sifat ada dalam durasi tertentu. Sedangkan benda memiliki kecenderungan untuk bertahan dalam waktu (persist in time). Dalam memahami dunia, ada dua hal penting yang digunakan. Pertama memahami dari sudut pandang kebendaan, substansi atau entitas. Yang kedua adalah memahami dunia sebagai peristiwa, kumpulan kejadian, atau proses. “Batu” adalah tipikal benda sedangkan “ciuman” adalah tipikal peristiwa. “Ciuman” terjadi pada tempat dan waktu tertentu. Bagaimana dengan “batu”? Menurut Rovelli, batu adalah mirip-benda (things like). Sebab pada keadaan dan kebendaan batu tidak terlepas dari susunan atom dan molekulnya yang stabil yang pada level dasar yang merupakan eksitasi dan interaksi antar medan kuantum. Pada gilirannya batu akan berproses menjauh dari kesetimbangan dan menjadi debu dikemudian hari. Dalam hal ini, batu tidak lain dan tidak bukan adalah suatu peristiwa yang bertahan tetap dalam durasi yang lama. Dengan kata lain, setiap sesuatu adalah peristiwa. Dan setiap peristiwa selalu terikat dalam dua dimensi, dimensi spasial dan temporal.

Dunia yang terbuat dari benda-benda tak lain adalah kumpulan atom. Atom tak lain adalah agitasi medan kuantum. Sedangkan medan kuantum tak lain adalah bahasa lain dari interaksi butiran- butiran (granular) kuantum yang selalu berubah, saling mempengaruhi, berproses. Atau dengan kata lain merupakan kejadian dan peristiwa itu sendiri. Jadi dunia dapat dipahami sebagai jejaring peristiwa (networks of events). Peristiwa-peristiwa sederhana yang berinteraksi dan menyusun peristiwa lain yang lebih kompleks. Serta menyusun keseluruhan realitas yang ada. Oleh karenanya tulisan ini akan menggunakan konsep “sesuatu”, “benda” dan “peristiwa” secara bertukar sesuai konteksnya.

The entire evolution of science would suggest that the best grammar for thinking about the world is that of change, not of permanence. Not of being, but of becoming.” [halaman 86]

Berangkat dari hal tersebut, runtuhnya waktu merupakan keruntuhan pemahaman manusia tentang waktu sebagai sebuah entitas, sebagai benda, sebagai “batu” itu tadi. Waktu tidak “hilang” dalam pemahamannya sebagai peristiwa. Waktu tidak pernah ajeg, universal dan tak gayut. Ia tidak terukur dengan jam, atau parameter dalam persamaan Newton maupun Einstein. Pada dasarnya ia merupakan peristiwa yang berdasar pada jejaring peristiwa di level kuantum yang saling mempengaruhi satu sama lain.

Ketidakmampuan akomodasi tata bahasa

Ketika kita mengatakan “apa yang nyata” (what is real) dan “apa yang ada” (what exists), bahasa sebenarnya telah membuat kekacauan. Kekacauan tersebut ada dalam dua aliran pemikiran tentang waktu, yakni presentisme (presentism) dan eternalisme (eternalism). Presentisme berasal dari ide bahwa tidak ada peristiwa kecuali yang terjadi di saat ini (present). Karena kata “ada” pada “apa yang nyata” merujuk pada kekinian, bukan masa lampau atau masa depan. Masa lampau berarti “sudah ada” dan masa depan berarti “akan ada”. Tapi yang nyata, yang terkait dengan realitas adalah yang kini. Yang ada sekarang. Permasalahannya adalah, seperti dijelaskan pada bagian pertama, tidak ada yang benar-benar kekinian. Kumpulan peristiwa yang masuk dalam persekitaran kekinian dari suatu subjek relatif dengan subjek lain. Apa yang menjadi domain kini dalam lingkung peristiwa saya, bisa saja menjadi masa lalu atau masa Depan makhluk hidup yang jaraknya 10.000 tahun cahaya dari tempat saya. Domain kekiniannya berbeda.

Sementara itu, eternalisme adalah komplemen dari presentisme. Idenya adalah jika suatu kekinian itu relatif, maka masa lalu, masa kini dan masa depan ada (exist) secara utuh secara bersamaan. Bayangkan sebuah blok roti tawar yang belum dipotong adalah keseluruhan ruang-waktu suatu subjek. Pemotongan irisan roti blok roti tawar itu menunjukkan ruang lingkup kekinian dari suatu subjek. Namun blok roti tersebut dapat dipotong dengan sudut yang berbeda; lebih miring misalnya. Pemotongan miring ini adalah proyeksi kekinian subjek lain dalam subjek utama. Artinya akan ada irisan peristiwa antara dua subjek yang menjadi kini-bersama (common presents) tetapi ada juga bagian roti yang potongannya tidak beririsan. Potongan yang tidak beririsan ini menunjukkan masa lalu atau masa depan subjek utama yang menjadi masa kini dari subjek yang lain tersebut. Bukankah hal ini cocok dengan pemahaman waktu subjektif? Benar, namun konsekuensi eternalisme adalah ketiadaan proses. Segala sesuatu di masa lalu, masa depan, dan masa kini “ada” secara bersamaan. Seperti sebuah film yang bergerak. Gerakan tersebut adalah kumpulan gambar-gambar tertata rapi sesuai dengan urutan tertentu yang dikumpulkan menjadi satu memberikan ilusi gerakan. Tapi kenyataan dasarnya adalah segala sesuatu telah ditentukan. Kita hanya hidup dalam film yang diputar. Segala keputusan, aksi, dan usaha kita adalah ilusi semata. Masa lalu, kini dan akan datang tercampur, tidak memiliki perbedaan dalam blok tersebut.

Lalu dari mana sumber kekacauan ini? Rovelli beranggapan bahwa kekacauan ini berasal dari ketidakmampuan akomodasi tata bahasa dalam menjelaskan realitas fisis yang dipahami sejauh ini. Bahasa yang lahir dan berkembang dalam suatu masyarakat tidak bisa lepas dari perkembangan sosio-historisnya. Dari budayanya. Nilai kebenaran dalam berbahasa juga tergantung konteks yang dibicarakan, atau subjektif. Sementara sains berbicara tentang pemahaman yang (relatif) bersifat objektif. Apa yang dimaksud “nyata” pada “apa yang nyata”. Apa yang dimaksud “ada” pada “apa yang ada”. “Apakah pinokio ada” bisa bernilai setidaknya dua makna. Pinokio tidak ada karena tidak ada boneka yang dapat hidup apalagi berbohong dan hidungnya memanjang. Namun pinokio bisa bermakna ada dalam artian ia merupakan tokoh karangan dalam cerita anak- anak. Kata “ada” memiliki banyak pengertian sehingga jawaban keduanya tidak salah.

Para saintis tidak bisa lepas dari jerat bahasa dalam menjelaskan sains. Jadi bagaimana solusinya? Menurut Rovelli, jika bahasa menjadi tidak mampu mengadaptasi hasil-hasil sains, maka tidak ada jalan lain kecuali berhati-hati dan terus berusaha mengadaptasi dan meningkatkan pemahaman bahasa kita agar dapat membahasakan sains tersebut.

Kembali kepada permasalahan presentisme dan eternalisme, menurut Rovelli jelaslah bahwa permasalahan tersebut ada karena ketidakmampuan mengaptasi bahasa dalam memahami hasil rombakan konsep waktu yang disajikan fisika. Subjektivitas dan kegayutan waktu mengartikan bahwa tidak ada waktu universal. Tidak ada cara umum untuk mengurutkan peristiwa. Segala sesuatu, seperti dijelaskan pada sub pembahasan pertama di atas, merupakan peristiwa yang saling terkait dan saling mempengaruhi. Struktur temporal lebih kompleks dan lebih rumit dari sekedar perubahan linier dengan perubahan yang konstan. Ketiadaan urutan global struktur temporal antar peristiwa juga menolak klaim eternalisme. Sebab peristiwa tentu berubah. Tidak statis. Ia berubah dari suatu keadaan ke keadaan lain. Hanya saja perubahan tersebut tidak diwakili oleh waktu dalam pengertian sebelumnya yakni suatu aturan global yang konstan dan menyeluruh. Perubahan tersebut berasal dari jejaring interaksi pada peristiwa fundamental yang pada gilirannya juga akan menyusun ruang dan waktu (klasik) itu sendiri.

“Change, what happens-this is not an illusion. What we discover is that it does not follow a global order.” [halaman 97]

Dinamika Relasi

Jadi bagaimana cara menjelaskan peristiwa terjadi jika tidak ada variabel waktu? Jika tidak ada waktu yang bersifat umum dan tak ada arah tertentu dalam perubahan sesuatu? Jawabannya adalah kita tidak butuh variabel waktu. Yang kita butuhkan adalah variabel yang dapat kita pahami, amati dan ukur untuk menjelaskan perubahan tersebut. Panjang jalan, elastisitas bambu, warna langit, rasa kehilangan, dan seterusnya adalah peristiwa yang kita gunakan untuk mendeskripsikan dunia. Kuantitas ini dapat diamati dan berubah terus-menerus. Dalam perubahan ini, ada yang bersifat regular/teratur. Gerakan Bumi mengitari Matahari, batu jatuh lebih cepat dari pada bulu, air mendidih lebih panas dari es, dan sebagainya. Lebih jauh lagi, dari semua perubahan reguler tadi ada yang berubah teratur relatif terhadap yang lain. Fase bulan (dari Bumi), gerakan Bumi mengelilingi Matahari, rentang antardetik dan antarmenit dalam jarum jam. Peristiwa yang seperti ini bisa dijadikan acuan. Misal “mari bertemu setalah Matahari terbit dan tenggelam 3 kali” (konsep hari), “Besok, ketika matahari berada di titik tertinggi” atau “jika jarum jam tanganku menunjukkan pukul 4:35”. Jika kita dapat menemukan jumlah variabel yang memiliki hubungan teratur satu sama lain, maka masuk akal jika kita mengemukakan konsep kapan (when).

Berangkat dari penjelasan tersebut, pada level yang paling dasar, yakni pada level jejaring peristiwa kuantum (di level gravitasi kuantum), adalah hal yang cukup untuk menjelaskan segala sesuatu jika kita punya teori yang dapat menjelaskan bagaimana variabel dari peristiwa berubah terhadap (variabel dari) peristiwa lainnya. Apa aturan perubahan itu? Bagaimana hubungan/relasi antar variabel tersebut? Hal ini mengartikan bahwa kita membutuhkan (kumpulan) persamaan fundamental yang tidak memiliki variabel waktu, dan persamaan tersebut harus dapat menjelaskan fenomena fisis/peristiwa dengan mengeksploitasi relasi antar variabel besaran-besaran fundamental fisis yang ada.

Adalah Bryce DeWitt dan John Wheeler pada tahun 1967 yang menelurkan usaha pertama mencari persamaan fundamental teori gravitasi kuantum. Persamaan ini dikenal dengan nama persamaan Wheeler-DeWitt.

Gambar 1 : Persamaan Wheeler-DeWitt (sumber Google)

Persamaan ini tidak menunjukkan bagaimana peristiwa berevolusi dalam waktu. Persamaan ini mendeskripsikan bagaimana peristiwa/sesuatu berubah terhadap yang lainnya. Bagaimana relasi antara peristiwa satu dan yang lainnya.

Versi modern persamaan ini ada pada teori gravitasi kuantum lintasan tertutup (loop quantum gravity) yang digeluti Rovelli. Variabel teori ini mewakili medan-medan kuantum yang membentuk materi, medan gravitasi dan pada akhirnya ruang dan waktu itu sendiri. Teori ini bukan teori pamungkas (ultimate theory) apalagi teori penyatuan (unified theory) yang mengklaim menyatukan segalanya. Tujuan akhirnya adalah ingin menjadi satu-satunya yang dapat menjelaskan realitas fisis sejauh ini secara koheren.

Sedikit detail teori ini adalah sebagai berikut. Pada bagian satu telah disebutkan bahwa medan kuantum dalam bentuk dasarnya (pada level skala Planck) adalah diskret/tercacah/kuanta (quanta) atau berbentuk “butiran” (granular) yang tidak dapat dibagi. Butiran-butiran ini adalah bentuk dasar penyusun partikel elementer, foton, dan kuanta gravitasi/ruang-waktu. Kuanta-kuanta ini tidak berada dalam ruang dan waktu. Melainkan merekalah yang membentuk ruang dan waktu itu sendiri. Sifat spasial dan temporal dari ruang dan waktu adalah hasil dari jejaring interaksi mereka. Manifestasi interaksi dan relasi butiran-butiran ini dalam skala besar menghasilkan semua yang telah dipahami umat manusia dalam teori relativitas Einstein tentang gravitasi/ruang waktu, mekanika kuantum yang mengatur dinamika partikel elementer, dunia klasik Newton, elektromagnetik Maxwell, dan teori Fisika lainnya. Dengan kata lain, inilah peristiwa fundamental yang membentuk jejaring dan menyusun segala peristiwa yang ada di dunia. Tak ada arah, tak ada linearitas di sini. Ini hanyalah kumpulan-kumpulan interaksi butiran kuantum yang saling membalas, saling mempengaruhi satu sama lain. Ini adalah bentuk dasar, wajah sesungguhnya dari waktu itu sendiri.

Tidak masuk akal membicarakan waktu dalam level ini sebab mereka lah waktu itu sendiri. Pun begitu dengan ruang, materi atau apapun. Pada level ini bahasa menjadi semakin tidak akomodatif. Terutama ketika membicarakan “geometri” interaksi butiran-butiran kuantum ini. Ya, benar. Butiran-butiran ini memiliki aturan interaksi yang ditentukan oleh persamaan dalam gravitasi kuantum lintasan tertutup. Sehingga interaksinya tidak mungkin bersifat random/ sembarangan. Ada aturan/urutan/regularitas di sana. Ada geometri di sana. Geometri hasil dari interaksi satu sama lain butiran-butiran tersebut membentuk jejaring spin (spin networks) yang berbentuk teratur, dan periodik. Mirip seperti sarang lebah yang bersifat segi enam (hexagon) tapi bukan berarti gravitasinya segi enam. Struktur ini disebut sebagai busa spin (spinfoams) yang pada skala besar maujud menjadi “bentangan” ruang dan “durasi” waktu yang kita pahami sehari- hari tersebut.

There are only events and relations. It is world without time of elementary physics” [halaman 112]

Ini adalah dunia tanpa waktu. Dunia yang penuh turbulen. Saling tarik, ulur, hilang, timbul jejaring butir-butir kuantum. Jadi, bagaimana menghubungkan jejaring relasi peristiwa ini dengan notasi waktu awam? Waktu yang sehari-hari kita pahami. Sisanya akan dibahas pada bagian ketiga.

Gambar: watchmojo.com

Bacaan Lainnya