Tulisan ini memfokuskan pada ringkasan isi dari buku The Order of Time (Tatanan Waktu) karya Carlo Rovelli, seorang fisikawan teori terkenal yang bekerja dibidang Loop Quantum Gravity (Gravitasi Kuantum Lintasan Tertutup), mengenai konsep waktu dari tinjauan fisika secara umum sejauh ini.
Mengacu kepada Rovelli, waktu di sini memiliki beberapa makna yang saling terkait namun berbeda satu sama lainnya : 1) waktu sebagai fenomena umum pergantian peristiwa yang terjadi secara runtut (“Revolusi Bumi terhadap Matahari”); 2) Waktu yang menandai interval atau perubahan dari urutan peristiwa tadi (“Revolusi Bumi menunjukkan interval 1 tahun”); 3) Waktu sebagai durasi (“satu tahun itu 365/366 hari”). 4) Waktu untuk menandai suatu momen (“Waktu akan datang untuk diriku”). 5) Waktu menunjukkan variabel yang merujuk pada durasi (“percepatan adalah kecepatan dibagi waktu”) [Halaman 16].
Ada tiga bagian penting yang akan dijabarkan di sini. Pertama, bagaimana fisika membongkar konsepsi dan sifat awam waktu satu-persatu yang diterima begitu saja oleh sebagian besar orang. Kedua, adalah tahap penjelasan dasar/fundamental tentang sifat temporalitas yang biasa kita asosiasikan dengan waktu. Sedangkan bagian ketiga berisi tentang membangun kembali konsepsi awam waktu namun dengan pemahaman utuh terhadap waktu dari bagian kedua. Bagian terakhir ini juga mengaitkan mengapa manusia sebagai satu-satunya organisme yang dapat “memersepsikan” waktu, dan apa kaitannya dengan posisi manusia dalam waktu (being in time) itu sendiri.
“Our being is being in time. Its solemn music nurtures us, opens the world to us, trouble us, frighten us, lulls us. The universe unfolds into the future, dragged by time, and exists according to order of time” [halaman 1]
Pembongkaran Waktu
Setidaknya ada lima sifat awam yang kita asosiasikan terhadap waktu. Pertama, detak detik sama di semua tempat. Artinya di mana pun kita berada, 10 menit di jam saya adalah sama dengan 10 menit di jam Anda misalnya. Rovelli menyebutkan sifat ini dengan istilah kesatuan (unity). Hasil investigasi Einstein pada awal abad 20 dengan teori relativitas umunya menemukan bahwa hal ini tidak tepat sebab waktu bersifat subjektif. Detak detik waktu untuk setiap pengamat berbeda tergantung seberapa dekat dia berada dari pusat gravitasi (seberapa masif suatu objek) dan/atau seberapa cepat dia bergerak terhadap kecepatan cahaya. Semakin dekat dengan pusat gravitasi suatu benda masif, semakin lambat waktu subjektifnya (waktu di jam tangannya) dibandingkan dengan yang jauh dari pusat gravitasi. Artinya, seseorang yang tinggal di gunung akan menghitung waktu yang lebih banyak ketimbang yang tinggal di permukaan laut, sebab permukaan laut lebih dekat dengan pusat Bumi dari pada ketinggian gunung. Namun, hal ini tidak akan terdeteksi oleh jam biasa sebab perbedaannya pada orde yang sangat kecil (kira-kira sepersejutaan detik) sehingga dalam hidup praktis biasa diabaikan. Proses ini akan terlihat sangat nyata dalam pengembangan teknologi GPS. GPS bekerja dengan metode triangulasi satelit yang mengorbit Bumi untuk menentukan posisi suatu tempat di Bumi secara akurat. Jam-jam yang ada di satelit tersebut harus selalu dikoreksi dengan jam para peneliti di Bumi sebab jam di satelit lebih cepat ketimbang yang ada di Bumi. Jika tidak ada koreksi, kesalahan ini akan terakumulasi dalam waktu yang lama sehingga penentuan posisi di Bumi menjadi sangat tidak akurat sebab informasi yang dikirim dari satelit membutuhkan waktu untuk sampai ke Bumi.
Sementara melalui teori relativitas khususnya, Einstein menunjukkan bahwa semakin cepat laju sesuatu mendekati kecepatan cahaya, semakin lambat waktu subjektifnya. Menggunakan generalisasi yang agak longgar, kita bisa mengatakan bahwa orang yang diam tidak melakukan apa-apa akan lebih cepat “menua” ketimbang mereka yang aktif bergerak. Sekali lagi contoh ini tidak diamati dalam kehidupan sehari-hari sebab perbedaan waktu kedua kasus sangat kecil sehingga bisa diabaikan. Kesimpulannya, sifat kesatuan waktu sebenarnya tidak ada. Waktu subjektif tiap benda (things) berbeda antara satu dan yang lainnya. Tidak ada yang dijadikan acuan. Yang ada hanya perbandingan relatif antar waktu subjektif tersebut. Ilusi kesatuan waktu ada karena efek relativitas tidak tampak pada dunia klasik, dunia sehari-hari manusia.
Lebih jauh lagi karena setiap waktu adalah subjektif, maka ia kehilangan sifat kekinian-nya. Sebab hukum relativitas Einstein tidak hanya berpengaruh pada benda bermassa melainkan yang tidak bermassa seperti cahaya/foton. Artinya waktu subjektif cahaya dapat berubah-ubah tergantung medan gravitasi mana yang mempengaruhinya. Waktu cahaya tidak terpengaruh kecepatan sebab tidak ada kecepatan yang lebih cepat dari kecepatan cahaya. Cahaya pembawa informasi. Saya bisa melihat layar ini karena cahaya lampu datang dan memantul di layar laptop ke mata saya ditafsirkan oleh sistem syaraf penglihatan saya menjadi objek yang berupa laptop. Sehingga ada waktu yang dibutuhkan oleh cahaya untuk merambat dari lampu ke laptop kemudian ke mata saya. Misal ada seseorang di planet yang sangat jauh yang berjarak 2 tahun cahaya dari Bumi (artinya cahaya butuh 2 tahun untuk merambat dari planet tersebut ke Bumi). Dan katakanlah ada temannya yang meneleponnya menggunakan telepon yang bisa mengirim dengan kecepatan cahaya. Jika dia bertanya “sedang apa sekarang?”, maka pertanyaan ini tidak memiliki makna sebab jawaban apa pun yang dia dapat adalah jawaban dua tahun yang lalu sebab cahaya butuh 2 tahun untuk merambat dari kedua planet. Makna kekinian menjadi tak bermakna.
Pemahaman awam berikutnya adalah waktu mengalir dari masa lalu ke masa depan. Tidak mungkin sebaliknya. Sifat mengalir ini disebut sebagai arah (direction) waktu. Masa lalu dan masa depan erat kaitannya dengan urutan peristiwa yang disebut sebagai sebab-akibat. Sebenarnya dalam setiap persamaan fisika, tidak ada pembedaan dalam masalah masa lalu dan masa depan. Persamaan x(t) (posisi fungsi waktu) tidak membedakan apakah t = 3 detik atau 2 detik. Dalam fisika klasik, hukum-hukum fisika simetri terhadap parameter waktu. Artinya jika ada proses gelas pecah, maka baliknya pecahan gelas menjadi gelas utuh pun bukan sesuatu yang mustahil. Namun, hal ini tidak pernah dan tidak mungkin terjadi. Apa yang sudah terjadi di masa lalu tidak bisa balik kembali.
Kuncinya ada pada konsep panas. Panas adalah satu-satunya hukum fisika yang tidak simetri terhadap waktu. (Perubahan) panas itu tak dapat balik (irreversible), hanya bisa mengalir dari keadaan bersuhu tinggi ke keadaan bersuhu rendah. Yang akan berhenti ketika terjadi kesetimbangan/ekuilibrium antara keduanya. Bola yang dipentalkan dapat balik ke atas, namun setiap kali mental, pentalannya akan berkurang hingga akhirnya tidak terpental lagi. Setiap kali pentalan bola terhadap lantai terjadi transfer panas berupa energi gesek dari bola ke lantai yang tidak dapat balik, sehingga energi gerak bola akan berkurang karena kehilangan panas. Keadaan setimbang tercapai ketika bola tidak memantul kembali dari lantai. Hal ini pula terjadi pada semua proses yang terjadi di alam. Gelas yang pecah akan melepaskan panas ke lingkungan. Dan panas ini tidak akan balik sehingga gelas tadi dapat kembali utuh. Proses ini memberikan persepsi sebab-akibat, persepsi waktu yang mengalir dari masa lalu ke masa depan. Proses tak dapat balik dari panas ini dinamakan sebagai entropi dan dijadikan hukum pertama termodinamika.
Apakah benar seperti itu? Adalah Boltzmann yang menjadi penentu tentang masalah arah waktu ini. Dia mengamati bahwa panas merupakan agitasi dari molekul dan atom. Sistem yang panas berarti gerakan molekulnya cepat dan acak, menumbuk satu dan yang lainnya saling mentransferkan momentumnya. Sebaliknya sistem yang tidak panas berarti atomnya teratur dan tidak bergerak secara acak. Dari sinilah entropi dikaitkan dengan derajat ketidakteraturan suatu sistem. Semakin tidak teratur, maka semakin tinggi entropinya. Bayangkan sebuah dek kartu yang teratur nomor urutannya. Jika saya mengocoknya, maka kemungkinannya balik ke aturan yang awal adalah hampir mustahil (tapi tidak nol). Sebaliknya kemungkinan untuk ke urutan selain yang pertama adalah sangat banyak sekali. Dengan kata lain semakin tidak teratur dek kita sekarang. Begini pula cara kerja entropi pada suatu sistem. Sistem apa pun akan menuju ketidakteraturan. Manusia mati. Gelas pecah. TV rusak. Bumi hancur. Dan seterusnya. Ini yang dipahami oleh Boltzmann. Perbedaan masa lalu dan masa depan itu tidak berada pada hukum dasar gerak, bukan berada pada permainan kosa kata melainkan ia merupakan konsekuensi dari ketidakteraturan alamiah yang membawa sistem dari situasi spesial menjadi semakin tidak spesial [halaman 28]. Konsekuensinya adalah masa lalu terkait dengan entropi yang rendah dan masa depan terkait dengan entropi yang tinggi. Arah waktu adalah dari entropi rendah ke entropi tinggi.
Namun, siapa yang menentukan bahwa masa lalu itu berentropi rendah dan masa depan berentropi tinggi? siapa yang menentukan aturan mana yang spesial dan tidak spesial? Jika saya punya satu dek kartu yang terurut berdasarkan nomornya, dan dek kedua sisi kartunya terurut berdasarkan warnanya, maka masing-masing dapat menganggap keadaannya spesial dan yang lainnya tidak spesial. Artinya, setiap keadaan dapat dianggap sebagai spesial karena kita selalu bisa mencari aturan untuk menyatakannya spesial. Di sinilah poinnya. Karena keterbatasan manusia sebagai makhluk biologi, maka kita terbatas pada satu aturan pelabelan yang kita anggap spesial sehingga pelabelan ini membawa persepsi yang dalam tentang konseptualitas masa lalu dan masa depan. Batasan ini terjadi karena kita tidak memiliki informasi lengkap tentang alam semesta sehingga pelabelan spesial atau tidak hanya dari pendekatan yang kita lakukan kepada alam semesta.
“The notion of ‘particularity’ is born only at the moment we begin to see the universe in blurred and approximate way” [halaman 30]
Jadi, jika saya dapat mengetahui keadaan mikro dari setiap molekul dan atom dalam suatu peristiwa apakah notasi masa lalu dan masa depan akan hilang? Jawabannya iya. Sebab dengan informasi tersebut, kita bisa memastikan bahwa gerakan atom/molekul tersebut akan mematuhi hukum gerak yang jelas simetri terhadap masa lalu dan masa depan. Kesimpulannya, arah waktu dari masa lalu ke masa depan itu ilusi karena keterbatasan manusia dalam mengakses keseluruhan informasi yang ada. Alam semesta terlihat kabur dan hanya merupakan pendekatan-pendekatan baginya.
Sifat berikut yang tampak dari waktu adalah sifat ketakgayutan (independence) dan hal ini erat kaitannya dengan pertanyaan tentang arti waktu secara harfiah. Aristoteles lah yang pertama kali mengajukan jawabannya. Dia mengatakan bahwa waktu adalah perhitungan suatu perubahan (yang periodik). Sesuatu berganti, dan waktu adalah hitungan perubahan tersebut. Perhitungan 1 hari didasarkan pada perputaran Bumi pada porosnya yang menyebabkan seolah-olah matahari terbit dan tenggelam sekali. Pernyataan semisal “saya pergi selama 3 hari” bermakna “saya pergi selama 3 kali terbit dan terbenamnya matahari”. Jadi sekarang, jika tidak ada sesuatu yang mengalami perubahan, tidak ada jantung yang berdetak, semua planet diam, hingga atom pun berhenti bergerak keseluruhannya, apakah masih ada waktu? Menurut Aristoteles tentu tidak. Sebab waktu kehilangan sesuatu yang mendefinisikannya. Bagi Aristoteles, waktu tidak fundamental, tidak bebas. Ia gayut pada peristiwa fisis yang lain.
Kemudian datang Newton dengan teori geraknya yang mengajukan hal sebaliknya. Newton mengakui jenis waktu yang diajukan Aristoteles, namun ia juga memostulatkan tentang waktu yang lain, yang tak gayut terhadap apa pun. Yang tetap bekerja tidak peduli dengan diamnya segala sesuatu yang ada, atau semisal ruang seluruhnya dikosongkan. Dia menamainya waktu sejati. Waktu sejati tidak dapat diakses melalui pengalaman/pengamatan. Ia hanya dapat dialami secara tidak langsung melalui persamaan fisis. Waktu sejati adalah parameter tiap variabel gerak yang menentukan perubahan variabel-variabel ini secara tepat. Waktu sejati dapat dipikirkan sebagai berikut. Jika kita menemukan bahwa untuk menghitung waktu, ternyata rotasi Bumi tidak cukup karena ke-tidak-akuratan-nya yang terakumulasi dalam waktu tertentu, maka kita akan selalu bisa menemukan perhitungan waktu jenis lain yang lebih presisi. Hal ini menunjukkan eksistensi waktu sejati yang mendasari segala sesuatu. Yang ajeg, tak gayut terhadap apa pun.
Jadi, siapa yang benar? Sekali lagi Einstein datang dan mengoreksi mereka berdua. Teori relativitas umum secara langsung menunjukkan interaksi tak terpisahkan antara ruang dan waktu atau dikenal dengan istilah ruangwaktu (spacetime), yang berarti waktu dan ruang itu ada secara nyata, senyata batu, tanah, pohon dan lain-lain. Jadi pada kasus ini, Aristoteles salah. Waktu itu nyata dan eksistensinya bukan merupakan akibat dari perubahan ritmik suatu proses fisis. Namun, dari penjelasan sebelumnya kita tahu bahwa waktu dalam pandangan relativitas umum, waktu itu bersifat subjektif, tidak ada yang menjadi acuan/istimewa. Waktu itu relatif antara pengamat/benda satu dengan benda yang lainnya. Pada poin kedua ini, Newton salah. Sebab konsekuensi waktu subjektif adalah tidak adanya waktu sejati yang menjadi parameter semua persamaan gerak dalam fisika. Kesimpulannya, waktu kehilangan sifat ketakgayutannya, kebebasannya, keabsolutannya. Waktu-(dan ruang) dapat memanjang, memendek, terpuntir, dan seterusnya tergantung interaksinya dengan sebaran massa dan energi yang ada.
Sifat terakhir dari waktu yang kita alami adalah sifat malarnya/ketaktercacahannya (continous). Waktu dapat dibagi terus-menerus dan tidak mungkin ditemukan bagian terkecilnya. Tidak ada partikel waktu, yakni bagian terkecil waktu yang tidak dapat dibagi lagi. Begitu kata pemahaman klasik. Namun tidak jika kita melibatkan asas fisika kuantum di dalamnya. Fisika kuantum berkaitan dengan sesuatu yang bersifat elementer, seperti partikel elektron, quark, gluon dan lainnya. Esensi pertama dari fisika kuantum adalah segala sesuatu memiliki kuanta/paket-paket terkecil yang tak dapat dibagi lagi. Begitu pula dengan waktu. Interval terkecil waktu adalah waktu Planck (sekitar satu per sepuluh trilyun trilyun trilyun juta detik atau 1/(10 nolnya ada 43) detik). Inilah butir waktu (time granular). Butir ini tak dapat dipotong, dibagi, dipecah dan seterusnya.
Esensi kedua dari kuantum adalah sifat ketaktentuan/kemungkinan/probabilitas variabel fisis. Elektron tidak dapat ditentukan posisinya secara pasti. Yang ada adalah suatu fungsi yang memberikan informasi kemungkinan di mana ia bisa ditemukan. Misal 10 persen di rentang ini, 50 persen di rentang sana. Tidak ada cara menentukan kepastiannya. Mengukur posisi elektron berarti mengundi. Kadang berada di posisi 10 cm, terkadang di 20 cm, kadang 5 cm dan seterusnya. Dalam kondisi ini dikatakan bahwa semua kemungkinan posisi elektron eksis secara bersamaan dalam bentuk gelombang yang bersifat superposisi. Karena waktu sama nyatanya seperti elektron, maka (partikel) waktu akan mengalami ketaktentuan kuantum ini. Masa lalu, masa depan berfluktuasi, eksis pada saat bersamaan dalam suatu fungsi peluang yang memberikan kemungkinan keluaran ketika diukur. Sifat ini disebut sebagai superposisi waktu.
Esensi ketiga dari kuantum adalah relasi/hubungan/interaksi antar variabel fisis. Secara singkatnya, variabel fisis dalam dunia kuantum saling terkait dengan variabel lainnya. Sebagai contoh, momentum dan posisi saling memiliki relasi. Pengukuran posisi sebuah elektron menyebabkan pengukuran momentumnya menjadi tidak mungkin dilakukan pada saat yang bersamaan dengan mengukur posisi tersebut. Begitu pula sebaliknya. Pengukuran momentum elektron akan menyebabkan kemustahilan menentukan posisi elektron tersebut. Pengukuran di sini tidak perlu menggunakan alat dan secara sengaja melakukannya. Elektron yang menumbuk layar televisi pun merupakan suatu pengukuran sebab sesaat setelah menumbuk kaca televisi, elektron akan menentukan konfigurasi posisinya berdasarkan kemungkinannya, untuk memproduksi gambar yang diinginkan. Hal ini menunjukkan waktu pun juga seperti itu. Ia tidak akan memiliki nilai yang jelas hingga ia berinteraksi dengan yang lainnya. Ketika itu terjadi, maka ia menjadi dapat diukur hanya berkaitan dengan pasangan interaksinya sementara ia menjadi tidak tentu untuk sisa alam semesta yang lainnya [halaman 80]. Kini gambaran waktu berubah dari suatu lembaran luas yang tak gayut oleh apa pun, bersifat sama untuk pengamat, mengalir ke sumbu masa depan dari masa lalu menjadi sebuah fluktuasi kemungkinan masa lalu, kini dan masa depan yang hanya termaterialisasikan secara diskret dalam keadaan tertentu ketika berinteraksi dengan objek lain dan bersifat subjektif untuk tiap objek dalam kaitannya dengan distribusi massa/energi (gravitasi Einstein).
Begitulah wajah waktu yang disajikan dalam perkembangan ilmu Fisika. Sungguh berbeda dengan apa yang kita pahami sehari-hari. Waktu seakan-akan hilang dari dunia. Sekarang, bagaimana kita bisa menjelaskan waktu dari sudut pandang yang baru ini secara komprehensif? Hal ini akan dijelaskan pada bagian kedua.
*Photo by Aron Visuals on Unsplash