Pengakuan Dunia-Kehidupan yang Sakramental: Pembunuhan Tuhan dan Ekonekrofilia

Istilah ‘dunia kehidupan’, saya pakai karena merangkum makna ekologis dan biologis, atau meta-biologis.

Edmund Husserl, dalam fenomenologinya, memperkenalkan istilah “dunia-kehidupan”. Ia mempopulerkannya dengan istilah lebenswelt atau lifeworld (leben: hidup dan welt: dunia). Istilah ini memandang seluruh ketampakan alam semesta dari apa yang terbukti (terpampang) dengan sendirinya atau terpateri pada horizon manusia, yaitu dunia yang dialami bersama. Lebenswelt diambil alih dari konteks biologis dan protestantisme. Prinsip dasar istilah ini adalah hubungan intersubjektif manusia dengan dunianya. Menurut F.Budi Hardiman, dunia-kehidupan menunjuk pada keterhamparan gambaran obyektif dunia dan kehidupan manusia di dalamnya yang dapat diamati dalam fase pra-reflektif ke tahap reflektif dengan penangkapan maknanya melalui kegiatan hermeneutik sosial (dalam istilah Husserl, kesadaran intensional untuk menangkap fenomena apa adanya).[1] Terlepas dari konteks filosofis, istilah ini menurut saya dalam teologi bisa kita sebut sebagai dunia-kehidupan yang diciptakan Tuhan. Seluruh ciptaan adalah tanda mengeksistensi Tuhan.

Dalam konteks ekoteologis, istilah dunia-kehidupan tampaknya lebih cocok diambil alih untuk disejajarkan secara kritis dengan istilah F.J.Broswimmer, yaitu “ecocide”. Berasal dari kata Yunani “eco”, yang berarti rumah dan “cide” yang artinya membinasakan atau membunuh.[2] Jadi, harfiahnya ialah tindakan pembunuhan atau pembinasaan ekosistem atau orgnanis secara sistematis. Ada istilah lain yang bisa disepadankan dengannya, mendahuluinya dan lebih dalam dari sekadar menunjuk pada lokus dan konfigurasi alam sebagai rumah tinggal (ekologi), yaitu biocide atau geocide, dari geolog Thomas Berry. Ia mengartikan biocide secara harfiah sebagai pembunuhan kehidupan dan bumi dalam arti bilogis-fisik tetapi juga non-fisik,[3] untuk menghadirkan fakta dan kosa kata yang hampir tidak diajarkan, selain ajaran tentang homicide/genocide (pembunuhan manusia/etnis) dan suicide (bunuh diri) yang banyak dibicarakan dalam ilmu sosiologi dan psikologi. Bagi saya istilah Berry lebih mendalam daripada Broswimmer, karena menunjuk aspek metafisis. Kendati demikian, saya lebih nyaman dengan istilah “dunia-kehidupan”, yang jika dipadankan lebih bermakna tidak saja teknis, tetapi organis, mencakup lokus (oikos) dan kehidupan di dalamnya. Meskipun “ecocide” bisa berarti organis, maka dalam konteks ekokrisis, hasrat pembinasaan dunia kehidupan bisa disebut lifeworld-cide. Istilah ini menunjuk pada dimensi spiritual komunitas kehidupan di dalam dunia, biotik dan abiotik, organis dan anorganis, yang di-cide-kan, rusak sama sekali pada keadaan sebagaimana adanya sekarang, terutama mengakibatkan rusaknya relasi moral, biologis, dan spiritual manusia dengan lingkungan juga sama memiliki kodrat moral, biologis dan spiritual. Pembunuhan dunia tersebut dalam tradisi psikoanalis Frommian yang saya ambil alih secara ekologis, menunjuk pada hasrat atau agresi nekrofilia (cinta kematian), yaitu hasrat untuk merusak, membunuh yang hidup dan ketertarikan terhadap segala sesuatu yang telah mati, lusuh dan murni mekanis.[4] Jika diterapkan pada ekologi, ia menjadi agresi pembunuhan dunia kehidupan oleh orang-orang pembenci kehidupan, eko-nekrofilia. Secara evolutif, manusia memiliki hasrat ini dari fitrah hewani.

Istilah ‘dunia kehidupan’, saya pakai karena merangkum makna ekologis dan biologis, atau meta-biologis. Di balik istilah ini, saya ingin mengungkapkan hak hidup dan hak moral alam (integral) dan bentuk-bentuk kehidupan yang terpampang di atas tanah dan di bawah laut, yang dicederai, disiksa dan dibunuh perlahan. Dalam bingkai ekokrisis terhadap dunia kehidupan ini, seandainya jika alam dan manusia “dibunuh”, mungkin saja secara teologis terjadi, seperti ungkapan eko-teolog Indonesia asal GKI di Tanah Papua, Karel Phil Erari, yaitu “Deicide”(pembunuhan Tuhan).[5] Erari mungkin saja memakai alur kausatif terbalik, bahwa saling membunuh sesama ciptaan menyebabkan pembunuhan atas Tuhan. Saya justru menganggap sebaliknya, fenomena ekokrisis disebabkan karena terlebih dahulu  Tuhan atau Yang Ilahi telah dibunuh dalam benak manusia modern – melahirkan hasrat ubermansch (manusia otonom: super), yang dengannya dimensi sakramental dunia kehidupan lenyap dengan sendirinya. (Karena itu saya merasa bibit Nietzschean [kematian Tuhan] perlu disikapi arogansi lanjutannya dalam diskursus ekoteologis abad ini, selain bibit proyek pencerahan Cartesian).

Semua Ciptaan sebagai Tanda Kehadiran Tuhan

Tulisan ini saya ajukan dengan asumsi atau pengakuan dasar bahwa dunia-kehidupan di mana manusia hidup adalah: dunia yang diciptakan dengan karakter spiritual dan etis, yang diderivasi dari karakter Penciptanya. Karena itu, dunia adalah tanda dari kehadiran Tuhan. Karakter ini sering disebut sakramental. Pada mulanya ia diciptakan dan dikuduskan sebagai tempat sakramental yang disakralkan oleh kehadiran yang Ilahi, yang aktif dan relasional. Semua ciptaan dan seluruh kehidupan yang berlangsung di bumi ini adalah buah sulung dari pekerjaan Tuhan sejak awal mula.

Apa yang dimaksud dengan dunia-kehidupan sakramental di sini secara lebih komprehensif dan spesifik? John Hart melalui buah pikirannya dalam Sacramental Commons, merediskursuskan bahwa semua tempat, semua ciptaan, termasuk manusia adalah tanda lokus transenden dan imanensi Pencipta. Ia gambarkan praktik penggunaan kata itu dalam konteks dinas militer romawi; konteks teologis Augustinus; pemahaman katolik, Luther, dan Calvin mengenai sakramen gerejawi; Paus Paulus VI; dan dalam tradisi Kristen yang melihat bahwa Yesus adalah sakramen. Dalam nada yang komprehensif, ia maksudkan bahwa apa dan siapapun itu adalah lokus perantara sang Pencipta. Semua ciptaan, baik itu dunia (bumi) dan kehidupan di dalamnya adalah tanda-sakral.[6] Kalau demikian kita bisa memahami bahwa sakramen tidak hanya ada pada gedung ibadah atau situs-situs yang disucikan manusia. Baik alam dan manusia, keduanya merupakan sakramen Ilahi, tanda dari aktivitas Roh yang hidup. Sakramen bisa berarti sakramen alam dan sakramen sosial. Sebagai sakramen, keduanya memiliki hakekat relasi yang integral secara transenden dan imanen. Itu sebabnya, saya menyebutkan bahwa dunia-kehidupan, secara spesifik dimaknai dalam arti momen, pengalaman, lokus dan suasana. Tepatnya secara ekoteologis, yang dimaksud dengan semua tempat adalah ekosfer (hidrosfer, atmosfer, litosfer dan biosfer) dan sosiosfer. Ekosfer adalah ekosistem lingkungan hidup. Sedangkan sosiofer adalah lingkungan hidup manusia. Keduanya integral.

Wawasan Dunia Religius dan Sakralitas Bumi

Saya berharap dapat memperlebar asumsi atau pengakuan di atas pertama-tama dalam bentuk yang komprehensif mencakup wawasan dunia yang bersifat teonom atau theisme. Dengan itu dapat dijadikan pengakuan kedua lingkungan dari dunia kehidupan tersebut bisa diterima dalam kalangan agama lain dan sebagian agama-agama tradisional di Timur dengan presumsi ekologis dan sosiologis. Setelah itu barulah mengklaim pengakuan itu termasuk sebagai pengakuan otentik dalam tradisi Kristen. Alasan saya jelas untuk memperlebar asumsi, karena terdapat setidaknya dua wawasan dunia (worldview) dasar religius lain selain theisme yang dapat kita terima, misalnya oleh apologet Norman L.Geisler, bahwa pertama ada wawasan dunia atheistik. Wawasan ini tidak memberi pengakuan asumtif bahwa dunia-kehidupan dijadikan secara rasional oleh subyek ilahi. Melainkan terjadi begitu saja melalui proses evolusi dalam filsafat materialisme atheis humanis tradisional. Dunia yang kita hidupi, alam di mana kita hidup, hemat mereka adalah bersifat kekal namun tidak diciptakan. Sandaran filosofis mereka bisa dikaitkan dengan hukum pertama termodinamika, yang menyatakan bahwa energi tidak bisa diciptakan maupun dihancurkan.[7]

Kedua, Geisler meyatakan bahwa wawasan dunia pantheis yang justru anti materialisme sekaligus anti Kristen (Saya tidak setuju sepenuhnya dengan Geisler, namun bukan saatnya memperdebatkan bahwa pantheisme anti terhadap materialisme dan anti Kristen atau tidak). Bagi pantheisme, Tuhan adalah segalanya (pan; segala dan theos: Tuhan; Buddhis, Hindu, pagan-folks religion). Dengan itu mereka dapat memuja alam sebagai Tuhan. Wawasan dunia atheis, umumnya tidak mengakui Tuhan sebagai Pencipta, dan lebih menekankan aspek fisis, sedangkan pantheis malah menjadikan alam sebagai Tuhan dan sangat menyanjung aspek spiritual dari alam. 

Walaupun kelihatannya dari dua wawasan dunia tadi, kita mungkin bisa mempresumsikan bahwa dengan demikian mereka seakan-akan tidak bisa menghormati alam dan pro lingkungan, dan kehidupan. Namun, bagi saya hal itu tidak selalu terjadi bagi sebagian orang yang datang dari dua wawasan dunia tersebut. Bisa jadi mereka lebih menghormati alam dan terlibat dalam gerakan pro lingkungan (environmetalisme) lebih daripada kita. Ini karena kesadaran akan bahaya krisis ekologis telah merembes masuk pada berbagai wawasan dunia mereka. Bahkan, mereka bisa lebih mampu melihat karakter spiritual dan makna esensial yang bersifat moral daripada kalangan theisme. Karena tidak semua atheis adalah seorang materialis dan tidak semua pantheis adalah antimaterialisme. Kita dapat melihat kenyataan ini pada orang seperti Sponville, seorang atheis Perancis yang sedang mengembangkan model spiritualitas yang ia sebut “spiritualitas tanpa Tuhan”. Dan dari kalangan pantheisme kita bisa amati konsep Zen Budhisme, yang dibahas misalnya oleh Brian Brown,  dengan melihat eksistensi segala yang ada sebagai proses yang utuh dan kontekstual, yaitu tidak seorang manusia atau benda pun yang menjadi kenyataan bebas, cukup diri, otonom, tetapi menjadi Ada, bertahan dan mati sebagai suatu fungsi dari faktor-faktor lain yang ada. Hinduisme, yang melihat bahwa gunung-gunung, sungai dan pohon di India adalah sakral, dan menganggap mereka diresapi oleh roh-roh individual (jiva) dan dijiwai oleh kesadaran universal (Brahman). Taoisme dan konfusionisme melihat hal yang cukup sama bahwa alam dinilai berdasarkan nilai intrinsiknya untuk hidup secara harmonis, nonegosentrik dan ugahari dengannya.[8] Pandangan dunia dasar pantheis ini, memang selalu aktif mengalihkan perhatian religius mereka pada lingkungan hidup dibanding kekristenan yang sempat dipojokan secara rekonstruktif menjelang akhir abad 20, misalnya oleh kekritisan thesis Lynn White (1967) bahwa doktrin dan ajaran orthodox kekristenan Barat dan teknologinya justru merupakan akar dari krisis ekologis global, dan karena itu menawarkan progresifitas spiritual religius dari St.Fransiscus. Setelah 50 tahun (2017), tesisnya dibantah dan diapresiasi secara kritis oleh Todd LeVasseur dan kawan-kawannya (sebelumnya sudah dibantah oleh banyak teolog juga, selepas tesisnya populer di tahun 1970-an).[9]

Thomas Berry, dari kalangan Katolik yang biasa disebut sebagai seorang geolog ketimbang teolog, telah memberi penekanan dalam secercah artikel penting pada tahun 1987, dengan pokok “Tradisi-tradisi spiritual dan Komunitas Umat Manusia”, bahwa proses ekologis dan pengakuan akan dunia tidak hanya mencakup dimensi fisis dan spiritual, bahkan dimensi realitas hidup manusia.[10] Dengan ini kita bisa melihat bahwa akhir-akhir ini diskursus mengenai lingkungan bisa dibicarakan dari sudut pandang religiusitas berbagai tradisi termasuk atheisme sekalipun yang merupakan sebuah gerakan spiritual-religius “tanpa Tuhan”.[11] Dimensi spiritual menjadi dasar bagi peletakan masa depan yang tidak teraniaya, yang lebih progresif dalam pemaknaan dunia dan kehidupan yang spiritual dan sakral dengan nilai intrinsik. Karenanya kita tidak bisa begitu percaya diri berhadapan dengan ekokrisis global dan lokal hanya dengan mengandalkan satu basis worldview, tradisi filosofis atau satu agama (Kristen) semata wayang. Maka cara menghubungkan optimisme berbagai tradisi religius dan filosofis tertentu untuk mencapai titik konsensus bagi sebuah etika dan gerakan lingkungan akhir-akhir ini adalah dengan menciptakan sebuah kosmologi baru yang bagi segelintir orang seperti Daniel P.Schied disebut “kebaikan bersama kosmis” (cosmic common good).


[1] F. Budi Hardiman, Melampaui positivisme dan modernitas: diskursus filosofis tentang metode ilmiah dan problem modernitas (Yogyakarta: Kanisius, 2003)., 1 (59)-70

[2] Franz J. Broswimmer, Ecocide: a short history of mass extinction of species (London ; Sterling, Va: Pluto Press, 2002)., 2-3; Bnd. P.H.Collin, Dictionary of Environmental & Ecology [fifth Edit.], (London: Bloomsbury Publishing, Plc.,2004), 20, menunjukan pembunuhan yang lebih dari arti fisik biologi, tetapi relasi dan substansi antarorganisme dan lingkungannya.

[3] P. H Collin, Dictionary of Environment & Ecology (London: Bloomsbury, 2011), http://site.ebrary.com/id/10519652., 20.

[4] Saya sengaja menderivasi pengertian hasrat nekrofilia dari Erich Fromm, karena usaha merekonstruksi ekoteologis berarti merekonstruksi juga istilah-istilah yang menunjang dan menggetarkan nurani orang tentang pentingnya diskursus ekologis bagi keberlanjutan kehidupan. Walaupun Erich Fromm bukan seorang ekolog, tetapi penelusuran akar kekerasannya atau agresi manusia menunjang pemaknaan terminologis saya dalam studi ekologis. Istilah nekrofilia memang pertama dipahami sebagai sakit mental ketika seseorang memiliki rasa cinta (philia) terhadap mayat (nekro) setelah dibunuh dan disetubuhi. Namun, Fromm memperluas nekrofilia secara sosiologis sebagai hasrat kecintaan terhadap segala bentuk yang bermakna kematian, binasa, lawan dari biofilia (cinta kehidupan) dan kosmofilia (cinta alam semesta). Erich Fromm, Akar Kekerasan (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2001), xxiii, 482, 523

[5] Karel Phil Erari, Spirit ekologi integral, Ekoteologi (Jakarta: BPK Gunung Mulia, 2017), ix

[6] John Hart, Sacramental commons: Christian ecological ethics, Nature’s meaning (Lanham, Md: Rowman & Littlefield Publishers, 2006), xiv-xxv.

[7] Norman Geisler, Etika Kristen; Edisi kedua revisi, Etika (Malang: SAAT, 2015), 377-40; bnd. Norman Geisler dan Frank Turek, I Don’t Have Enough Faith to be an Atheist, Apologetika (Malang: SAAT, 2016), 20-24.

[8] Mary Evelyn Tucker, “Tema-tema Ekologis dalam Taoisme dan Konfusionisme”, dalam Mary Evelyn Tucker dan John Grim, Agama, Filsafat, & Lingkungan Hidup (Yogyakarta: Penerbit Kansiius, 1994), 187-201.

[9] Todd LeVasseur, ed., Religion and ecological crisis: the “Lynn White thesis” at fifty, 1 [edition], Routledge studies in religion 50 (New York: Routledge, Taylor & Francis Group, 2017), 5. Lynn White, Jr., The Historical Roots of Our Ecological Crisis [with discussion of St Francis], Science 155, no.3767:1203-1207, Pdf., 4-6

[10] Thomas Berry, Kosmologi  Kristen, Ekoteologi (Maumere: Ledalero, 2013), 3.

[11] Andrew Comte-Sponville, Spiritualitas Tanpa Tuhan, Filsafat (Jakarta: Alvabet, 2006), 155-184. Ia mengonsepkan spiritualitas kaum atheis dengan pengakuan spiritualitas atheis lahir dari spirit imanensi: Ruh dan fisik.

image: moretreeslessassholes.org

Bacaan Lainnya