Ini adalah tanggapan terakhir saya untuk Hukmi dari serangkaian tulisan mengenai agama, sains, dan korona di situs web Antinomi. Tulisan terakhir Hukmi berjudul Saintisme dan Manusia Jerami. Semampu saya, saya meniatkan tulisan ini ringkas, padat, dan sejelas mungkin, dengan meminimalisasi ad hominem. Saya berharap tak ada lagi kesalahpahaman yang tidak substantif di sini. Saya mulai dari soal saintisme dulu, baru kemudian membahas kritik Hukmi mengenai kausasi-kausasi itu.
Satu. Puji Tuhan, Hukmi bukanlah pengikut saintisme. Ini kabar baik, sebab saintisme menyatakan sainslah satu-satunya penjelasan yang valid bagi segala hal. Di hadapan saintisme, filsafat (latar studi Hukmi), seperti agama dan bahkan juga ilmu-ilmu humaniora, telah dikikis otoritasnya. Misalnya, di bagian pembukaan buku The Grand Design (2010), Hawking menyatakan bahwa “filsafat mati”, karena ia tak lagi berguna dan cenderung gagap mengejar kemajuan sains untuk menjawab pertanyaan-pertanyaan fundamental seperti apa watak sejati realitas dan apakah alam semesta memerlukan pencipta. Saya dengan senang hati menunggu elaborasi dari pernyataan Hukmi bahwa sains “tidak pernah dapat objektif dan bebas akan kepentingan”. Tentu saja Hukmi boleh menulisnya kapan saja, tidak harus hari-hari ini.
Dua. Benar seperti dikatakan Hukmi, di wacana umum istilah saintisme memiliki konotasi peyoratif. (Sesungguhnya ia tidak benar-benar peyoratif. Satu buku berjudul Every Thing Must Go: Metaphysics Naturalized (2007), yang mengajukan gagasan bahwa metafisika yang bisa menghasilkan pengetahuan objektif hanyalah metafisikan yang berdasar sains, memuat bab pertama dengan judul In Defence of Scientism.)
Saya tidak kekeh dengan istilah. Kalau dirasa peyoratif, ‘saintisme’ mau diganti dengan sebutan lain apapun boleh, yang penting maknanya tetap, yakni sains sebagai pandangan-dunia dan menjadi satu-satunya penjelasan valid bagi segala hal. Ketika Atkins dalam esainya Science as Truth (1995) menyebut sains memiliki “universal competence” untuk menjelaskan hal-hal yang secara tradisional menjadi medan kajian filsafat, agama, atau ilmu humaniora, ya itulah saintisme. Jika orang mendaku bahwa evolusilah satu-satunya penjelasan valid bagi asal muasal kehidupan dan meniscayakan eliminasi terhadap Tuhan (termasuk, seperti dikatakan Hukmi, Tuhan sebagai pencipta—bukankah ini juga pandangan Dawkins?), ya itu saintisme, sebab ia memonopoli wilayah yang tidak bisa dijawab dengan sains semata.
Ketiga. Masuk ke inti kritik Hukmi. Mungkin, ya, saya terlalu bodoh untuk bisa menangkap apa sebenarnya implikasi pembedaan ide dari praktik seperti yang dimaksud Hukmi dan apa pertentangan yang terjadi antara apa yang disebut Hukmi dengan ‘kausasi supranatural’ dan ‘kausasi natural’. Yang saya tangkap dari tulisan terakhir Hukmi ialah bahwa ia murni mengkritik ide, yakni nalar ontologis agama mengenai adanya kausasi supranatural.
Di sini saya cenderung pragmatis: sejauh ia tak menimbulkan masalah riil, ia tak masalah. Bagi saya, seperti saya sebut di tulisan sebelum ini, dan ini paradigma yang mendasari tulisan-tulisan saya: yang riil adalah praktik, sementara ide baru potensi. Ide baru menimbulkan masalah riil ketika sudah mengejawantah dalam praktik.
Tak ada masalah ketika orang berdoa (mengundang ‘kausasi supranatural’) agar Tuhan segera meredam wabah korona. Yang masalah adalah ketika berkerumun dan menguatkan potensi penyebaran virus korona. Kenyataan yang terakhir inipun tidak bisa disimpulkan merupakan akibat niscaya dari pandangan tentang adanya kausasi supranatural.
Lagipula—dan sekali lagi dengan paradigma dasar saya yang cenderung melihat pada yang praktis—antara apa yang Hukmi sebut dengan kausasi natural dan supranatural itu tak bisa seratus persen dipisahkan secara eksklusif. Ketika orang di rumah saja untuk mencegah penularan virus, sikap ini bisa mencakup nalar natural dan supranatural sekaligus. Ketika orang meyakini bahwa kausasi natural (di rumah saja) adalah modus atau cara kerja Tuhan (kausasi supranatural) untuk meredam penyebaran virus, orang itu sedang memakai dua nalar sekaligus.
Berbeda dengan Hukmi yang memisahkan keduanya (atau mungkin saya terlalu bodoh untuk bisa memahami “model argumentasi filsafat”?), saya menganggap adopsi terhadap kausasi natural adalah juga bagian dari agama, tentu jika tidak menegasikan kausasi supranatural itu. Dalam kerangka ini, aksi di rumah saja bisa dibaca sebagai ekspresi agama.
Karena itu, saya tetap merasa bahwa argumen saya di tanggapan pertama bukanlah argumen pasaran, sebab pertanyaanya yang saya ajukan di situ masih membayangi: masalah riilnya (dari adopsi terhadap nalar ontologis akan adanya kausasi supranatural) di mana?
Saya ingin menekankan satu hal ini, yang saya berharap bisa merangkum inti pendirian saya dari semua tulisan saya dalam rangkaian tanggapan dengan Hukmi ini: Keyakinan bahwa Tuhan adalah Kausa bagi segala sesuatu tidak serta merta mengimplikasikan penolakan pada kausasi natural.
Demikian. Sebagaimana saya sebut di muka, ini adalah tanggapan terakhir, Setelah ini, terlepas Hukmi mau menanggapi lagi atau tidak, silakan pembaca menilai sendiri.
*Artikel ini dimuat atas seizin dari penulis. Sumber asli: contingentbeing.wordpress.com
**Sumber gambar: saltandlighttv.org