Kritik Gus Aziz sedari awal keliru dalam dua hal. Pertama, ia membangun konstruksinya sendiri tentang pertentangan antara sains dan agama, yang sebenarnya tidak pernah saya maksudkan. Hal ini kemudian mengantarkannya pada falasi yang kedua, yakni menyeret bangunan argumentasi saya tentang sains ke dalam apa yang ia sebut dengan saintisme.
Baiklah. Saya akan mencoba memperjelas kembali argumentasi yang saya berikan terkait dengan relasi antara sains dan agama—saya capek sebenarnya memperjelas hal ini berulang kali, sebab tampaknya Gus Aziz tidak paham model argumentasi filsafat. Argumentasi yang saya ajukan dalam essai pertama tidak pernah berbicara tentang pertentangan vis-a-vis antara klaim sains dan klaim agama mengenai wabah Korona, sebagaimana diandaikan oleh Gus Aziz demikian:
Sebagai pembacaan terhadap dunia material, sains mengatakan bahwa virus korona masuk melalui pernapasan dan merusak paru-paru. Tidak ada (ajaran) agama yang menentangnya. Sains mengatakan virus korona menyebar melalui kontak dengan orang yang positif Covid-19 dan akan teramplifikasi potensi persebarannya melalui kerumunan orang. Tidak ada (ajaran) agama yang menentangnya. Tidak ada klaim ekplisit di kitab-kitab suci sumber ajaran agama yang menentang itu. Satu contoh yang bisa disebut pertentangan itu ialah, misalnya, sains menyebut bumi ini bulat, tapi ada tafsir keagamaan yang menyebut bumi ini datar—nah, ini baru bisa disebut pertentangan, dan dalam kasus demikian mengutip Barbour, Russell, atau Dakwins bisa relevan. Tapi model pertentangan macam ini tidak ada dalam isu wabah Covid-19.
(tanggapan pertama, paragraf 4)
Jelas bahwa argumentasi tersebut amatlah lugu, jika malah bukan bodoh. Argumentasi semacam itu hanya menunjukkan bahwa Gus Aziz sama sekali tidak memahami atau bahkan sekadar tahu inti perdebatan sains dan agama mengenai wabah. Problem utama dalam perdebatan antara sains dan agama mengenai wabah, kalau Gus Aziz tidak tahu, terletak pada perbedaan klaim ontologis perihal kausasi; sains melihatnya sebagai kausasi natural sementara agama melihatnya sebagai kausasi supranatural [saya menggunakan istilah supranatural untuk memperlawankannya dengan yang natural]—problem ini bisa dibaca lebih lanjut dalam bukunya Russell berjudul Religion and Science bab “Demonology and Medicine”. Jadi, perdebatan antara sains dan agama mengenai wabah itu sudah lama terjadi, bukan hasil imajinasi saya sendiri.
Nah, yang lucu adalah Gus Aziz kemudian menuduhkan pertentangan yang saya andaikan itu terletak pada kenyataan adanya sikap abai dari umat beragama terhadap himbauan physical-distancing. Logika yang saya pakai jelas tidak sesederhana itu. Begini; sikap etis itu selalu mengandaikan klaim ontologis dan epistemologis sekaligus. Misal, saya memilih berkumpul di masjid dan berdoa bersama karena saya yakin bahwa wabah ini datang dari Tuhan sebagai cobaan atau peringatan [kausasi supranatural—berdasar pada wahyu]; atau, saya memilih di rumah saja karena penularan virus terjadi dari manusia ke manusia tanpa peduli besaran pahala dan dosanya [kausasi natural—berdasar pada eksperimen]. Tepat pada klaim ontologis dan epistemologis itulah yang saya persoalkan, bukan pada sikap etis yang diambil—meskipun itu juga bermasalah.
Tampaknya, masalah utama Gus Aziz adalah tidak pernah bisa memisahkan antara ide dan praktik. Konsekuensinya, ketika saya menyebut istilah agama maka pengandaiannya akan selalu merujuk pada umat beragama—padahal Gus Aziz sadar perujukan ini bermasalah. Perujukan semacam itu jelas mendiskreditkan multidimensionalitas manusia. Ketika seseorang beragama, tidak melulu ia memakai nalar agamanya dalam segala hal. Di sinilah kemudian perbedaan sikap itu dimungkinkan terjadi di antara umat beragama itu sendiri, sebab ada intervensi nalar lain yang dipakai selain nalar [supranatural] agama; nalar politis, psikologis, atau saintifik.
Demikianlah kemudian menjadi jelas apa yang sebenarnya saya pertentangkan antara sains dan agama mengenai wabah, yakni nalar ontologisnya. Nalar ontologis ini tidak pernah gayut pada kenyataan faktual; apakah seseorang termasuk umat beragama atau tidak. Artinya, saya tidak peduli apakah yang membuat klaim itu seorang tokoh agama seperti Habib Luthfi atau seorang petani abangan yang mencangkul di sawah, selama klaim yang diberikan menggunakan nalar kausasi supranatural, saya menganggap itu klaim agama. Dan berlaku sebaliknya untuk nalar kausasi natural. Pertanyaan yang pasti muncul adalah mengapa kausasi supranatural identik dengan agama dan yang natural dengan sains, mengapa dua nalar itu harus dipisahkan? Butuh artikel lain untuk mengargumentasikan ini.
Ketidakmampuan memisahkan ide dan praktik ini juga mengantarkan Gus Aziz pada sebuah tulisan yang tergesa dan ngawur dengan judul Sains Tak Sama dengan Saintisme: Itu Masalahnya. Gus Aziz dengan repotnya membuktikan bahwa pertentangan sains dan agama dalam sejarahnya tidak pernah hitam-putih sebab dalam tubuh umat beragama sendiri juga terjadi perbedaan dalam menanggapi sebuah temuan saintifik. Jelas, pertentangan yang diandaikan oleh Gus Aziz melalui pembuktian historisnya itu adalah pertentangan antara otoritas keagamaan (Gereja) dan teori saintifik, bukan agama dan sains sebagai sebuah ide. Saya rasa kita cukup mafhum bahwa sebuah otoritas keagamaan tidak melulu menggunakan nalar agama dalam membuat klaim atau fatwa. Begitu juga dengan saintis, mereka tidak melulu menggunakan nalar sains mereka dalam segala hal; mereka bisa jatuh cinta seperti saya dan menangis seketika karena mendengar alunan musik—kalau saya memakai nalar sains dalam urusan percintaan, saya akan menganggap cinta saya ke pacar saya hanya reaksi kimia di otak saya; bisa diputusin saya nanti.
Di sinilah kemudian tuduhan Gus Aziz terhadap saya sebagai pengikut Dawkins keliru. Saya tidak pernah menyatakan bahwa evolusi kudu berkonsekuensi logis terhadap eliminasi (konsep) Tuhan—kecuali konsep Tuhan sebagai pencipta (plis jangan dibantah dengan interpretasi bahwa Tuhan menciptakan melalui hukum seleksi alam, akan jadi satu artikel lagi nanti). Ide utama saya adalah bahwa temuan-temuan sains dan teknologi seperti evolusi, hukum Newton, nanobiologi, epidemiologi dan sebagainya, memiliki implikasi besar terhadap bangunan konsep kita tentang Tuhan. Dulu sebelum hukum Newton lahir, Tuhan dipahami sebagai sesuatu yang selalu hadir dan berkuasa penuh dalam peristiwa-peristiwa dunia manusia; misalnya, Tuhan mengirimkan wabah kepada Firaun sebagai azab karena memperbudak bangsa Israel—mungkin jika dulu sudah ada epidemiolog, ceritanya akan berbeda. Kemudian konsep tersebut perlahan berubah menuju konsep Tuhan yang ditawarkan oleh para Deis, yakni alam memiliki mekanisme sendiri yang sudah bebas dari campur tangan Tuhan.
Perubahan-perubahan konsep semacam itu, menurut saya (plis jangan dibantah dengan “kan itu menurutmu”, bisa jadi panjang lagi nanti), menunjukkan bahwa Tuhan tidak lebih dari sekadar konsep yang kita atribusikan terhadap sesuatu yang tidak mampu kita jelaskan—kalau kata Nietzsche, Tuhan adalah bentuk dari kehendak kita yang selalu butuh kejelasan. Konsekuensinya, semakin banyak hal yang bisa dijelaskan oleh manusia melalui sains, maka ruang untuk Tuhan semakin sempit. Bukan tidak mungkin kan, jika suatu saat Tuhan tidak memiliki ruang lagi? Ya, mungkin skenario terburuknya hanya akan menjadi alternatif antidepresan bagi mereka yang gelisah mencari makna hidup seperti Gus Aziz.
Hal-hal Lain
Sekarang menyoal saintisme. Tuduhan bahwa saya berpaham saintisme jelas merupakan falasi manusia jerami. Istilah saintisme itu sendiri digunakan secara peyoratif oleh para agamawan untuk memperhadapkan sains dan agama dalam satu altar yang sama sehingga dapat dihakimi. Istilah tersebut dicomot dari kritik beberapa filsuf sains seperti Karl Popper terhadap kecenderungan absolutisme dalam sains. Jelas, saya tidak pernah mendasarkan argumentasi saya dalam pemahaman yang demikian. Berikut saya kutipkan kesimpulan saya di tulisan pertama:
Demikianlah kemudian, kita tidak seharusnya menggantungkan masa depan umat manusia kepada agama. Bahkan di tengah-tengah pandemi, kita tidak memiliki pilihan lain selain hanya percaya kepada otoritas sains; sekalipun ia tidak pernah dapat objektif dan bebas akan kepentingan, tapi itulah satu-satunya kebenaran yang manusia miliki sampai saat ini.
(Paragraf akhir tulisan pertama saya)
Pengakuan saya bahwa sains tidak pernah bisa objektif (saintisme menganggap sebaliknya) dengan jelas membatalkan tuduhan bahwa saya berpaham saintisme. Saya menolak menggantungkan masa depan umat manusia kepada agama dan memilih kebenaran sains tidak serta-merta mengartikan bahwa saya menerima sains sebagai satu-satunya pandangan hidup yang valid— maaf, saya bukan pembeli argumen science as the mirror of reality. Saya hanya menerima kebenaran pragmatis dari sains; bahwa ia benar sejauh ia berguna untuk kepentingan manusia. Tidak lebih dari itu.
Demikianlah kemudian tantangan yang diberikan oleh Gus Aziz untuk mencari para saintis yang berpaham saintisme jelas tantangan yang tidak berdasar. Bahkan Daniel Dennet, salah seorang neo-ateis kontemporer yang tergabung dalam lingkaran yang sama dengan Dawkins—yang dituduh oleh Gus Aziz sebagai penganut saintisme—menganggap bahwa istilah saintisme hanyalah sentimen orang-orang yang membenci para pencari fakta. Namun, jika memaksakan diri untuk mencari penganut saintisme, justru ia datang dari kubu yang berlawanan dengan Dawkins, yakni Mario Bunge (seorang fisikawan dan filsuf sains dari Argentina).
Sekali lagi, apakah Gus Aziz masih bersikukuh menuduh saya seorang penganut saintisme? Kenapa tidak sekalian saja pengikut Dajjal, biar kaffah iman Anda!
NB: Saya tidak ingin menanggapi lagi soal kehendak bebas, karena berkaitan dengan akidah. Saya tidak mau bertanggungjawab atas akidah orang lain.
*sumber gambar: exploringyourmind.com