Teori dan Model

Pembingkaian teoretis atas isu-isu dalam filsafat sains bukan hanya isu sentral dalam hubungan yang melibatkan teori, tetapi juga sering menjadi praasumsi partikular sifat umum dari teori.

Moh. Gema Gema
Moh. Gema Gema
Penulis adalah lulusan Fakultas Filsafat UGM yang memiliki minat fokus kajian dalam ranah metafisika dan filsafat sains

Beberapa dekade yang lalu Fred Suppe menegaskan bahwa “ini hanya perampingan eksagerasi untuk mengklaim bahwa filsafat sains tidak lebih dari analisis teori dalam peran usaha saintifik.”[i] Penegasan ini terbukti bahwa banyak topik dalam filsafat sains kontemporer berlanjut pada pembingkaian dalam pengertian teori. Isu tentang realisme dan instrumentalisme, misalnya, secara tipikal dimengerti sebagai pertanyaan apakah beberapa term dalam pernyataan saintifik dari sebuah teori mengacu pada objeknya atau hanya berperan sebagai fasilitator inferensi di antara beberapa klaim observasi. Pembingkaian ini, dan masih banyak isu lainnya, bukan hanya isu sentral dalam hubungan yang melibatkan teori, tetapi juga sering menjadi praasumsi partikular sifat umum dari teori.

Pertanyaannya kemudian apa itu teori? Menurut the Received View (RV) teori adalah sebuah kalkulus aksiomatik yang diberikan observasi parsial melalui sebuah himpunan aturan korespondensi; yaitu bahwa sebuah teori adalah sebuah entitas logiko-linguistik.[ii] Nama RV dipopulerkan pada tahuan 1970 oleh filsuf yang bernama Suppe. Pandangan ini berasal dari Eropa, secara partikular negara yang berbahasa Jerman, pada awal dekade abad ke-20. Proponen awalnya adalah filsuf yang mengklaim dirinya “filsuf saintifik” seperti Rudolf Carnap dan Hans Reichenbach yang kemudian disebut positivisme logis. Ide awal mereka sebelumnya adalah untuk menggunakan teori relativitas Einstein dan mekanika kuantum sebagai basis untuk analisis sifat alamiah ruang, waktu, dan kausalitas. Konsep abstrak ini dimengerti secara saintifik, melalui sebuah analisis teori saintifik yang apropriatif, dan bukan melalui proses penalaran ekstra-saintifik, seperti yang diadvokasi oleh para filsuf neo-Kantian yang kemudian mendominasi filsafat Jerman.

Jika pemahaman kategori ontologis dasar seperti ruang dan kausalitas adalah wilayah sains alam, maka apa yang tersisa bagi filsafat? Filsafat sains mengatakan bahwa filsafat menjadi analisis logis dari konsep dan teori saintifik. Sebagaimana yang dikatakan oleh Carnap bahwa filsafat harus digantikan oleh analisis logis atas sains—yaitu bahwa dengan analisis logis konsep dan kalimat dalam sains, untuk logika sains tidak lebih dari sintaksis logis dan bahasa sains. Analisis ini tidak empiris, tapi tugas (analisis) logis. Analisis logis di sini memiliki makna yang spesifik. Latar belakangnya disediakan oleh formalisasi geometri Hilbert, aksiomatisasi aritmatika Peano, dan reduksi matematika pada logika oleh Russell dan Whitehead. Maka dari itu dapat diasumsikan bahwa untuk tujuan analisis filosofis, setiap teori saintifik dapat secara ideal direkonstruksi sebagai sistem aksiomatik yang diformulasikan dalam bingkai logika Russell. Analisis lebih jauh dari sebuah teori yang partikular dapat dilakukan sebagai investigasi logis dari rekonstruksi logis idealnya. Klaim tentang teori secara umum adalah sebagai klaim tentang beberapa sistem logis.[iii]

Dalam geometri Hilbert dan logika Russell usaha untuk membedakan antara term logis dan non-logis dibuat. Maka dari itu simbol “&” mungkin digunakan untuk mengindikasikan hubungan logis dari konjungsi antara dua pernyataan, sedangkan “P” dimaksudkan sebagai sebuah predikat non-logis. Seperti dalam kasus geometri, bahwa yang mendasari teori saintifik adalah sebuah struktur logis yang murni formal yang ditangkap dalam sebuah himpunan aksioma yang diformulasikan dalam bahasa formal tertentu. Sebuah teori geomteri, contohnya, mungkin termasuk di dalamnya sebuah aksioma yang berdiri untuk setiap Ps yang jelas (distinct)—yaitu titik. p dan q, terdapat sebuah L yang unik sedemikan rupa O(p, l) dan O(q, l), di mana O adalah relasi dua-tempat antara Ps dan Ls (p berdiri pada l). Aksioma demikian dapat dikatakan untuk menyediakan definisi implisit dari makna predikat non-logis. Apapun Ps dan Ls, Ps dan Ls harus mencukupi relasi formal yang terberi oleh aksioma.[iv]

Dari sudut pandang empirisis term non-logis dari sebuah teori yang didefinisikan secara implisit tidaklah cukup; term tersebut juga membutuhkan interpretasi empiris. Interpretasi ini disajikan oleh “aturan korespondensi” yang secara eksplisit menghubungkan beberapa term non-logis dari sebuah teori dengan term yang maknanya dipraasumsikan terberi secara langsung melalui “pengalaman” atau “observasi.” Jenis aturan korespondensi yang paling sederhanalah yang akan diambil untuk diaplikasikan pada term yang bermakna secara observasional, seperti “larut”, secara niscaya maupun cukup untuk aplikasibilitas term teoretis, sedemikian rupa “dapat dilarutkan”. Aturan korespondensi yang demikian akan menyediakan interpretasi empiris yang penuh dari term teoretis.[v]

Formulasi definitif dari pandangan klasik diajukan oleh Carnap, yang memisahkan kosa-kata non-logis dari sebuah teori pada komponen teoretis dan observasional.[vi] Term observasional dipraasumsikan diberikan interpretasi empiris penuh, yang meninggalkan term teoretis dengan hanya interpretasi empiris tidak langsung yang disediakan oleh definisi implisitnya dalam sebuah sistem aksioma.   

Motivasi yang mendasari distingsi term observasional dengan term teoretis adalah gagasan bahwa pernyataan yang secara langsung dapat diobservasi tidak problematik terhadap kebenaran karena dapat diverifikasi secara langsung menggunakan indera secara empiris, sedangkan term teoretis problematik terhadap kebenaran karena tidak dapat diverifikasi secara langsung menggunakan indera. Menurut pandangan RV kebenaran saintifik harus didasarkan pada verifikasi langsung secara empiris. Karena itulah dikotomi term observasional dan term teoretis paralel dengan dikotomi antara entitas atau atribut yang teramati dan yang takteramati. Maka dari itu dikotomi ini problematik karena terdapat entitas atau atribut pada waktu t dapat diobservasi sedangkan pada t’ tidak.[vii] Misalnya tempertaur gas pada kehangatan 15⁰ dapat kita rasakan sedangkan pada 276⁰ tidak karena suhu tersebut terlalu panas untuk kita rasakan.

Karena distingsi antara term observasional dan term teoretis ini probelmatik maka distingsi ini tidak esensial dalam praktik saintifik dan juga dalam analisis teori saintifik.[viii] Dalam praktik saintifik, saintis tidak memisahkan pernyataannya pada distingsi di atas karena dalam penggunaan dasar linguistik tidak ada bifurkasi alamiah dari term pada teoretis dan observasional yang koeksetensif dengan distingsi antara atribut atau entitas teramati dan yang takteramati.

Yang menjadi problem bagi RV atau pendekatan sintaksis ini bukan hanya problem distingsi antara term observasional dan teoretikal tetapi juga problem bahasa. Karena teori dianggap sebagai entitas logiko-linguistik maka perubahan dalam bahasa juga mengakibatkan perubahan pada teori. Misalnya mekanika Newtonian dalam bahasa Inggris dan dalam bahasa Indonesia akan berbeda karena keduanya memiliki linguistik yang berbeda. Tidak hanya itu, jika aturan korespondensi berubah, maka kita juga mendapatkan teori baru, karena aturan korespondensi bersifat kosntitutif terhadap struktur teori.[ix]

Selain itu, dalam kenyataan praktiknya saintis menggunakan jenis model yang berbeda, dari pada menggunakan teori per se. Hal ini menjadi problem bagi RV karena struktur model harus sama dengan struktur teori yang pada kenyataannya berbeda dalam praktiknya. Lebih jauh, konstruksi model secara aktual independen dari teori dalam hal metode dan tujuannya. Dalam artian tertentu model juga otonom dari teori dalam cara bagaimana model memediasi antara teori dan fenomena.[x]

Berdasarkan pada problem di atas maka jawaban untuk pertanyaan “apa itu teori saintifik?” tidak adekuat maka dari itu RV harus ditinggalkan. Karena jawaban dari RV tidak adekuat maka kita harus bertanya kembali, apa itu teori saintifik? Jawaban selanjutnya berasal dari pendekatan semantik atau pandangan model-teoretik. Berdasarkan pada pandangan ini teori saintifik tidak lain adalah kumpulan model. Gagasan utamanya adalah bahwa teori dapat dikarakterisasikan oleh formulasi linguistiknya yang dapat diinterpretasikan secara semantik, dalam artian model-model tersebut. Dalam artian ini teori dapat dilihat sebagai entitas ekstra-linguistik dan teori yang terindividuasi sama dengan individuasi dalam sains itu sendiri.[xi]

Dalam pandangan semantik, jantung dari sebuah teori adalah sebuah struktur teori ekstralinguistik. Struktur teori secara berbeda dikarakterisasikan sebagai predikat himpunan-teoretis (Suppes dan Sneed), ruang keadaan (Beth dan van Fraassen), dan sistem relasional (Suppe). Tanpa menghiraukan jenis entitas matematis macam apa dari struktur teori dapat diidentifikasikan dengan, mereka melakukan hal yang sama—menspesifikasi sistem transisi keadaan yang diperbolehkan dalam keseharian. Contohnya, dalam kasus mekanika partikel klasik, sebuah sistem memiliki tubuh n, setiap sistem tersebut dikarakterisasikan oleh tiga posisi dan tiga variabel koordinat momentum; nilai simultan pada waktu t dari variabel 6n ini menentukan keadaan dari sistemnya, dan hukum dari teori menspesifikasikan pola perubahan-dari-keadaan. Jika satu merepresentasikan keadaan seperti titik dalam ruang 6n-dimensi, struktur teorinya ditafsirkan sebagai sebuah ruang keadaan yang dikonfigurasi (van Fraassen). Yang satunya lagi juga dapat menafsirkan struktur transisi keadaan sebagai sebuah sistem relasional yang terdiri dari himpunan keadaan yang mungkin sebagai sebuah domain pada relasi sekuensi yang ditentukan (Suppe). Dengan mendefinisikan predikat himpunan-teoretis (Suppes, Sneed), kita dapat menspesifikasikan sebuah ruang keadaan, sebuah sistem relasional, atau beberapa struktur matematis lainnya atau kelas dari struktur.[xii]

Pandangan ini diinisiasi oleh Evert Beth yang terinspirasi oleh karya-karya Alfred Tarski dalam semantik formal dan juga karya-karya von Neumann dalam fondasi mekanika kuantum.[xiii] Dua puluh tahun kemudian pendekatan Beth dikembangkan oleh Bas van Fraassen, Patrick Suppes, Frederick Suppe, dan Joshep Sneed. Untuk mengelaborasi perbedaan pendekatan sintaksis dari pandangan klasik dan pendekatan semanik, perhatikan teori geometris berikut.[xiv]

A1: Untuk setiap dua garis, paling tidak terdapat satu titik di antara keduanya.

A2: Untuk setiap dua titik, terdapat satu garis di antara keduanya.

A3: Pada setiap garis terdapat paling tidak dua titik.

Dalam RV pertama-tama kita harus merekonstruksi aksioma ini ke dalam bahasa formal tertentu, maka dari itu mengintrodusir quantifier dan simbol logis lainnya. Sedangkan dalam pendekatan semantik aksioma ini dikonstruksi dalam bahasa sehari-hari. Selain itu dalam RV kita juga harus menetapkan aturan korespondensi yang sesuai. Kontras dengan nama pendekatan “semantik” pendekatan ini tidak terlalu memerhatikan aspek bahasa karena teori adalah entitas ekstra-linguistik. Fokus pandangan semantik adalah pada pemenuhan aksioma. Pemenuhan ini dilakukan oleh model dari aksioma. Jadi dalam pendekatan semantik pergantian fokus adalah dari aksioma sebagai entitas linguistik pada model yang merupakan entitas non-linguistik.[xv] Maka dari itu dalam pendekatan semantik model memiliki peran yang sangat krusial dalam praktik saintifik. Selain itu pandangan semantik merupakan usaha sistematik pertama yang berusaha mengeksplor natur dan fungsi model matematis dalam sains untuk memahami representasi saintifik dari fenomena.[xvi]

Terdapat tiga jenis model dalam sains. Yang pertama adalah model ikonik atau skala. Model jenis ini merepresentasikan sistem targetnya dengan menampilkan gambaran fisik secara ideal dan abstrak, misalnya makro-model double helix dari DNA. Yang kedua adalah model analogis. Model analogis merepresentasikan target sistemnya dalam artian analogis yang didasarkan pada relasi kemiripan antara aspek dari model dan aspek dari targetnya, misalnya model bola biliar dari sebuah gas. Dan yang ketiga adalah model matematis atau model abstrak, yang merepresentasikan sistem targetnya dalam bahasa tertentu, yaitu bahasa matematis, contohnya seperti model klasik oskilator harmonik yang sederhana dari sistem masa-pegas. Dari ketiga model ini representasi adalah fungsi umumnya, dan idealisasi-abstraksi adalah kemudi proses konseptual di mana fungsi ini dibawa.[xvii]

Pandangan semantik berusaha memahami fungsi representasi dari model dengan memandang konstruksi dan peran model hampir sama sejajar dengan teori. Dalam pandangan ini teori bukan linguistik, tetapi lebih abstrak, entitas himpunan-teoretik—model dari formulasi linguistiknya. Dengan demikian teori adalah sebuah kumpulan model: sistem yang memenuhi hukum teoretis yang biasa diasosiasikan dengan teori saintifik. Maka dari itu pandangan ini sering juga disebut pandangan model-teoretis. Sedangkan term semantik dari nama pandangan ini digunakan dalam artian semantik formal atau teori model dalam logika matematis. Karena itulah pandangan semantik menafsirkan teori sebagai apa yang diformulasikan yang diberikan sebuah interpretasi semantik (formal).[xviii]

Para filsuf yang memiliki pandangan ini memiliki perbedaan terkait sifat alamiah model. Untuk beberapa model, merupakan struktur yang memenuhi aksioma tertentu, juga termasuk pemetaan dari elemen sebuah formulasi linguistik pada elemen strukturnya. Bayangkan, sebagai contoh, sebuah fungsi yang menetapkan subhimpunan dari objek pada predikat satu-tempat, relasi dua-tempat, dan sebagainya.[xix] Yang lainnya menetapkan bahwa kita tidak perlu memikirkan model sebagai yang memasukan setiap interpretasi dari sebuah kalimat. Relasi antara formulasi linguistik dan modelnya adalah satu definisi. Dalam artian ini model adalah yang memenuhi, sebagai contoh, persamaan matematis dari sebuah teori kuantitatif, beberapa persamaan menjadi alat linguistik; tapi teori pada dirinya sendiri adalah model-model dalam pengertian struktur “murni”: entitas abstrak dan relasi di antaranya.[xx] Karena itulah dalam pandangan semantik teori independen dari bahasa. Independensi di sini menyelamatkan kita dari kekhawatiran bahwa satu dan teori yang sama yang diberikan formulasi linguistik yang berbeda—yaitu diekspresikan dalam bahasa yang berbeda—harus dilihat sebagai teori yang berbeda. Dalam artian inilah, dalam pandangan semantik, model lebih sesuai dalam merepresentasikan dunia atau fenomena daripada koleksi sebuah kalimat.


[i] Lih. Fred Suppe, The Structure of Scientific Theories, (Urbana: University of Illionis Press, 1974),  hal. 3.

[ii] Lih. Newton Da Costa dan Steven French, Science and Partial Truth, (Oxford: Oxford University Press, 2003), hal. 23.

[iii] Lih. Rondald N. Giere,“Theories” dalam W. H. Newton-Smith (ed.), A Companion to the Philosophy of Science, (Massachusetts: Blackwell Publishers Inc., 2001), hal. 515-524.

[iv] Lih. Ibid, hal. 516.

[v] Lih. Ibid.

[vi] Lih. Rudolf Carnap,“The Methodological Character of Theoretical Concept” dalam H. Feigl dan M. Scriven (ed.),  Minnesota Studies in the Philosophy of Science, vol. 1: The Foundations of Science and the Concepts of Psychology and Psychoanalisis, (Minneapolis: University of Minnesota Press, 1956).

[vii] Lih. Fred Suppe, “What’s wrong with the Received View on the Structure of Scientific Theories?” dalam Philosophy of Science, Vol. 39, No. 1, (1972), hal. 1-19.

[viii] Lih. Ibid, hal. 11.

[ix] Lih. Steven French, “The Structure of Theories” dalam Martin Curd dan Stathis Psillos (ed.), The Routledge Companion to Philosophy of Science, (London, New York: Routledge, 2014), hal. 303.

[x] Lih. Ibid, hal. 302.

[xi] Lih. Ibid, hal. 304; Fred Suppe, The Semantic Conception of Theories and Scientific Realism, (Urbana, Chicago: University of Illionis Press, 1989).

[xii] Lih. Ibid, Suppe, hal. 4.

[xiii] Lih. Ibid, hal. 6.

[xiv] Lih. Bas van Fraassen, Laws and Symmetry, (Oxford: Oxford University Press, 1989), hal. 218-220.

[xv] Lih. Loc.Cit., Giere, hal. 518.

[xvi] Lih. Demetris Portides, “Models” dalam Martin Curd dan Stathis Psillos (ed.), The Routledge Companion to Philosophy of Science, (London, New York: Routledge, 2014), hal. 431.

[xvii] Lih. Ibid, hal. 429.

[xviii] Lih. Anjan Chakravartty, “The Semantic or Model-Theoretic View of Theories and Scientific Realism” dalam Synthese, Vol. 127, (2001), hal. 325-326; Fred Suppe, The Semantic Conception of Theories and Scientific Realism, (Urbana, Chicago: University of Illionis Press, 1989), hal. 4.

[xix] Lih. Ronald N. Giere, Explaining Science: A Cognitive Approach, (London: University of Chicago Press, 1988), hal.  47-48.

[xx] Lih. Steven French dan James Ladyman, “Reinflating the Semantic Approach” dalam International Studies in the Philosophy of Science, Vol. 13, (1999), hal. 114-118.

Bacaan Lainnya