Suatu waktu seorang mahasiswa filsafat bertanya dalam dirinya, “Apa yang membuat diriku menjadi diriku, dan bukan yang lainnya?”. Pertanyaan ini mendorongnya menelusuri lorong sempit di perpustakaan. Entah karena takdir atau hanya kebetulan, ia tak sengaja menemukan artikel berjudul “Identity and Necessity” karya Saul Kripke, seorang filsuf kenamaan di dunia filsafat analitik. Namun, bagi mahasiswa tersebut, Saul Kripke hanya seorang filsuf biasa, bahkan satu-satunya Saul yang ia kenal saat itu adalah Saul Goodman, pengacara cerdik di serial Breaking Bad. Artikelnya yang tidak lebih dari 20 halaman membuat sang mahasiswa mengira itu hanya pengenalan semata, tidak lebih dari ringkasan ulang pemikiran filsuf-filsuf besar. Sekitar 30 menit telah berlalu sejak ia membaca artikel Kripke dan tiap menit yang dilewati diisi dengan kerutan dahi dan garukan di kepala. “Mungkin segelas kopi dan sebatang rokok bisa menjernihkan kepala,” pikirnya. Namun, kenyataan berkata lain, dalam tiga hari selanjutnya yang ia dapatkan hanya kebingungan dan sakit kepala.
Memahami karya Kripke bagi kebanyakan mahasiswa filsafat di Indonesia (di UGM khususnya) menjadi rintangan yang cukup terjal karena pendidikan yang diemban sarat dengan tradisi kontinental. Tradisi yang bertolak belakang dengan gaya tulisan Kripke yang lahir dari tradisi analitika yang penuh dengan rumus logika. Karya-karya Kripke berfokus pada permasalahan semantik, modalitas, dan logika. Lucunya kebanyakan dari karyanya merupakan transkrip kuliahnya, Kripke sendiri hanya menulis beberapa artikel ilmiah. Mungkin inilah alasan karya-karya Kripke dipandang intuitif untuk dibaca, walau bergumul dengan topik yang sangat formal. Membaca Kripke dalam pengalaman penulis selalu memberikan kesederhanaan dalam kerumitan permasalahan filsafat. Tentu untuk memahaminya membutuhkan waktu yang tidak sebentar karena betapa kaya argumen yang ditawarkan Kripke. Filsafat yang diajukan Kripke harus selalu menempatkan dirinya pada common sense dan ketelitian.
Kripke memulai perjalanan intelektualnya sejak jenjang SMA dengan menerbitkan teorema keutuhan logika modal. Dari sini Kripke melanjutkan kuliah jurusan matematika di Harvard hingga 1962. Di tahun-tahun berikutnya, Kripke mulai mendalami filsafat dan menerbitkan “Identity and Necessity” pada tahun 1971. Di sini Kripke pertama kali mengembangkan kerangka semantiknya yang menempatkan dunia kemungkinan dalam analisis status modal identitas. Dipengaruhi oleh karya Ruth Barcan Marcus (1947) yang menyatakan nama adalah label tanpa konten deskriptif, Kripke berpendapat identitas/predikasi dari nama dapat bersifat kontingen karena dalam dunia kemungkinan predikat tersebut dapat mendesignasi objek yang lain (Kripke, 1971). Contoh pada kalimat:
A) Jokowi adalah Presiden ke-7 Indonesia.
Predikat “Presiden ke-7 Indonesia” bersifat kontingen karena ada dunia kemungkinan yang di dalamnya Presiden ke-7 Indonesia bukanlah Jokowi. Di sisi lain Kripke juga memperlihatkan bahwa nama pribadi (proper name) adalah sebuah keniscayaan (necessity). Pada contoh kalimat A nama Jokowi adalah sebuah keniscayaan karena dalam semua dunia kemungkinan, nama Jokowi hanya mengacu pada satu orang (terlepas dari berapa banyak orang yang bernama Jokowi, namun Jokowi yang dimaksud hanya mengacu pada dirinya). Kripke menjelaskan keniscayaan nama Jokowi tidak tergantung pada predikat kontingen “Presiden ke-7 Indonesia.” Nama Jokowi tetap mengacu pada orang yang sama walau di salah satu dunia kemungkinan ia adalah tukang kayu. Gagasan keniscayaan dari nama pribadi ini dikembangkan Kripke menjadi rigid designator atau penanda tegar dalam magnum opus-nya, Naming and Necessity (1972).
Kripke berargumen bahwa nama pribadi sebagai penanda tegar tidak memiliki makna Fregean (sense). Secara singkat, Frege memandang bahwa sebuah terma yang mendesignasi memiliki konten semantik, atau dengan kata lain nama diasosiasikan dengan deskripsi. Argumen Frege ini dibawa lebih jauh oleh Russell (1905) yang menjadikan nama identik dengan deskripsinya. Kripke melihat argumen deskriptivis ini lemah dalam menjelaskan status modal dari nama. Misal pada contoh:
B1) Hesperus adalah bintang senja.
B2) Fosforus adalah bintang fajar.
B3) Hesperus dan Fosforus adalah planet Venus.
Menurut Russel ketiga kalimat di atas merupakan pernyataan identitas. Namun kalimat B3 menjelaskan bahwa Hesperus dan Fosforus adalah hal yang sama, yaitu planet Venus. Jika argumen deskriptivis diterima, maka nama Hesperus dan Fosforus dapat disubtitusi satu sama lain, sehingga kalimat B1 dapat berbunyi: Fosforus adalah bintang senja. Hal ini dapat menuntun pada pernyataan:
B4) Bintang fajar adalah bintang senja.
Ini merupakan kesalahan karena nama di kalimat B1 dan B2, walau mengacu pada objek yang sama, memiliki makna yang berbeda dan tidak dapat disubtitusi satu sama lain. Di sini Kripke menggunakan gagasan modal dan menjelaskan bahwa kalimat B1 dan B2 bersifat kontingen, sedangkan B3 bersifat niscaya. Namun, gagasan modal ini tidak dapat dilepaskan dari kategori epistemik yang di dalam skema Kantian keniscayaan dianggap sinonim dengan apriori, dan kontingen sinonim dengan aposteriori. Kripke menolak skema Kantian ini dan membuktikan bahwa keniscayaan dapat bersifat aposteriori dengan menggunakan contoh paling terkenalnya:
C) Air adalah H2O.
Kalimat di atas adalah pernyataan identitas yang membuatnya niscaya. Namun, pengetahuan komposisi air (H2O) didapatkan secara aposteriori melalui berbagai eksperimen. Dengan menggunakan argumen yang sama, Kripke memperlihatkan kalimat B1 dan B2 adalah kontingen aposteriori dan bukan pernyataan identitas, melainkan hanya deskripsi kemungkinan observasi. Sedangkan B3 adalah pernyataan identitas yang diketahui melalui observasi (aposteriori niscaya). Ini menjelaskan kalimat B1 dan B2 tidak dapat disubtitusi satu sama lain karena dependen dengan kondisi kebenaran yang spesifik (observasi dilakukan pagi atau sore hari).
Kembali pada argumen penanda tegar, nama pribadi dikatakan penanda tegar jika tidak memiliki makna Fregean dan jika dan hanya jika mendesignasi objek yang sama dalam semua dunia kemungkinan. Kripke menekankan dunia kemungkinan yang dimaksud di sini tidak bersifat total dan lebih mirip sebagai situasi kontrafaktual. Pada contoh kalimat C, misalnya, Air menjadi penanda tegar karena jika dalam dunia kemungkinan terdapat cairan yang jernih, dapat diminum, mendidih pada 100 celcius dan membeku pada 0 celcius, tetapi bukan H2O maka hal tersebut bukanlah air (di sini dunia kemungkinan mengasumsikan hukum alam yang sama).
Saul Kripke tidak hanya mencetuskan gagasan penanda tegar. Dalam rentangan bibliografinya yang terhitung sedikit dibandingkan filsuf kontemporer lain, Kripke memiliki banyak ide-ide lain yang mendobrak pemahaman semantik dan logika tradisional. Namun kini Kripke telah berpulang, menyisakan banyak kebingungan di pikiran mahasiswa filsafat yang terus-menerus menggaruk kepala saat membaca karya-karyanya. Tapi setidaknya ada contoh baru yang bisa digunakan untuk menjelaskan penanda tegar: Saul Kripke adalah filsuf analitik terbesar di akhir abad 20. Kalimat ini adalah keniscayaan, yang di semua dunia kemungkinan ia adalah benar.
(Penulis tidak mendukung segala pelanggaran-pelanggaran seksual dan perbuatan tidak menyenangkan yang dituduhkan ke Kripke. Penulis memisahkan artis dan karyanya. Karya Kripke dipandang penulis merupakan salah satu terobosan di filsafat dan penting untuk dipelajari.)