Semiotika dan Ilmu Sosial

Apa yang saya sampaikan hanyalah berupa kekhawatiran—untuk tidak menyebutnya peringatan—bahwa ilmu sosial akan tidak baik-baik saja jika model-model analisis semiotik seperti yang dilakukan kedua penulis yang saya sebutkan dalam tulisan ini menjadi arus utama.

Taufiqurrahman
Taufiqurrahmanhttp://antinomi.org
Head of Metaphysics and Mind at ZENO Centre for Logic and Metaphysics.

Ada gejala yang tidak sehat pada beberapa ilmuwan sosial di Indonesia, yaitu kecenderungan menggunakan analisis semiotik secara tidak proporsional. Gejala tersebut tampak, misalnya, pada dua artikel yang terbit di harian paling prestisius di negeri ini: “Citayam, Bukan Sekadar ‘Fashion’ Jalanan” (Kompas, 29/07/22) oleh Sonny Eli Zaluchu dan “Merawat Merah Putih” (Kompas, 06/09/22) oleh Yasraf A. Piliang.

Saya tentu tidak dapat menggeneralisasi gejala yang tidak sehat itu terjadi pada seluruh ilmuwan sosial di Indonesia, mengingat ilmu sosial sendiri merupakan bidang penyelidikan yang sangat luas dan cabang-cabangnya juga beragam. Namun, gejala itu saya amati ternyata tidak terbatas hanya pada dua penulis yang saya sebutkan di atas. Selain pada mereka berdua, kita juga dapat menemukan gejala serupa pada karya beberapa ilmuwan sosial Indonesia lainnya, terutama yang banyak mewarnai diskursus publik populer. Akan tetapi, untuk kepentingan tulisan ini, saya hanya akan membahas dua tulisan tersebut.

Analisis Arbitrer-Superfisial

Analisis semiotik adalah analisis atas pembuatan dan penggunaan tanda dalam pengertiannya yang paling luas. Tidak hanya kata-kata, tanda yang menjadi objek analisis semiotik juga mencakup gambar, simbol, suara, gestur, dan konten-konten visual lain yang bertebaran di ruang-ruang publik dan media sosial. Penggunaan analisis semiotik ini, jika digunakan secara tidak proporsional, justru akan mengarah pada analisis arbitrer dan cenderung melebih-lebihkan suatu fenomena sosial. Persis hal itu yang terjadi pada dua tulisan yang disebutkan di atas.

Sonny Eli Zaluchu, seorang calon doktor Sosiologi Agama dari Universitas Kristen Satya Wacana Salatiga, membuat satu catatan menarik tentang satu fenomena sosial anak muda di kawasan Jakarta Pusat, yang kemudian dikenal sebagai “Citayam Fashion Week” (CFW). Melalui satu pembacaan semiotik atas tanda-tanda sosio-kultural yang muncul di CFW, Sonny Eli Zaluchu dalam tulisan tersebut menyatakan bahwa “CFW adalah sebuah produk revolusi sosial yang mencoba melawan kemapanan […], melawan raksasa-raksasa ekonomi yang selama ini mungkin telah memarjinalkan mereka dan orang-orang seperti mereka.”

Catatan itu menarik bukan karena ia berhasil menawarkan satu penjelasan yang unik dan kokoh, melainkan semata karena ia melebih-lebihkan satu fenomena sosial yang sebenarnya biasa saja dan terdapat banyak preseden sebelumnya. Buktinya: sampai kini CWF hilang dari semesta pembicaraan publik, tak ada revolusi sosial apa pun yang terjadi seperti yang disebutkan Sonny. Apa yang terjadi justru sebaliknya: CWF diapropriasi, alih-alih diapresiasi, oleh sekelompok elite ekonomi-politik yang dalam asumsi Sonny hendak dilawan. Apakah revolusi Citayam gagal? Tentu saja tidak—sebab sejak awal ia memang tidak dimaksudkan sebagai sesuatu yang revolusioner. CFW adalah fenomena budaya populer biasa yang muncul secara spontan untuk kemudian menghilang. Ariel Heryanto dalam “Budaya Pop” (Kompas, 06/08/2022) juga sudah menegaskan hal ini.

Apa yang sekarang dikenal sebagai CFW itu awalnya adalah kebiasaan anak remaja tanggung nongkrong di kawasan Dukuh Atas. Kebiasaan itu tidak lahir dari satu ide besar yang muluk-muluk, seperti revolusi sosial atau melawan kapitalisme, tetapi hanya usaha menikmati hari-hari yang tak mudah dengan riang gembira khas kaum kelas bawah. Sebelum CFW muncul sebagai sumber pemberitaan nasional, kita sering melihat konten-konten Tiktok yang menampilkan sepasang muda-mudi dengan busana “gaul” diwawancarai. Mereka datang ke sana sekadar untuk berkencan, jalan-jalan, saat tempat-tempat elite yang lain tak bisa mereka akses dengan mudah. Itu sesuatu yang sebenarnya sangat sederhana, tapi seorang ilmuwan sosial secara arbitrer melebih-lebihkannya.

Pandangan ini tentu bukan untuk menafikan bahwa muda-mudi seperti mereka tidak punya kesadaran kelas sama sekali. Mereka sangat mungkin sadar bahwa mereka adalah bagian dari kelas bawah yang tak diuntungkan oleh kenyataan ekonomi-politik yang ada. Namun, mengatakan bahwa semua yang mereka lakukan dan tanda-tanda visual yang mereka tampilkan adalah bagian dari sebuah perlawanan sosial jelas merupakan sebuah kegenitan intelektual yang menggelikan. Itu persis sama seperti orang yang tidak bisa membedakan antara kedipan mata (wink) sebagai sebuah tindakan memberi isyarat dan kedipan mata (blink) sebagai sebuah perilaku biasa pada manusia normal. Seseorang bisa mengedipkan matanya kapan saja dan di mana saja, tanpa maksud apa-apa. Namun, karena ilmuwan sosial tersebut mengira setiap kedipan mata adalah isyarat yang punya makna, kedipan mata yang sebenarnya tak punya maksud apa-apa itu pun diinterpretasi sedemikian rupa, sampai dikaitkan dengan hal-hal yang bahkan belum pernah dipikirkan oleh orang yang melakukannya. Persis seperti itulah apa yang dilakukan oleh ilmuwan sosial yang menggandrungi semiotika.

Hal itu juga yang dilakukan oleh Yasraf A. Piliang, seorang Pemikir Sosial dan Kebudayaan dari Institut Teknologi Bandung. Dalam tulisannya tersebut, Yasraf A. Piliang juga membuat analisis arbitrer dan cenderung melebih-lebihkan atas acara Kirab Merah Putih (KMP) yang dilaksanakan di Kawasan Bundaran Hotel Indonesia pada Minggu (28/08) pagi. Hanya karena membentangkan Bendera Merah Putih sepanjang 1.700 meter dan dihadiri oleh orang dari berbagai kalangan, acara KMP itu oleh Yasraf A. Piliang disebut sebagai “sebuah langkah besar, mendasar, dan patriotik dalam sejarah bangsa”. Tidak hanya itu, Yasraf dengan penuh keyakinan juga menegaskan bahwa KMP adalah “upaya ‘ideologis-simbolis’ mentransformasi anak bangsa dari subjek perpecahan ideologis menjadi subjek kesatuan ideologis dalam keanekaragaman”.

Yasraf membawa serta banyak sekali konsep dalam semiotika, seperti sumber daya tanda dan wacana. Namun, karena konsep-konsep tersebut tidak digunakan secara proporsional, analisisnya berakhir menjadi analisis yang arbitrer dan bahkan superfisial. Tak ada bukti kuat yang bisa disampaikan Yasraf untuk menunjukkan bahwa acara KMP itu bukan hanya acara seremonial belaka yang tak akan punya pengaruh apa-apa pada kondisi sosial dan politik masyarakat Indonesia. Yasraf terjebak pada tataran superfisial dari acara KMP. Ia hanya melebih-lebihkan sesuatu yang tampak dari acara itu, tanpa melihat apakah di balik sesuatu yang tampak tersebut benar-benar ada langkah substansial untuk menjaga persatuan. Ini tentu sangat berbahaya bagi pemahaman masyarakat, terutama orang awam. Seolah-olah hanya dengan menghadirkan orang dari beragam latar belakang dan kemudian membentangkan bendera dengan ukuran amat besar, kita sudah melakukan suatu terobosan besar yang akan berpengaruh luar biasa pada upaya menjaga persatuan.

Jika analisis-analisis semacam itu terus diproduksi dan disebarluaskan, terutama oleh media besar penjaga gerbang utama pengetahuan publik seperti Kompas, maka standar dan ekspektasi masyarakat tentang perubahan sosial pada akhirnya juga akan berubah menjadi superfisial. Cukup dengan menampilkan simbol-simbol sosial dan budaya tertentu, masyarakat akan merasa sudah melakukan perubahan sosial yang mendasar. Padahal nyatanya tidak demikian.

Analisis Semiotik dan Ekses Negatif

Di atas saya membuat klaim lemah bahwa penggunaan analisis semiotik yang tidak proporsional akan membawa pada analisis arbitrer dan cenderung melebih-lebihkan. Apakah itu berarti, jika digunakan secara proporsional, analisis semiotik dapat menghindarkan ilmuwan sosial dari kearbitreran dan subjektivitas yang cenderung melebih-lebihkan? Saya ragu untuk menjawab ‘ya’. Akan tetapi, saya punya alasan untuk menjawab ‘tidak’.

Semiotika, secara khusus yang berkembang melalui jalur Ferdinand de Saussure, memang menekankan sifat arbitrer tanda. Artinya, tidak ada alasan intrinsik, natural, dan niscaya mengapa sebuah pananda (signifier) harus dikaitkan dengan petanda (signified) tertentu. Hubungan antara penanda dan petandanya dijalin secara suka-suka, tanpa dideterminasi oleh sifat-sifat intrinsik yang ada pada keduanya. Penanda apapun dapat dikaitkan dengan petanda apapun; demikian juga petanda apapun dapat ditandai oleh penanda apapun. Untuk memperkecil kemungkinan misrepresentasi atas semiotika (lebih tepatnya: semiologi) Saussurean, saya coba kutip pernyataan Saussure sendiri:

The bond between the signifier dan the signified is arbitrary. Since I mean by sign the whole that results from the associating of the signifier with the signified, I can simply say: the linguistic sign is arbitrary.

Saussure, 2011: 67

Hasil penjalinan arbitrer atas penanda dan petanda itulah yang dalam semiotika Saussurean disebut sebagai ‘tanda’. Bahkan onomatope—penanda ‘kata’ yang dibentuk dengan meniru bunyi sesuatu yang hendak ditandai, seperti “kokok” untuk menandai bunyi ayam—oleh Saussure tetap dianggap tidak membantah prinsip kearbitreran tanda linguistik. Onomatope, kata Saussure (2011: 69), selain jumlahnya sangat terbatas, juga dipilih dengan cara yang agak arbitrer karena senyatanya ia hanyalah tiruan kira-kira (approximate imitation) atas suara tertentu. Bahasa Indonesia memilih kata “aum” untuk menandai suara singa, sementara bahasa Inggris memilih “roar” untuk menandai suara yang sama. Tak ada sifat natural atau esensial yang mendeterminasi hubungan suara singa dengan kata “aum” atau “roar”.

Meskipun di situ Saussure secara spesifik hanya membicarakan prinsip tanda linguistik, tapi banyak ahli semiotika setelahnya, seperti Roland Barthes dan Umberto Eco, memperluas sifat arbitrer tanda linguistik itu pada tanda-tanda non-linguistik. Pada titik inilah, semiotika kemudian banyak menjalari ilmu-ilmu sosial dan humaniora. Karena memahami tanda secara sangat luas dan longgar, semiotika sendiri pun akhirnya banyak dikritik. Karena sering memberikan interpretasi-interpretasi subjektif atas sesuatu yang secara longgar diasumsikan sebagai tanda, analisis semiotik ini dianggap sebagai pengungsian terakhir bagi para “charlatan akademik” (Chandler, 2021). Dengan kata lain, analisis semiotik ini menjadi tempat pelarian orang-orang yang ingin kelihatan kritis dan intelektual tapi tidak punya kemampuan analisis yang ketat. Atas nama analisis semiotik, para “charlatan akademik” itu bebas menginterpretasi suatu fenomena sosial secara suka-suka. Karena sifatnya yang longgar ini, analisis semiotik kemudian dapat diterapkan pada apa saja, mulai dari papan iklan hingga karya sastra. Mengingat ruang lingkupnya yang mengalami perluasan begitu lebar, analisis semiotik ini hingga dapat disebut sebagai sejenis “terorisme intelektual” (Sturrock, 2003: 87).

Jika analisis semiotik itu mendominasi banyak karya ilmuwan sosial di Indonesia, maka ilmu sosial Indonesia akan menghadapi dua ekses negatif, yaitu (1) masyarakat akan terjebak pada superfisialitas dan (2) ilmu sosial di Indonesia akan mengalami krisis metodologis. Konsekuensi pertama membuat masyarakat Indonesia tenggelam dalam lautan simbol dan tanda, tanpa memedulikan hal yang substansial. Ini sudah bisa dilihat gejalanya dalam kegandrungan masyarakat kita terhadap hal-hal seremonial. Jika analisis semiotik menjadi paradigma utama ilmuwan sosial Indonesia dalam memahami sebuah fenomena sosial, maka kegandrungan masyarakat pada hal-hal seremonial itu justru akan mendapatkan justifikasi akademik. Konsekuensi kedua membuat ilmu sosial gagal memahami dan menjelaskan gerak sosial masyarakat secara adekuat. Ilmu sosial akan lebih banyak berbicara tentang hal-hal superfisial dan mungkin juga trivial.

Penutup

Apa yang saya sampaikan di atas bukanlah sejenis dakwaan yang biasa dilakukan para fenomenolog atau kelompok Marxis bahwa ilmu sosial telah mengalami krisis. Saya tidak punya bukti memadai untuk mendakwa ilmu sosial demikian. Karenanya, apa yang saya sampaikan hanyalah berupa kekhawatiran—untuk tidak menyebutnya peringatan—bahwa ilmu sosial akan tidak baik-baik saja jika model-model analisis semiotik seperti yang dilakukan Yasraf A. Piliang dan Sonny Eli Zaluchu itu menjadi arus utama.

Selain itu, saya juga melihat perlunya meninjau ulang asumsi-asumsi interpretivis yang tampaknya menjadi paradigma utama banyak disiplin ilmu sosial. Interpretivisme menganggap manusia berbeda dari alam, sehingga ilmu sosial yang menelah sosietas manusia juga memiliki hakikat dan tujuan berbeda dari ilmu alam. Ilmu sosial bertujuan memberikan interpretasi atas fenomena sosial; sedangkan ilmu alam bertujuan memberikan eksplanasi kausal dan prediksi akurat atas fenomena alam. Asumsi keberbedaan manusia dari alam ini memiliki beberapa persoalan. Karenanya, asumsi keberbedaan ilmu sosial dari ilmu alam yang didasarkan padanya juga menjadi sulit dipertahankan.

Eksplorasi lebih lanjut atas persoalan tersebut memerlukan tulisan khusus yang berbeda.


Daftar Pustaka

Chandler, Daniel, 2021, Semiotics for Beginners, dalam http://visual-memory.co.uk/daniel/Documents/S4B/.

Heryanto, Ariel, “Budaya Pop”, Kompas, 06/08/2022.

Piliang, Yasraf A., “Merawat Merah Putih”, Kompas, 06/09/22.

Saussure, Ferdinand de, 2011, Course in General Linguistics, terjemahan Wade Baskin, New York: Columbia University Press.

Sturrock, John, 2003, Structuralism, Edisi Kedua, Massachusetts: Blackwell Publishing.

Zaluchu, Sonny E., “Citayam, Bukan Sekadar ‘Fashion’ Jalanan”, Kompas, 29/07/22.

Bacaan Lainnya