Dalam Cermin ‘Contact’: Sains dan Agama di Persimpangan Jalan

Risalatul Hukmi
Risalatul Hukmi
Post-Nietzschean free thinker

Tidak sedikit dari hal yang seharusnya kita belum lupa, yakni tentang bagaimana sains mencoba mempermainkan keyakinan kita, mengombang-ambingkan pijakan kita akan suatu hal yang sudah lama menjadi tempat kita berdiri. Seharusnya kita masih sadar, bahwa sains tak lebih dari suatu fiksi lain tentang dunia, di mana segala pembuktiannya masih menjadi kebenaran terakhir, bukan suatu kebenaran akhir.

Sebagian dari kita pasti masih ingat tentang beberapa saat yang lalu, yakni ketika Edwin Aldrin menulis dalam akun twitternya, “it’s time to confess”. Bahwa apa-apa yang kita ketahui tentang misi Apollo ke Bulan, hanyalah angin sepoi kebohongan saja. Tetapi parahnya, kita sudah terlanjur mempercayainya dan begitu tergesa-gesa mencari penjelasan ‘religius’ untuk memperkuat iman dalam diri kita. Lantas menunjukkan apa (sih) sebenarnya hal-hal semacam itu? Selain hanya kebingungan teologis dalam diri kita, sehingga kita bertunggang-langgang dari satu pijakan demi pijakan untuk selalu memperkuatnya.

Baiklah, lupakan masa lalu yang menggelikan itu. Mari kita tengok lagi tentang apa-apa yang sampai saat ini masih menjadi ke-latah-an religius kita. Tahun 1997, Warner Bross merilis film hasil produksinya yang berjudul Contact. Saya kira film ini diinspirasi dari beberapa teori fisika abad 20 tentang wormhole, tentang kelengkungan ruang waktu, dan beberapa sains fiksi lain tentang perjalanan antar bintang (interstellar). Dan saya kira kembali, hal ini pula yang tidak jauh berbeda direkonstruksi ulang dalam film terbaru 2014 berjudul Interstellar. Dari kedua film tersebut, masih memiliki semangat sains yang sama, yakni tentang bagaimana kita dapat mencari kehidupan selain di bumi. Entah itu murni semangat sains, atau hanya sekedar ketakutan psikologis untuk menerima kenyataan bahwa kita adalah satu-satunya kehidupan.

Dari poin inilah saya rasa, bahwa kita harus menelaah kembali dasar filosofis agama dan sains itu bagaimana seharusnya ditempatkan. Bahwa jika memang benar asumsi tentang semangat sains dan agama sama-sama didasari oleh fakta psikologis bahwa kita takut menerima kenyataan bahwa kita sendirian di jagat raya, bahwa kita terasing dalam dunia yang tak terjelaskan ini, maka kita perlu memecahnya kembali pada soal-soal di mana seharusnya agama atau sains itu berperan sebagaimana mestinya, sehingga kasus-kasus antar agama dan sains tidak lagi menjadi kasus yang besar tapi tak bermakna apa-apa.

Perihal Iman: Probabilitas dan Absolutisme

Sebagaimana sejarah dominasi agama yang terwakili oleh gereja telah berubah semenjak Copernicus dan Galileo mempersoalkan Geosentrisme, hal ini menunjukkan suatu iman epistemik yang berbeda antara sains dan agama. Bahwa agama tidak perlu memiliki bukti empiris akan doktrin-doktrinnya, maka sains adalah hal lain, bukti adalah segalanya. Tetapi ada yang lebih mendasar dari hanya sekedar soal epistemik saja, yakni tentang keyakinan ontologis yang sebenarnya berkait-kelindan dengan iman epistemiknya.

Mengapa iman ontologis adalah hal yang paling penting untuk menelaah kembali persoalan agama dan sains? Ini tak lain adalah tentang konstruksi bangunan yang berbeda. Sebagaimana dikatakan oleh Neil deGrasse Tyson di awal-awal serial Cosmos: A Spacetime Odyssey, bahwa iman sains adalah skeptisisme metodis, sebagaimana memang telah diawali oleh bapak Modernisme kita Rene Descartes. Iman pada skeptisisme metodis mengartikan bahwa segala hal dalam sains perlu diragukan, diteliti kembali, mencari bukti, baru memberi dakuan. Tetapi lagi-lagi dakuan sains bukanlah dakuan dogmatis, teori-teori sains yang telah mengalami proses panjang dalam pembuktiannya, tetap saja membuka kritik, pembaharuan, atau bahkan penghancuran oleh teori yang lebih memadai. Sebagaimana pula itulah yang dikatakan oleh Karl Popper tentang falsifikasi, yang tak lain hal demikian mengartikan bahwa tidak ada kebenaran akhir dalam sains, yang ada hanya kebenaran terakhir.

Lantas bagaimana kemudian dengan agama? Apakah kita bersedia menerima iman yang sama sebagaimana yang diimani sains? Bahwa tidak ada kebenaran absolut, yang ada hanya probabilitas dengan aproksimasi yang mendekati kebenaran. Lantas dalam hal apa sebenarnya integrasi antara agama dan sains itu kita maksudkan?

Sudah jelas bahwa iman ontologis agama dibangun di atas fondasi kepastian akan kebenaran yang absolut, diiringi pula dengan iman epistemik yang sangat berbeda pula. Seandainya integrasi antara agama dan sains kita paksakan, yang terjadi adalah munculnya dilema dalam diri kita, apakah kita harus memberatkan agama, atau sebaliknya kita harus memberatkan sains? Dilema ini menurut saya adalah keniscayaan, bahwa ketika kita dihadapkan pada dua pertentangan perihal sesuatu antara agama dan sains, maka kita harus mengalahkan yang satu demi satu kebenaran yang lain. Misal saja, bukti bahwa matahari tidak berputar mengelilingi bumi (geosentrisme) sebagaimana diajarkan oleh Gereja dan juga Al-Qur’an, lantas apakah kita harus mengubur bukti itu demi kebenaran doktrin agama? Atau sebaliknya kita harus menghapus ayat dalam kitab suci itu demi kebenaran sains? Tapi kebanyakan dari kita selalu suka memilih jalan tengah, yakni menerima kedua-duanya dengan jalan menafsirkan kembali ayat itu dengan tafsiran yang sama sekali berbeda agar masih dapat relevan. Dan pada akhirnya kesimpulan dari itu semua adalah: “bahwa kita sebenarnya tidak pernah mau salah”.

Jalan Sunyi untuk Agama

Kita telah terbiasa berpikir bahwa agama harus menyediakan informasi bagi kita. Apakah Tuhan ada? Bagaimana dunia terbentuk? Tetapi, ini adalah penyimpangan modern. Agama tidak pernah seharusnya menyediakan jawaban atas pertanyaan yang berada dalam jangkauan akal manusia. Itu adalah peran logos. Tugas agama, sangat mirip dengan seni, adalah membantu kita hidup secara kreatif, damai, dan bahkan gembira dengan kenyataan-kenyataan yang tidak mudah dijelaskan dan masalah-masalah yang tidak bisa kita pecahkan: kematian, penderitaan, kesedihan, keputusasaan, dan kemarahan pada ketidakadilan dan kekejaman kehidupan (Armstrong, 2013:505).

Sebagaimana telah menjadi banyak perbincangan para pemikir perennialis, seperti Hoseein Nasr, Huston Smith, Karen Armstrong dan beberapa pemikir lain tentang gagalnya sains modern membawa peradaban manusia menjadi secemerlang yang dibayangkan, pemikiran-pemikiran tersebut setidaknya telah mengantar diskursus panjang bagaimana seharusnya sains itu berjalan beriringan dengan agama.

Nasr misalnya dalam Knowledge and Sacred, mengatakan dengan merujuk kembali pada apa yang telah diterangkan oleh Al-Qur’an, bahwa seluruh keberadaan realitas merupakan perwujudan dari Kun fayakun, yakni ‘jadi, maka jadilah!’. Pada awal ‘kemenjadian’ tersebut, menurut Nasr, yang ada secara serentak adalah wujud, pengetahuan, dan kebahagiaan (qudrah, hikmah, dan rahmah). Tiga hal yang hadir dalam permulaan tersebut saat ini lebih sering disebut sebagai realitas (Nasr, 1997:1). Dengan asumsi ontologis tersebut, Nasr berpendapat bahwa sains seharusnya tidak melupakan kebahagiaan sebagai wakil dari kesucian. Tetapi pertanyaannya adalah apakah sains linear dengan persoalan kebahagiaan? Sains adalah tentang objektivitas mutlak, sedangkan kebahagiaan adalah subjektivitas penuh. Pengandaian Nasr atas sains yang demikian masih sulit dibayangkan tentang bagaimana sains dapat berjalan diatas prinsip kebahagiaan.

Disinilah kutipan Armstrong di atas menjadi penting untuk menjawab persoalan yang diketengahkan Nasr. Bahwa perihal penderitaan, kekecewaan, dan berbagai macam keadaan psikis manusia yang membutuhkan obat berupa kebahagiaan adalah tugas agama, bukan sains. Dan sebaliknya berbagai bunga rampai tentang hal-hal yang itu merupakan soal logos adalah tugas sains. Dari sinilah kemungkinan besar jalan integrasi antara agama dan sains adalah independensi yang saling berkaitkelindan. Dimana segala kekecewaan saintifik, adalah tugas agama untuk menghapus segala kekecewaan tersebut. Dan pula tentang kebutuhan praktis manusia untuk keberlangsungan hidup, adalah tugas sains untuk menjawabnya.

Kesimpulan

Pada akhirnya, contact hanyalah upaya kecil yang tidak memberi jawaban apapun bagi hubungan integratif agama dan sains. Ketika di akhir drama tentang pengalaman tokoh utama yang tak terobservasi secara saintifik, hanya menunjukkan suatu fiksional psikologis saja, dan lagi-lagi itu tidak bermakna apapun dalam sains yang menuntut bukti. Hingga akhirnya pun sains harus tetap dengan sains, dan soal keyakinan religius pun tetap dengan keyakinannya. Hingga di titik akhir, agama dan sains pun tetap masih di persimpangan jalan saja. Semoga kita masih bahagia.[]

Referensi

Nasr, Hossein. Pengetahuan dan Kesucian. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1997.

Armstrong, Karen. Masa Depan Tuhan: Sanggahan terhadap Fundamentalisme dan Ateisme, terj. Yuliani Liputo, Bandung: Mizan, 2013.

Bacaan Lainnya